THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 06 Maret 2008

novel ayat2 cinta (AAC)

Gadis Mesir Itu Bernama Maria

Tengah hari ini, kota Cairo seakan membara. Matahari berpijar di tengah petala langit. Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi. Tanah dan pasir menguapkan bau neraka. Hembusan angin sahara disertai debu yang bergulung-gulung menambah panas udara semakin tinggi dari detik ke detik. Penduduknya, banyak yang berlindung dalam flat yang ada dalam apartemen-apartemen berbentuk kubus dengan pintu, jendela dan tirai tertutup rapat.
Memang, istirahat di dalam flat sambil menghidupkan pendingin ruangan jauh lebih nyaman daripada berjalan ke luar rumah, meski sekadar untuk shalat berjamaah di masjid. Panggilan azan zhuhur dari ribuan menara yang bertebaran di seantero kota hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati mereka yang benar-benar tebal imannya. Mereka yang memiliki tekad beribadah sesempurna mungkin dalam segala musim dan cuaca, seperti karang yang tegak berdiri dalam deburan ombak, terpaan badai, dan sengatan matahari. Ia tetap teguh berdiri seperti yang dititahkan Tuhan sambil bertasbih tak kenal kesah. Atau, seperti matahari yang telah jutaan tahun membakar tubuhnya untuk memberikan penerangan ke bumi dan seantero mayapada. Ia tiada pernah mengeluh, tiada pernah mengerang sedetik pun menjalankan titah Tuhan.
Awal-awal Agustus memang puncak musim panas.
Dalam kondisi sangat tidak nyaman seperti ini, aku sendiri sebenarnya sangat malas keluar. Ramalan cuaca mengumumkan: empat puluh satu derajat celcius! Apa tidak gila!? Mahasiswa Asia Tenggara yang tidak tahan panas, biasanya sudah mimisan, hidungnya mengeluarkan darah. Teman satu flat yang langganan mimisan di puncak musim panas adalah Saiful. Tiga hari ini, memasuki pukul sebelas siang sampai pukul tujuh petang, darah selalu merembes dari hidungnya. Padahal ia tidak keluar flat sama sekali. Ia hanya diam di dalam kamarnya sambil terus menyalakan kipas angin. Sesekali ia kungkum, mendinginkan badan di kamar mandi.
Dengan tekad bulat, setelah mengusir segala rasa aras-arasen [1] aku bersiap untuk keluar. Tepat pukul dua siang aku harus sudah berada di Masjid Abu Bakar Ash-Shidiq yang terletak di Shubra El-Khaima, ujung utara Cairo, untuk talaqqi [2] pada Syaikh Utsman Abdul Fattah. Pada ulama besar ini aku belajar qiraah sab’ah [3] dan ushul tafsir [4] . Beliau adalah murid Syaikh Mahmoud Khushari, ulama legendaris yang mendapat julukan Syaikhul Maqari’ Wal Huffadh Fi Mashr atau Guru Besarnya Para Pembaca dan Penghafal Al-Qur’an di Mesir.
Jadwalku mengaji pada Syaikh yang terkenal sangat disiplin itu seminggu dua kali. Setiap Ahad dan Rabu. Beliau selalu datang tepat waktu. Tak kenal kata absen. Tak kenal cuaca dan musim. Selama tidak sakit dan tidak ada uzur yang teramat penting, beliau pasti datang. Sangat tidak enak jika aku absen hanya karena alasan panasnya suhu udara. Sebab beliau tidak sembarang menerima murid untuk talaqqi qiraah sab’ah. Siapa saja yang ingin belajar qiraah sab’ah terlebih dahulu akan beliau uji hafalan Al-Qur’an tiga puluh juz dengan qiraah bebas. Boleh Imam Warasy. Boleh Imam Hafsh. Atau lainnya. Tahun ini beliau hanya menerima sepuluh orang murid. Aku termasuk sepuluh orang yang beruntung itu. Lebih beruntung lagi, beliau sangat mengenalku. Itu karena, di samping sejak tahun pertama kuliah aku sudah menyetorkan hafalan Al-Qur’an pada beliau di serambi masjid Al Azhar, juga karena di antara sepuluh orang yang terpilih itu ternyata hanya diriku seorang yang bukan orang Mesir. Aku satu-satunya orang asing, sekaligus satu-satunya yang dari Indonesia. Tak heran jika beliau meng-anakemas-kan diriku. Dan teman-teman dari Mesir tidak ada yang merasa iri dalam masalah ini. Mereka semua simpati padaku. Itulah sebabnya, jika aku absen pasti akan langsung ditelpon oleh Syaikh Utsman dan teman-teman. Mereka akan bertanya kenapa tidak datang? Apa sakit? Apa ada halangan dan lain sebagainya. Maka aku harus tetap berusaha datang selama masih mampu menempuh perjalanan sampai ke Shubra, meskipun panas membara dan badai debu bergulung-gulung di luar sana. Meskipun jarak yang ditempuh sekitar lima puluh kilo meter lebih jauhnya.
Kuambil mushaf tercinta.
Kucium penuh takzim. Lalu kumasukkan ke dalam saku depan tas cangklong hijau tua. Meskipun butut, ini adalah tas bersejarah yang setia menemani diriku menuntut ilmu sejak di Madrasah Aliyah sampai saat ini, saat menempuh S.2. di universitas tertua di dunia, di delta Nil ini. Aku mengambil satu botol kecil berisi air putih di kulkas. Kumasukkan dalam plastik hitam lalu kumasukkan dalam tas. Aku selalu membiasakan diri membawa air putih jika bepergian, selain sangat berguna juga merupakan salah satu bentuk penghematan yang sangat terasa. Apalagi selama menempuh perjalanan jauh dari Hadayek Helwan sampai Shubra El-Khaima dengan metro [5] , tidak akan ada yang menjual minuman.
Aku sedikit ragu mau membuka pintu. Hatiku ketar-ketir. Angin sahara terdengar mendesau-desau. Keras dan kacau. Tak bisa dibayangkan betapa kacaunya di luar sana. Panas disertai gulungan debu yang berterbangan. Suasana yang jauh dari nyaman. Namun niat harus dibulatkan. Bismillah tawakkaltu ‘ala Allah [6] , pelan-pelan kubuka pintu apartemen. Dan...
Wuss!
Angin sahara menampar mukaku dengan kasar. Debu bergumpal-gumpal bercampur pasir menari-nari di mana-mana. Kututup kembali pintu apartemen. Rasanya aku melupakan sesuatu.
“Mas Fahri, udaranya terlalu panas. Cuacanya buruk. Apa tidak sebaiknya istirahat saja di rumah?” saran Saiful yang baru keluar dari kamar mandi. Darah yang merembes dari hidungnya telah ia bersihkan.
“Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa. Aku sangat tidak enak pada Syaikh Utsman jika tidak datang. Beliau saja yang sudah berumur tujuh puluh lima tahun selalu datang. Tepat waktu lagi. Tak kenal cuaca panas atau dingin. Padahal rumah beliau dari masjid tak kurang dari dua kilo,” tukasku sambil bergegas masuk kamar kembali, mengambil topi dan kaca mata hitam.
“Allah yubarik fik [7] , Mas,” ujarnya serak. Tangan kanannya mengusapkan sapu tangan pada hidungnya. Mungkin darahnya merembes lagi.
“Wa iyyakum! [8] ” balasku sambil memakai kaca mata hitam dan memakai topi menutupi kopiah putih yang telah menempel di kepalaku.
“Sudah bawa air putih, Mas?”
Aku mengangguk.
“Saif, Rudi minta dibangunkan pukul setengah dua. Tadi malam dia lembur bikin makalah. Kelihatannya dia baru tidur jam setengah sepuluh tadi. Terus tolong nanti bilang sama dia untuk beli gula, dan minyak goreng. Hari ini dia yang piket belanja. Oh ya, hampir lupa, nanti sore yang piket masak Hamdi. Dia paling suka masak oseng-oseng wortel campur kofta [9] . Kebetulan wortel dan koftanya habis. Bilang sama Rudi sekalian.”
Sebagai yang dipercaya untuk jadi kepala keluarga—meskipun tanpa seorang ibu rumah tangga—aku harus jeli memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan anggota. Dalam flat ini kami hidup berlima; aku, Saiful, Rudi, Hamdi dan Mishbah. Kebetulan aku yang paling tua, dan paling lama di Mesir. Secara akademis aku juga yang paling tinggi. Aku tinggal menunggu pengumuman untuk menulis tesis master di Al Azhar. Yang lain masih program S.1. Saiful dan Rudi baru tingkat tiga, mau masuk tingkat empat. Sedangkan Misbah dan Hamdi sedang menunggu pengumuman kelulusan untuk memperoleh gelar Lc. atau Licence. Mereka semua telah menempuh ujian akhir tahun pada akhir Mei sampai awal Juni yang lalu. Awal-awal Agustus biasanya pengumuman keluar. Namun sampai hari ini, pengumuman belum juga keluar.
Dan hari ini, kebetulan yang ada di flat hanya tiga orang, yaitu aku, Saiful dan Rudi. Adapun Hamdi sudah dua hari ini punya kegiatan di Dokki, tepatnya di Masjid Indonesia Cairo. Ia diminta untuk memberikan pelatihan kepemimpinan pada remaja masjid yang semuanya adalah putera-puteri para pejabat KBRI. Siang ini katanya selesai, dan nanti sore dia pulang. Sedangkan Mishbah sedang berada di Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Katanya ia harus menginap di Wisma Nusantara, di tempatnya Mas Khalid, untuk merancang draft pelatihan ekonomi Islam bersama Profesor Maulana Husein Shahata, pertengahan September depan. Masing-masing penghuni flat ini punya kesibukan. Aku sendiri yang sudah tidak aktif di organisasi manapun, juga mempunyai jadwal dan kesibukan. Membaca bahan untuk tesis, talaqqi qiraah sab’ah, menerjemah, dan diskusi intern dengan teman-teman mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh S.2. dan S.3. di Cairo. Urusan-urusan kecil seperti belanja, memasak dan membuang sampah, jika tidak diatur dengan bijak dan baik akan menjadi masalah. Dan akan mengganggu keharmonisan. Kami berlima sudah seperti saudara kandung. Saling mencintai, mengasihi dan mengerti. Semua punya hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada yang diistimewakan. Semboyan kami, baiti jannati. Rumahku adalah surgaku. Tempat yang kami tinggali ini harus benar-benar menjadi tempat yang menyenangkan. Dan sebagai yang paling tua aku bertanggung jawab untuk membawa mereka pada suasana yang mereka inginkan.
Aku melangkah ke pintu.
“Saif. Jangan lupa pesanku tadi!” kembali aku mengingatkan sebelum membuka pintu.
“Insya Allah, Mas.”
Di luar sana angin terdengar mendesau-desau. Benar kata Saiful, cuaca sebetulnya kurang baik.
Ah, kalau tidak ingat bahwa kelak akan ada hari yang lebih panas dari hari ini dan lebih gawat dari hari ini. Hari ketika manusia digiring di padang Mahsyar dengan matahari hanya satu jengkal di atas ubun-ubun kepala. Kalau tidak ingat, bahwa keberadaanku di kota seribu menara ini adalah amanat. Dan amanat akan dipertanggungjawabkan dengan pasti. Kalau tak ingat, bahwa masa muda yang sedang aku jalani ini akan dipertanyakan kelak. Kalau tak ingat, bahwa tidak semua orang diberi nikmat belajar di bumi para nabi ini. Kalau tidak ingat, bahwa aku belajar di sini dengan menjual satu-satunya sawah warisan dari kakek. Kalau tidak ingat bahwa aku dilepas dengan linangan air mata dan selaksa doa dari ibu, ayah dan sanak saudara. Kalau tak ingat bahwa jadwal adalah janji yang harus ditepati. Kalau tak ingat itu semua, shalat zhuhur di kamar saja lalu tidur nyantai menyalakan kipas dan mendengarkan lantunan lagu El-Himl El-Arabi atau El-Hubb El-Haqiqi, atau untaian shalawatnya Emad Rami dari Syiria itu, tentu rasanya nyaman sekali. Apalagi jika diselingi minum ashir [10] mangga yang sudah didinginkan satu minggu di dalam kulkas atau makan buah semangka yang sudah dua hari didinginkan. Masya Allah, alangkah segarnya.
Kubuka pintu apartemen perlahan.
Wuss!
Angin sahara kembali menerpa wajahku. Aku melangkah keluar lalu menuruni tangga satu per satu. Flat kami ada di tingkat tiga. Gedung apartemen ini hanya enam tingkat dan tidak punya lift. Sampai di halaman apartemen, jilatan panas matahari seakan menembus topi hitam dan kopiah putih yang menempel di kepalaku. Seandainya tidak memakai kaca mata hitam, sinarnya yang benderang akan terasa perih menyilaukan mata.
Kulangkahkan kaki ke jalan.
“Psst..psst...Fahri! Fahri!”
Kuhentikan langkah. Telingaku menangkap ada suara memanggil-manggil namaku dari atas. Suara yang sudah kukenal. Kupicingkan mataku mencari asal suara. Di tingkat empat. Tepat di atas kamarku. Seorang gadis Mesir berwajah bersih membuka jendela kamarnya sambil tersenyum. Matanya yang bening menatapku penuh binar.
“Hei Fahri, panas-panas begini keluar, mau ke mana?”
“Shubra.”
“Talaqqi Al-Qur’an ya?”
Aku mengangguk.
“Pulangnya kapan?”
“Jam lima, insya Allah.”
“Bisa nitip?”
“Nitip apa?”
“Belikan disket. Dua. Aku malas sekali keluar.”
“Baik, insya Allah.”
Aku membalikkan badan dan melangkah.
“Fahri, istanna suwayya! [11]
“Fi eh kaman? [12]
Aku urung melangkah.
“Uangnya.”
“Sudah, nanti saja, gampang.”
“Syukran Fahri.” [13]
“Afwan.”
Aku cepat-cepat melangkah ke jalan menuju masjid untuk shalat zhuhur. Panasnya bukan main.
Gadis Mesir itu, namanya Maria. Ia juga senang dipanggil Maryam. Dua nama yang menurutnya sama saja. Dia puteri sulung Tuan Boutros Rafael Girgis. Berasal dari keluarga besar Girgis. Sebuah keluarga Kristen Koptik yang sangat taat. Bisa dikatakan, keluarga Maria adalah tetangga kami paling akrab. Ya, paling akrab. Flat atau rumah mereka berada tepat di atas flat kami. Indahnya, mereka sangat sopan dan menghormati kami mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Al Azhar.
Maria gadis yang unik.
Ia seorang Kristen Koptik atau dalam bahasa asli Mesirnya qibthi, namun ia suka pada Al-Qur’an. Ia bahkan hafal beberapa surat Al-Qur’an. Di antaranya surat Maryam. Sebuah surat yang membuat dirinya merasa bangga. Aku mengetahui hal itu pada suatu kesempatan berbincang dengannya di dalam metro. Kami tak sengaja berjumpa. Ia pulang kuliah dari Cairo University, sedangkan aku juga pulang kuliah dari Al Azhar University. Kami duduk satu bangku. Suatu kebetulan.
“Hei namamu Fahri, iya ‘kan?”
“Benar.”
“Kau pasti tahu namaku, iya ‘kan?”
“Iya. Aku tahu. Namamu Maria. Puteri Tuan Boutros Girgis.”
“Kau benar.”
“Apa bedanya Maria dengan Maryam?”
“Maria atau Maryam sama saja. Seperti David dengan Daud. Yang jelas namaku tertulis dalam kitab sucimu. Kitab yang paling banyak dibaca umat manusia di dunia sepanjang sejarah. Bahkan jadi nama sebuah surat. Surat kesembilan belas, yaitu surat Maryam. Hebat bukan?”
“Hei, bagaimana kau mengatakan Al-Qur’an adalah kitab suci paling banyak dibaca umat manusia sepanjang sejarah? Dari mana kamu tahu itu?” selidikku penuh rasa kaget dan penasaran.
“Jangan kaget kalau aku berkata begitu. Ini namanya objektif. Memang kenyataannya demikian. Charles Francis Potter mengatakan seperti itu. Bahkan jujur kukatakan, ‘Al-Qur’an jauh lebih dimuliakan dan dihargai daripada kitab suci lainnya. Ia lebih dihargai daripada Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Pendeta J. Shillidy dalam bukunya The Lord Jesus in The Koran memberikan kesaksian seperti itu. Dan pada kenyataannya tak ada buku atau kitab di dunia ini yang dibaca dan dihafal oleh jutaan manusia setiap detik melebihi Al-Qur’an. Di Mesir saja ada sekitar sepuluh ribu Ma’had Al Azhar. Siswanya ratusan ribu bahkan jutaan anak. Mereka semua sedang menghafalkan Al-Qur’an. Karena mereka tak akan lulus dari Ma’had Al Azhar kecuali harus hafal Al-Qur’an. Aku saja, yang seorang Koptik suka kok menghafal Al-Qur’an. Bahasanya indah dan enak dilantunkan,” cerocosnya santai tanpa ada keraguan.
“Kau juga suka menghafal Al-Qur’an? Apa aku tidak salah dengar?” heranku.
“Ada yang aneh?”
Aku diam tidak menjawab.
“Aku hafal surat Maryam dan surat Al-Maidah di luar kepala.”
“Benarkah?”
“Kau tidak percaya? Coba kau simak baik-baik!”
Maria lalu melantunkan surat Maryam yang ia hafal. Anehnya ia terlebih dahulu membaca ta’awudz [14] dan basmalah. Ia tahu adab dan tata cara membaca Al-Qur’an. Jadilah perjalanan dari Mahattah [15] Anwar Sadat Tahrir sampai Tura El-Esmen kuhabiskan untuk menyimak seorang Maria membaca surat Maryam dari awal sampai akhir. Nyaris tak ada satu huruf pun yang ia lupa. Bacaannya cukup baik meskipun tidak sebaik mahasiswi Al Azhar. Dari Tura El-Esmen hingga Hadayek Helwan Maria mengajak berbincang ke mana-mana. Aku tak menghiraukan tatapan orang-orang Mesir yang heran aku akrab dengan Maria.
Itulah Maria, gadis paling aneh yang pernah kukenal. Meskipun aku sudah cukup banyak tahu tentang dirinya, baik melalui ceritanya sendiri saat tak sengaja bertemu di metro, atau melalui cerita ayahnya yang ramah. Tapi aku masih menganggapnya aneh. Bahkan misterius. Ia gadis yang sangat cerdas. Nilai ujian akhir Sekolah Lanjutan Atasnya adalah terbaik kedua tingkat nasional Mesir. Ia masuk Fakultas Komunikasi, Universitas Cairo. Dan tiap tingkat selalu meraih predikat mumtaz atau cumlaude. Ia selalu terbaik di fakultasnya. Ia pernah ditawari jadi reporter Ahram, koran terkemuka di Mesir. Tapi ia tolak. Ia lebih memilih jadi penulis bebas. Ia memang gadis Koptik yang aneh. Menurut pengakuannya sendiri, ia paling suka dengar suara azan, tapi pergi ke gereja tidak pernah ia tinggalkan. Sekali lagi, ia memang gadis Koptik yang aneh. Aku tidak tahu jalan pikirannya.
Selama ini, aku hanya mendengar dari bibirnya yang tipis itu hal-hal yang positif tentang Islam. Dalam hal etika berbicara dan bergaul ia terkadang lebih Islami daripada gadis-gadis Mesir yang mengaku muslimah. Jarang sekali kudengar ia tertawa cekikikan. Ia lebih suka tersenyum saja. Pakaiannya longgar, sopan dan rapat. Selalu berlengan panjang dengan bawahan panjang sampai tumit. Hanya saja, ia tidak memakai jilbab. Tapi itu jauh lebih sopan ketimbang gadis-gadis Mesir seusianya yang berpakaian ketat dan bercelana ketat, dan tidak jarang bagian perutnya sedikit terbuka. Padahal mereka banyak yang mengaku muslimah. Maria suka pada Al-Qur’an. Ia sangat mengaguminya, meskipun ia tidak pernah mengaku muslimah. Penghormatannya pada Al-Qur’an bahkan melebihi beberapa intelektual muslim.
Ia pernah cerita, suatu kali ia ikut diskusi tentang aspek kebahasaan Al-Qur’an di Fakultas Sastra Universitas Cairo. Pemakalahnya adalah seorang doktor filsafat jebolan Sorbonne Perancis. Maria merasa risih sekali dengan kepongahan doktor itu yang mengatakan Al-Qur’an tidak sakral karena dilihat dari aspek kebahasaan ada ketidakberesan. Doktor itu mencontohkan dalam Al-Qur’an ada rangkaian huruf yang tidak diketahui maknanya. Yaitu, alif laam miim, alif laam ra, haa miim, yaa siin, thaaha nuun, kaf ha ya ‘ain shaad, dan sejenisnya.
Maria berkata padaku,
“Fahri, aku geli sekali mendengar perkataan doktor dari Sorbonne itu. Dia itu orang Arab, juga muslim, tapi bagaimana bisa mengatakan hal yang stupid begitu. Aku saja yang Koptik bisa merasakan betapa indahnya Al-Qur’an dengan alif laam miim-nya. Kurasa rangkaian huruf-huruf seperti alif laam miim, alif laam ra, haa miim, yaa siin, nuun, kaf ha ya ‘ain shaad adalah rumus-rumus Tuhan yang dahsyat maknanya. Susah diungkapkan maknanya, tapi keagungannya bisa ditangkap oleh mereka yang memiliki cita rasa bahasa Arab yang tinggi. Jika susunan itu dianggap sebagai suatu ketidakberesan, orang-orang kafir Quraisy yang sangat tidak suka pada Al-Qur’an dan memusuhinya sejak dahulu tentu akan mengambil kesempatan adanya ketidakberesan itu untuk menghancurkan Al-Qur’an. Dan tentu mereka sudah mencela bahasa Al-Qur’an habis-habisan sepanjang sejarah. Namun kenyataannya, justru sebaliknya. Mereka mengakui keindahan bahasanya yang luar biasa. Mereka menganggap bahasa Al-Qur’an bukan bahasa manusia biasa tapi bahasa yang datang dari langit. Jadi kukira doktor itu benar-benar stupid. Tidak semestinya seorang doktor sekelas dia mengatakan hal seperti itu.”
Aku lalu menjelaskan kepada Maria segala hal berkaitan dengan alim laam miim dalam Al-Qur’an. Lengkap dengan segala rahasia yang digali oleh para ulama dan ahli tafsir. Maknanya, hikmahnya, dan pengaruhnya dalam jiwa. Juga kuterangkan bahwa pendapat Maria yang mengatakan huruf-huruf itu tak lain adalah rumus-rumus Tuhan yang maha dahsyat maknanya, dan hanya Tuhan yang tahu persis maknanya, ternyata merupakan pendapat yang dicenderungi mayoritas ulama tafsir. Maria girang sekali mendengarnya.
“Wah pendapat yang terlintas begitu saja dalam benak kok bisa sama dengan pendapat mayoritas ulama tafsir ya?” komentarnya sambil tersenyum bangga.
Aku ikut tersenyum.
Di dunia ini memang banyak sekali rahasia Tuhan yang tidak bisa dimengerti oleh manusia lemah seperti diriku. Termasuk kenapa ada gadis seperti Maria. Dan aku pun tidak merasa perlu untuk bertanya padanya kenapa tidak mengikuti ajaran Al-Qur’an. Pertanyaan itu kurasa sangat tidak tepat ditujukan pada gadis cerdas seperti Maria. Dia pasti punya alasan atas pilihannya. Inilah yang membuatku menganggap Maria adalah gadis aneh dan misterius. Di dunia ini banyak sekali hal-hal misterius. Masalah hidayah dan iman adalah masalah misterius. Sebab hanya Allah saja yang berhak menentukan siapa-siapa yang patut diberi hidayah. Abu Thalib adalah paman nabi yang mati-matian membela dakwah nabi. Cinta nabi pada beliau sama dengan cinta nabi pada ayah kandungnya sendiri. Tapi masalah hidayah hanya Allah yang berhak menentukan. Nabi tidak bisa berbuat apa-apa atas nasib sang paman yang amat dicintainya itu. Juga hidayah untuk Maria. Hanya Allah yang berhak memberikannya.
Mungkin, sejak azan berkumandang Maria telah membuka daun jendela kayunya. Dari balik kaca ia melihat ke bawah, menunggu aku keluar. Begitu aku tampak keluar menuju halaman apartemen, ia membuka jendela kacanya, dan memanggil dengan suara setengah berbisik. Ia tahu persis bahwa aku dua kali tiap dalam satu minggu keluar untuk talaqqi Al-Qur’an. Tiap hari Ahad dan Rabu. Berangkat setelah azan zhuhur berkumandang dan pulang habis Ashar. Dan ini hari Rabu. Seringkali ia titip sesuatu padaku. Biasanya tidak terlalu merepotkan. Seperti titip membelikan disket, memfotocopykan sesuatu, membelikan tinta print, dan sejenisnya yang mudah kutunaikan. Banyak toko alat tulis, tempat foto copy dan toko perlengkapan komputer di Hadayek Helwan. Jika tidak ada di sana, biasanya di Shubra El-Khaima ada.
Suhu udara benar-benar panas. Wajar saja Maria malas keluar. Toko alat tulis yang juga menjual disket hanya berjarak lima puluh meter dari apartemen. Namun ia lebih memilih titip dan menunggu sampai aku pulang nanti. Ini memang puncak musim panas. Laporan cuaca meramalkan akan berlangsung sampai minggu depan, rata-rata 39 sampai 41 derajat celcius. Ini baru di Cairo. Di Mesir bagian selatan dan Sudan entah berapa suhunya. Tentu lebih menggila. Ubun-ubunku terasa mendidih.
Panggilan iqamat [16] terdengar bersahut-sahutan. Panggilan mulia itu sangat menentramkan hati. Pintu-pintu meraih kebahagiaan dan kesejahteraan masih terbuka lebar-lebar. Kupercepat langkah. Tiga puluh meter di depan adalah Masjid Al-Fath Al-Islami. Masjid kesayangan. Masjid penuh kenangan tak terlupakan. Masjid tempat aku mencurahkan suka dan deritaku selama belajar di sini. Tempat aku menitipkan rahasia kerinduanku yang memuncak, tujuh tahun sudah aku berpisah dengan ayah ibu. Tempat aku mengadu pada Yang Maha Pemberi rizki saat berada dalam keadaan kritis kehabisan uang. Saat hutang pada teman-teman menumpuk dan belum terbayarkan. Saat uang honor terjemahan terlambat datang. Tempat aku menata hati, merancang strategi, mempertebal azam dan keteguhan jiwa dalam perjuangan panjang.
Begitu masuk masjid...
Wusss!
Hembusan udara sejuk yang dipancarkan lima AC dalam masjid menyambut ramah. Alhamdulillah. Nikmat rasanya jika sudah berada di dalam masjid. Puluhan orang sudah berjajar rapi dalam shaf shalat jamaah. Kuletakkan topi dan tas cangklongku di bawah tiang dekat aku berdiri di barisan shaf kedua. Kedamaian menjalari seluruh syaraf dan gelegak jiwa begitu kuangkat takbir. Udara sejuk yang berhembus terasa mengelus-elus leher dan mukaku. Juga mengusap keringat yang tadi mengalir deras. Aku merasa tenteram dalam elusan kasih sayang Tuhan Yang Mahapenyayang. Dia terasa begitu dekat, lebih dekat dari urat leher, lebih dekat dari jantung yang berdetak.

2. Peristiwa di dalam Metro

Usai shalat, aku menyalami Syaikh Ahmad. Nama lengkapnya Syaikh Ahmad Taqiyyuddin Abdul Majid. Imam muda yang selama ini sangat dekat denganku. Beliau tidak pernah menyembunyikan senyumnya setiap kali berjumpa denganku. Beliau masih muda, umurnya baru tiga puluh satu, dan baru setengah tahun yang lalu ia meraih Magister Sejarah Islam dari Universitas Al Azhar. Anaknya baru satu, berumur dua tahun. Kini beliau bekerja di Kementerian Urusan Wakaf sambil menempuh program doktoralnya. Beliau juga menjadi dosen Sejarah Islam di Ma’had I’dadud Du’at [17] yang dikelola oleh Jam’iyyah Syar’iyyah bekerjasama dengan Fakultas Dakwah, Universitas Al Azhar. Di seluruh Mesir sampai sekarang ma’had ini baru ada dua: di Ramsis dan di Hadayek Helwan.
Meskipun masih muda, namun kedalaman ilmu agama dan kefashihannya membaca serta mentafsirkan Al-Qur’an membuat masyarakat memanggilnya “Syaikh”. Kerendahan hati, dan komitmennya yang tinggi membela kebenaran membuat sosoknya dicintai dan dihormati semua lapisan masyarakat Hadayek Helwan dan sekitarnya. Yang menarik, dia dekat dengan kawula muda. Panggilan ‘Syaikh’ tidak membuatnya lantas merasa canggung untuk ikut sepak bola setiap Jum’at pagi bersama anak-anak muda. Jika Maria adalah gadis Koptik yang aneh. Aku merasa Syaikh Ahmad adalah ulama muda yang unik.
“Akh [18] Fahri, mau ke mana?” tanya Syaikh ramah dengan senyum menghiasi wajahnya yang bersih. Jenggotnya tertata rapi. Kutatap wajah beliau sesaat. Sejatinya Syaikh Ahmad memang tampan. Tak kalah dengan Kazem Saheer, penyanyi tenar asal Irak yang digandrungi gadis-gadis remaja seantero Timur Tengah. Nada suaranya juga indah berwibawa. Tak heran jika beliau disayangi semua orang. Seandainya suara indah Kazem Saheer digunakan untuk membaca Al-Qur’an seperti Syaikh Ahmad mungkin akan lain cerita belantika selebritis Mesir.
“Seperti biasa Syaikh, ke Shubra,” jawabku datar.
Beliau langsung paham aku mau ke mana dan mau apa. Sebab Syaikh Ahmad dulu juga belajar qiraah sab’ah pada Syaikh Utsman di Shubra. Sesekali bahkan masih datang ke sana.
“Cuacanya buruk. Sangat panas. Apa tidak sebaiknya istrirahat saja? Jarak yang akan kau tempuh itu tidak dekat. Pikirkan juga kesehatanmu, Akh,” lanjut beliau sambil meletakkan tangan kanannya dipundak kiriku.
“Semestinya memang begitu Syaikh. Tapi saya harus komitmen dengan jadwal. Jadwal adalah janji. Janji pada diri sendiri dan janji pada Syaikh Utsman untuk datang.”
“Masya Allah, semoga Allah menyertai langkahmu.”
“Amin,” sahutku pelan sambil melirik jam dinding di atas mihrab.
Waktunya sudah mepet.
“Syaikh, saya pamit dulu,” kataku sambil bangkit berdiri. Syaikh Ahmad ikut berdiri. Kucangklong tas, kupakai topi dan kaca mata.
Syaikh Ahmad tersenyum melihat penampilanku.
“Dengan topi dan kaca mata hitammu itu kau seperti bintang film Hong Kong saja. Tak tampak sedikit pun kau seorang mahasiswa pascasarjana Al Azhar yang hafal Al-Qur’an.”
“Syaikh ini bisa saja,” sahutku sambil tersenyum, “mohon doanya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh.”
Di luar masjid, terik matahari dan gelombang angin panas langsung menyerang. Cepat-cepat kuayunkan kaki, berlari-lari kecil menuju mahathah metro yang berada tiga puluh lima meter di hadapanku. Ups, sampai juga akhirnya. Aku langsung menuju loket penjualan tiket.
“Ya Kapten, wahid Shubra!” [19] seruku pada penjaga loket berkepala botak dan gemuk. Wajahnya penuh keringat, meskipun tepat di belakangnya ada kipas angin kecil berputar-putar. Ia tampak berkenan kusapa dengan kapten. Memang untuk menyapa lelaki yang tidak dikenal cukup memakai ‘ya kapten’ bisa juga ‘ya basya’ atau kalau agak tua ‘ya ammu’. Jika kira-kira sudah haji memakai ‘ya haj’.”
“Masyi ya Andonesy,” [20] jawab penjaga loket sambil mengulurkan karcis kecil warna kuning kepadaku. Ia mengambil uang satu pound yang kuberikan dan memberi kembalian 20 piesters. Di pintu masuk karcis aku masukkan untuk membuka pintu penghalang. Setelah melewati pintu penghalang karcis itu kuambil lagi. Sebab tanpa karcis itu saya tidak akan bisa keluar di Shubra nanti. Dan jika ada pemeriksaan di dalam metro karcis itu harus aku tunjukkan. Jika tidak bisa menunjukkan, akan kena denda. Biasanya sepuluh pound. Itu pun setelah dimaki-maki oleh petugas pemeriksa.
Bagi penduduk Mesir, khususnya Cairo, metro bisa dikatakan transportasi kebanggaan. Lumayan canggih. Mahattah bawah tanah yang ada di Attaba, Tahrir dan Ramsis kelihatan modern dan canggih. Itu wajar. Sebab arsiteknya, semuanya orang Perancis. Orang-orang Mesir sering menyombongkan diri begini,
‘Kalau Anda berada di mahattah metro Tahrir atau Ramsis itu sama saja Anda berada di salah satu mahattah metro kota Paris.’
Benarkah?
Aku tidak tahu, sebab aku tidak pernah pergi ke Paris. Tapi aku pernah membaca sebuah majalah, memang ada stasiun bawah tanah di kota Paris yang dibuat bernuansa Mesir kuno. Dinding-dindingnya diukir dengan Hieroglyph, huruf-huruf Mesir kuno. Beberapa sisinya dihiasi dengan patung-patung dan simbol-simbol Mesir kuno, seperti tugu Alexandria, kunci pyramid yang sekilas tampak seperti salib, patung Tutankhmoun, Tutmosis, Ramses III, Amenophis III, Cleopatra dan lain sebagainya. Nuansa seperti itu sangat kental di mahattah metro Anwar Sadat-Tahrir, yang berada tepat di jantung kota Cairo.
Sebuah metro biru kusam datang. Pintu-pintunya terbuka perlahan. Beberapa orang turun. Setelah itu, barulah para penumpang yang menunggu naik. Aku masuk gerbong nomor lima. Aku yakin sekali akan dapat tempat duduk. Dalam cuaca panas seperti ini pasti penumpang sepi. Begitu sampai di dalam, aku langsung mengedarkan pandangan mencari tempat duduk. Sayang, semua tempat duduk telah terisi. Bahkan ada lima penumpang yang berdiri. Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin ini terjadi? Di hari-hari biasa yang tidak panas saja seringkali ada tempat duduk kosong.
Aku mengerutkan kening.
Dapat tempat duduk adalah juga rizki. Jika tidak dapat tempat duduk berarti belum rizkinya. Aku menggeser diri ke dekat pintu di mana ada kipas angin berputar-putar di atasnya. Namun kipas itu nyaris tak berguna. Udara panas yang diputar tetap saja panas. Metro melaju kencang. Udara yang masuk dari jendela juga panas. Padang pasir seperti mendidih. Semua penumpang basah oleh air peluh.
Seorang pemuda berjenggot tipis yang berdiri tak jauh dari tempat aku berdiri memandangi diriku dengan tersenyum. Aku membalas senyumnya. Ia mendekat dan mengulurkan tangannya.
“Ana akhukum, [21] Ashraf,” ia memperkenalkan diri dengan sangat sopan. Ia menggunakan kalimat ‘akhukum’ berarti ia sangat yakin aku seorang muslim seperti dirinya.
“Ana akhukum, Fahri,” jawabku.
“Min Shin?” [22]
Orang Mesir terlalu susah membedakan orang Asia Tenggara dengan orang China.
“La. Ana Andonesy.” [23]
Kami pun lantas berbincang-bincang. Mula-mula aku memancingnya dengan masalah bola. Orang Mesir paling suka berbicara masalah bola. Terutama membicarakan persaingan tiga klub besar Mesir yaitu Ahli, Zamalek dan Ismaili. Ia ternyata pendukung Zamalek. Dengan bangga ia berkata, “Syaikh Muhammad Jibril juga pendukung setia Zamalek.” Aku hanya tersenyum. Aku tidak perlu mempertanyakan lebih lanjut kebenaran kata-katanya. Tidak penting. Pendukung fanatik sebuah klub akan mencari banyak data untuk mendukung klub kesayangannya. Maka aku langsung menyambungnya dengan memuji kehebatan beberapa pemain andalan Zamalek. Terutama Hosam Hasan. Ia tampak senang. Tujuanku memang membuat dia merasa senang. Tak lebih. Aku merasa tak rugi membaca buku-buku Syaikh Abbas As-Sisi tentang bagaimana caranya mengambil hati orang lain. Pembicaraan terus melebar ke mana-mana. Ia sangat senang ketika tahu bahwa aku mahasiswa pascasarjana Al Azhar. Lebih kaget ketika ia tahu aku hendak ke Shubra untuk talaqqi pada Syaikh Utsman.
Ia berkata,
“Di Helwan saya belajar qiraah riwayat Imam Hafsh pada Syaikh Hasan yang tak lain adalah murid Syaikh Utsman. Berkali-kali Syaikh Hasan memintaku untuk ikut belajar qiraah sab’ah langsung pada Syaikh Utsman, tapi aku tak ada waktu. Aku sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga. Jadi, kau termasuk orang yang beruntung, orang Indonesia.”
Metro terus berjalan. Tak terasa sudah sampai daerah Thakanat Maadi.
“Akh Ashraf, kamu mau turun di mana?” tanyaku ketika metro perlahan berhenti dan beberapa orang bersiap turun.
“Sayyeda Zaenab. Insya Allah.”
Pintu metro terbuka. Beberapa orang turun. Dua kursi kosong. Kalau mau, aku bisa mengajak Ashraf mendudukinya. Namun ada seorang bapak setengah baya masih berdiri. Dia memandang ke luar jendela, tidak melihat ada dua bangku kosong. Kupersilakan dia duduk. Dia mengucapkan terima kasih. Kursi masih kosong satu. Sangat dekat denganku. Kupersilakan Ashraf duduk. Dia tidak mau, malah memaksaku duduk. Tiba-tiba mataku menangkap seorang perempuan berabaya biru tua, dengan jilbab dan cadar biru muda naik dari pintu yang satu, bukan dari pintu dekat yang ada di dekatku. Kuurungkan niat untuk duduk. Masih ada yang lebih berhak. Perempuan bercadar itu kupanggil dengan lambaian tangan. Ia paham maksudku. Ia mendekat dan duduk dengan mengucapkan, “Syukran!”
Metro atau kereta listrik terus melaju.
Ashraf kembali mengajakku berbincang. Kali ini tentang Amerika. Ia geram sekali pada Amerika. Seribu alasan ia beberkan. Kata-katanya menggebu seperti Presiden Gamal Abdul Naser berorasi memberi semangat dunia Arab dalam perang 1967.
“Ayatollah Khomeini benar, Amerika itu setan! Setan harus dienyahkan!” katanya berapi-api. Orang Mesir memang suka bicara. Kalau sudah bicara ia merasa paling benar sendiri. Aku diam saja. Kubiarkan Ashraf berbicara sepuas-puasnya. Hanya sesekali, pada saat yang tepat aku menyela. Sesekali aku menyapukan pandangan melihat keadaan sekeliling. Juga ke luar jendela agar tahu metro sudah melaju sampai di mana. Sekilas ujung mataku menangkap perempuan bercadar biru mengeluarkan mushaf dari tasnya, dan membacanya dengan tanpa suara. Atau mungkin dengan suara tapi sangat lirih sehingga aku tidak mendengarnya. Orang-orang membaca Al-Qur’an di metro, di bis, di stasiun dan di terminal adalah pemandangan yang tidak aneh di Cairo. Apalagi jika bulan puasa tiba.
Metro sampai di Maadi, kawasan elite di Cairo setelah Heliopolis, Dokki, El-Zamalek dan Mohandesen. Sebagian orang malah mengatakan Maadi adalah kawasan paling elite. Lebih elite dari Heliopolis. Tidak terlalu penting membandingkan satu sama lain. Nama-nama itu semuanya nama kawasan elite. Masing-masing punya kelebihan. Dokki terkenal sebagai tempatnya para diplomat tinggal. Mohandesen tempatnya para pengusaha dan selebritis. Sedangkan Maadi mungkin adalah kawasan yang paling teratur tata kotanya. Dirancang oleh kolonial Inggris. Jalan-jalannya lebar. Setiap rumah ada tamannya. Dan dekat sungai Nil. Tinggal di Maadi memiliki prestise sangat tinggi. Prestise-nya seumpama tinggal di Paris dibandingkan dengan tinggal di kota-kota besar lainnya di Eropa. Itu keterangan yang aku dapat dari Tuan Boutros, ayahnya Maria yang bekerja di sebuah bank swasta di Maadi. Masalah prestise memang sangat subjektif. Orang yang tinggal di kawasan agak kumuh Sayyeda Zaenab merasa lebih prestise dibandingkan dengan tinggal di kawasan lain di Cairo. Alasan mereka karena dekat dengan makam Sayyeda Zaenab, cucu Baginda Nabi Saw. Demikian juga yang tinggal di dekat masjid Amru bin Ash. Mereka merasa lebih beruntung dan selalu bangga bisa tinggal di dekat masjid pertama yang didirikan di benua Afrika itu.
Begitu pintu metro terbuka, beberapa penumpang turun. Lalu beberapa orang naik-masuk. Mataku menangkap ada tiga orang bule masuk. Yang seorang nenek-nenek. Ia memakai kaos dan celana pendek sampai lutut. Wajahnya tampak pucat. Mungkin karena kepanasan. Ia diiringi seorang pemuda dan seorang perempuan muda. Mungkin anaknya atau cucunya. Keduanya memakai ransel. Pemuda bule itu memakai topi berbendera Amerika dan berkaca mata hitam. Ia juga hanya berkaos sport putih dan celana pendek sampai lutut. Yang perempuan memakai kaos ketat tanpa lengan, you can see. Dan bercelana pendek ketat. Semua bagian tubuhnya menonjol. Lekak-lekuknya jelas. Bagian pusarnya kelihatan. Ia seperti tidak berpakaian. Mereka berdua mengitarkan pandangan. Mencari tempat duduk. Sayang, tak ada yang kosong. Beberapa orang justru berdiri termasuk diriku.
Aku tersenyum pada Ashraf sambil berkata,
“Ashraf kau mau titip pesan pada Presiden Amerika nggak?”
“Apa maksudmu?”
“Itu, mumpung ada orang Amerika. Minggu depan mereka mungkin sudah kembali ke Amerika. Kau bisa titip pesan pada mereka agar presiden mereka tidak bertindak bodoh seperti yang kau katakan tadi.”
Ashraf menoleh ke kanan dan memandang tiga bule itu dengan raut tidak senang. Tiba-tiba ia berteriak,
“Ya Amrikaniyyun, la’natullah ‘alaikum!” [24]
Kontan para penumpang yang mendengar perkataan Ashraf itu melongok ke arah tiga bule yang baru masuk itu. Gerakan persis anak-anak ayam yang kaget atas kedatangan musang di kandangnya. Kusisir wajah orang-orang Mesir. Raut-raut kurang simpati dan tidak senang. Apalagi pakaian perempuan muda Amerika itu bisa dikatakan tidak sopan. Orang-orang Mesir memang menganggap Amerika sebagai biang kerusakan di Timur Tengah. Orang-orang Mesir sangat marah pada Amerika yang mencoba mengadu domba umat Islam dengan umat Kristen Koptik. Amerika pernah menuduh pemerintah Mesir dan kaum muslimin berlaku semena-mena pada umat Koptik. Tentu saja tuduhan itu membuat gerah seluruh penduduk Mesir. Bapa Shnouda, pemimpin tertinggi dan kharismatik umat Kristen Koptik serta merta memberikan keterangan pers bahwa tuduhan Amerika dusta belaka. Sebuah tuduhan yang bertujuan hendak menghancurkan sendi-sendi persaudaraan umat Islam dan umat Koptik yang telah kuat mengakar berabad-abad lamanya di bumi Kinanah. [25]
Untung ketiga orang Amerika itu tidak bisa bahasa Arab. Mereka kelihatannya tidak terpengaruh sama sekali dengan kata-kata yang diucapkan Ashraf. Memang, kalau sedang jengkel orang Mesir bisa mengatakan apa saja. Di pasar Sayyeda Zainab aku pernah melihat seorang penjual ikan marah-marah pada isterinya. Entah karena apa. Ia menghujani isterinya dengan sumpah serapah yang sangat kasar dan tidak nyaman di dengar telinga. Di antara kata-kata kasar yang kudengar adalah: Ya bintal haram, ya syarmuthah, ya bintal khinzir...! [26] Bulu romaku sampai berdiri. Ngeri mendengarnya. Sang isteri juga tak mau kalah. Ia membalas dengan caci maki dan serapah yang tak kalah keras dan kotornya. Dan sumpah serapah yang mengandung laknat adalah termasuk paling kasar.
Telingaku paling tidak suka mendengar caci mencaci, apalagi umpatan melaknat. Tak ada yang berhak melaknat manusia kecuali Tuhan. Manusia jelas-jelas telah dimuliakan oleh Tuhan. Tanpa membedakan siapa pun dia. Semua manusia telah dimuliakan Tuhan sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an, Wa laqad karramna banii Adam. Dan telah Kami muliakan anak keturunan Adam! Jika Tuhan telah memuliakan manusia, kenapa masih ada manusia yang mencaci dan melaknat sesama manusia? Apakah ia merasa lebih tinggi martabatnya daripada Tuhan?
Tindakan Ashraf melaknat tiga turis Amerika itu sangat aku sesalkan. Tindakannya jauh dari etika Al-Qur’an, padahal dia tiap hari membaca Al-Qur’an. Ia telah menamatkan qiraah riwayat Imam Hafsh. Namun ia berhenti pada cara membacanya saja, tidak sampai pada penghayatan ruh kandungannya. Semoga Allah memberikan petunjuk di hatinya.
Yang aku herankan, dalam kondisi panas seperti ini, kenapa bule-bule itu ada di dalam metro. Seandainya mau bepergian kenapa tidak memakai limousin atau taksi yang ber-AC. Dalam hati aku merasa kasihan pada mereka. Mereka seperti tersiksa. Basah oleh keringat. Wajah dan kulit mereka kemerahan. Yang paling kasihan adalah yang nenek-nenek. Beberapa kali ia menenggak air mineral. Mukanya tetap saja pucat. Mereka tidak biasa kepanasan seperti ini. Aku jadi teringat Majidov, teman dari Rusia. Ia sangat tidak tahan dengan panasnya Mesir. Ia tinggal di Madinatul Bu’uts, atau biasa disebut Bu’uts saja. Yaitu asrama mahasiswa Al Azhar dari seluruh penjuru dunia. Di Bu’uts tidak ada AC-nya. Jika musim panas tiba dia akan hengkang dari Bu’uts dan menyewa flat bersama beberapa temannya di kawasan Rab’ah El-Adawea. Mencari yang ada AC-nya. Tapi tidak semua mahasiswa dari Rusia seperti Majidov. Banyak juga yang tahan dengan musim panas.
Tak ada yang bergerak mempersilakan nenek bule itu untuk duduk. Ini yang aku sesalkan. Beberapa lelaki muda atau setengah baya yang masih kuat tetap saja tidak mau berdiri dari tempat duduk mereka. Biasanya, begitu melihat orang tua, apalagi nenek-nenek, beberapa orang langsung berdiri menyilakan duduk. Tapi kali ini tidak. Lelaki bule itu mengajak bicara seorang pemuda Mesir berbaju kotak-kotak lengan pendek yang duduk di dekatnya. Sekilas di antara deru metro kutangkap maksud perkataan si bule. Ia minta kepada pemuda Mesir itu memberi kesempatan pada ibunya yang sudah tua untuk duduk. Mereka bertiga akan turun di Tahrir. Tapi pemuda Mesir itu sama sekali tidak menanggapinya. Entah kenapa. Apa karena dia tidak paham bahasa Inggris, atau karena ketidaksukaannya pada orang Amerika? Aku tidak tahu.
Nenek bule itu kelihatannya tidak kuat lagi berdiri. Ia hendak duduk menggelosor di lantai. Belum sampai nenek bule itu benar-benar menggelosor, tiba-tiba perempuan bercadar yang tadi kupersilakan duduk itu berteriak mencegah,
“Mom, wait! Please, sit down here!”
Perempuan bercadar biru muda itu bangkit dari duduknya. Sang nenek dituntun dua anaknya beranjak ke tempat duduk. Setelah si nenek duduk, perempuan bule muda berdiri di samping perempuan bercadar. Aku melihat pemandangan yang sangat kontras. Sama-sama perempuan. Yang satu auratnya tertutup rapat. Tak ada bagian dari tubuhnnya yang membuat jantung lelaki berdesir. Yang satunya memakai pakaian sangat ketat, semua lekak-lekuk tubuhnya kelihatan, ditambah basah keringatnya bule itu nyaris seperti telanjang.
“Thank you. It’s very kind of you!” Perempuan bule muda mengungkapkan rasa terima kasih pada perempuan bercadar.
“You’re welcome,” lirih perempuan bercadar. Bahasa Inggrisnya bagus. Sama sekali tak kuduga. Keduanya lalu berkenalan dan berbincang-bincang. Perempuan bercadar minta maaf atas perlakuan saudara seiman yang mungkin kurang ramah. Ternyata lebih dari yang kunilai. Perempuan bercadar itu benar-benar berbicara sefasih orang Inggris. Biasanya orang Mesir sangat susah berbahasa Inggris dengan fasih. Kata ‘friend’ selalu mereka ucapan ‘bren’. Huruf ‘f’ jadi ‘b’. Aku sering geli mendengarnya. Tapi perempuan bercadar ini sungguh fasih. Lebih fasih dari pembaca berita Nile TV. Perempuan bule tersenyum dan berkata,
“Oh not at all. It’s all right. Cuaca memang panas dan melelahkan. Semuanya lelah. Dalam keadaan lelah terkadang susah untuk mengalah. Dan itu sangat manusiawi.”
“Busyit! Hei perempuan bercadar, apa yang kau lakukan!”
Pemuda berbaju kotak-kotak bangkit dengan muka merah. Ia berdiri tepat di samping perempuan bercadar dan membentaknya dengan kasar. Rupanya ia mendengar dan mengerti percakapan mereka berdua.
Perempuan bercadar kaget. Namun aku tidak bisa menangkap raut kagetnya sebab mukanya tertutup cadar. Yang bisa kutangkap adalah gerakan kepalanya yang terperangah, kedua matanya yang sedikit menciut, kulit putih antara dua matanya sedikit mengkerut, alisnya seperti mau bertemu.
“Hal a..ana khata’?” [27] Ucap perempuan bercadar tergagap. Ia memakai bahasa fusha [28] , bukan bahasa ‘amiyah. [29] Maksudnya bisa dipahami, tapi susunannya janggal. Apakah mungkin karena dirinya terlalu kaget atas bentakan pemuda Mesir itu.
Mendengar jawaban seperti itu si pemuda malah semakin naik pitam. Ia kembali membentak dan memaki-maki secara kasar dengan bahasa ‘amiyah,
“Yakhrab baitik! [30] Kau telah menghina seluruh orang Mesir yang ada di metro ini. Kau sungguh keterlaluan! Kelihatannya saja bercadar, sok alim, tapi sebetulnya kau perempuan bangsat! Kau kira kami tidak tahu sopan-santun apa? Sengaja kami mengacuhkan orang Amerika itu untuk sedikit memberi pelajaran. Ee..bukannya kau mendukung kami. Kau malah mempersilakan setan-setan bule itu duduk. Dan seolah paling baik, kau sok jadi pahlawan dengan memintakan maaf atas nama kami semua. Kau ini siapa, heh?”
Pemuda itu sudah keterlaluan. Aku berharap ada yang bertindak. Ashraf dan seorang lelaki setengah baya berpakaian abu-abu mendekati pemuda dan perempuan bercadar. Aku sedikit lega.
“Kau memang sungguh kurang ajar perempuan! Kau membela bule-bule Amerika yang telah membuat bencana di mana-mana. Di Afganistan. Di Palestina. Di Irak dan di mana-mana. Mereka juga tiada henti-hentinya menggoyang negara kita. Kau ini muslimah macam apa, hah!?” Ashraf marah sambil menuding-nuding perempuan bercadar itu.
Aku kaget bukan main. Aku tak mengira Ashraf akan berkata sekasar itu. Kelegaanku berubah jadi kekecewaan mendalam.
“Meski kau bercadar dan membawa mushaf ke mana-mana, nilaimu tak lebih dari seorang syarmuthah!” [31] umpat lelaki berpakaian abu-abu.
Ini sudah keterlaluan. Menuduh seorang perempuan baik-baik sehina pelacur tidak bisa dibenarkan.
Aku membaca istighfar dan shalawat berkali-kali. Aku sangat kecewa pada mereka. Perempuan bercadar itu diam seribu bahasa. Matanya berkaca-kaca. Bentakan, cacian, tudingan dan umpatan yang ditujukan padanya memang sangat menyakitkan. Aku tak bisa diam. Kucopot topi yang menutupi kopiah putihku. Lalu aku mendekati mereka sambil mencopot kaca mata hitamku.
“Ya jama’ah, shalli ‘alan nabi, shalli ‘alan nabi!” [32] ucapku pada mereka sehalus mungkin. Cara menurunkan amarah orang Mesir adalah dengan mengajak membaca shalawat. Entah riwayatnya dulu bagaimana. Di mana-mana, di seluruh Mesir, jika ada orang bertengkar atau marah, cara melerai dan meredamnya pertama-tama adalah dengan mengajak membaca shalawat. Shalli ‘alan nabi, artinya bacalah shalawat ke atas nabi. Cara ini biasanya sangat manjur.
Benar, mendengar ucapanku spontan mereka membaca shalawat. Juga para penumpang metro lainnya yang mendengar. Orang Mesir tidak mau dikatakan orang bakhil. Dan tiada yang lebih bakhil dari orang yang mendengar nama nabi, atau diminta bershalawat tapi tidak mau mengucapkan shalawat. Begitu penjelasan Syaikh Ahmad waktu kutanyakan ihwal cara aneh orang Mesir dalam meredam amarah. Justru jika ada orang sedang marah lantas kita bilang padanya, La taghdhab! (yang artinya: jangan marah!) terkadang malah akan membuat ia semakin marah.
Lalu aku menjelaskan pada mereka bahwa yang dilakukan perempuan bercadar itu benar. Bukanya menghina orang Mesir, justru sebaliknya. Dan umpatan-umpatan yang ditujukan padanya itu sangat tidak sopan dan tidak bisa dibenarkan. Aku beberkan alasan-alasan kemanusiaan. Mereka bukannya sadar, tapi malah kembali naik pitam. Si pemuda marah dan mencela diriku dengan sengit. Juga si bapak berpakaian abu-abu. Sementara Ashraf bilang, “Orang Indonesia, sudahlah, kau jangan ikut campur urusan kami!”
Aku kembali mengajak mereka membaca shalawat. Aku nyaris kehabisan akal. Akhirnya kusitir beberapa hadits nabi untuk menyadarkan mereka. Tapi orang Mesir seringkali muncul besar kepalanya dan merasa paling menang sendiri.
Pemuda Mesir malah menukas sengak, “Orang Indonesia, kau tahu apa sok mengajari kami tentang Islam, heh! Belajar bahasa Arab saja baru kemarin sore. Juz Amma entah hafal entah tidak. Sok pintar kamu! Sudah kau diam saja, belajar baik-baik selama di sini dan jangan ikut campur urusan kami!”
Aku diam sesaat sambil berpikir bagaimana caranya menghadapi anak turun Fir’aun yang sombong dan keras kepala ini. Aku melirik Ashraf. Mata kami bertatapan. Aku berharap dia berlaku adil. Dia telah berkenalan denganku tadi. Kami pernah akrab meskipun cuma sesaat. Kupandangi dia dengan bahasa mata mencela. Ashraf menundukkan kepalanya, lalu berkata,
“Kapten, kau tidak boleh berkata seperti itu. Orang Indonesia ini sudah menyelesaikan licence-nya di Al Azhar. Sekarang dia sedang menempuh program magisternya. Walau bagaimana pun, dia seorang Azhari. Kau tidak boleh mengecilkan dia. Dia hafal Al-Qur’an. Dia murid Syaikh Utsman Abdul Fattah yang terkenal itu.”
Pembelaan Ashraf ini sangat berarti bagiku. Pemuda berbaju kotak-kotak itu melirik kepadaku lalu menunduk. Mungkin dia malu telah berlaku tidak sopan kepadaku. Tetapi lelaki berpakaian abu-abu kelihatannya tidak mau menerima begitu saja.
“Dari mana kau tahu? Apa kau teman satu kuliahnya?” tanyanya.
Ashraf tergagap, “Tidak. Aku tidak teman kuliahnya. Aku tahu saat berkenalan dengannya tadi.”
“Kau terlalu mudah percaya. Bisa saja dia berbohong. Program magister di Al Azhar tidak mudah. Jadi murid Syaikh Utsman juga tidak mudah.” Lelaki itu mencela Ashraf. Dia lalu berpaling ke arahku dan berkata, “Hei orang Indonesia, kalau benar kau S.2. di Al Azhar mana kartumu!?”
Lelaki itu membentak seperti polisi intel. Berurusan dengan orang awam Mesir yang keras kepala memang harus sabar. Tapi jika mereka sudah tersentuh hatinya, mereka akan bersikap ramah dan luar biasa bersahabat. Itulah salah satu keistimewaan watak orang Mesir. Terpaksa kubuka tas cangklongku. Kuserahkan dua kartu sekaligus. Kartu S.2. Al Azhar dan kartu keanggotaan talaqqi qiraah sab’ah dari Syaikh Utsman. Tidak hanya itu, aku juga menyerahkan selembar tashdiq [33] resmi dari universitas. Tasdiq yang akan kugunakan untuk memperpanjang visa Sabtu depan.
Lelaki setengah baya lalu meneliti dua kartu dan tashdiq yang masih gres itu dengan seksama. Ia manggut-manggut, kemudian menyerahkannya pada pemuda berbaju kotak-kotak yang keras kepala yang ada di sampingnya.
“Kebetulan saat ini saya sedang menuju masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk talaqqi. Kalau ada yang mau ikut menjumpai Syaikh Utsman boleh menyertai saya.” Ujarku tenang penuh kemenangan.
Kulihat wajah mereka tidak sepitam tadi. Sudah lebih mencair. Bahkan ada gurat rasa malu pada wajah mereka. Jika kebenaran ada di depan mata, orang Mesir mudah luluh hatinya.
“Maafkan kelancangan kami, Orang Indonesia. Tapi perempuan bercadar ini tidak pantas dibela. Ia telah melakukan tindakan bodoh!” kata pemuda Mesir berbaju kotak-kotak sambil menyerahkan kembali dua kartu dan tashdiq kepadaku.
Aku menghela nafas panjang. Metro melaju kencang menembus udara panas. Sesekali debu masuk berhamburan.
“Terus terang, aku sangat kecewa pada kalian! Ternyata sifat kalian tidak seperti yang digambarkan baginda Nabi. Beliau pernah bersabda bahwa orang-orang Mesir sangat halus dan ramah, maka beliau memerintahkan kepada shahabatnya, jika kelak membuka bumi Mesir hendaknya bersikap halus dan ramah. Tapi ternyata kalian sangat kasar. Aku yakin kalian bukan asli orang Mesir. Mungkin kalian sejatinya sebangsa Bani Israel. Orang Mesir asli itu seperti Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi yang ramah dan pemurah,” ucapku datar. Aku yakin akan membuat hati orang Mesir yang mendengarnya bagaikan tersengat aliran listrik.
“Maafkan kami, Orang Indonesia. Kami memang emosi tadi. Tapi jangan kau katakan kami bukan orang Mesir. Jangan pula kau katakan kami ini sebangsa Bani Israel. Kami asli Mesir. Kami satu moyang dengan Syaikh Sya’rawi rahimahullah,” lelaki setengah baya itu tidak terima. Syaikh Sya’rawi memang seorang ulama yang sangat merakyat. Sangat dicintai orang Mesir. Hampir semua orang Mesir mengenal dan mencintai beliau. Mereka sangat bangga memiliki seorang Sya’rawi yang dihormati di seantero penjuru Arab.
“Yang aku tahu, selama ini, orang Mesir asli sangat memuliakan tamu. Orang Mesir asli sangat ramah, pemurah, dan hatinya lembut penuh kasih sayang. Sifat mereka seperti sifat Nabi Yusuf dan Nabi Ya’qub. Syaikh Sya’rawi, Syaikh Abdul Halim Mahmud, Syaikh Muhammad Ghazali, Syaikh Muhammad Hasan, Syaikh Kisyk, Syaikh Muhammad Jibril, Syaikh Athea Shaqr, Syaikh Ismail Diftar, Syaikh Utsman dan ulama lainnya adalah contoh nyata orang Mesir asli yang berhati lembut, sangat memuliakan tamu dan sangat memanusiakan manusia. Tapi apa yang baru saja kalian lakukan?! Kalian sama sekali tidak memanusiakan manusia dan tidak punya rasa hormat sedikit pun pada tamu kalian. Orang bule yang sudah nenek-nenek itu adalah tamu kalian. Mereka bertiga tamu kalian. Tetapi kenapa kalian malah melaknatnya. Dan ketika saudari kita yang bercadar ini berlaku sebagai seorang muslimah sejati dan sebagai seorang Mesir yang ramah, kenapa malah kalian cela habis-habisan!? Kalian bahkan menyumpahinya dengan perkataan kasar yang sangat menusuk perasaan dan tidak layak diucapkan oleh mulut orang yang beriman! ”
“Tapi Amerika sudah keterlaluan! Apa salah jika kami sedikit saja mengungkapkan kejengkelan kami dengan memberi pelajaran sedikit saja pada orang-orang Amerika itu?!” Lelaki setengah baya masih berusaha membenarkan tindakannya. Aku tidak merasa aneh. Begitulah orang Mesir, selalu merasa benar. Dan nanti akan luluh jika berhadapan dengan kebenaran yang seterang matahari.
“Kita semua tidak menyukai tindak kezhaliman yang dilakukan siapa saja. Termasuk yang dilakukan Amerika. Tapi tindakan kalian seperti itu tidak benar dan jauh dari tuntunan ajaran baginda Nabi yang indah.”
“Lalu kami harus berbuat apa dan bagaimana? Ini mumpung ada orang Amerika. Mumpung ada kesempatan. Dengan sedikit pelajaran mereka akan tahu bahwa kami tidak menyukai kezhaliman mereka. Biar nanti kalau pulang ke negaranya mereka bercerita pada tetangganya bagaimana tidak sukanya kami pada mereka!”
“Justru tindakan kalian yang tidak dewasa seperti anak-anak ini akan menguatkan opini media massa Amerika yang selama ini beranggapan orang Islam kasar dan tidak punya perikemanusiaan. Padahal baginda Rasul mengajarkan kita menghormati tamu. Apakah kalian lupa, beliau bersabda, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hormatilah tamunya. Mereka bertiga adalah tamu di bumi Kinanah ini. Harus dihormati sebaik-baiknya. Itu jika kalian merasa beriman kepada Allah dan hari akhir. Jika tidak, ya terserah! Lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan. Tapi jangan sekali-kali kalian menamakan diri kalian bagian dari umat Islam. Sebab tindakan kalian yang tidak menghormati tamu itu jauh dari ajaran Islam.”
Lelaki setengah baya itu diam. Pemuda berbaju kotak-kotak menunduk. Ashraf membisu. Para penumpang yang lain, termasuk perempuan bercadar juga diam. Metro terus berjalan dengan suara bergemuruh, sesekali mencericit.
“Coba kalian jawab pertanyaanku ini. Kenapa kalian berani menyakiti Rasulullah?!” tanyaku sambil memandang ketiga orang Mesir bergantian. Mereka agak terkejut mendengar pertanyaanku itu.
“Akhi, mana mungkin kami berani menyakiti Rasulullah yang kami cintai,” jawab Ashraf.
“Kenapa kalian kelak di hari akhir berani berseteru di hadapan Allah melawan Rasulullah?” tanyaku lagi.
“Akhi, kau melontarkan pertanyaan gila. Kita semua di hari akhir kelak mengharap syafaat Rasulullah, bagaimana mungkin kami berani berseteru dengan beliau di hadapan Allah!” jawab Ashraf.
“Tapi kalian telah melakukan tindakan sangat lancang. Kalian telah menyakiti Rasulullah. Kalian telah menantang Rasulullah untuk berseteru di hadapan Allah kelak di hari akhir!” ucapku tegas sedikit keras.
Lelaki setengah baya, Ashraf, pemuda berbaju kotak-kotak dan beberapa penumpang metro yang mendengar ucapanku semuanya tersentak kaget.
“Apa maksudmu, Andonesy? Kau jangan bicara sembarangan!” jawab lelaki setengah baya sedikit emosi.
“Paman, aku tidak berkata sembarangan. Aku akan sangat malu pada diriku sendiri jika berkata dan bertindak sembarangan. Baiklah, biar aku jelaskan. Dan setelah aku jelaskan kalian boleh menilai apakah aku berkata sembarangan atau bukan. Harus kalian mengerti, bahwa ketiga orang bule ini selain tamu kalian mereka sama dengan ahlu dzimmah. Tentu kalian tahu apa itu ahlu dzimmah. Disebut ahlu dzimmah karena mereka berada dalam jaminan Allah, dalam jaminan Rasul-Nya, dan dalam jaminan jamaah kaum muslimin. Ahlu dzimmah adalah semua orang non muslim yang berada di dalam negara tempat kaum muslimin secara baik-baik, tidak ilegal, dengan membayar jizyah dan mentaati peraturan yang ada dalam negara itu. Hak mereka sama dengan hak kaum muslimin. Darah dan kehormatan mereka sama dengan darah dan kehormatan kaum muslimin. Mereka harus dijaga dan dilindungi. Tidak boleh disakiti sedikit pun. Dan kalian pasti tahu, tiga turis Amerika ini masuk ke Mesir secara resmi. Mereka membayar visa. Kalau tidak percaya coba saja lihat paspornya. Maka mereka hukumnya sama dengan ahlu dzimmah. Darah dan kehormatan mereka harus kita lindungi. Itu yang diajarkan Rasulullah Saw. Tidakkah kalian dengar sabda beliau, ‘Barangsiapa menyakiti orang zhimmi (ahlu zhimmah) maka aku akan menjadi seterunya. Dan siapa yang aku menjadi seterunya dia pasti kalah di hari kiamat.’ [34] Beliau juga memperingatkan, ‘Barangsiapa yang menyakiti orang dzimmi, dia telah menyakiti diriku dan barangsiapa menyakiti diriku berarti dia menyakiti Allah.’ [35] Begitulah Islam mengajarkan bagaimana memperlakukan non muslim dan para tamu asing yang masuk secara resmi dan baik-baik di negara kaum muslimin. Imam Ali bahkan berkata, ‘Begitu membayar jizyah, harta mereka menjadi sama harus dijaganya dengan harta kita, darah mereka sama nilainya dengan darah kita.’ Dan para turis itu telah membayar visa dan ongkos administrasi lainnya, sama dengan membayar jizyah. Mereka menjadi tamu resmi, tidak ilegal, maka harta, kehormatan dan darah mereka wajib kita jaga bersama-sama. Jika tidak, jika kita sampai menyakiti mereka, maka berarti kita telah menyakiti baginda Nabi, kita juga telah menyakiti Allah. Kalau kita telah lancang berani menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maka siapakah diri kita ini? Masih pantaskan kita mengaku mengikuti ajaran baginda Nabi?”
Lelaki setengah baya itu tampak berkaca-kaca. Ia beristighfar berkali-kali. Lalu mendekati diriku. Memegang kepalaku dengan kedua tangannya dan mengecup kepalaku sambil berkata, “Allah yaftah ‘alaik, ya bunayya! Allah yaftah ‘alaik! Jazakallah khaira!” [36] Ia telah tersentuh. Hatinya telah lembut.
Setelah itu giliran Ashraf merangkulku.
“Senang sekali aku bertemu dengan orang sepertimu, Fahri!” katanya.
Aku tersenyum, ia pun tersenyum. Pemuda berbaju kotak-kotak lalu mempersilakan pria bule yang berdiri di dekat neneknya untuk duduk di tempat duduknya. Dua pemuda Mesir yang duduk di depan nenek bule berdiri dan mempersilakan pada perempuan bercadar dan perempuan bule untuk duduk.
Begitulah.
Salah satu keindahan hidup di Mesir adalah penduduknya yang lembut hatinya. Jika sudah tersentuh mereka akan memperlakukan kita seumpama raja. Mereka terkadang keras kepala, tapi jika sudah jinak dan luluh mereka bisa melakukan kebaikan seperti malaikat. Mereka kalau marah meledak-ledak tapi kalau sudah reda benar-benar reda dan hilang tanpa bekas. Tak ada dendam di belakang yang diingat sampai tujuh keturunan seperti orang Jawa. Mereka mudah menerima kebenaran dari siapa saja.
Metro terus melaju. Tak terasa sudah sampai mahattah Mar Girgis. Ashraf mendekatkan diri ke pintu. Ia bersiap-siap. Mahattah depan adalah El-Malik El-Saleh, setelah itu Sayyeda Zeinab dan ia akan turun di sana. Aku menghitung masih ada tujuh mahattah baru sampai di Ramsis. Setelah itu aku akan pindah metro jurusan Shubra El-Khaima. Perjalanan masih jauh. Metro kembali berjalan. Pelan-pelan lalu semakin kencang. Tak lama kemudian sampai di El-Malik El-Saleh. Metro berhenti. Pintu dibuka. Beberapa orang turun. Lelaki setengah baya hendak turun. Sebelum turun ia menyalami diriku dan mengucapkan terima kasih sambil mulutnya tiada henti mendoakan diriku. Aku mengucapkan amin berkali-kali. Topi dan kaca mata hitamku kembali aku pakai. Tak jauh dariku, perempuan bercadar nampak asyik berbincang dengan perempuan bule. Sedikit-sedikit telingaku menangkap isi perbincangan mereka. Rupanya perempuan bercadar sedang menjelaskan semua yang tadi terjadi. Kejengkelan orang-orang Mesir pada Amerika. Kekeliruan mereka serta pembetulan-pembetulan yang aku lakukan. Perempuan bercadar juga menjelaskan maksud dari hadits-hadits nabi yang tadi aku ucapkan dengan bahasa Inggris yang fasih. Perempuan bule itu mengangguk-anggukkan kepala. Sampai di Sayyeda Zeinab, Ashraf turun setelah terlebih dahulu melambaikan tangan padaku. Seorang ibu yang duduk di samping nenek bule turun. Kursinya kosong. Aku bisa duduk di sana kalau mau. Tapi kulihat seorang gadis kecil membawa tas belanja masuk. Langsung kupersilakan dia duduk.
Metro kembali melaju. Perempuan bercadar dan perempuan bule masih berbincang-bincang dengan akrabnya. Tapi kali ini aku tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka perbincangkan. Angin panas masuk melalui jendela. Aku memandang ke luar. Rumah-rumah penduduk tampak kotak-kotak tak teratur seperti kardus bertumpukan tak teratur. Metro masuk ke lorong bawah tanah. Suasana gelap sesaat. Lalu lampu-lampu metro menyala. Tak lama kemudian metro sampai mahattah Saad Zaghloul dan berhenti. Beberapa orang turun dan naik. Tiga bule itu bersiap hendak turun, juga perempuan bercadar. Berarti mereka mau turun di Tahrir. Perempuan bercadar masih bercakap dengan perempuan bule. Keduanya sangat dekat denganku. Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Tentang asal mereka masing. Perempuan bercadar itu ternyata lahir di Jerman, dan besar juga di Jerman. Namun ia berdarah Jerman, Turki dan Palestina. Sedangkan perempuan bule lahir dan besar di Amerika. Ia berdarah Inggris dan Spanyol. Keduanya bertukar kartu nama.
Perempuan bule tepat berada di depanku. Wajahnya masih menghadap perempuan bercadar. Metro bercericit mengerem. Gerbong sedikit goyang. Tubuh perempuan bule bergoyang. Saat itulah dia melihat diriku. Ia tersenyum sambil mengulurkan tangannya kepadaku dan berkata,
“Hai Indonesian, thank’s for everything. My name’s Alicia.”
“Oh, you’re welcome. My name is Fahri,” jawabku sambil menangkupkan kedua tanganku di depan dada, aku tidak mungkin menjabat tangannya.
“Ini bukan berarti saya tidak menghormati Anda. Dalam ajaran Islam, seorang lelaki tidak boleh bersalaman dan bersentuhan dengan perempuan selain isteri dan mahramnya.” Aku menjelaskan agar dia tidak salah faham.
Alicia tersenyum dan berseloroh, “Oh, never mind. And this is my name card, for you.” Ia memberikan kartu namanya.
“Thank’s,” ujarku sambil menerima kartu namanya.
“It’s a pleasure.”
Metro berhenti.
Alicia, neneknya dan saudaranya mendekati pintu hendak keluar. Perempuan bercadar masih berdiri di tempatnya. Ia melihat ke arah orang-orang yang hendak turun. Perlahan pintu dibuka. Ketika orang-orang mulai turun, perempuan bercadar itu bergerak melangkah, ia menyempatkan untuk menyapaku,
“Indonesian, thank you.”
Aku teringat dia orang Jerman. Aku iseng menjawab dengan bahasa Jerman,
“Bitte!”
Agaknya perempuan bercadar itu kaget mendengar jawabanku dengan bahasa Jerman. Ia urung melangkah ke pintu. Ia malah menatap diriku dengan sorat mata penuh tanda tanya.
“Sprechen Sie Deutsch?” [37] tanyanya dengan bahasa Jerman. Ia mungkin ingin langsung meyakinkan dirinya bahwa apa yang tadi ia dengarkan dariku benar-benar bahasa Jerman. Bahwa aku bisa berbahasa Jerman. Bahwa ia tidak salah dengar.
“Ja, ein wenig. [38] Alhamdulillah!” jawabku tenang. Kalau sekadar bercakap dengan bahasa Jerman insya Allah tidak terlalu susah. Kalau aku disuruh membuat tesis dengan bahasa Jerman baru menyerah.
“Sind Sie Herr Fahri?” [39]
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Ia bertanya seperti itu. Berarti ia benar-benar mendengarkan dengan baik pendebatanku dengan tiga orang Mesir tadi sehingga tahu namaku. Atau dia mendengarkan aku berkenalan dengan Alicia.
“Ja. Mein name ist Fahri.” [40] Jawabku.
“Mein name ist Aisha,” sahutnya sambil menyerahkan kartu nama. Ia lalu menyodorkan buku notes kecil dan pulpen.
“Bitte, schreiben Sie ihren namen!” [41] katanya.
Kuterima buku notes kecil dan pulpen itu. Aku paham maksud Aisha, tentu tidak sekadar nama tapi dilengkapi dengan alamat atau nomor telpon. Masinis metro membunyikan tanda alarm bahwa sebentar lagi pintu metro akan ditutup dan metro akan meneruskan perjalanan. Aku hanya menuliskan nama dan nomor handphone-ku. Lalu kuserahkan kembali padanya. Aisha langsung bergegas turun sambil berkata,
“Danke, auf wiedersehn!” [42]
“Auf wiedersehn!” jawabku.
Metro kembali berjalan. Ada tempat kosong. Saatnya aku duduk. Sudah separuh perjalanan lebih. Sudah setengah dua lebih lima menit. Waktu masih cukup. Insya Allah sampai di hadapan Syaikh Utsman tepat pada waktunya. Kalaupun terlambat hanya beberapa menit saja. Masih dalam batas yang bisa dimaafkan. Dengan duduk aku merasa lebih tenang. Ini saatnya aku mengulang dan memperbaiki hafalan Al-Qur’an yang akan aku setorkan pada Syaikh Utsman.


3. Keributan Tengah Malam

Aku sampai di flat jam lima lebih seperempat. Siang yang melelahkan. Ubun-ubun kepalaku rasanya mendidih. Cuaca benar-benar panas. Yang berangkat talaqqi pada Syaikh Utsman hanya tiga orang. Aku, Mahmoud dan Hisyam. Syaikh Utsman jangan ditanya. Disiplin beliau luar biasa. Meskipun cuma tiga yang hadir, waktu talaqqi tetap seperti biasa. Jadi, kami bertiga membaca tiga kali lipat dari biasanya. Jatah membaca Al-Qur’an sepuluh orang kami bagi bertiga. Untungnya masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq ber-AC. Jika tidak, aku tak tahu seperti apa menderitanya kami. Mungkin konsentrasi kami akan berantakan, dan kami tidak bisa membaca seperti yang diharapkan.
Seperti mengerti keinginan kami, begitu selesai talaqqi, Amu Farhat, takmir masjid yang baik hati itu membawakan empat gelas tamar hindi [43] dingin. Bukan main segarnya ketika minuman segar itu menyentuh lidah dan tenggorokan. Selesai minum aku pulang. Mahmoud, Hisyam, Amu Farhat dan Syaikh Utsman meneruskan perbincangan menunggu ashar.
Perjalanan pulang ternyata lebih panas dari berangkat. Antara pukul setengah empat hingga pukul lima adalah puncak panas siang itu. Berada di dalam metro rasanya seperti berada dalam oven. Kondisi itu nyaris membuatku lupa akan titipan Maria. Aku teringat ketika keluar dari mahattah Hadayek Helwan. Ada dua toko alat tulis. Kucari di sana. Dua-duanya kosong.. Aku melangkah ke Pyramid Com. Sebuah rental komputer yang biasanya juga menjual disket. Malang! Rental itu tutup. Terpaksa aku kembali ke mahattah dan naik metro ke Helwan. Di kota Helwan ada pasar dan toko-toko cukup besar. Di sana kudapatkan juga disket itu. Aku beli empat. Dua untuk Maria. Dan dua untuk diriku sendiri. Kusempatkan mampir ke masjid yang berada tepat di sebelah barat mahattah Helwan untuk shalat ashar.
Terik matahari masih menyengat ketika aku keluar masjid untuk pulang. Di tengah perjalanan aku melewati Universitas Helwan yang lengang. Hanya seorang polisi berpakaian lusuh yang menjaga gerbangnya. Tampangnya mengenaskan. Masih muda, tapi kurus kering. Seperti pohon pisang kering. Atau seperti dendeng di Saudi kala musim haji. Mukanya tampak kering. Panas sahara seperti menghisap habis darahnya. Ia pasti prajurit wajib militer yang biasa disebut duf’ah. Polisi paling menderita karena bertugas dengan sangat terpaksa. Tanpa gaji memadai. Hanya beberapa pound saja. Wajar jika tampangnya mengenaskan. Bisa jadi ia masih berstatus mahasiswa. Karena memang seluruh laki-laki Mesir terkena wajib militer. Seorang kumsari [44] mendekat. Ia gemuk, kepalanya bulat penuh keringat. Perutnya buncit seperti balon mau meletus. Beda sekali dengan polisi penjaga gerbang universitas itu. Dunia ini memang penuh perbedaan-perbedaan dan hal-hal kontras yang terkadang tidak mudah dimengerti. Metro terus melaju.
Sampai di flat, tenagaku nyaris habis. Kulepas sepatu dan kaos kaki lalu masuk kamar. Sampai di kamar langsung kunyalakan kipas angin, kulepas tas, topi, kaca mata hitam, dan kemeja putihku. Kuusap mukaku dengan tissu. Hitam. Banyak debu menempel. Aku lalu beranjak ke ruang tengah, membuka lemari es, mencari yang dingin-dingin untuk menyegarkan badan. Begitu membuka pintu lemari es mataku membelalak berbinar. Ada sebotol ashir ashab. [45] Dingin. Kutuangkan untuk satu gelas. Sambil membawa gelas berisia ashir ashab aku berteriak,
“Siapa nih yang beli ashir ashab. Pengertian sekali. Syukran ya. Semoga umurnya diberkahi Allah.”
Rudi keluar dari kamarnya dengan wajah ceria.
“Mas. Ashir ashab itu bukan kami yang beli.”
“Terus dapat dari mana?”
“Tadi diberi oleh Maria.”
“Apa? Diberi oleh Maria?”
“Iya. Katanya untuk Mas. Makanya masih utuh satu botol. Kami tidak menyentuhnya sebelum dapat izin dari Mas. Sekarang kami boleh ikut mencicipi ‘kan Mas?”
“Ah kamu ini ada-ada saja. Kalau ambil ya ambil saja. Yang penting aku disisain. Pakai menunggu izin segala.”
“Masalahnya ini dari Maria, Mas. Sepertinya puteri Tuan Boutros itu perhatian sekali sama Mas. Jangan-jangan dia jatuh hati sama Mas.”
“Hus jangan ngomong sembarangan! Mereka itu memang tetangga yang baik. Sejak awal kita tinggal di sini mereka sudah baik sama kita. Bukan sekali ini mereka memberi sesuatu pada kita.”
“Tapi kenapa Maria bilang untuk Mas. Bukan untuk kita semua?”
“Lha ketahuan ‘kan? Kau cemburu, jangan-jangan kau yang jatuh cinta. Ya udah nanti biar kusampaikan sama Maria dan Tuan Boutros ayahnya, kalau memberi sesuatu biar yang disebut namamu hehehe.”
“Jangan Mas. Bukan itu maksudku?”
“Terus?”
“Tapi Maria sepertinya punya perhatian lebih pada Mas.”
“Akh Rudi, kamu jangan berprasangka yang bukan-bukan. Kamu ‘kan tahu. Maria berbuat begitu atas nama keluaganya, atas petunjuk ayahnya yang baik hati itu. Dan karena kepala keluarga di rumah ini adalah aku, maka tiap kali memberi makanan, minuman atau menyampaikan sesuatu ya selalu lewat aku, as a leader here. Dia menyampaikan sesuatu atas nama keluarganya dan aku dianggap representasi kalian semua. Jadi ini bukan hanya interaksi dua person saja, tapi dua keluarga. Bahkan lebih besar dari itu, dua bangsa dan dua penganut keyakinan yang berbeda. Inilah keharmonisan hidup sebagai umat manusia yang beradab di muka bumi ini. Sudahlah kau jangan memikirkan hal yang terlalu jauh. Tugas kita di sini adalah belajar. Kita belajar sebaik-baiknya. Di antaranya adalah belajar bertetangga yang baik. Karena kita telah diberi, ya nanti kita gantian memberi sesuatu pada mereka. Wa idza huyyitum bi tahiyyatin fa hayyu bi ahasana minha!” [46]
“Saya mengerti, Mas. Afwan jika ucapan saya tadi ada yang kurang berkenan.”
“Udah jangan dipikir. Emm..bagaimana makalahmu? Sudah selesai?”
“Alhamdulillah, Mas.”
“Kapan dipresentasikan?”
“Sabtu sore.”
“Di mana?”
“Di Wisma Nusantara.”
“Ma’at taufiq.” [47]
Aku melangkah ke kamar sambil membawa segelas ashir ashab. Kuselonjorkan kakiku di atas karpet. Punggungku kusandarkan ke pinggir tempat tidur. Untung tembok apartemen ini tebal. Jendelanya rapat. Sehingga udara panas di luar apartemen tidak mudah menembus masuk. Meskipun agak hangat tapi tidak sepanas di luar. Dan dengan kipas angin sudah cukup membuat udara yang hangat itu menjadi sejuk. Kuteguk ashir ashab. Perlahan. Dingin mengaliri tenggorokan. Oh luar biasa nikmatnya. Di kawasan beriklim panas, seperti Mesir dan negara Timur Tengah lainnya, air dingin memang sangat menyenangkan. Jika air dingin itu membasahi tenggorokan yang kering rasanya seperti meneguk air sejuk dari surga, tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Orang yang kehausan di tengah sahara yang paling ia damba dan ia cinta adalah air dingin penawar dahaga. Tak ada yang lebih ia cinta dari itu. Di sinilah baru bisa kurasakan betapa dahsyat doa baginda Nabi,
‘Ya Allah jadikanlah cintaku kepada-Mu melebihi cintaku pada harta, keluarga dan air yang dingin’.
Beliau meminta agar cintanya kepada Allah melebihi cintanya pada air yang dingin, yang sangat dicintai, disukai, dan diingini oleh siapa saja yang kehausan di musim panas. Di daerah yang beriklim panas, cinta pada air yang sejuk dingin dirasakan oleh siapa saja, oleh semua manusia. Jika cinta kepada Allah telah melebihi cintanya seseorang yang sekarat kehausan di tengah sahara pada air dingin, maka itu adalah cinta yang luar biasa. Sama saja dengan melebihi cinta pada nyawa sendiri. Dan memang semestinya demikianlah cinta sejati kepada Allah Azza Wa Jalla. Jika direnungkan benar-benar, baginda Nabi sejatinya telah mengajarkan idiom cinta yang begitu indah.
Setelah keringat hilang, dan ubun-ubun kepala mulai dingin aku bangkit hendak mengambil handuk. Aku harus mandi, badan rasanya tidak nyaman. Harus dibersihkan dan disegarkan. Baru menyentuh handuk, handphone-ku memerik singkat. Ada sms masuk. Kubuka. Dari Maria,
“Sudah pulang ya? Bagaimana dengan titipanku, dapat?”
Langsung kujawab,
“Dapat. Terima kasih atas ashir ashabnya.”
Kuletakkan handphone-ku di atas meja. Aku langsung bergegas mandi. Baru menutup kamar mandi yang bersebelahan dengan kamarku, kudengar si handphone memekik lagi. Maria pasti mengirim pesan balik. Ah, biar, nanti saja setelah mandi. Kuputar kran wastafel. Aku ingin cuci tangan. Air mengalir. Kusentuh. Hangat sekali. Berarti pipa-pipa yang berada di dalam tanah berpasir yang mengalirkan air dari tandon raksasa itu telah panas. Aku jadi teringat saat umrah ke Saudi di puncak musim panas tahun lalu. Baik siang atau pun malam, kalau hendak mandi harus mendinginkan air dulu di ember besar. Sebab air yang keluar dari kran sangat panas. Harus ditampung di ember besar dan ditunggu sampai dingin. Kulihat bath-tub penuh dengan air. Alhamdulillah, teman-teman sangat pengertian dan cerdas. Aku bisa langsung mandi tanpa menunggu air dingin. Ketika air menyiram seluruh tubuh rasa segar itu susah diungkapkan dengan bahasa verbal. Habis mandi tenaga rasanya pulih kembali.
Usai berganti pakaian kurebahkan diriku di atas kasur. Oh, alangkah nikmatnya. Ini saatnya istirahat. Kunyalakan tape kecil di samping tempat tidur. Enaknya adalah memutar murattal [48] Syaikh Abu Bakar Asy-Syathiri. Suaranya yang sangat lembut dan indah penuh penghayatan dalam membaca Al-Qur’an sering membawa terbang imajinasiku ke tempat-tempat sejuk. Ke sebuah danau bening di tengah hutan yang penuh buah-buahan. Kadang ke suasana senja yang indah di tepi pantai Ageeba, pantai laut Mediterania yang menakjubkan di Mersa Mathruh. Bahkan bisa membawaku ke dunia lain, dunia indah di dalam laut dengan ikan-ikan hias dan bebatuan yang seperti permata-permata di surga. Dalam keadaan lelah selalu saja suara Syaikh Abu Bakar Asy-Syathiri menjadi musik pengantar tidur yang paling nikmat. Meski terkadang aku harus terlebih dahulu meneteskan air mata, kala mendengar Syaikh Syathiri sesengukan menangis dalam bacaannya. Kunyalakan murattal Syaikh Syatiri. Suaranya yang indah langsung mengelus-elus syaraf-syarafku. Mataku mulai liyer-liyer hendak terpejam. Tiba-tiba handphone-ku kembali memekik. Aku teringat sesuatu. Titipan Maria. Kubaca pesan Maria.
Ada tiga pesan:
“Buka jendela sekarang. Aku akan turunkan keranjang.”
“Kau sedang apa? Aku sudah turunkan keranjang. Lama sekali.”
“Kenapa tidak ada respons?”
Aduh, kasihan Maria. Dia tadi sudah lama membuka jendelanya dan menurunkan keranjang.
Langsung kujawab,
“Afwan. Tadi saya langsung mandi. Jadi tiga pesanmu terakhir baru kubuka setelah mandi. Afwan. Sekarang bisa kau turunkan keranjang.”
Kutunggu respons darinya. Tak lama pesannya masuk,
“O, begitu. Tak apa-apa. Ini kuturunkan keranjangnya.”
Aku bangkit dari tempat tidur. Mengambil dua disket dalam tas. Lalu menuju jendela. Kubuka jendela. Hawa panas langsung masuk. Sebuah keranjang kecil dijulurkan dengan tambang kecil putih dari atas. Ada uang sepuluh pound di dalamnya. Kuletakkan dua disket itu dalam keranjang tanpa menyentuh uang sepuluh pound itu sama sekali.
Kamar Maria memang tepat di atas kamarku, dan jendela kamarnya tepat di atas jendela kamarku. Orang Mesir yang berada di atas lantai dua biasanya memiliki keranjang kecil yang seringkali digunakan untuk suatu keperluan tanpa harus turun ke bawah. Jika ibu-ibu Mesir belanja buah-buahan atau sayur-sayuran pada penjual buah atau penjual sayur keliling, biasanya mereka menggunakan keranjang kecil itu, tanpa harus turun dari rumah mereka yang berada di atas. Mereka cukup pesan berapa kilo, setelah sepakat harganya mereka menurunkan keranjang kecil yang di dalamnya sudah ada uang untuk membayar barang yang dipesannya. Tukang buah atau tukang sayur akan mengisi keranjang itu dengan barang yang dipesan setelah mengambil uangnya. Jika uangnya lebih, mereka akan mengembalikannya sekaligus bersama barang yang dipesan. Barulah si ibu mengangkat keranjangnya seperti orang menimba. Transaksi yang praktis. Pertama kali melihat aku heran. Yang aku herankan adalah begitu amanah-nya penjual buah itu. Mereka tidak curang. Tidak berusaha nakal. Maria atau ibunya juga biasa membeli sayur atau buah dengan cara seperti itu.
Maria mengangkat keranjangnya. Aku menutup jendela. Tak lama kemudian handphone-ku kembali bertulalit. Maria lagi,
“Harganya berapa? Uangnya kok tidak diambil, kenapa?”
Kujawab,
“Harganya zero, zero, zero pound. Jadi tak perlu dibayar.”
Ia menjawab,
“Jangan begitu. Itu tidak wajar.”
Kujawab,
“Harganya seperti biasa. Uangnya kau simpan saja.
Kalau kau buat Ruzz bil laban [49] titip ya. Bolehkan?”
Ia menjawab,
“Baiklah kalau begitu. Dengan senang hati. Syukran!”
Kujawab,
“Afwan.”
Klik. Handphone kunonaktifkan. Aku ingin tidur. Pada saat yang sama, kudengar suara pintu terbuka. Lalu suara Hamdi mengucapkan salam. Kujawab lirih. Alhamdulillah dia pulang. Dia nanti akan masak oseng-oseng wortel campur kofta. Aku senang bahwa teman-teman satu rumah ini mengerti dengan kewajiban masing-masing. Kewajiban memasak sesibuk apa pun adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan. Sepertinya remeh tapi sangat penting untuk sebuah tanggung jawab. Masak tepat pada waktunya adalah bukti paling mudah sebuah rasa cinta sesama saudara. Ya inilah persaudaraan. Hidup di negeri orang harus saling membantu dan melengkapi. Tanpa orang lain mana mungkin kita bisa hidup dengan baik.
Sambil rebahan kunikmati suara Syaikh Syathiri membaca Al-Qur’an mengalun indah. Maghrib masih lama. Dalam musim panas, siang lebih panjang dari malam. Aku harus beristirahat. Nanti malam harus kembali memeras otak. Menerjemah untuk biaya menyambung hidup. Ya, hidup ini—kata Syauqi, sang raja penyair Arab—adalah keyakinan dan perjuangan. Dan perjuangan seorang mukmin sejati—kata Imam Ahmad bin Hanbal—tidak akan berhenti kecuali ketika kedua kakinya telah menginjak pintu surga.
* * *

Seperti biasa, usai shalat maghrib berjamaah di masjid kami berkumpul di ruang tengah untuk makan bersama. Kali ini kami hanya berempat. Masih kurang satu, yaitu Si Mishbah. Ia belum pulang. Ia masih di Wisma Nusantara yang menjadi sentral kegiatan mahasiswa Indonesia. Gedung yang diwakafkan oleh Yayasan Abdi Bangsa itu terletak di Rab’ah El-Adawea, Nasr City.
Hamdi baru pulang dari Masjid Indonesia. Ia banyak bercerita tentang anak-anak para pejabat KBRI yang lucu-lucu dan manja-manja. Dibandingkan yang ada di negara lain, KBRI di Cairo bisa dibilang termasuk yang beruntung. Komunitas yang mereka urusi adalah mahasiswa Al Azhar. Kegiatan keislaman dan pengajian antaribu-ibu KBRI juga berjalan lancar. Tiap Ramadhan ada tarawih bersama. Juga ada pesantren kilat untuk putera-puteri mereka. Semuanya dipandu oleh mahasiswa dan mahasiswi Al Azhar. Masalah yang dihadapi KBRI Cairo tidak serumit yang dihadapi oleh KBRI di Saudi Arabia misalnya, yang setiap hari berurusan dengan TKI atau TKW dengan setumpuk masalahnya yang sangat memuakkan. Misalnya, tidak dibayar majikan, disiksa majikan, diperkosa majikan, diperlakukan seperti budak oleh majikan, dihamili oleh sesama tenaga kerja dari Indonesia, ditangkap polisi karena tidak punya izin tinggal resmi, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.
Masjid Indonesia yang dibangun oleh para pejabat KBRI bahkan telah memiliki perpustakaan yang cukup mengasyikkan bagi putera-puteri mereka. Manajemen masjidnya lumayan baik. Teks khutbah Jum’atnya dibukukan tiap tahun. Masjid Indonesia bahkan biasa menjadi tempat rekreasi para mahasiswa yang ingin melepas penat pikiran. Mereka yang mayoritasnya tinggal di Nasr City, jika merasa bosan bisa main ke Dokki. Silaturrahmi ke rumah pejabat KBRI yang dikenal. Atau ke Masjid Indonesia yang terletak di Mousadda Street. Pergi ke Dokki pada hari Jum’at sangat tepat. Selain shalat Jum’at bersama dan bersilaturrahim dengan sesama orang Indonesia, usai shalat Jum’at biasanya ada makan bersama di belakang masjid. Makanan disediakan oleh para pejabat KBRI muslim secara bergiliran. Jika keadaan ini terus bertahan niscaya sangat indah untuk dikisahkan dan dikenang.
Usai makan, aku melakukan rutinitasku di depan komputer. Mengalihbahasakan kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Kali ini yang aku garap adalah kitab klasik karya Ibnu Qayyim, yaitu kitab Miftah Daris Sa’adah. Dua jilid besar. Kitab berat. Menggarap kitab ini benar-benar menguras pikiran dan tenaga. Aku harus ekstra serius dan hati-hati pada saat Ibnu Qayyim membahas masalah ilmu perbintangan, horoskop, pengaruh planet-planet, ramalan nasib, dan lain sebagainya. Bahasa ilmu falak dan astronomi adalah bahasa yang tidak mudah. Aku terpaksa membuka kamus klasik berkali-kali. Apalagi bahasa yang dipakai Ibnu Qayyim adalah bahasa Arab klasik. Itu saja tidak cukup, harus juga didampingi dengan kamus dan buku astronomi modern. Dan tatkala yang ditulis Ibnu Qayyim telah terang maksudnya, aku bagaikan menemukan mutiara tidak ternilai harganya. Ibnu Qayyim ternyata juga seorang astronom yang luar biasa.
Menerjemahkan sebuah kitab klasik terkadang terasa sangat menjemukan. Namun ketika rasa jemu bisa teratasi kegiatan itu akan berubah menjadi sebuah rekreasi yang sangat mengasyikkan. Andaikan Ibnu Rusyd masih hidup, aku ingin bertanya, rasanya seperti apa ketika dia sedang menerjemahkan karya-karya Aristoteles. Dan seperti apa rasanya ketika telah selesai semuanya?
Malam ini jadwalku sampai jam dua belas. Berhenti ketika shalat Isya. Akhir bulan naskah harus sudah aku kirim ke Jakarta. Setelah itu ada dua buku yang siap diterjemah. Buku kontemporer, bahasanya lebih mudah. Seorang teman pernah mencibir diriku, bahwa menjadi penerjemah sama saja menjadi mesin pengalih bahasa. Aku tak peduli dengan segala cibiran mereka. Aku merasa nikmat dengan apa yang aku kerjakan. Aku bisa belajar menambah ilmu, mentransfer ilmu pengetahuan dan berarti ikut serta mencerdaskan bangsa. Aku bisa berkarya, sekecil apa pun bentuknya. Berdakwah, dengan kemampuan seadanya. Dan yang terpenting aku bisa hidup mandiri dengan royalti yang aku terima. Tidak seperti mereka yang bisanya mencibir saja. Menuruti kata orang tidak akan pernah ada habisnya. Kamu tidak akan mungkin bisa memenuhi segala kesesuaian dengan hati semua manusia! Kata-kata Imam Syafii mengingatkan diriku.
* * *
Pukul 22.00 waktu Cairo. Handphone-ku berdering. Ada sms masuk. Dari Musthafa, teman Mesir satu kelas di pasca. Ia memberikan kabar gembira,
“Mabruk. Kamu lulus. Kamu bisa nulis tesis. Tadi sore pengumumannya keluar.”
Aku merasa seperti ada hawa dingin turun dari langit. Menetes deras ke dalam ubun-ubun kepalaku lalu menyebar ke seluruh tubuh. Seketika itu aku sujud syukur dengan berlinang air mata. Aku merasa seperti dibelai-belai tangan Tuhan. Setelah puas sujud syukurku aku mengungkapkan rasa gembiraku pada teman-teman satu rumah. Mereka semua menyambut dengan riang gembira. Dengan tasbih, tahmid dan istighfar. Dengan mata yang berbinar-binar. Kukatakan pada mereka,
“Malam ini juga kita syukuran. Kita beli firoh masywi [50] dua. Lengkap dengan ashir mangga. Kita makan nanti tengah malam, bersama-sama di sutuh sana. Bagaimana. Eh ra’yukum [51] ?”
“Kalau ini sih usul yang susah ditolak!” sahut Saiful senang. Siapa yang tidak senang diajak makan ayam bakar gratis.
Kukeluarkan uang lima puluh pound.
“Biar aku sama Saiful saja yang beli. Mas Fahri sama Hamdi di rumah saja. Kalian masih capek ‘kan karena perjalanan tadi siang. Okay?” Rudi menawarkan diri.
“Okay. Oh ya jangan cuma ashir mangga, beli juga tamar hindi ya? Jangan lupa!” sahut Hamdi. Ia memang paling suka sama tamar hindi. Waktu musim dingin saja ia mencari tamar hindi, apa tidak aneh.
“Beres bos,” seru Saiful.
Keduanya membuka pintu dan keluar.
“Mas aku buat sambal sama menanak sedikit nasi ya?” kata Hamdi.
“Sip. Kita buat bareng,” sambutku sambil mengacungkan kedua jempolku. Memang, tanpa membuat sambal ala Indonesia kurang mantap. Ayam bakar Mesir tidak pakai sambal. Padahal kami berempat adalah orang yang doyan sambal, terutama Hamdi. Dia jebolan pesantren Lirboyo, harus pakai sambal.
Saat melangkah ke dapur aku teringat Mishbah. Tidak adil rasanya kami berempat berpesta tampa mengikutsertakan dia. Namanya keluarga, ketika senang harus dirasakan bersama. Aku tersenyum. Masalah yang mudah. Kutelpon Wisma. Aku minta disambungkan pada Mishbah. Kuberitahukan padanya orang satu rumah akan syukuran atas kelulusanku. Ia berteriak gembira,
“Mas apa aku pulang saja sekarang? Pakai taksi ‘kan cepat!”
“Kerjamu sudah selesai?” tanyaku.
“Belum sih sekarang aku lagi membuat estimasi dana sama Mas Khalid.”
“Kalau begitu kau selesaikan saja pekerjaanmu. Kalau kau pulang ke Hadayek Helwan kau akan terlalu capek. Begini saja Akhi, kau ajak saja Mas Khalid istirahat ke Babay atau ke mana terserah. Ajak makan firoh masywi. Pakai uangmu atau uangnya Mas Khalid dulu. Nanti aku ganti. Jadi adil, bagaimana?”
“Kalau begitu siiip-lah Mas. Pokoknya alfu mabruk deh.” Suaranya terdengar girang. Aku tersenyum. Ah, musim panas yang menyenangkan, meskipun melelahkan.
Dalam segala musim, Tuhan selalu Penyayang.
Itu yang aku rasakan.
* * *
Tepat tengah malam kami pergi ke suthuh. [52] Membawa tikar, nampan besar, empat gelas plastik, ashir mangga, tamar hindi, dan dua bungkus firoh masywi yang masih hangat dan sedap baunya.
Kami benar-benar berpesta. Dua ciduk nasi hangat digelar di atas nampan. Sambal ditumpahkan. Lalu dua ayam bakar dikeluarkan dari bungkusnya. Tak lupa acar dan lalapan timun. Satu ayam untuk dua orang.
“Sekali-kali kita jadi orang Mesir beneran, satu ayam untuk dua orang,” komentar Rudi.
“Kalau ini bukan makan nasi lauk ayam. Ini makan ayam lauk nasi. Nasinya dikit sekali. Mbok ditambah dikit,” sambung Saiful.
“Tujuannya memang kita makan ayam bakar. Nasi pelengkap saja untuk melestarikan budaya Indonesia. Bagi yang mau tambah nasi ambil saja sendiri. Benar nggak Mas?” sahut Hamdi.
“Sekarang bukan saatnya diskusi. Kalau mau diskusi besok Sabtu di Wisma Nusantara. Rudi presentatornya. Bismillah, ayo jangan banyak cingcong langsung kita ganyang saja!” ucapku sambil mencomot daging ayam di hadapanku. Serta merta mereka melakukan hal yang sama. Kami makan sambil ngobrol, di belai udara malam yang tidak dingin dan tidak panas. Semilir sejuk. Keindahan musim panas memang pada waktu malam. Kala langit cerah. Bulan terang. Bintang-bintang gemerlapan. Dan debu tidak berhamburan. Menikmati suasana alam di atas suthuh apartemen sangat menyenangkan. Nun jauh di sana cahaya lampu-lampu rumah dan gedung-gedung dekat sungai Nil tampak berkerlap-kerlip diterpa angin. Sayup-sayup kami mendengar bunyi irama musik rakyat mengalun di kejauhan sana. Mungkin ada yang sedang pesta. Alunan itu ditingkahi puja-puji syair sufi. Sangat khas senandung malam di delta Nil.
Suasana nyaman ini akan jadi kenangan tiada terlupakan. Dan kelak ketika kami sudah kembali ke Tanah Air, kami pasti akan merindukan suasana indah malam musim panas di Mesir seperti ini.
Usai makan kami tidak langsung turun. Kami tetap bercengkerama ditemani semilir angin dari sungai Nil dan satu botol air segar tamar hindi. Kami bercerita tentang malam-malam berkesan yang pernah kami lewati. Rudi Marpaung yang berasal dari Medan menceritakan pengalamannya menginap bersama teman-temannya ketika masih aliyah di Brastagi. Menyewa vila dan mengadakan shalat tahajjud bersama dalam dinginnya malam. Suasana jadi semakin asyik ketika Hamdi mengisahkan pengalamannya yang menegangkan selama tersesat di lereng Gunung Lawu selama dua hari.
“Kami berempat belas. Dibagi dalam dua kelompok. Kami mencoba jalur baru. Kelompok kami istirahat terlalu lama. Kami mengejar kelompok pertama. Sayang kurang kompak. Kami bertiga tertinggal dan terlunta selama dua hari dalam hutan Gunung Lawu. Hanya pertolongan dari Allah yang membuat kami tetap hidup.”
Sedangkan Saiful yang waktu SMP pernah diajak ayahnya ke Turki bercerita tentang indahnya malam di teluk Borporus. Ia bercerita detil teluk Borporus. Lalu mengajak kami membayangkan bagaimana Sultan Muhammad Al-Fatih merebut Konstantinopel dengan memindahkan puluhan kapal di malam hari lewat daratan dan menjadikan kapal itu jembatan untuk menembus benteng pertahanan Konstantinopel.
Di tengah asyiknya bercengkerama, tiba-tiba kami mendengar suara orang ribut. Suara lelaki dan perempuan bersumpah serapah berbaur dengan suara jerit dan tangis seorang perempuan. Suara itu datang dari bawah. Kami ke tepi suthuh dan melihat ke bawah.
Benar, di gerbang apartemen kami melihat seorang gadis diseret oleh seorang lelaki hitam dan ditendangi tanpa ampun oleh seorang perempuan. Gadis yang diseret itu menjerit dan menangis. Sangat mengibakan. Gadis itu diseret sampai ke jalan.
“Jika kau tidak mau mendengar kata-kata kami, jangan sekali-kali kau injak rumah kami. Kami bukan keluargamu!” sengit perempuan yang menendangnya.
Kami kenal gadis itu. Kasihan benar dia. Malang nian nasibnya. Namanya Noura. Nama yang indah dan cantik. Namun nasibnya selama ini tak seindah nama dan paras wajahnya. Noura masih belia. Ia baru saja naik ke tingkat akhir Ma’had Al Azhar puteri. Sekarang sedang libur musim panas. Tahun depan jika lulus dia baru akan kuliah. Sudah berulang kali kami melihat Noura dizhalimi oleh keluarganya sendiri. Ia jadi bulan-bulanan kekasaran ayahnya dan dua kakaknya. Entah kenapa ibunya tidak membelanya. Kami heran dengan apa yang kami lihat. Dan malam ini kami melihat hal yang membuat hati miris. Noura disiksa dan diseret tengah malam ke jalan oleh ayah dan kakak perempuannya. Untung tidak musim dingin. Tidak bisa dibayangkan jika ini terjadi pada puncak musim dingin.
Noura sesengukan di bawah tiang lampu merkuri. Ia duduk sambil mendekap tiang lampu itu seolah mendekap ibunya. Apa yang kini dirasakan ibunya di dalam rumah. Tidakkah ia melihat anaknya yang menangis tersedu dengan nada menyayat hati. Tak ada tetangga yang keluar. Mungkin sedang lelap tidur. Atau sebenarnya terjaga tapi telah merasa sudah sangat bosan dengan kejadian yang kerap berulang itu. Ayah Noura yang bernama Bahadur itu memang keterlaluan. Bicaranya kasar dan tidak bisa menghargai orang. Seluruh tetangga di apartemen ini dan masyarakat sekitar jarang yang mau berurusan dengan Si Hitam Bahadur. Kulitnya memang hitam meskipun tidak sehitam orang Sudan. Hanya kami yang mungkin masih sesekali menyapa jika berjumpa. Itu pun kami terkadang merasa jengkel juga, sebab ketika disapa ekspresi Bahadur tetap dingin seperti algojo kulit hitam yang berwajah batu. Sejak kami tinggal di apartemen ini belum pernah Si Muka Dingin Bahadur tersenyum pada kami. Kalau suara tawanya yang terbahak-bahak memang sering kami dengar.
Aku paling tidak tahan mendengar perempuan menangis. Kuajak teman-teman turun kembali ke flat. Mereka bertanya apa yang harus dilakukan untuk menolong Noura. Aku diam belum menemukan jawaban. Aku masuk kamar, kubuka jendela, angin malam semilir masuk. Noura masih terisak-isak di bawah tiang lampu. Aku dan teman-teman tidak mungkin turun ke bawah menolong Noura. Meskipun dengan sepatah kata untuk menghibur hatinya. Atau untuk memberitahukan padanya bahwa sebenarnya ada yang peduli padanya. Tidak mungkin. Jika ada yang salah persepsi urusannya bisa penjara. Apalagi Si Hitam Bahadur bisa melakukan apa saja tanpa pertimbangan akal sehatnya.
Aku teringat Maria. Ia gadis yang baik hatinya. Rasa ibaku pada Noura menggerakkan tanganku untuk mencoba mengirim sms pada Maria.
“Maria. Apa kau bangun. Kau dengar suara tangis di bawah sana?”
Kutunggu. Lima menit. Tak ada jawaban. Kuulangi lagi. Kutunggu lagi. Ada jawaban.
“Ya aku bangun. Aku mendengarnya. Aku lihat dari jendela Noura memeluk tiang lampu.”
“Apa kau tidak kasihan padanya?”
“Sangat kasihan.”
“Apa kau tidak tergerak untuk menolongnya.”
“Tergerak. Tapi itu tidak mungkin.”
“Kenapa?”
“Si Hitam Bahadur bisa melakukan apa saja. Ayahku tidak mau berurusan dengannya.”
“Tidakkah kau bisa turun dan menyeka air matanya. Kasihan Noura. Dia perlu seseorang yang menguatkan hatinya.”
“Itu tidak mungkin.”
“Kau lebih memungkinkan daripada kami.”
“Sangat susah kulakukan!” Maria menolak.
“Kumohon turunlah dan usaplah air matanya. Aku paling tidak tahan jika ada perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon. Andaikan aku halal baginya tentu aku akan turun mengusap air matanya dan membawanya ke tempat yang jauh dari linangan air mata selama-lamanya.”
“Untuk yang ini jangan paksa aku, Fahri! Aku tidak bisa!”
“Kumohon, demi rasa cintamu pada Al-Masih. Kumohon!”
“Baiklah, demi cintaku pada Al-Masih akan kucoba. Tapi kau harus tetap mengawasi dari jendelamu. Jika ada apa-apa kau harus berbuat sesuatu.”
“Jangan kuatir. Tuhan menyertai orang yang berbuat kebajikan.”
Benar dugaanku. Sebenarnya banyak tetangga yang terbangun oleh teriakan-teriakan Bahadur dan jeritan Noura. Tapi mereka tidak tahu harus berbuat apa. Pernah seorang tetangga memanggil polisi, tapi Noura tidak mau ayahnya diperkarakan, Noura malah mengaku dia yang salah dan ayahnya berhak marah. Mau bagaimana? Noura sepertinya tidak mau dibela padahal apa yang dilakukan ayahnya padanya telah melewati batas. Tuan Boutros, ayah Maria pernah menegur Si Hitam Bahadur atas perlakuannya yang tidak baik pada anak bungsunya. Tapi apa yang terjadi? Bahadur malah melontarkan sumpah serapah yang tidak enak didengar telinga.
Dari jendela aku melihat Maria berjalan mendekati Maria. Ia memakai jubah biru tua. Rambutnya yang hitam tergerai ditiup angin malam. Maria lalu duduk di samping Noura. Ia kelihatannya berbicara pada Noura sambil mengelus-elus kepalanya. Noura masih memeluk tiang lampu. Maria terus berusaha. Akhirnya kulihat Noura memeluk Maria dengan tersedu-sedu. Maria memperlakukan Noura seolah adiknya sendiri. Sambil memeluk Noura Maria menengok ke arahku. Aku menganggukkan kepala. Kulihat jam dinding, pukul dua empat puluh lima menit. Teman-teman sudah terlelap. Mereka kekenyangan makan. Maria masih memeluk Noura. Cukup lama mereka berpelukan. Maria melepaskan pelukannya. Tangan kanannya memenjet handphone-nya dan meletakkan di telingannya.
Handphoneku menjerit. Maria bertanya,
“Sekarang apa yang harus kulakukan?”
“Tidak bisakah kau ajak dia ke kamarmu?”
“Aku kuatir Bahadur tahu.”
“Aku yakin dia sudah terlelap. Dan biasanya akan bangun sekitar jam sepuluh pagi. Dia pekerja malam. Tadi jam setengah dua baru pulang terus membuat keributan.”
“Baiklah akan kucoba.”
“Tunggu! Sekalian kau bujuk Noura menceritakan apa yang sebenarnya dialaminya selama ini, agar kita semua para tetangga yang peduli pada nasibnya bisa menolongnya dengan bijaksana.”
“Akan kucoba.”
Sebenarnya Maria bisa bicara langsung tanpa melalui handphone. Tapi dia harus bersuara sedikit keras, dan itu akan mengganggu tetangga yang tidur. Maria memang tidak seperti Mona dan Suzana, dua kakak perempuan Noura yang genit dan keras bicaranya. Seringkali Mona atau Suzana memanggil orang di rumah mereka dari bawah dengan suara keras. Tidak siang tidak malam. Padahal rumah mereka hanya di lantai dua tapi suaranya seperti memanggil orang di lantai tujuh.
Kulihat Maria berhasil membujuk Noura untuk ikut dengannya dan berjalan memasuki gerbang apartemen. Hatiku sedikit lega. Masih ada waktu satu jam setengah sampai subuh tiba. Kupasang beker. Aku ingin melelapkan mata sebentar saja.
* * *


4. Air Mata Noura

Meskipun cuma terlelap satu jam setengah, itu sudah cukup untuk meremajakan seluruh syaraf tubuhku. Setelah satu rumah shalat shubuh berjamaah di masjid, kami membaca Al-Qur’an bersama. Tadabbur sebentar, bergantian. Teman-teman sangat melestarikan kegiatan rutian tiap pagi ini. Selama ada di rumah, membaca Al-Qur’an dan tadabbur tetap berjalan, meskipun pagi ini kulihat mata Saiful dan Rudi melek merem menahan kantuk.
Usai tadabbur Saiful, Rudi, dan Hamdi merebahkan diri di tempat tidur masing-masing. Di musim panas, karena malamnya pendek, tidur selepas shubuh adalah hal biasa bagi kebanyakan mahasiswa Indonesia. Tidak putera, tidak puteri, semua sama. Wa bilkhusus para aktivis yang sering begadang sampai shubuh. Mereka para raja dan para ratu tidur pagi hari. Orang Mesir pun juga banyak melakukan hal yang sama. Begitu mendengar azan shubuh mereka yang tidak mau berjamaah langsung shalat lalu tidur dan bangun sekitar pukul setengah sembilan. Kantor-kantor dan instansi benar-benar membuka pelayanan setelah jam sembilan. Toko-toko juga banyak yang baru buka jam sembilan. Meskipun tidak semua. Ada beberapa instansi dan toko yang telah buka sejak jam tujuh. Yang paling disiplin buka pagi adalah warung penjual roti isy dan ful. [53] Mereka telah buka sejak pagi-pagi sekali.
Kebiasaan tidur setelah shalat shubuh kurang baik ini sering disindir para Imam. Dalam sebuah khutbah Jum’at, imam muda kami, yaitu Syaikh Ahmad Taqiyyuddin pernah mengatakan,
‘Seandainya Israel menggempur Mesir pada jam setengah tujuh pagi maka mereka tidak akan mendapatkan perlawanan apa-apa. Mereka akan sangat mudah sekali memasuki kota Cairo dan membunuh satu per satu penduduknya. Karena pada saat itu seluruh rakyat Mesir sedang terlelap dalam tidurnya dan baru akan benar-benar bangun pukul sembilan.’
Kata-kata itu mungkin tidak seratus persen benar, tapi cukup mewakili untuk menggambarkan kelengangan kota Cairo pada jam setengah tujuh di musim panas. Padahal pada saat yang sama, di Jakarta sedang sibuk-sibuknya orang berangkat kerja, dan kemacetan terjadi di mana-mana.
Aku termasuk orang yang anti tidur langsung setelah shalat shubuh. Aku tidak mau berkah yang dijanjikan baginda Nabi di waktu pagi lewat begitu saja. Hal ini juga kutanamkan pada teman-teman satu rumah. Jadi seandainya semalam begadang dan mata sangat lelah, tetaplah diusahakan shalat shubuh berjamaah, membaca Al-Qur’an, dan sedikit tadabbur. Semoga yang sedikit itu menjadi berkah. Barulah tidur. Jika bisa tahan dulu sampai waktu dhuha datang, shalat dhuha baru tidur.
Kunyalakan komputer untuk kembali menerjemah. Baru setengah halaman bel berbunyi. Ada tamu. Ternyata Tuan Boutros dan Maria. Kupersilakan keduanya duduk.
“Fahri, maaf menganggu. Ada yang perlu kita bicarakan,” kata Tuan Boutros.
“Apa itu Tuan?”
“Noura.”
Maria langsung menyahut,
“Begini Fahri. Aku sudah berusaha keras. Tapi Noura tidak mau menceritakan segalanya. Dia hanya bilang telah diusir oleh ayah dan kakaknya karena tidak bisa melakukan hal yang ia tidak bisa melakukannya.”
“Hal yang ia tidak bisa melakukan itu maksudnya apa?” tanyaku.
“Ia tidak mau mengaku. Hanya itu yang bisa kudapat. Kami sekeluarga hanya bisa membantu sampai di sini.”
“Terus terang sebelum Si Bahadur bangun, Noura harus sudah meninggalkan rumah kami?” sahut Tuan Boutros.
“Bukannya kami tidak peduli. Kau tentu tahu sifat Si Bahadur itu. Di samping itu Noura memang ingin pergi untuk sementara. Ia kelihatan ketakutan dan cemas sekali. Ia tidak mau ayahnya tahu kalau ia ada di rumah kami,” sambung Maria.
“Lantas apa yang harus kita lakukan?” tanyaku.
“Untuk itulah kami berdua kemari. Mau tidak mau, pagi ini Noura memang harus pergi. Untuk kebaikan dirinya, dan untuk kebaikan seluruh penghuni apartemen ini. Jika sampai ia masih ada di sini, ayahnya akan kembali membuat keributan. Noura akan jadi bulan-bulanan. Masalahnya, semua orang sudah bosan. Yang jadi pikiran kami adalah Noura harus pergi ke mana. Kami tidak tega dia pergi tanpa tujuan dan tanpa rasa aman,” jelas Tuan Boutros.
“Anda benar Tuan Boutros. Dia harus pergi ke suatu tempat yang aman dan tinggal di sana beberapa waktu sampai keadaan membaik. Hmm..apakah dia tidak punya sanak saudara. Paman, bibi, atau nenek misalnya?”
“Di Cairo ini dia tidak memiliki siapa-siapa selain keluarga yang telah mengusirnya. Dia masih punya paman dan bibi. Tapi sangat jauh di Mesir selatan, dekat Aswan sana. Tepatnya di daerah Naq El-Mamariya yang terletak beberapa puluh kilo di sebelah selatan Luxor. Bahadur dan isterinya yaitu Madame Syaima berasal dari sana. Tapi Noura tidak bisa ke sana. Katanya, seingatnya ia baru dua kali ke sana dan tidak tahu jalannya. Ia tidak bisa sendirian ke sana,” jawab Maria.
“Teman sekolahnya?” tanyaku.
“Kami sudah memberikan saran itu padanya. Tapi Noura tidak mau. Ia ingin pergi ke tempat yang tidak akan ditemukan ayah dan kedua kakaknya sementara waktu. Seluruh rumah temannya telah diketahui ayahnya. Dia pernah diseret ayahnya saat tidur di rumah salah seorang temannya di Thakanat Maadi. Itu akan membuatnya malu pada setiap orang. Begitu katanya.”
Aku mengerutkan kening.
“Bagaimana dengan saudara atau kenalan kalian? Pasti kalian punya saudara dan kenalan yang tidak akan terlacak oleh ayahnya Noura. Dan itu bisa membantu Noura,” selorohku.
Tuan Boutros dan Maria sedikit kaget mendengar usulku. Keduanya berpandangan.
“Fahri, mohon kau mengertilah posisi kami. Sungguh kami ingin menolong Noura. Tapi menempatkan Noura di rumah kami, atau rumah saudara dan kenalan kami itu tidak mungkin kami lakukan. Karena ini akan menambah masalah?”
“Maksud Tuan Boutros?”
“Fahri, sebetulnya bisa saja kami membawa Noura ke tempat saudara kami. Tapi kalau nanti sampai ketahuan Bahadur masalahnya akan runyam. Bahkan kalau ada orang tidak bertanggung jawab yang suka memancing ikan di air keruh masalahnya bisa berkembang tidak hanya antara kami dan Bahadur. Bisa lebih gawat dari itu. Kau ‘kan tahu, kami sekeluarga ini penganut Kristen Koptik. Bahadur sekeluarga adalah muslim. Seluruh sanak saudara dan kolega kami yang paling dekat adalah orang-orang Koptik. Jika Noura bersembunyi di rumah kami atau rumah saudara kami bisa mendatangkan masalah. Meskipun kami tidak melakukan apa-apa kecuali menyediakan tempat dia berlindung. Kami nanti bisa dianggap merekayasa meng-Kristen-kan Noura. Kami harus menjaga perasaan Noura sendiri dan perasaan semuanya. Kau tentu tahu Noura siswi Ma’had Al Azhar. Dia tentu akan merasa asing di rumah orang yang bukan satu keyakinan dengannya. Dia akan merasa canggung untuk shalat, membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya. Di rumah kami saja yang tetangganya, yang kenal baik dengannya, dia merasa canggung. Untuk shalat dia merasa tidak enak. Tadi kami yang mempersilakan dia untuk shalat. Kami tidak ingin ini terjadi pada Noura. Apa pun alasannya, yang paling bijak adalah menempatkan Noura di tempat orang yang satu keyakinan dengannya. Yang bisa mengerti keadaannya. Terus terang untuk ini kami minta bantuanmu. Meskipun kamu bukan orang Mesir tapi kamu tentu punya kenalan orang Mesir yang muslim. Menurut kami semua orang muslim itu baik kecuali Si Bahadur itu,” jelas Maria panjang lebar.
Aku merenungkan penjelasan Maria. Sungguh bijak dia. Kata-kata adalah cerminan isi hati dan keadaan jiwa. Kata-kata Maria menyinarkan kebersihan jiwanya. Sebesar apa pun keikhlasan untuk menolong tapi masalah akidah, masalah keimanan dan keyakinan seseorang harus dijaga dan dihormati. Menolong seseorang tidak untuk menarik seseorang mengikuti pendapat, keyakinan atau jalan hidup yang kita anut. Menolong seseorang itu karena kita berkewajiban untuk menolong. Titik. Karena kita manusia, dan orang yang kita tolong juga manusia. Kita harus memanusiakan manusia tanpa menyentuh sedikit pun kemerdekaannya meyakini agama yang dianutnya. Tak lebih dan tak kurang. Ah, andaikan umat beragama sedewasa Maria dalam memanusiakan manusia, dunia ini tentu akan damai dan tidak ada rasa saling mencurigai. Diam-diam aku bersimpati pada sikap Maria.
Aku lalu berpikir sejenak mencari jalan keluar. Sebenarnya aku bisa ke tempat Syaikh Ahmad. Tapi masalahnya, waktu sangat mendesak. Noura harus segera pergi sebelum keluarganya bangun. Dan dia harus pergi sendiri, agar tidak ada yang disalahkan, atau terseret ke dalam pusaran masalahnya dengan keluarganya. Aku teringat sesuatu.
“Oh ya aku ada ide,” kataku.
“Apa itu?” tuan Boutros dan Maria menyahut bareng.
“Bagaimana kalau sementara waktu Noura tinggal di salah satu rumah mahasiswi Indonesia di Nasr City.”
“Saya kira ini usul yang bagus. Mungkin mahasiswi Indonesia itu bisa mendekatinya dan Noura bisa menceritakan semua derita yang dialaminya. Setelah itu bisa dicarikan pemecahan bersama yang lebih baik. Sebab dia kelihatannya sudah benar-benar dimusuhi keluarganya. Noura berkata, bahkan ibunya sendiri yang dulu sering membelanya kini berbalik ikut memusuhinya. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada Noura sebenarnya,” ujar Maria.
“Baiklah aku akan menghubungi seorang mahasiswi Indonesia di Nasr City.”
“Lebih cepat lebih baik. Waktunya semakin sempit.”
Aku langsung bergegas mengambil gagang telpon dan memutar nomor rumah Nurul, Ketua Wihdah, induk organisasi mahasiswi Indonesia di Mesir. Seorang temannya bernama Farah yang menerima, memberitahukan Nurul baru sepuluh menit tidur, sebab tadi malam ia bergadang di sekretariat Wihdah.
“Tolong, ini sangat mendesak!” paksaku.
Akhirnya beberapa menit kemudian Nurul berbicara,
“Ada apa sih Kak. Tumben nelpon kemari?”
Aku lalu mengutarakan maksudku, meminta bantuannya, agar bisa menerima Noura bersembunyi di rumahnya beberapa hari. Mula-mula Nurul menolak. Ia takut kena masalah. Di samping itu, tinggal bersama gadis Mesir belum tentu mengenakkan. Aku jelaskan kondisi Noura. Akhirnya Nurul menyerah dan siap membantu.
“Begini saja Kak Fahri. Si Noura suruh turun di depan Masjid Rab’ah. Aku dan Farah akan menjemputnya tepat pukul setengah sembilan.”
“Baiklah.”
Hasil pembicaraanku dengan Nurul aku jelaskan pada Tuan Boutros dan Maria. Mereka tersenyum lega. Mereka mengajakku ke atas ke flat mereka untuk menjelaskan segalanya pada Noura. Di ruang tamu rumah Tuan Boutros, Noura menunduk dengan wajah sedih. Ada bekas biru lebam di pipinya yang putih. Matanya memerah karena terlalu banyak menangis. Aku meyakinkan, dia akan aman di tempat Nurul. Mereka semua mahasiswi Al Azhar dari Indonesia yang halus perasaannya dan baik-baik semua. Noura mengucapkan terima kasih atas pertolongan dan meminta maaf karena merepotkan. Kujelaskan di mana dia akan dijemput Nurul dan Farah.
“Biar cepat, kau naik metro sampai Ramsis. Setelah itu naik Eltramco jurusan Hayyul Asyir atau Hayyu Sabe’ yang lewat masjid Rab’ah. Turun di masjid Rab’ah dan cari dua mahasiswi Indonesia. Kau tentu tahu ‘kan muka orang Indonesia. Nurul memakai kaca mata jilbabnya panjang. Farah tidak pakai kaca mata, dia suka jilbab kecil. Ditunggu setengah sembilan tepat. Ini nomor telpon rumahnya,” kataku sambil menyerahkan selembar kertas bertuliskan nomor telpon dan selembar uang dua puluh pound. “Terimalah untuk ongkos perjalanan dan untuk menelpon kalau ada apa-apa.”
Noura terlihat ragu.
“Jangan ragu. Aku tidak bermaksud apa-apa. Kita ini satu atap dalam payung Al Azhar. Sudah selayaknya saling menolong,” kataku meyakinkan.
“Noura, terimalah. Fahri ini orang yang baik. Dia hafal Al-Qur’an. Apa kamu tidak percaya dengan orang yang hafal Al-Qur’an?” ucap Maria meyakinkan Noura.
Akhirnya Noura mau menerima kertas dan uang dua puluh pound itu dengan mata berlinang. Bibirnya bergetar mengucapkan rasa terima kasih. Pagi itu juga Noura pergi ke Nasr City dengan langkah gontai. Saat menatap Maria ia mengucapkan rasa terima kasih dan berusaha tersenyum.
* * *
Pukul sembilan Nurul menelpon, Noura sudah berada di tempatnya. Dia minta saya datang, sebab ada seorang anggota rumahnya yang belum bisa menerima Noura tinggal di sana. Terpaksa saat itu juga aku meluncur ke Nasr City. Sampai di sana aku menjelaskan panjang lebar apa yang menimpa Noura. Aku jelaskan penderitaannya seperti yang telah berkali-kali aku lihat. Tentang ayahnya, ibunya dan kakak perempuannya yang tiada henti menyiksa fisik dan batinnya. Tentang betapa baiknya keluarga Maria dan betapa dewasanya mereka menyarankan agar Noura tinggal di rumah orang yang seiman dengannya agar lebih at home. Mendengar itu semua mereka menitikkan air mata dan siap menerima Noura.
Dari Nasr City aku langsung ke kampus Al Azhar di Maydan Husein. Langsung ke syu’un thullab dirasat ulya. [54] Mereka mengucapkan selamat atas kelulusanku. Aku diminta segera mempersiapkan proposal tesis. Setelah itu aku ke toko buku Dar El-Salam yang berada di sebelah barat kampus, tepat di samping Khan El-Khalili yang sangat terkenal itu. Untuk melihat buku-buku terbaru Dar El-Salam adalah tempat yang paling tepat dan nyaman. Buku terbaru Prof. Dr. M. Said Ramadhan El-Bouthi menarik untuk dibaca. Kuambil satu.
Keluar dari Dar El-Salam matahari sudah sangat tinggi mendekati pusar langit. Udara sangat panas. Tak jauh dari Dar El-Salam ada penjual tamar hindi. Aku tak bisa mengekang keinginanku untuk minum. Satu gelas saja rasanya luar biasa segarnya. Aku pulang lewat Attaba. Aku teringat jadwal belanja. Kusempatkan mampir di pasar rakyat Attaba. Dua kilo rempelo ayam, satu kilo kibdah [55] dan dua kilo suguq [56] kukira cukup untuk lauk beberapa hari.
Begitu masuk mahattah metro, azan zhuhur berkumandang. Dalam perjalanan, panas matahari kembali memanggang. Sampai di rumah pukul dua kurang seperempat. Aku masuk kamar dengan ubun-ubun kepala terasa mendidih. Musim panas memang melelahkan. Sampai di flat aku langsung teler. Telentang di karpet dengan dada telanjang menikmati belaian hawa sejuk yang dipancarkan kipas angin kesayangan yang membuatku terlelap sesaat.
Dalam lelap, aku melihat Noura di pucak Sant Catherin, Jabal Tursina. Ia melepas jilbabnya, rambutnya pirang, wajahnya bagai pualam, ia tersenyum padaku. Aku kaget, bagaimana mungkin Noura berambut pirang, padahal ayah dan ibunya mirip orang Sudan. Hitam dan rambutnya negro. Aku menatap Noura dengan heran. Lalu Nurul datang. Ia menangis padaku, lalu marah-marah pada Noura. Aku terbangun membaca ta’awudz dan beristighfar berkali-kali. Jam setengah tiga. Aku belum shalat. Setan memang suka memanfaatkan kelemahan manusia. Tak pernah merasa kasihan. Untung waktu zhuhur masih panjang. Aku beranjak untuk shalat.
Usai shalat aku kembali menelentangkan badan. Kali ini di atas tempat tidur, entah kenapa kepalaku terasa nyut-nyut. Atau mungkin karena kelelahan dua hari ini. Mimpi bertemu Noura masih ada dipikiran. Juga Nurul, kenapa ia menangis dan marah. Apakah ini hanya kebetulan, atau jangan-jangan betulan. Aku jarang sekali bermimpi yang bukan-bukan. Mimpi bertemu perempuan bagiku adalah mimpi yang bukan-bukan. Aku masih bisa menghitung berapa kali aku bermimpi bertemu perempuan. Tak ada sepuluh kali. Semuanya bertemu perempuan yang satu, yaitu ibuku. Kali ini aku bertemu Noura yang memperlihatkan rambutnya yang pirang dan Nurul yang menangis dan marah. Yang kupikirkan adalah Nurul. Apakah Nurul sejatinya menerima kehadiran Noura dengan terpaksa. Hatiku tidak tenang. Aku bangkit. Tidak jadi tidur lagi. Kutelpon Nurul.
“Tidak ada acara Nur?”
“Sore ini tidak ada Kak. Jadwalnya istirahat.”
“Bagaimana dengan Noura?”
“Baik. Dia sekarang sedang tidur di kamarku. Benar katamu Kak, dia memang patut di kasihani. Punggungnya penuh luka cambuk.”
“Benarkah?”
“Ya.”
“Apa dia sudah bercerita banyak pada kalian?”
“Belum. Masih dalam taraf mencoba saling kenal. Tapi dia tidak tahan merasakan sakit di punggungnya akhirnya dia sedikit bercerita kalau ayahnya suka mencambuknya dengan ikat pinggang. Ayah yang kejam!”
“Sudah dibawa ke dokter?”
“Belum, rencananya nanti sore.”
“Nur, boleh aku tanya sedikit. Ini soal pribadi.”
“Apa itu Kak?”
“Apa kau sedang marah?”
“Marah kenapa?”
“Karena Noura. Apa kalian menerimanya dengan terpaksa?”
“Jangan suudhan pada saya dan teman-teman Kak. Keberadaan Noura di sini tidak ada masalah kok. Kenapa sih Kakak terlalu berprasangka begitu?”
“Ya aku kuatir saja kalian merasa terganggu dan direpotkan.”
“Nggak. Nggak apa-apa. Sure nggak apa-apa. Jangan kuatir!”
“Syukran kalau begitu.”
“Afwan.”
Benar, tadi itu yang datang dalam lelapku dari setan.
Nurul tidak apa-apa.
Suaranya juga bening ceria seperti biasa. Tidak ada rasa jengkel atau marah sedikit pun. Sekarang Noura berambut pirang. Benarkah? Selama ini aku tidak pernah melihat Noura lepas jilbab. Dari mana aku akan cari info. Tanya pada ibu atau kedua kakaknya, gila apa. Tanya Maria. Ya Maria, mungkin dia tahu. Aku balik ke kamar. Mengambil handphone dan mengirim pesan pada Maria.
“Maria boleh tanya?”
Lima menit kemudian,
“Boleh. Tanya apa?”
“Jangan kaget ya? Mungkin pertanyaan aneh.”
“Apa itu?”
“Apa Noura berambut pirang?”
“Pertanyaanmu memang aneh. Jawabnya ya, dia berambut pirang. Kenapa kau tanyakan itu?”
“Ingin tahu saja. Tapi jika dia berambut pirang memang aneh.”
“Aneh bagaimana? Orang Mesir biasa berambut pirang.”
“Bukan itu maksudku. Bukankah ayah dan ibunya seperti orang Sudan? Hitam dan berambut negro?”
“Kau ingin mengatakan Noura bukan anak mereka.”
“Entahlah. Ini hanya firasat.”
“Tapi firasatmu mungkin ada benarnya.”
“Hanya Tuhan yang tahu.”
Aku kembali menelentangkan badan di atas kasur. Saatnya tidur. Baru dua detik mata terpejam, handphoneku menjerit. Nomor tak kukenal. Siapa ya? Kuangkat,
“Assalamu’alaikum.”
Suara bening perempuan. Logatnya agak aneh. Siapa ?
“Wa ‘ailakumussalam. Ini siapa ya?” jawabku balik bertanya.
“Sind Sie Herr Fahri?” [57] Dia malah balik bertanya dengan bahasa Jerman. Aku langsung teringat perempuan bercadar biru muda yang kemarin bertemu di dalam metro. Dia pasti Aisha.
“Ja. Sie Aisha?” jawabku dengan bahasa Jerman.
“Ja. Herr Fahri, haben Sie zeit? [58] ” Pertanyaannya mengandung maksud mengajak bertemu.
“Heute?” [59]
“Ja. Heute, ba’da shalat el ashr.” [60]
Aku ingin tertawa mendengar dia mencampur bahasa Jerman dengan bahasa Arab. Tapi memang tepat. Kata-kata shalat sejatinya susah diterjemahkan ke dalam bahasa lain secara pas.
“Nein danke, heute ba’da shalat el ashr habe ich leider keine Zeit! Ich habe schon eine verabredung!” [61] Maksudku adalah janji pada jadwal untuk menerjemah.
Aisha lalu menjelaskan ia ingin bertemu denganku secepatnya. Ia minta aku bisa meluangkan sedikit waktu. Karena sangat penting. Berkaitan dengan Alicia yang katanya ingin berbincang seputar Islam dan ajaran moral yang dibawanya. Alicia ingin sekali bertanya banyak hal padaku sejak kejadian di atas metro itu. Aisha memohon dengan sangat, sebab menurutnya ini kesempatan yang baik untuk menjelaskan Islam yang sebenarnya pada orang Barat. Aisha mengatakan Alicia seorang reporter berita. Ia wartawan dan ini kesempatan emas. Mau tak mau aku mengiyakan dan menawarkan bagaimana jika bertemu besok. Ia senang sekali mendengarnya. Kami membuat kesepakatan bertemu di mahattah metro bawah tanah Maydan Tahrir tepat jam setengah sebelas. Aku minta padanya untuk datang tepat waktu. Ia tertawa. Sedikit ia meledek, bukankah seharusnya dia yang meminta padaku untuk datang tepat waktu. Aku tersenyum kecut. Memang orang Indonesia terkenal jam karetnya. Aku tidak sangka kalau orang seperti Aisha tahu akan hal itu. Aku tidak perlu bertanya padanya dari mana ia tahu itu. Sebuah pertanyaan bodoh di dunia global seperti sekarang ini. Bukankah dengan kecanggihan teknologi jarum jatuh di pelosok Merauke sana bisa terdengar sampai ke New York dan ke seluruh penjuru dunia?
Aku langsung menulis janji bertemu Aisha pada planning kegiatan esok hari. Ternyata padat. Besok jadwal khutbah di masjid Indonesia. Berarti nanti malam mempersiapkan bahan khutbah. Pagi diketik dan langsung di-print. Lantas istirahat. Tidak ke mana-mana. Tidak juga sepak bola. Untak stamina khutbah. Kalaupun ingin melakukan sesuatu lebih baik menerjemah beberapa halaman. Jam sembilan berangkat. Sampai di Tahrir kira-kira jam sepuluh. Kalau misalnya metro sedikit terlambat, aku bisa tetap datang tepat waktu. Lantas berbincang dengan Aisha dan Alicia sampai jam sebelas. Setelah itu pergi ke Dokki untuk khutbah. Aku harus datang di awal waktu biar tidak gugup. Begitu rencananya. Jika tidak dibuat outline yang jelas seperti itu akan membuat hidup tidak terarah dan banyak waktu terbuang percuma.
Kulihat kalender. Melihat kalender adalah hal yang paling kusuka. Karena bagiku dengan melihatnya optimisme hidup itu ada.
Jum’at tanggal sembilan dan Sabtu tanggal sepuluh. Ada tanda pada tanggal sepuluh. Hmm..kapan aku memberi tanda dan untuk apa? Jangan-jangan aku ada janji dengan seseorang. Aku berusaha mengingat-ingat. Rancangan kegiatan satu bulan aku lihat. Juga tidak ada janji khusus. Terus itu tanda apa ya? Hari Minggunya, tanggal sebelas juga ada tanda yang sama. Dua hari berturut-turut. Aku teringat sesuatu. Ya itu tanda yang aku bubuhkan tiga bulan lalu begitu tahu tanggal lahir seluruh keluarga Tuan Boutros. Aku berniat memberikan hadiah untuk mereka, tepat di hari ulang tahun mereka. Madame Nahed, ibunya Maria, ulang tahun tanggal 10 Agustus. Si Yousef adik lelaki Maria tanggal 11 Agustus, satu hari setelah ibunya. Sedangkan Tuan Boutros 26 Oktober, dan Maria 24 Desember. Tanggal-tanggal itu telah aku beri tanda. Aku paling suka memberi kejutan pada teman atau kenalan. Teman satu rumah sudah mendapatkan hadiah mereka pada hari istimewa mereka. Berarti besok kegiatannya bertambah satu, mencarikan hadiah untuk Madame Nahed dan Yousef. Hadiah yang sederhana saja. Sekadar untuk memberikan rasa senang di hati tetangga. Tiba-tiba aku berpikir ingin memberikan hadiah pada Si Muka Dingin Bahadur, ayah Noura yang mirip orang Sudan itu. Apa reaksinya kira-kira?
* * *

5. Pertemuan di Tahrir

Jam 10.10 aku sampai di mahattah metro bawah tanah Maydan Tahrir. Sesuai dengan janji, kami akan bertemu di jalur metro menuju Giza Suburban. Tempatnya lebih nyaman. Lebih indah. Aku mencari tempat duduk yang paling mudah dilihat. Janjinya tepat setengah sebelas. Aku datang dua puluh menit lebih awal. Sambil menunggu aku membaca kembali bahan khutbah yang telah kupersiapkan. Keadaan mahattah tidak terlalu ramai. Menjelang shalat Jum’at seperti ini biasanya memang agak lengang. Seorang polisi bersiaga dengan senjata di pinggang. Petugas kebersihan berseragam menyapu pelan-pelan. Seorang perempuan berjubah hitam bercadar hitam datang. Kukira dia Aisha, ternyata bukan. Perempuan itu tidak melihat ke arahku sama sekali. Begitu metro datang, ia langung naik dan hilang.
Sudah pukul sebelas Aisha belum juga datang. Aku akan menunggu sampai seperempat jam ke depan jika ia tidak datang aku akan langsung pergi ke Dokki. Pukul sebelas lima menit ada seorang perempuan berabaya cokelat tua dengan jilbab dan cadar di kepalanya. Ia melangkah tergesa ke arahku. Ia mengucapkan salam dan aku menjawabnya.
“Nehmen Sie platz!” [62] kupersilakan dia duduk.
“Danke schon.” [63] Selorohnya sambil bergerak duduk di samping kananku.
“Bitte.” [64]
Aisha melihat jam tangannya. Dia minta maaf datang terlambat. Aku hanya tersenyum. Kami lalu mulai berbincang-bincang. Aisha memilih pakai bahasa Jerman.
“Wo ist Alicia?” [65] Tanyaku karena aku tidak juga melihat bule Amerika itu datang.
“Insya Allah, dia akan datang sepuluh menit lagi. Dia sedang dalam perjalanan dari wawancara dengan Ibrahem Nafe’, Pemimpin Redaksi Harian Ahram.”
Aku bisa memaklumi, namun aku perlu menjelaskan padanya bahwa tepat setengah dua belas aku harus meninggalkan Tahrir. Sekali lagi Aisha minta maaf atas keterlambatannya dan keterlambatan Alicia. Dalam hati aku senang, bahwa memang perlu sekali-kali orang Barat minta maaf pada orang Indonesia, karena mereka datang tidak tepat waktu. Makanya, jangan main-main dengan murid Syaikh Utsman yang terkenal disiplin.
“Semoga lima belas menit cukup bagi Alicia untuk mendapatkan jawaban atas ketidaktahuannya akan Islam,” kata Aisha dengan nada sedikit menyesal.
“Sebetulnya saya senang diajak berbincang untuk menjelaskan keindahan Islam. Tapi kali ini saya ada jadwal khutbah. Maafkan saya.”
“Kalau waktunya tidak cukup, anggaplah ini pertemuan pengantar saja. Semoga Anda tidak keberatan seandainya Alicia minta waktu lagi, entah kapan.”
“Insya Allah. Dengan senang hati.”
Aisha lalu bertanya-tanya tentang saya. Tentang Indonesia. Tentang Jawa. Dia pun sempat sedikit mengenalkan dirinya. Dia baru empat bulan di Cairo. Tujuannya untuk belajar bahasa Arab dan memperbaiki bacaan Al-Qur’annya. Di Jerman ia sudah tingkat akhir Fakultas Psikologi. Ayahnya asli Jerman. Ibunya asli Turki. Dari ibunya ia memiliki darah Palestina. Sebab neneknya atau ibu ibunya adalah wanita asli Palestina. Ibunya bilang, neneknya lahir di Giza. Aku bertanya sejak kapan memakai jilbab dan cadar. Ia menjawab memakai jilbab sejak SMP dan memakai cadar sejak tiba di Mesir, mengikuti bibinya. Sementara ia memang tinggal di Maadi bersama bibi dan pamannya. Bibinya sedang S.2. di Kuliyyatul Banat Universitas Al Azhar, beliau adik bungsu ibunya. Sedangkan pamannya sedang S.3., juga di Al Azhar. Aku mengenal beberapa orang Turki yang ada di program pascasarjana. Aku teringat sebuah nama.
“Aku kenal seorang mahasiswa Turki. Dia cukup akrab denganku. Dia pernah bilang tinggal di dekat Kentucky Maadi, mungkin pamanmu kenal,” kataku.
“Dekat Kentucky? Siapa namanya? Coba nanti aku tanyakan pada paman,” Aisha penasaran.
“Namanya Eqbal Hakan Erbakan?”
“Siapa?”
“Eqbal Hakan Erbakan.”
“La ilaaha illallah!”
“Kenapa?”
“Itu pamanku.”
“So ein zufall! [66]
“Dunia begitu sempit bukan? Tak kukira kau kenal pamanku.”
“Sampaikan salamku untuknya. Katakan saja dari Fahri Abdullah Shiddiq, teman i’tikaf di masjid Helmeya Zaitun tahun lalu. Juga sampaikan salamku pada bibimu dan kedua puteranya yang lucu; Amena dan Hasan.”
“Insya Allah dengan senang hati.
Dari kejauhan aku melihat seorang perempuan bule datang.
“Apakah dia Alicia?”
“Kelihatannya.”
Penampilannya memang berbeda dengan waktu aku melihatnya di metro dua hari yang lalu. Sekarang tampak lebih sopan. Memakai hem lengan panjang. Tidak kaos ketat dengan bagian perut terlihat. Ia menyapa kami dengan tersenyum. Aisha menjelaskan waktu yang ada sangat sempit, karena jam setengah dua belas aku harus cabut ke Masjid Indonesia di Dokki. Alicia bisa mengerti dan minta maaf atas keterlambatan. Ia langsung membuka dengan sebuah pertanyaan,
“Begini Fahri, di Barat ada sebuah opini bahwa Islam menyuruh seorang suami memukul isterinya. Katanya suruhan itu terdapat dalam Al-Qur’an. Ini jelas tindakan yang jauh dari beradab. Sangat menghina martabat kaum wanita. Apakah kau bisa menjelaskan masalah ini yang sesungguhnya? Benarkah opini itu, atau bagaimana?”
Aku menghela nafas panjang. Aku tidak kaget dengan pertanyaan Alicia itu. Opini yang sangat mendiskreditkan itu memang seringkali dilontarkan oleh media Barat. Dan karena ketidakmengertiannya akan ajaran Islam yang sesungguhnya banyak masyarakat awam di Barat yang menelan mentah-mentah opini itu. Dengan kemampuan yang ada aku berusaha menjelaskan sebenarnya. Aku berharap Alicia bisa memahami bahasa Inggrisku dengan baik,
“Tidak benar ajaran Islam menyuruh melakukan tindakan tidak beradab itu. Rasulullah Saw. dalam sebuah haditsnya bersabda, ‘La tadhribu imaallah!’ [67] Maknanya, ‘Jangan kalian pukul kaum perempuan!’ Dalam hadits yang lain, beliau menjelaskan bahwa sebaik-baik lelaki atau suami adalah yang berbuat baik pada isterinya. [68] Dan memang, di dalam Al-Qur’an ada sebuah ayat yang membolehkan seorang suami memukul isterinya. Tapi harus diperhatikan dengan baik untuk isteri macam apa? Dalam situasi seperti apa? Tujuannya untuk apa? Dan cara memukulnya bagaimana? Ayat itu ada dalam surat An-Nisa, tepatnya ayat 34:
“Sebab itu, maka Wanita yang saleh ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu kuatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”
Jadi seorang suami diperbolehkan untuk memukul isterinya yang telah terlihat tanda-tanda nusyuz.”
Alicia menyela, “Nusyuz itu apa?”
“Nusyuz adalah tindakan atau perilaku seorang isteri yang tidak bersahabat pada suaminya. Dalam Islam suami isteri ibarat dua ruh dalam satu jasad. Jasadnya adalah rumah tangga. Keduanya harus saling menjaga, saling menghormati, saling mencintai, saling menyayangi, saling mengisi, saling memuliakan dan saling menjaga. Isteri yang nusyuz adalah isteri yang tidak lagi menghormati, mencintai, menjaga dan memuliakan suaminya. Isteri yang tidak lagi komitmen pada ikatan suci pernikahan. Jika seorang suami melihat ada gejala isterinya hendak nusyuz, hendak menodai ikatan suci pernikahan, maka Al-Qur’an memberikan tuntunan bagaimana seorang suami harus bersikap untuk mengembalikan isterinya ke jalan yang benar, demi menyelamatkan keutuhan rumah tangganya. Tuntunan itu ada dalam surat An-Nisaa ayat 34 tadi. Di situ Al-Qur’an memberikan tuntunan melalui tiga tahapan,
Pertama, menasihati isteri dengan baik-baik, dengan kata-kata yang bijaksana, kata-kata yang menyentuh hatinya sehingga dia bisa segera kembali ke jalan yang lurus. Sama sekali tidak diperkenankan mencela isteri dengan kata-kata kasar. Baginda Rasulullah melarang hal itu. Kata-kata kasar lebih menyakitkan daripada tusukan pedang.
Jika dengan nasihat tidak juga mempan, Al-Qur’an memberikan jalan kedua, yaitu pisah tempat tidur dengan isteri. Dengan harapan isteri yang mulai nusyuz itu bisa merasa dan interospeksi. Seorang isteri yang benar-benar mencintai suaminya dia akan sangat terasa dan mendapatkan teguran jika sang suami tidak mau tidur dengannya. Dengan teguran ini diharapkan isteri kembali salehah. Dan rumah tangga tetap utuh harmonis.
Namun jika ternyata sang isteri memang bebal. Nuraninya telah tertutupi oleh hawa nafsunya. Ia tidak mau juga berubah setelah diingatkan dengan dua cara tersebut barulah menggunakan cara ketiga, yaitu memukul.
Yang sering tidak dipahami oleh orang banyak adalah cara memukul yang dikehendaki Al-Qur’an ini. Tidak boleh sembarangan. Suami boleh memukul dengan syarat:
Pertama, telah menggunakan dua cara sebelumnya namun tidak mempan. Tidak diperbolehkan langsung main pukul. Isteri salah sedikit main pukul. Ini jauh dari Islam, jauh dari tuntunan Al-Qur’an. Dan Islam tidak bertanggung jawab atas tindakan kelaliman seperti itu.
Kedua, tidak boleh memukul muka. Sebab muka seseorang adalah segalanya bagi manusia. Rasulullah melarang memukul muka.
Ketiga, tidak boleh menyakitkan. Rasulullah Saw. bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah dalam masalah perempuan (isteri). Mereka adalah orang-orang yang membantu kalian. Kalian punya hak pada mereka, yaitu mereka tidak boleh menyentuhkan pada tempat tidur kalian lelaki yang kalian benci. Jika mereka melakukan hal itu maka kalian boleh memukul mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan (ghairu mubrah). Dan kalian punya kewajiban pada mereka yaitu memberi rizki dan memberi pakaian yang baik.’ [69] Para ulama ahli fiqih dan ulama tafsir menjelaskan kriteria ‘ghairu mubrah’ atau ‘tidak menyakitkan’ yaitu tidak sampai meninggalkan bekas, tidak sampai membuat tulang retak, dan tidak di bagian tubuh yang berbahaya jika kena pukulan.
Dengan menghayati benar-benar kandungan ayat suci Al-Qur’an itu dan makna hadits-hadits Rasulullah itu akan jelas sekali seperti apa sebenarnya ajaran Islam. Apakah seperti yang dituduhkan dan diopinikan di Barat yang menghinakan wanita? Apakah tuntunan mulia seperti itu, yang bertujuan menyelamatkan bahtera rumah tangga karena ada gejala isteri hendak nusyuz, tidak lagi bersahabat pada suaminya, hendak menodai ikatan suci pernikahan dianggap tiada beradab?
Kapan seorang suami diperbolehkan memukul? Pada isteri macam apa? Syaratnya memukulnya apa saja? Tujuannya apa? Itu semua haruslah diperhatikan dengan seksama. Memukul seorang isteri jahat tak tahu diri dengan pukulan yang tidak menyakitkan agar ia sadar kembali demi keutuhan rumah tangga, apakah itu tidak jauh lebih mulia daripada membiarkan isteri berbuat seenak nafsunya dan menghancurkan rumah tangga?
Ya inilah ajaran Islam dalam mensikapi seorang isteri yang berperilaku tidak terpuji. Islam sangat memuliakan perempuan, bahwa di telapak kaki ibulah surga anak lelaki. Hanya seorang lelaki mulia yang memuliakan wanita. Demikian Islam mengajarkan.”
Rasanya sudah cukup panjang aku menjelaskan. Alicia tampak mengangguk-anggukkan kepala. Sekilas kulihat mata Aisha berkaca-kaca. Entah kenapa. Sebenarnya aku ingin memaparkan ratusan data tentang perlakuan tidak manusiawi orang-orang Eropa pada isteri-isteri mereka. Namun kuurungkan. Biarlah suatu saat nanti sejarah sendiri yang membeberkan pada Alicia dan orang-orang seperti Alicia. Di Inggris, beberapa abad yang lalu isteri tidak hanya boleh dipukul tapi boleh dijual dengan harga beberapa poundsterling saja. Ada seorang Perdana Menteri Jepang yang mengatakan bahwa cara terbaik memperlakukan wanita adalah dengan menamparnya. Dengan bangga Perdana Menteri itu mengaku sering menampar isteri dan anak perempuannya. Ia bahkan menasihati suami puterinya agar tidak segan-segan menampar isterinya. Untungnya Inggris dan Jepang bukan negara yang mayoritas penduduknya muslim. Jika mereka negara Islam atau mayoritas penduduknya muslim pastilah protes keras atas perlakuan tidak beradab pada perempuan itu akan datang bagaikan gelombang badai.
Aku menengok jam tangan. Pukul 11.35.
“Maaf. Aku harus pergi sekarang. Aku sudah terlambat lima menit dari rencana,” ucapku pada Alicia dan Aisha sambil bangkit dari duduk.
“Dari jawaban yang kau berikan aku mendapatkan masukan yang sama sekali baru aku mengerti. Sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin aku tanyakan kepadamu.Tentang Islam memperlakukan perempuan. Tentang Islam memperlakukan non-Islam. Tentang Islam dan perbudakan dan lain sebagainya. Dan aku berharap akan mendapatkan jawaban yang baik dalam perspektif yang adil,” Alicia mengungkapkan harapannya.
“Saya senang berjumpa dengan orang seperti Anda Nona Alicia. Sebisa mungkin saya akan memenuhi harapan Anda itu, insya Allah. Tapi terus terang, bulan ini saya sangat sibuk. Saya harus komitmen dengan jadwal yang telah ada. Anda tentu bisa memaklumi. Apalagi saya sedang menyelesaikan magister saya. Jadi terus terang saya akan berusaha mencuri-curi waktu. Saya ada ide. Bagaimana kalau semua pertanyaan yang ingin Anda sampaikan, Anda tulis saja dalam sebuah kertas. Anda print. Dan nanti serahkan pada saya. Saya akan menjawabnya di sela-sela waktu senggang saya. Jika sudah terjawab semua akan saya serahkan kembali pada Anda. Lalu kita bertemu dalam suatu tempat dan kita diskusikan masalah yang belum clear. Bagaimana?”
“Saya kira ini ide yang bagus. Saya akan tuliskan pertanyaan saya secepatnya. Dalam dunia jurnalistik wawancara tertulis lazim juga digunakan. Terus bagaimana kita bisa bertemu lagi. Meskipun cuma sebentar untuk menyerahkan pertanyaan-pertanyaan saya itu?”
Aku berpikir sesaat. Mengingat jadwal aku keluar.
“Anda sekarang tinggal di mana?” tanyaku setelah aku ingat jadwal keluar dari Hadayek Helwan dalam waktu dekat.
“Saya menginap di Nile Hilton Hotel.”
“Sampai kapan?”
“Kira-kira masih sembilan hari di Mesir.”
“Baik. Bagaimana kalau kita berjumpa besok Senin, tepat pukul sebelas pagi?”
“Okey. Di mana?”
“Di kafetaria National Library. Letaknya di Kornes Nil Street tak jauh dari hotel Anda. Semua orang Mesir di hotel Anda, yang Anda tanya pasti tahu.”
“Baiklah.”
“Aku boleh datang ‘kan?” sela Aisha.
“Tentu saja,” jawabku dan Alicia hampir bersamaan.
“Kalau begitu aku pamit dulu. Bye!”
Aku beranjak pergi meninggalkan keduanya tepat pada saat sebuah metro dari Shubra El-Khaima datang. Perlahan berhenti. Perlahan-lahan terbuka. Kutunggu orang-orang yang turun habis. Baru aku naik. Ada banyak tempat duduk kosong. Aku pilih paling dekat. Duduk melihat ke arah jendela. Masinis membunyikan tanda. Ding dung...ding dung! Tanda metro sebentar lagi berjalan.
Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang perempuan menyapaku dengan bahasa Arab minta izin duduk, “Hal tasmahuli an ajlis!”
Aku menengok ke asal suara. Perempuan bercadar. Aisha! Aku sedikit kaget. Aku menggeser tempat dudukku. Aisha duduk di sampingku.
“Mau ke mana?” tanyaku. Kali ini kami berbincang dalam bahasa Arab. Aku berusaha menggunakan kalimat-kalimat fusha yang mudah dipahami olehnya. Kuhindari bahasa ‘amiyah sama sekali.
“Aku perlu ikut kamu ke Masjid Indonesia,” jawabnya.
“Untuk apa?”
Metro mulai berjalan. Dua menit lagi metro akan melintas di bawah sungai Nil. Sayangnya pemandangan di luar jendela hanya gelap berseling cahaya lampu neon menempel di dinding terowongan.
“Aku ingin tahu komunitas orang Indonesia di Mesir. Siapa tahu aku bisa dapat bahan untuk tesis psikologi sosial S.2.-ku kelak. Aku lagi melengkapi data tentang masyarakat Jawa. Jadi mumpung ada kesempatan. Aku tidak akan melewatkan begitu saja. Siapa tahu nanti di masjid ada mahasiswi atau muslimah Indonesia, aku bisa kenalan. Dan besok-besok jika aku ada perlu, bisa datang sendiri.”
“O, begitu. Kalau ingin bertemu mahasiswi Indonesia, seandainya di masjid nanti tidak ada, namun semoga ada, insya Allah aku bisa bantu.”
“Terima kasih. Aku dengar dari paman, di Nasr City banyak mahasiswi Indonesia.”
“Benar. Mahasiswa Asia Tenggara mayoritas tinggal di sana.”
“Tadi kau bilang mau buat proposal tesis. Boleh tahu rencananya tema apa yang hendak kau garap?”
“Mungkin Metodologi Tafsir Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi.”
“Ulama pembaru dari Turki itu?”
“Benar.”
“Pasti akan sangat menarik. Kebetulan keluarga kami di Turki adalah pengikut setia jamaah Syaikh Said An-Nursi rahimahullah.”
“Aku tahu, Eqbal Hakan pernah cerita padaku.”
“Di rumahnya banyak buku-buku karangan Syaikh An-Nursi.”
“Ya. Suatu saat aku akan ke sana jika aku perlu data tambahan.”
“Apa kau yakin sekarang tidak perlu data tambahan?”
“Untuk sekadar proposal mengajukan judul, konsepnya sudah matang dan tinggal saya ketik. Saya sudah punya empat ratus referensi. Jika diterima oleh tim penilai, barulah perlu bahan selengkap-lengkapnya untuk penyusunan tesis.”
“Semoga diterima. Jika kelak tesismu jadi siapa tahu bisa diterbitkan di Turki.”
“Amin.”
Metro sampai di mahattah Dokki. “Kita turun?” tanya Aisha.
“Tidak, mahattah depan. Tapi tidak ada salahnya siap-siap.”
Kami beranjak ke dekat pintu. Kami berdiri berdekatan. Di kaca pintu metro aku melihat bayanganku sendiri. Sama tingginya dengan Aisha. Mungkin aku lebih tinggi sedikit. Satu atau dua sentimeter saja. Metro berjalan lagi. Tak lama kemudian sampai di mahattah El-Behous. Antara mahattah Dokki dan mahattah El-Behous jaraknya memang tidak terlalu jauh. Keduanya masih dalam satu kawasan, yaitu kawasan Dokki.
Metro berhenti. Kami turun. Mahattah El-Behous berada sekitar dua puluh lima meter di bawah tanah. Dengan eskalator kami naik ke atas. Kami keluar ke permukaan seperti vampire keluar dari sarangnya di siang bolong. Sinar matahari terasa sangat menyilaukan. Panasnya menyengat dan menyiksa. Cepat-cepat kuambil kaca mata hitam dari tas cangklongku. Lumayan, untuk menyejukkan kornea mata. Aku berjalan dengan langkah cepat menuju Mousadda Street. Aisha mengimbangi langkah dua meter di belakangku. Kami diam seribu bahasa.
11.30.14 waktu Cairo, kami tiba di Masjid Indonesia yang tak lain adalah lantai dasar sebuah gedung yang disebut Sekolah Indonesia Cairo atau biasa disebut SIC. Lantai dasar itu cukup luas dan benar-benar layak disebut masjid. Beberapa kali Bapak Duta Besar Indonesia di Cairo mengundang diplomat negara lain yang muslim untuk shalat Jum’at di masjid ini. Dari gerbang masjid aku menangkap suara riuh anak-anak mengeja Al-Qur’an. Mereka adalah putera-puteri para pejabat KBRI yang belajar mengaji dibimbing oleh mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang sedang belajar di Al Azhar. Kupersilakan Aisha masuk.
Kulihat ada dua kelompok anak-anak mengaji. Di sebelah selatan dekat mihrab, kelompok putera dibimbing oleh Fathurrahman dan Hasyim, keduanya mahasiswa Al Azhar yang mengabdikan diri menjadi takmir. Di sebelah utara, kelompok puteri dibimbing oleh seorang perempuan bercadar, aku tidak tahu namanya dan seorang mahasiswi yang aku kenal yaitu Nurul, Ketua Wihdah. Diam-diam aku salut pada Nurul. Meskipun ia jadi ketua umum organisasi mahasiswi Indonesia paling bergengsi di Mesir, tapi ia tidak pernah segan untuk menyempatkan waktunya mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an. Setelah bersalaman dengan Fathurrahman dan Hasyim, kuajak Aisha menemui Nurul yang sedang mengajar, dan beberapa kali melihat ke arah kami. Mungkin ia heran melihat aku datang bersama seorang perempuan bercadar. Selama ini aku dikenal tidak pernah jalan bersama seorang perempuan mana pun.
Kukenalkan Aisha pada Nurul dan Nurul pada Aisha. Kujelaskan siapa Aisha pada Nurul dan kujelaskan siapa Nurul pada Aisha. Nurul menyambut Aisha dengan senyum mengembang. Setelah mereka berbincang beberapa kalimat, barulah aku minta diri pada mereka untuk mempersiapkan khutbah. Sebelumnya aku jelaskan pada Aisha jika masih ingin berbincang, selepas shalat Jum’at ada waktu, meskipun sebentar.
Meskipun telah mandi, aku merasa perlu mandi lagi agar segar kembali. Musim panas selalu membuatku ingin mandi berkali-kali. Aku langsung ke ruang takmir yang tidak asing lagi bagiku. Melepas pakaian ganti sarung dan mandi. Masjid ini bisa dikatakan sangat lengkap peralatannya. Mulai dari peralatan ibadah, sound system, dan lain sebagainya. Bahkan peralatan dapur pun ada. Masjid memiliki dapur yang integral dengan dapur SIC. Memang kelebihan materi jika dialirkan untuk ibadah membuat segalanya jadi indah. Usai mandi aku kembali ke kamar takmir. Hasyim meminjamkan sarung baru, jas, serban dan kopiah putih. Aku memang sudah memesannya Jum’at yang lalu. Hasyim sudah paham, di antara sekian banyak mahasiswa yang mendapat jadwal khutbah hanya aku yang paling aneh. Datang memakai pakaian santai. Mandi dan merapikan diri di masjid. Sebab perjalanan dari Hadayek Helwan sampai Dokki cukup memakan waktu. Aku tidak mau ribet.
Pukul 12.00 pengajian anak-anak selesai. Pukul 12.20 Hasyim membaca Al-Qur’an dengan mujawwad menunggu jamaah datang. Pukul 12.35 ritual ibadah shalat Jum’at di mulai. Bapak Duta ada di barisan ketiga. Beliau datang agak terlambat. Tema khutbah yang diberikan takmir kepadaku adalah ‘Indahnya Cinta Karena Allah.’ Selesai pukul 13.20. Kami lalu makan bersama di belakang masjid. Menunya adalah Coto Makasar dan Es Buah.
Usai makan aku mendekati Aisha dan Nurul untuk pamitan. Kutanyakan pada Aisha apa masih ada yang bisa kubantu. Sebuah pertanyaan basa-basi. Dia bilang tidak. Kutanyakan apa mau pulang bersama. Sebab jalurnya sama. Sekali lagi sebuah pertanyaan basa-basi. Dia jawab masih ada yang dibicarakan dengan Nurul. Lalu Aku teringat Noura.
“Nur, bagaimana kabar Noura?”
“Dia sudah mulai dekat dengan kita-kita dan bisa tertawa.”
“Dia cerita tentang dirinya nggak?”
“Ya. Tapi baru sebatas sekolahnya.”
“Tentang perlakuan keluarganya padanya?”
“Belum.”
“Tolong dekati dia. Sepertinya dia memendam masalah serius. Perlakuan keluarganya selama ini tidak wajar. Kata Tuan Boutros, kita tidak akan bisa membantu kalau dia tidak jujur menjelaskan masalahnya. Kenapa malam-malam sampai dicambuk dan diusir ayahnya. Dia cerita pada Maria, ayah dan dua kakak perempuan menyuruh dia melakukan suatu pekerjaan yang dia tidak bisa melakukannya. Pekerjaan apa itu? Dan kenapa dia tidak bisa melakukannya? Apa masalah dia sesungguhnya. Kalau ayahnya menuntut dia harus kerja untuk dapat uang, Madame Nahed, ibunya Maria menawarkan dia bisa kerja di kliniknya sore hari. Tolong Nur, kau dekati dia dan bicaralah dari hati ke hati. Aku paling tidak tahan kalau melihat ada orang tertindas dan menderita di depan mataku.”
“Insya Allah Kak.”
“Oh ya, ini, untuk biaya makan Noura satu bulan. Semoga cukup,” aku mengulurkan amplop yang baru kuterima dari takmir.
“Tidak usah Kak.”
“Sudah jangan pakewuh. Kita sama-sama mahasiswa. Kita makan juga iuran. Kalau uang dapur ngepres kita juga ketar-ketir. Ayo terimalah! Apalagi Noura orang Mesir, dia tidak bisa selalu makan masakan kalian. Dia harus makan makanan Mesir dan itu perlu biaya ‘kan? Terimalah!”
Akhirnya Nurul mau menerimanya.
Bagaimana mungkin aku yang sudah merepotkan mereka masih juga membebankan biaya pada mereka. Dakwah ya dakwah. Ibadah ya ibadah. Tapi elokkah ongkos dakwah dan ibadah dibebankan orang lain?
Aku jadi teringat sepenggal episode perjalanan hijrah Nabi. Ketika akan berangkat hijrah ke Madinah beliau diberi seekor onta oleh Abu Bakar. Namun beliau tidak mau menerimanya dengan cuma-cuma. Beliau mau menerima dengan syarat onta itu beliau beli. Abu Bakar inginnya memberikan secara cuma-cuma untuk perjalanan hijrah Nabi. Tapi baginda Nabi tidak mau beban sarana dakwah dipikul oleh Abu Bakar yang tak lain adalah umatnya. Baginda Nabi tidak mau menggunakan kesempatan pengorbanan orang lain. Abu Bakar punya keluarga yang harus dihidupi. Dakwah harus berjalan profesional meskipun pengorbanan-pengorbanan tetap diperlukan. Dan Nabi mencontohkan profesional dalam berdakwah. Beliau tidak mau menerima onta Abu Bakar kecuali dibayar harganya. Mau tak mau Abu Bakar pun mengikuti keinginan Nabi. Onta itu dihargai sebagaimana umumnya dan Baginda Nabi membayar harganya. Barulah keduanya berangkat hijrah. Itulah pemimpin sejati. Tidak seperti para kiai di Indonesia yang menyuruh umat mengeluarkan shadaqah jariyah, bahkan menyuruh santrinya berkeliling daerah mencari sumbangan dana dengan berbagai macam cara termasuk menjual kalender, tapi dia sendiri cuma ongkang-ongkang kaki di masjid atau di pesantren.
Ketika seseorang telah disebut ‘kiai’ dia lalu merasa malu untuk turun ke kali mengangkat batu. Meskipun batu itu untuk membangun masjid atau pesantrennya sendiri. Dia merasa hal itu tugas orang-orang awam dan para santri. Tugasnya adalah mengaji. Baginya, kemampuan membaca kitab kuning di atas segalanya. Dengan membacakan kitab kuning ia merasa sudah memberikan segalanya kepada umat. Bahkan merasa telah menyumbangkan yang terbaik. Dengan khutbah Jum’at di masjid ia merasa telah paling berjasa. Banyak orang lalai, bahwa baginda Nabi tidak pernah membacakan kitab kuning. Dakwah nabi dengan perbuatan lebih banyak dari dakwah beliau dengan khutbah dan perkataan. Ummul Mu’minin, Aisyah ra. berkata, “Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an!” Nabi adalah Al-Qur’an berjalan. Nabi tidak canggung mencari kayu bakar untuk para sahabatnya. Para sahabat meneladani apa yang beliau contohkan. Akhirnya mereka juga menjadi Al-Qur’an berjalan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia Arab untuk dicontoh seluruh umat. Tapi memang, tidak mudah meneladani akhlak Nabi. Menuntut orang lain lebih mudah daripada menuntut diri sendiri.
“Nanti kalau ada apa-apa, atau ada yang kurang bilang saja. Juga kalau Noura sudah menceritakan masalahnya, langsung kontak secepatnya!” kataku pada Nurul.
Nurul mengangguk. Aku minta diri. Aku berdoa semoga masalah Noura segera selesai dan gadis malang itu tidak lagi menanggung derita yang mengenaskan. Bagaimana mungkin seorang ayah tega menyambuk anak gadisnya sampai mengelupas punggungnya. Di mana rasa kasih sayangnya? Apakah dia tiada pernah mendengar sabda nabi, siapa yang tidak memiliki rasa kasih sayang dia tidak akan disayang oleh Allah?
* * *

Dari El-Behous aku langsung ke Attaba. Aku harus mencari hadiah untuk Madame Nahed dan Yousef menyambut hari istimewa mereka. Meskipun sederhana, pasti akan jadi kejutan tersendiri, bahwa tetangganya dari Indonesia memberikan hadiah yang tiada disangka.
Aku ingat acara dunia wanita yang ditayangkan Nile TV. Di antara benda-benda yang disukai wanita adalah tas tangan. Kurasa tidak salah kalau aku menghadiahi Madame Nahed dengan tas tangan. Dan untuk Yousef aku akan belikan kaset percakapan bahasa Perancis dan kamusnya. Kuharap dia senang. Sebab dia pernah bilang jika kuliah nanti ingin mengambil sastra Perancis.
Attaba adalah pasar rakyat terbesar di Mesir. Semua ada. Harganya relatif lebih murah dibandingkan tempat yang lain. Meskipun begitu, seni menawar dan bergurau tetap penting untuk memperoleh harga miring. Orang Mesir paling suka dengan lelucon dan guyonan. Teater rakyat di Mesir sampai sekarang masih eksis, penontonnya selalu penuh melebihi gedung bioskop. Itu karena sandiwara humornya. Film Shaidi Fi Jamiah Amrika atau ‘Orang Kampung di Universitas Amerika’ adalah film yang sukses besar karena kocaknya. Mona Zaki bintang Lux Mesir itu tampil kocak di film itu. Aku sering mengumpulkan pepatah-pepatah kocak Mesir yang membuat orang Mesir akan terkaget dan tertawa saat kuajak bicara. Mereka akan terheran-heran aku dapat pepatah itu dari mana. Universitas Al Azhar tidak mungkin mengajarkannya. Pernah, seorang pedagang gendut yang kelihatannya enak diajak guyon kusapa dengan ‘Ya Kapten, kaif hal waz zaman syurumburum!” [70] Ia kaget dan terheran-heran. Aku tertawa dia pun tertawa. Kata-kata syurumburum adalah kata-kata aneh. Cara menyapa aneh ini aku dapat dari seorang pemilik qahwaji [71] di Sayyeda Zaenab.
Ohoi, sebetulnya hidup di Mesir sangat menyenangkan. Penuh seni dan hal-hal mengejutkan.
Di toko tas dan sepatu milik seorang lelaki muda bermuka bundar aku berhasil membawa tas tangan putih cantik dengan harga 50 pound. Padahal di tiga toko sebelumnya tas yang sama merk dan bentuknya tidak boleh 70 pound. Itu karena guyonan renyah. Ketika berbincang-bincang aku tahu dia penggemar aktor komedi legendaris Ismael Yaseen. Kubilang padanya aku ini cucu Ismael Yaseen. Lalu aku perlihatkan tingkah, mimik dan gaya bicara seperti Ismael Yasin. Dia terpingkal. Dan tas itu pun kena. Setelah dapat tas aku mencari kaset dan kamus untuk Yousef. Kutemukan yang murah di toko kaset Sono Cairo. Dalam perjalanan pulang di dalam metro ada anak kecil berjualan koran. Aku ambil dua, Ahram dan Akhbar El-Yaum.
Menjelang Ashar aku tiba di flat dengan tenaga yang nyaris habis dan darah menguap kepanasan. Benar-benar lemas. Rudi tahu aku pulang dan sangat kelelahan. Ia membawakan segelas karikade dingin. Rasanya sangat segar. Meskipun Rudi orang Medan yang kalau berbicara tidak bisa sehalus orang Jawa, tapi hatinya halus dan penuh pengertian. Melihat bungkusan yang aku bawa dia penasaran. Ia minta izin membukanya. Dia kaget aku beli tas wanita.
“Untuk siapa ini Mas? Sudah punya calon rupanya? Diam-diam menghanyutkan. Tapi memang sudah saatnya. Oh iya, tadi Nurul nelpon. Jangan-jangan dia nih calonnya. Terus ini beli kaset percakapan bahasa Perancis segala, memangnya mau S.3. ke Sorbonne apa? Aku jadi ingat wawancara di bulletin Citra bulan lalu, Si Ketua Wihdah itu katanya juga sedang kursus bahasa Perancis di Ain Syams. Pas buanget. Benarlah kata orang Inggris, love and a cough cannot be hid. Cinta dan batuk tidak dapat disembunyikan!”
“Sudahlah Akhi. Aku lagi capek sekali. Nanti habis maghrib aku jelaskan semua. Tidak usah berprasangka yang bukan-bukan.”
Anak muda di mana-mana sama.
Mataku sudah liyer-liyer. Rudi bangkit, “Akh, aku istirahat sebentar. Jam lima seperempat dibangunkan ya?”
“Kalau ada telpon dari Nurul bagaimana?”
“Sudah jangan terus menggoda.”
“Congratulation Mas. She is the star, she is the true coise, she will be a good wife!”
Anak ini kalau menggoda tak ada habisnya. Agak keterlaluan sebenarnya. Tapi aku malas meladeninya. Aku memejamkan mata. Tak perlu kutanggapi sekarang, nanti juga dia akan tahu yang sesungguhnya.


6. Hadiah Perekat Jiwa

Senja musim panas sungguh indah meskipun tetap tidak seindah musim semi. Aku membuka jendela kamar lebar-lebar. Semburat mega kemerahan menghiasi langit. Bau uap pasir masih terasa. Angin bertiup semilir seolah menghapus hawa panas. Jendela Maria kelihatannya juga terbuka. Habis maghrib paling enak memang membuka jendela. Membiarkan angin semilir mengalir. Sayup-sayup aku mendengar Maria bernyanyi.
Kalimatin laisat kal kalimaat!
Ia melantunkan lagu Majida Rumi dengan sangat indah. Suara Maria memang seindah suara penyanyi tersohor dari Lebanon itu.
Di kamar sebelah Saiful masih membaca An-Naml. Spontan aku menangkap makna ayat-ayat yang dibaca Saiful. Seekor semut berseru pada teman-temannya, “Hai semut-semut sekalian cepat masuklah ke dalam liang kalian. Sebentar lagi Sulaiman dan bala tentaranya akan lewat, kalian bisa terinjak kaki mereka dan mereka sama sekali tidak merasa menginjak kalian!” Nabi Sulaiman ternyata mendengar dan mengerti apa yang diucapkan semut itu. Nabi Sulaiman tersenyum. Aku pun tersenyum.
Aku duduk di depan meja belajar. Menulis beberapa baris kalimat indah untuk Yousef dan Madame Nahed dalam dua kertas berbeda. Masing-masing kumasukkan amplop. Dan kumasukkan dalam dua kardus kecil yang siap kubungkus. Hamdi dan Rudi masuk.
“Katanya mau membuat konferensi pers Mas?” canda Hamdi. Rudi cengar-cengir.
“Panggil Saiful sekalian!” sahutku tenang. Agaknya Saiful mendengar pembicaraan kami. Dia menyudahi bacaan Al-Qur’annya dan menyahut, “I’m coming!”
“Rud, tolong sambil kau bantu membungkus yang satu! Kau ‘kan jagonya membungkus kado,” pintaku pada Rudi.
“Beres Mas.”
Sambil membungkus kado aku menjelaskan untuk siapa kado ini sebenarnya. “Kita mengamalkan hadits Nabi, Tahaadu tahaabbu! Salinglah kalian memberi hadiah maka kalian akan saling mencintai! Ini waktu yang tepat untuk memberikan kejutan pada tetangga kita yang baik itu. Mereka sering sekali memberi makanan dan minuman kepada kita. Mereka juga perhatian pada kita. Jadi begitu sesungguhnya. Bukan untuk calon isteri. Jangan berprasangka sebab sebagian prasangka itu dosa!”
Mereka semua menganggukkan kepala. Rudi minta maaf. Kubalas dengan senyum.
“Kapan kado ini akan disampaikan Mas?” tanya Saiful.
“Insya Allah nanti menjelang mereka tidur,” jawabku.
“Bagaimana kita tahu mereka mau tidur?” sahut Hamdi.
“Jika aku mendengar Maria menutup jendela, biasanya dia siap untuk tidur. Dan Maria bilang mamanya selalu tidurnya lebih lambat darinya.”
* * *
Kira-kira pukul sebelas kudengar suara jendela ditutup. Itu Maria. Dua menit kemudian kukirim pesan ke nomor handphone-nya:
“Kalau mau tidur jangan lupa doa! Semoga mimpi bertemu Al-Masih.”
Tak lama kemudian datang balasan,
“Bagaimana kamu tahu aku akan tidur?”
Kujawab,
“Firasat orang beriman banyak benarnya.”
“Kau benar. Selamat malam.”
Saatnya telah tiba.
Kuajak teman-teman semua ke atas. Ke rumah Maria. Aku yakin Yousef dan Madame Nahed belum tidur. Tuan Boutros mungkin baru akan tidur. Kami menekan bel dua kali. Yousef membuka pintu dan melongok.
“Oh kalian. Ada perlu?” tanya Yousef. Ia belum melihat hadiah yang kami bawa.
“Mama ada? Kami perlu bicara dengan beliau,” tukasku.
“Ayo masuk.”
Yousef ke dalam memanggil mamanya. Tak lama kemudian Madame Nahed keluar dengan sedikit kaget. Biasanya kami selalu berurusan dengan Tuan Boutros atau Maria. Jarang sekali dengan beliau.
“Malam-malam begini mencari saya ada apa ya? Apa ada yang sakit?” tanya beliau yang memang seorang dokter, tapi tidak praktek di rumah.
“Maafkan kami Madame, jika kedatangan kami mengganggu. Kami datang untuk mengungkapkan rasa cinta dan hormat kami pada keluarga ini. Kebetulan kami telah menyiapkan hadiah ala kadarnya. Ini untuk Madame dan yang satunya untuk Yousef. Hadiah sederhana untuk ulang tahun Madame dan Yousef. Kami mendoakan semoga Madame dan Yousef bahagia dan berjaya.” Aku menjelaskan maksud kedatanganku dan teman-teman.
Madame Nahed benar-benar terkejut. Ia menerima hadiah itu dengan mata berkaca-kaca. Yousef mengucapkan terima kasih tiada terhingga. Setelah itu kami mohon diri meskipun Madame Nahed ingin kami minum kopi dulu.
“Kami tahu sudah saatnya istirahat. Kami tidak ingin istirahat Madame dan Yousef terganggu.”
Madame Nahed tidak bisa mengucapkan apa-apa kecuali terima kasih berkali-kali. Saat kami menuruni tangga, kami mendengar Madame Nahed berteriak-teriak senang memanggil Maria dan Tuan Boutros. Selanjutkan kami tidak tahu apa yang terjadi dalam rumah Madame Nahed itu.
Ketika aku bersiap untuk tidur, handphone-ku memekik. Ada pesan masuk. Kubaca. Dari Maria,
“Apa yang kalian lakukan sampai membuat Mama menangis haru?”
Aku merasa tidak perlu menjawab. Hatiku mengucapkah puji syukur kepada Tuhan berkali-kali. Tidak sia-sia rasanya panas-panas ke Attaba.
Maria kembali mengirim pesan,
“Hai orang Indonesia, kenapa tidak dijawab? Kau sudah tidur ya?”
Aku jawab, “Ya.”
Apa pesan masuk lagi. Tidak kulihat. Aku harus istirahat. Tiba-tiba mataku berkaca-kaca aku belum pernah memberikan kado pada ibuku sendiri di Indonesia. Sebelum kenal Kairo aku adalah orang desa yang tidak kenal yang namanya kado. Di desa hadiah adalah membagi rizki pada tetangga agar semua mencicipi suatu nikmat anugerah Gusti Allah. Jika ada yang panen mangga ya semua tetangga dikasih biar ikut merasakan. Ulang tahun tidak pernah diingat-ingat oleh orang desa. Yang diingat adalah netu, atau hari lahir menurut hitungan Jawa, misalnya Kamis Pon, Jum’at Wage dan seterusnya. Pada hari itu, seperti yang kuingat waktu kecil dulu, ibu akan membuat bubur merah atau makanan lengkap dengan lauk-pauknya di letakkan di atas tampah yang telah dialasi dengan daun pisang. Tampah adalah wadah seperti nampan bundar besar yang terbuat dari bambu Di bawah daun pisang ibu meletakkan uang recehan banyak sekali. Setelah siap semua teman-temanku dipanggil untuk makan bersama.
Sebelum makan ibu mengingatkan agar kami tidak lupa membaca basmalah bersama. Jika Mbah San kebetulan ada, ibu akan minta Mbak Ehsan berdoa dan kami, anak-anak, mengamininya. Barulah kami makan berramai-ramai. Setelah makanannya habis kami akan membuka daun pisang yang tadi dibuat alas makan. Lalu kami berebutan mengambil uang receh dengan serunya. Semua kebagian. Sebab jika ada yang dapat uang lebih dan ada yang tidak dapat maka sudah jadi kewajiban yang dapat lebih untuk membaginya pada yang tidak dapat. Biasanya ibu sudah menghitung jumlah anak yang akan diundang dan uangnya sesuai dengan jumlah anak itu. Jadi semuanya dapat jatah sama. Sebenarnya kami tahu jatah uang logamnya satu-satu. Tapi selalu saja dibuat rebutan dahulu. Masa kecil yang seru. Begitulah cara ibu-ibu di desaku menyenangkan hati anak-anak kecil. Kenangan indah yang tiada terlupakan. Lebih indah dari pesta meniup lilin dan bernyanyi happy bird day to you.
Pernah ada kiai muda dalam suatu pengajian di surau melarang ibu-ibu membuat pesta untuk anak-anak seperti itu. Katanya itu bid’ah. Ibu-ibu bingung dan lapor pada Mbah Ehsan. Mbah Ehsan yang pernah belajar di Pesantren Mambaul Ulum Surakarta itu hanya tersenyum dan bilang tidak apa-apa, tidak bid’ah, malah dapat pahala menyenangkan anak kecil. Kanjeng Nabi adalah teladan. Beliau paling suka menyenangkan hati anak kecil.
Ketika aku sudah sampai Mesir, dan setelah membaca kitab Al I’tisham karangan Imam Syathibi dan kitab As-Sunnah Wal Bid’ah yang ditulis Syaikh Yusuf Qaradhawi aku merenungkan kembali jawaban Mbah Ehsan. Sungguh suatu jawaban yang sangat arif. Sungguh tidak mudah untuk membid’ahkan suatu perbuatan terpuji yang tiada larangan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sungguh tidak bijak bertindak sembarangan menghukumi orang.
Pada kenyataannya, ibu-ibu di desa tidak pernah menganggap pesta pada netu anaknya sebagai suatu kewajiban agama yang harus dilakukan. Yang jika dilakukan dapat pahala jika tidak dapat dosa. Atau sebagai ibadah sunah, jika dilakukan dapat pahala jika ditinggal tidak apa-apa. Tidak ada anggapan itu masuk bagian dari ajaran agama. Apa yang dilakukan ibu-ibu di desa tak lebih dari ungkapan rasa sayangnya pada anaknya. Ia ingin anaknya merasa senang. Dan teman anak-anaknya juga senang. Itu saja.
Orang desa adalah orang yang hidupnya susah dan pas-pasan. Jika punya kelebihan rizki sedikit saja ingin berbagi kepada sesama. Ibu-ibu ingin menanamkan hal itu dalam jiwa anak-anaknya. Ketika seorang ibu di desa memiliki rizki ia ingin membahagiakan anaknya. Membuatkan sesuatu yang istimewa untuk anaknya. Tapi ia juga ingin anaknya membagi kebahagiaan dengan teman-temannya. Maka dibuatlah makanan yang agak banyak untuk dibancak bersama-sama. Adapun itu dipaskan dengan hari netu anaknya adalah agar anaknya merasa memiliki sesuatu istimewa. Ia merasa dihormati, dicintai dan disayangi. Hari itu ia merasa memiliki rasa percaya diri. Ia merasa ada sebagai manusia. Ia didoakan oleh teman-temannya yang mengamini doa Mbah Ehsan. Atau ia merasa ketika seluruh teman-temannya membaca basmalah bersama-sama, itu adalah doa mereka untuk dirinya. Pada hari itu anak orang paling miskin di suatu desa sekalipun akan tumbuh rasa percaya dirinya. Sebab anak orang kaya ikut serta makan satu nampan dengan seluruh anak-anak yang ada. Anak orang kaya makan pada nampan yang dibuat ibunya untuk dirinya pada hari istimewanya. Ia tidak merasa rendah diri. Seluruh anak-anak desa merasa sama. Makan bersama. Cuil mencuil tempe. Saling tarik menarik secuil rambak. Dan tertawa bersama. Lalu rebutan uang receh dan saling berbagi. Orang-orang desa adalah orang-orang susah dan mereka kaya akan cara menutupi kesusahan mereka dan menyulapnya menjadi kebahagian yang bisa dirasakan bersama-sama.
* * *
Pagi usai shalat shubuh ada orang menekan bel. Ternyata Yousef. Ia datang untuk sekali lagi mengucapkan terima kasih dan mengabarkan kami sesuatu,
“Mama ingin membuat pesta ulang tahun kami berdua di sebuah Villa di Alexandria. Kalian satu rumah kami undang. Semua ongkos perjalanan jangan dipikirkan Mama sudah siapkan,” ucapnya dengan mata berbinar-binar. Kulihat wajah teman-teman cerah. Wisata gratis ke Alexandria siapa tidak mau. Lain dengan diriku. Bulan ini jadwalku padat sekali. Terjemahan belum selesai. Proposal tesis. Mengaji dengan Syaikh Utsman yang sangat sayang jika aku tinggalkan, meskipun cuma satu hari. Dan lain sebagainya. Aku merasa tidak bisa ikut. Tapi aku pura-pura bertanya,
“Kapan?”
“Minggu depan. Menurut ramalan cuaca sudah tidak terlalu panas. Rencananya berangkat Sabtu, setengah dua siang. Menginap di sana semalam. Minggu sore sebelum maghrib baru pulang. Bagaimana, kalian bisa ‘kan? Kalian ‘kan masih libur?” kata Yousef.
Meskipun wajah teman-teman tampak cerah, tapi mereka tidak spontan menjawab. Mereka sangat menghargai diriku sebagai kepala rumah tangga dan sebagai yang tertua.
“Kurasa teman-teman bisa ikut. Tapi mohon maaf, saya tidak bisa. Sebab jadwal saya padat sekali. Terus terang saya sedang menyelesaikan proyek terjemahan dan sedang menggarap proposal tesis. Sampaikan hal ini pada Mama ya?” jawabku.
“Mas, kenapa tidak diluangkan satu hari saja sih. Kasihan mereka ‘kan?” sahut Rudi.
“Rud, semua orang punya skala prioritas. Banyak hal penting di hadapan kita, tapi kita tentu memilih yang paling penting dari yang penting. Aku punya kewajiban menyelesaikan kontrak. Itu yang harus aku dahulukan daripada ikut ke Alex. Jika ada rencana yang tertunda dua hari saja, maka akan banyak rencana yang rusak. Tolonglah pahami aku. Silakan kalian ikut aku tidak apa-apa. Sungguh!” jelasku mohon pengertian teman-teman satu rumah. Yousef mengerti semua yang aku katakan sebab Rudi dan aku mengatakannya dalam bahasa Arab.
“Baiklah. Akan aku sampaikan ini pada Mama,” ujar Yousef sambil bangkit minta diri. Aku beranjak ke kamar untuk menyalakan komputer. Sementara Saiful ke dapur untuk piket masak. Rudi dan Hamdi tetap di ruang tamu membaca-baca koran yang kemarin kubeli.
Baru saja aku mengetik tujuh baris. Bel kembali berbunyi.
“Mas Fahri, Yousef!” teriak Hamdi.
Aku bergegas ke depan.
“Begini Fahri. Setelah aku beritahukan semuanya, Mama memutuskan untuk membatalkan rencana ke Alex,” ucap Yousef dengan kerut muka sedikit kecewa.
“Kenapa?”
“Karena kau tidak bisa ikut.”
“Kan acara tetap bisa berjalan dengan baik tanpa keikutsertaanku.”
“Pokoknya itu keputusan mama.”
“Ana asif jiddan! Wallahi, ana asif jiddan! [72] ” ucapku sedih. Sebetulnya aku tidak ingin mengecewakan siapapun juga.
“Tak apa-apa. Mama ingin menggantinya dengan sebuah acara yang tidak akan menyita waktu banyak. Dan untuk acara ini mama minta dengan sangat kalian bisa ikut semua. Sekali lagi dengan sepenuh permohonan, tidak boleh ada yang tidak bisa.”
“Acaranya apa, dan kapan?”
“Kami sekeluarga akan mengajak kalian sekeluarga ke sebuah restaurant di Maadi untuk makan malam. Kalian tidak boleh menolak. Begitu pesan mama.”
Aku berpikir sejenak.
“Sudahlah Mas. Untuk yang ini sedikit toleranlah. Masak jadwal menerjemahnya ketat buanget sih!” desak Hamdi.
“Baiklah. Insya Allah, kami sekeluarga bisa. Jam berapa kita berangkat?” kulihat wajah Yousef lebih cerah. Ia tersenyum.
“Setelah kalian shalat maghrib kita langsung berangkat. Biar tidak kemalaman,” ucapnya senang.
“Waktu yang tepat sekali,” gumamku.
“Kalau begitu aku naik dulu. Terima kasih atas kesediaannya.”
“Terima kasih atas ajakannya.”
Hamdi, Rudi, dan Saiful tersenyum riang.
“Wah lumayan. Pengiritan uang dapur,” kata Saiful.
“Sekali-kali kita makan di restaurant mewah, masak cuma bisa makan qibdah 35 piaster,” sahut Rudi.
“Memang enaknya punya tetangga baik,” tukas Hamdi.
“ Hei, jangan lupa sama teman. Si Mishbah diberi tahu suruh pulang. Harus sampai rumah sebelum maghrib.” Selorohku sambil berjalan masuk kamar untuk kembali menerjemah. Tak lama kemudian kudengar Si Hamdi berbicara di telpon. Mishbah akan pulang selepas shalat ashar.
Baru lima halaman Rudi berteriak, “Mas Fahri telpon from the true coise!” Rudi itu masih meledek aku rupanya ia menyebut Nurul “the true coise”. The true coise bagi siapa? Aku mendesah panjang. Pagi-pagi mau tenang sedikit saja tidak bisa. Kuangkat gagang telpon, “Halo. Siapa ya?”
“Alah, udah tahu pura-pura tanya pula!” celetuk Rudi dengan logat Medannya yang membuat telingaku terasa gatal. Anak ini resek sekali.
“Ini Nurul. Ini dengan Kak Fahri ya?” suara di seberang sana.
“Ya. Kemarin katanya nelpon ya?Ada apa?”
“Ah enggak. Kemarin sebetulnya ada yang ingin Nurul tanyakan, tapi jawabannya sudah ketemu.”
“Lha ini nelpon ada apa?”
“Tentang Noura.”
“Ada apa dengan Noura?”
“Tadi malam dia sudah menceritakan semuanya pada saya. Dia memang gadis yang malang. Ceritanya sangat mengenaskan.”
“Bagaimana ceritanya?”
“Maaf Kak, aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Sangat panjang.”
“Oh aku paham. Kau tutup saja telponmu. Biar aku yang telpon.”
“Bukan pulsa masalahnya Kak.”
“Terus enaknya bagaimana?”
“Sore nanti kami, pengurus Wihdah diundang Pak Atdikbud di rumahnya yang dekat SIC. Kakak bisa nggak ke SIC jam lima?”
“Sayang nggak bisa Nur.”
“Terus bagaimana?”
“Minggu-minggu ini jadwalku padat. Susah meluangkan waktu buat appoinment baru. Bagaimana kalau segala yang diceritakan Noura kau tulis saja semuanya. Pakai tulisan tangan tidak apa-apa. Kulihat cerpenmu pernah nampang di bulletin Citra. Kayaknya lebih praktis. Lebih enak. Tapi kalau bisa secepatnya.”
“Akan Nurul usahakan. Kapan Kakak ingin mengambilnya?”
Aku berpikir sejenak. Kapan aku akan keluar ke Nasr City. Satu minggu lagi. Terlalu lama. Oh ya, aku ingat, Mishbah masih di wisma dia akan pulang selepas shalat ashar. Dan Rudi setelah makan pagi nanti akan pergi ke Wisma untuk diskusi.
“Kalau kau bisa menulisnya sekarang juga, habis zhuhur aku bisa minta teman untuk mengambilnya.”
“Insya Allah bisa. Siapa nanti yang mengambil Kak?”
“Kalau tidak Mishbah ya Rudi.”
“Bilang jangan lebih jam tiga. Aku sudah tidak dirumah. Itu saja Kak ya.”
“Terima kasih Nur.”
“Kembali.”
Aku menutup gagang telpon dengan hati penasaran. Apa sesungguhnya yang dialami oleh gadis Mesir yang lemah lembut bernama Noura itu. Aku berharap nanti sore atau nanti malam sudah mengetahuinya.


7. Di Cleopatra Restaurant

“Dia benar-benar anak pelacur sial! Dia benar-benar anak setan! Anak tak tahu diuntung. Kalau sampai tampak batang hidungnya akan kurajah-rajah mukanya biar tahu rasa!”
Kami mendengar Si Muka Dingin Bahadur menyumpah serapah dari dalam flatnya dengan suara seperti guntur. Entah ada apa lagi. Lalu kami mendengar suara perempuan membentak tak kalah sengitnya. Ia menyalahkan Si Muka Dingin dan memakinya habis-habisan. Itu mungkin suara Madame Syaima, isteri Si Muka Dingin. Madame Syaima tidak terima dibilang pelacur. Lalu terdengar tamparan dan jeritan. Beberapa barang pecah. Kami berlima sudah sampai di halaman. Baru Yousef yang turun menyusul. Pakaiannya fungky betul. Tuan Boutros, Madame Nahed dan Maria belum turun.
“Maaf ya agak terlambat. Biasa, perempuan dandan dulu,” kata Yousef.
Kami manggut-manggut saja. Tak lama kemudian Tuan Boutros, Madame Nahed dan Maria tampak menuruni tangga apartemen satu persatu. Mereka berjalan mendekati kami. Tuan Boutros tampak lebih muda dari biasanya. Ia memakai kemeja warna krem dengan lengan dilingkis. Madame Nahed berpenampilan seperti aristokrat Perancis. Pafumnya menyengat. Ini yang aku tidak suka. Wanita Mesir kalau memakai parfum seolah harus tercium dari jarak seratus meter. Yang paling menawan tentu saja Maria. Dengan gaun malam merah tua dan menggelung rambutnya ia terlihat sangat cantik. Wajah pualamnya seperti bersinar di kegelapan malam. Mereka benar-benar siap ke pesta. Kami berlima berpakaian biasa saja. Si Rudi malah memakai celana trening warna biru muda. Trening yang terkadang buat main sepak bola. Memang benar-benar seadanya.
Tuan Boutros mengatur siapa yang ikut mobilnya dan siapa yang ikut mobil Yousef. Keluarga itu memang memiliki dua mobil. Jeep Cheroke hijau metalik yang biasa dibawa Tuan Boutos kerja dan sedan forsa hitam yang seringkali dibawa Yousef. Empat orang dari kami ikut mobil Yousef. Madame Nahed dan Maria ikut Tuan Boutros. Aku melangkah ke arah mobil Yousef. Namun Tuan Boutros memanggil, “Fahri, kau ikut aku!”
“Ya, kau naik sini Fahri!” seru Madame Nahed.
Terpaksa aku belok ke mobil Cheeroke. Madame Nahed naik di depan dan duduk di samping Tuan Boutros. Maria di belakang. Masak aku harus duduk di samping Maria. Dan parfumnya itu. Nuraniku tidak setuju. Satu mobil tak apa, tapi selama tempat duduk bisa di atur lebih aman di hati kenapa tidak. Aku mendekati Madame Nahed dan berbicara dengan halus,
“Maaf Madame, boleh saya duduk di depan. Saya ingin berbincang-bincang dengan Tuan Boutros selama dalam perjalanan.”
Madame Nahed tersenyum, “Oh ya, dengan senang hati.”
Dia lalu turun dan pindah ke belakang duduk di samping puterinya. Aku naik dan duduk di samping Tuan Boutros. Belum sempat Tuan Boutros menyalakan mesin terdengar suara Si Muka Dingin memanggil dengan suara mengguntur,
“Hai Boutros tunggu!”
Kami semua menoleh ke asal suara. Si Muka Dingin datang dengan tergopoh.
“Di mana Noura kau sembunyikan, Boutros!”
Kami berpandangan. Si Muka Dingin telah berdiri di dekat Tuan Boutros. Dengan tenang Tuan Boutros menjawab, “Apa saya tidak memiliki urusan yang lebih penting dari mengurusi anakmu, heh?”
“Kau pasti tahu di mana Noura berada?”
“Siapa yang peduli dengan anakmu?”
“Malam itu sebelum tidur Mona melihat Maria turun menghibur Noura di jalan. Kalian pasti tahu sekarang di mana Noura berada!”
“Malam itu malam itu apa? Aku tidak tahu! Kalau begitu tanya saja sama Maria. Jangan tanya aku!”
“Hai Maria bicara kau! Kalau tidak kusumpal mulutmu dengan sandal!” si Muka Dingin menyalak keras seperti anjing.
Dadaku panas sekali mendengar kalimat Si Muka Dingin yang tidak tahu sopan santun ini. Tuan Boutros kulihat menggerutukkan giginya, ia tentu marah puterinya dibentak kasar begitu, tapi mukanya tetap tenang memandang ke depan. Ia tidak menjawab sepatah kata pun.
“Tuan Bahadur, memang benar, malam itu aku turun menghibur Noura. Tapi Noura tidak bisa dihibur. Ia menangis terus dan tidak berbicara sepatah kata pun padaku. Aku jengkel, lalu ya kutinggal dia. Setelah itu aku tidak tahu kemana dia. Kukira dia kembali ke rumah Anda.”
“Hmm...jadi begitu. Anak itu memang keras kepala dan menjengkelkan bukan? Kau saja dibuat jengkel. Aku ayahnya dibuat jengkel setiap hari. Kalau ketemu akan kubunuh anak itu biar tidak membuat jengkel lagi!”
“Sudah cukup bicaramu Bahadur? Kami ada urusan!” Kata Tuan Boutros.
Si Muka Dingin tidak menjawab. Ia hanya pergi begitu saja sambil mengepalkan tinjunya, ia mendesis “Kalau kembali anak itu akan kukuliti biar tahu rasa!”
“Puji pada Tuhan, Si Brengsek itu tidak macam-macam.” Madame Nahed mendesah lega. Tuan Boutros cepat-cepat menyalakan mesin. Lalu perlahan menjalankan mobil meninggalkan halaman apartemen dibuntuti oleh Yousef. Selama dalam perjalanan Tuan Boutros banyak bercerita tentang hal menjengkelkan Si Muka Dingin. Aku meminta beliau tidak usah meneruskan. Aku minta topik pembicaraan yang menarik, yang mengasyikkan, yang menyenangkan seirama dengan malam kebahagiaan Madame Nahed. Maria memuji usulku. Madame Nahed lalu bercerita tentang Maria kecil. Hal-hal kecil yang Maria lakukan. Maria sesekali menjerit manja minta mamanya tidak meneruskan. Ia malu katanya. Tapi Madame Nahed malah seperti tertantang untuk menceritakan semakin banyak. Tuan Boutros sekali menimpal kisah yang diceritakan isterinya. Maria jadi lakon. Aku diam saja. Hanya sesekali bertanya, benarkah? Maria akan langsung menyahut, tidak benar, mama bohong! Madame Nahed dan Tuan Boutros akan menyahutnya dengan tawa terpingkal-pingkal.
“Maria ini waktu kecil sampai umur empat tahun masih menetek. Umur lima tahun masih ngompol apa nggak menyebalkan!” kata Madame Nahed memperolok puterinya.
“Benarkah itu?” sahutku santai sambil memandang sinar purnama yang keperakan di atas riak sungai Nil yang memanjang di samping kiri jalan.
“Ah itu bohong. Tak mungkin itu terjadi!” tukas Maria cepat setengah teriak.
“Itu benar. Kalau tidak percaya nanti kalau bibinya yang bernama Latefa datang tanyakan padanya,” kata Tuan Boutros membela isterinya.
“Itu bukan sesuatu yang tidak baik. Tidak apa-apa. Menetek pada ibu dalam waktu yang lama malah membuat cerdas. Begitu yang kubaca pada sebuah majalah,” sahutku.
Maria berterima kasih padaku karena aku membelanya.
Akhirnya Tuan Boutros memarkir mobilnya di halaman sebuah restaurant mewah. Cleopatra Restaurant. Terletak di pinngir sungai Nile. Bersebelahan dengan Good Shot dan Maadi Yacht Club. Pantas saja mereka berpakaian dan berpenampilan serius. Kami berlima berpandang-pandangan.
“Santai saja. Kita ini turis. Turis ‘kan biasa berpakaian santai?” bisik Hamdi dalam bahasa Indonesia.
“Tapi masak pakai trening yang sudar pudar warnanya begitu?” lirih Saiful sambil meringis memandang Rudi. Aku tersenyum. Baru kali ini kulihat Rudi tidak percaya diri. Muka anak Medan ini seperti kepiting rebus. Di antara kami berlima yang berpakaian paling mengenaskan memang dia. Hamdi lumayan necis, tapi sandal kulit bututnya membuat hati yang melihatnya tidak tahan. Sudah berkali-kali aku mengingatkan agar keduanya membuang jauh-jauh adat klowor yang mereka bawa dari pesantren tradisional. Tapi mereka masih saja suka klowor, padahal baginda Nabi mencontohkan kerapian, kebersihan dan penampilan yang meyakinkan. Memang tidak mudah merubah watak dan gaya hidup. Namun Rudi dan Hamdi jauh lebih baik dari saat pertama kali aku mengenal dan serumah dengannya. Sekarang sudah mulai bisa membagi waktu dan disiplin. Kalau mau diskusi mau menyeterika baju biar sedikit rapi. Tapi aku sangat menyayangkan mereka tadi tidak mau mendengar nasihatku agar berpenampilan sedikit necis. Mereka hanya menyahut, “Alah cuma mau makan saja kok repot-repot!”
Untung Saiful dan Mishbah mengerti nasihatku. Aku sendiri berpakaian tidak bagus sekali namun juga tidak akan memalukan. Kaos katun hijau muda dan rompi santai hijau tua, warna kesayangan. Tak kalah fungkynya dengan Yousef .
Tuan Boutros membawa kami masuk restoran dan memilihkan tempat duduk yang paling menjorok ke sungai Nil seperti dek kapal. Terbuka tanpa atap, bintang-bintang kelihatan. Restauran ini ada dua bagian. Bagian tertutup dan bagian terbuka. Mejanya juga beraneka. Namun warnanya sama. Ada yang untuk dua orang. Empat orang. Dan ada yang bundar untuk enam orang. Kami memilih dua meja bundar yang berdekatan. Tuan Boutros, Madan Nahed, dan Maria telah duduk satu meja terlebih dahulu. Aku mengajak Yousef duduk di meja yang satunya. Teman-teman mengikuti aku. Pas enam orang. Tuan Boutros meminta satu di antara kami duduk satu meja dengan mereka. Kusuruh Rudi. Dia tidak mau. Kupaksa Saiful. Dengan agak ragu-ragu akhirnya dia beranjak juga. Kulihat para pengunjung yang ada. Mereka berpakaian bagus-bagus. Ada sepasang orang bule. Yang lelaki pakai jas yang perempuan pakai gaun malam resmi. Di pojok kanan orang Mesir gemuk botak dengan isterinya. Keduanya rapi. Yousef berbisik kepadaku, “Ini restauran orang besar. Para diplomat dan bisnisman sering kemari. Lihat siapa yang ada di meja dekat lampu hias itu, kau pasti mengenalnya!”
Aku melihat ke arah yang ditunjukkan Yousef. Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang kulihat. Di sana ada Adel Imam dan Yusra sedang menyantap makanan dan berbincang. Dua artis Mesir itu makan malam di restauran ini. Teman-teman melongok ke arah keduanya. Yousef mengingatkan, “Jangan terlalu kelihatan heboh! Restauran ini menjaga ketenangan dan kenyamanan pelanggannya.”
Seorang pelayan menanyakan menu. Madame Nahed berkata kepada kami, “Silakan pilih sendiri menunya. Jangan malu-malu. Hai Hamdi, kau pilih apa?”
Hamdi bingung. Ini baru pertama kalinya dia makan di restauran elite. Menunya juga asing semua.
“Semua masakan khas Timur Tengah ada,” bisik Yousef.
Tiba-tiba Saiful beranjak mendekati aku dan berbisik, “Mas, tolong kau saja yang satu meja dengan Tuan Boutros, aku tidak enak. Aku tidak bisa bicara banyak.”
Wajahnya kulihat pucat. Aku merasa kasihan juga melihatnya. Kalau dia sampai malu, dan pulang masih lapar padahal baru saja dari restauran besar, apa tidak kasihan. Aku jadi teringat dengan cerita teman satu pondok dulu. Namanya Bayu. Pakdenya dari ibu dapat isteri kalangan keraton Kasunanan dan tinggal di kawasan elite Jakarta. Suatu kali ia liburan ke tempat Pakdenya itu. Di sana semua serba teratur. Waktu tidur, waktu belajar, waktu istirahat, baju tidur, baju santai, dan makannya juga teratur waktu dan tata caranya. Saat itu dia kelas tiga SMP. Dia yang biasa di desa serba tidak teratur jadi grogi. Biasa makan tanpa sendok tanpa meja makan, tanpa garpu dan lain sebagainya jadi serba grogi. Dia sebenarnya ingin tambah karena masih lapar, tapi tidak berani. Padahal menunya sangat nikmat. Menu yang jarang sekali ia makan di desanya. Ia takut untuk tambah. Ketika hendak tidur ia merasa masih lapar. Ia tidak bisa tidur dengan perut lapar. Akhirnya ia minta izin pada Pakdenya untuk keluar rumah sebentar. Ia pergi ke warteg dan makan sampai kenyang. Ternyata anak pakdenya yang paling besar melihatnya saat baru pulang dari rumah temannya. Ia pun ditanya sama budenya kenapa jajan padahal telah tersedia banyak makanan, apa makanan di rumah budenya tidak enak? Ia tidak bisa menjelaskan, malah menangis. Aku tidak mau teman-teman mengalami nasib tragis seperti Bayu kecil itu.
Sebelum beranjak ke meja Tuan Boutros, aku berpesan pada teman-teman dengan bahasa Indonesia, “Nanti makan yang banyak santai saja. Jika masih ingin tambah ya tambah saja seperti di rumah sendiri.”
Tuan Boutros heran Saiful pindah tempat duduk. Kubilang ia ingin berbincang dengan Yousef. Tuan Boutros menganggukkan kepala.
Pelayan restauran beralih mendekati aku dan bilang,
“Anda pesan apa? Teman-teman Anda ikut Anda?”
Madame Nahed tersenyum. Maria kelihatannya ingin tahu aku suka menu apa. Untung aku pernah diajak makan malam ke sebuah restauran tak kalah elitenya di Mohandesen oleh Bapak Atdikbud yang jadi ketua takmir masjid Indonesia di Cairo. Jadi, aku tidak merasa asing sekali dengan menu yang tertulis.
“Minumnya Seasonal Fresh Fruits. Makannya Chicken Mugharabieh with Valanciane Rice dan menu penutupnya minta Pineapple Gateau,” kataku mantap. Itu adalah menu yang dipilih Ibu Atdikbud yang waktu itu tidak aku rasakan. Sebab waktu itu aku memilih menu utama Onion and Cheese Omelette yang tak jauh beda dengan telur dadar, cuma lebih besar dan tebal. Waktu itu aku sedikit menyesal memilih menu yang keliru. Ih jadi geli mengingatnya. Sekarang aku yakin sekali, aku tidak keliru pilih menu.
“Fathi, kau memilih menu kesukaanku,” komentar Maria, ia lalu bilang pada pelayan, “aku sama dengan dia.” Tuan Boutros pilih Lamb Stew sedangkan Madame Nahed pesan Chicken Kofta with Tomato Sauce dan Yousef suka Kabab Lahmul Ghanam [73] . Begitu hidangan tersedia kami menyantap dengan tenang sambil menikmati semilir angin sungai Nil dan sesekali melihat riang gelombangnya yang keperakan diterpa sinar rembulan. Ketika kami sedang asyik makan seorang lelaki berdasi menghampiri Tuan Boutros. Tuan Boutros berdiri dan berjabat tangan.
“Fahri, this is Mr. Rudolf from German, and Mr. Rudolf, this is Fahri from Indonesia!” Tuan Boutros memperkenalkan kenalannya dengan pengucapan yang sangat berlogat Arab.
Mr. Rudolf menjabat tanganku erat.
“Pleased to meet you Mr. Rudolf.” Sapaku pada bule di hadapanku dengan tersenyum. Lalu aku berbasa-basi padanya dengan bahasa Jerman, “Sin Sie Tourist?” [74]
Mr. Rudolf agaknya terkejut mendengar pertanyaanku.
“Nein. Sprechen Sie Deutsch?” [75] Mr. Rudolf balik bertanya dengan nada heran apa aku bisa berbahasa Jerman.
“Ja.” Jawabku sambil tersenyum. Lalu kami berbincang sesaat lamanya dengan bahasa Jerman. Ia menerangkan dirinya adalah staf ahli atase perdagangan Jerman di Kairo. Dia bertanya apa aku seorang diplomat. Kujelaskan statusku di Mesir. Tuan Boutros menawarkan pada Mr. Rudolf untuk duduk bersama kami. Mr. Rudolf mengucapkan terima kasih, ia ditunggu isterinya di meja yang lain, lalu beranjak pergi. Madame Nahed menanyakan di mana aku belajar bahasa Jerman. Dan menyayangkan Tuan Boutros yang tidak bisa berbahasa Jerman padahal banyak koleganya yang berasal dari Jerman. Maria mengusulkan agar ayahnya belajar bahasa Jerman padaku saja. Tuan Boutros hanya tersenyum mendengar celoteh isteri dan puterinya.
Usai makan kami tidak langsung pulang. Madame Nahed memesan koktail dan mengajak kami semua ke bagian dalam, di sana ada hiburan musik klasik. Aku sebenarnya ingin langsung pulang. Tapi Madame Nahed dan Tuan Boutros memaksa, “Kita lihat sebentar saja.”
Di bagian dalam, di tengah ruangan ada panggung kecil setinggi setengah meter. Bentuknya bundar. Di atas panggung bundar itu ada seorang perempuan muda berambut pirang menggesekkan biola dengan penuh penghayatan.
“Yang ia mainkan sekarang ini karya Bedhoven. Perempuan itu pemain biola terkenal dari Rumania.” Seorang pelayan restoran berkata pada seorang wanita setengah baya yang berada tak begitu jauh dariku.
Satu lagu selesai. Pengunjung bertepuk tangan. Pemain biola perempuan itu kembali menggesek biolanya. Kali ini bernada riang. Beberapa orang pengunjung berdiri dari kursinya menuju ke dekat panggung. Mereka berdansa. Orang Mesir botak yang tadi kulihat juga berdansa dengan isterinya.
Tuan Boutros meraih tangan Madame Nahed. Madame Nahed tersenyum dan menengok pada Maria, “Maria, ayo cobalah kau berdansa. Sekali ini saja. Coba ajak Fahri atau siapa terserah!”
Aku terkejut mendengarnya. Tuan Boutros menimpal, “Ya Fahri, Maria itu tidak pernah mau berdansa. Coba kau ajak dia! Mungkin kalau kau yang mengajak dia mau.”
Aku diam. Kulirik teman-teman. Mereka senyam-senyum. Tuan Boutros dan Madame Nahed sudah larut dalam irama musik dan berdansa mesra. Maria mendekatiku.
“Fahri, mau coba berdansa denganku? Ini kali pertama aku mencoba berdansa,” lirihnya malu. Aku harus berbuat apa. Apakah aku harus ikut budaya Eropa. Aku teringat kisah awal-awal Syaikh Abdul Halim Mahmud muda saat belajar di Perancis. Beliau juga mendapat godaan yang tidak jauh berbeda dengan aku saat ini. Dan Syaikh Abdul Halim Mahmud muda mampu melewati ujian itu dengan baik. Beliau yang dikenal sebagai ulama sufi modern yang arif billah itu akhirnya dipilih sebagai Grand Syaikh Al Azhar. Jika ada ahli ibadah dan wali di puncak gunung tanpa godaan itu bukan sesuatu yang mengagumkan. Tapi jika ada ahli ibadah bisa berinteraksi dengan baik di tengah kota metropolitan dengan segala hiruk pikuk budaya hedonisnya itu mengagumkan. Begitu Syaikh Ahmad berkata padaku. Tawaran Maria bagi seorang pemuda adalah tawaran menarik. Siapa tidak suka bergandeng tangan dan berdansa dengan gadis secantik dia. Di sinilah letak ujiannya.
“Maaf aku tidak bisa,” jawabku sambil tersenyum dan menangkupkan dua tangan di depan dada.
“Sama, aku juga tidak bisa. Kita belajar bersama pelan-pelan. Mari kita coba!” sahut Maria yang belum memahami sepenuhnya penolakanku.
“Maafkan aku Maria. Maksudku aku tidak mungkin bisa melakukannya. Ajaran Al-Qur’an dan Sunnah melarang aku bersentuhan dengan perempuan kecuali dia isteri atau mahramku. Kuharap kau mengerti dan tidak kecewa!” terangku tegas. Dalam masalah seperti ini aku tidak boleh membuka ruang keraguan yang membuat setan masuk ke dalam aliran darah.
“Oh begitu. Maaf, aku tidak tahu. Kalau tahu, aku tak mungkin menawarkan hal ini kepadamu. Aku salut atas ketegasanmu menjaga apa yang kau yakini,” kata Maria. Tak ada gurat kecewa di wajahnya.
“Maria aku keluar dulu. Aku mau menikmati keindahan sungai Nil. Jika ayahmu sudah selesai panggil saja aku di luar,” pesanku pada Maria sebelum aku melangkah keluar. Yousef dan teman-teman membuntutiku. Lima belas menit kemudian Maria memanggil kami untuk pulang. Pukul 22.45 kami sampai di halaman apartemen. Teman-teman memuji menu yang kupilihkan. Aku yakin mereka kenyang.
* * *
Sampai di flat teman-teman tidak langsung tidur, mereka berbincang di ruang tamu. Sementara aku masuk kamar dan membaca surat Nurul yang mengisahkan apa yang dialami oleh Noura yang malang.
Nurul menulis, bahwa Noura mengaku sampai berumur delapan tahun sangat bahagia dan disayang ayah ibunya yaitu Si Muka Dingin Bahadur dan Madame Syaima. Keduanya bahkan sangat menyayanginya melebihi dua kakaknya. Dia memang berbeda dengan kedua kakaknya. Sejak kecil dikenal cerdas, berkulit putih bersih, berambut pirang, lincah dan cantik. Tidak seperti dua kakaknya yang hitam seperti orang Sudan. Petaka itu datang ketika kakak sulungnya Mona pulang dari sekolah dan menangis sejadi-jadinya. Setelah dibujuk ayah dan ibunya Mona mengaku dihina oleh teman satu bangkunya di sekolah. Mona dihina sebagai anak syarmuthah. Hinaan itu disebar ke seluruh kelas. Temannya itu mengatakan, ‘Tidak mungkin ibumu itu tidak melacur. Buktinya adik bungsumu berkulit putih bersih dan berambut pirang. Dari mana bisa begitu kalau tidak melacur dengan orang lain. Ayahmu ‘kan kulitnya hitam dan negro seperti kamu dan ibumu!” tak ayal itu adalah penghinaan yang sangat menyakitkan. Pada hari yang sama ayahnya sedang dipecat dari kerjanya di pabrik baja. Dan pecahlah prahara itu. Malam harinya ayahnya memaki-maki ibunya dan mencelanya sebagai pelacur. Ayahnya sejak itu tidak lagi menyayanginya. Apalagi sebelumnya memang seringkali orang heran dengan ketidaksamaan Noura dengan kedua orang tua dan kakaknya. Sejak itu Noura jadi bulan-bulanan kedua kakaknya dan ayahnya. Ibunya seringkali melindungi dirinya. Namun ketika ayahnya membawa perempuan lain yang cantik dan tidak hitam ke rumah, ibunya menjadi terganggu pikirannya. Ia jadi seperti orang tidak waras. Kadang menangis, marah, ngomel sendiri dan lain sebagainya. Kadang menyayangi Noura dan terkadang tidak jarang ikut menyakitinya. Ayahnya akhirnya dapat pekerjaan sebagai tukang pukul di sebuah Nigh Club yang mengapung di atas sungai Nil. Mona, kakak sulungnya ikut kerja di sana. Sedangkan Suzan katanya kerja di sebuah losmen di Sayyeda Zaenab. Berangkat menjelang maghrib dan pulang sekitar jam dua dini hari. Menurut bisik-bisik para gadis tetangga kedua kakak Noura itu kerjanya tak lain adalah menjual diri. Beberapa kali Noura melihat Mona membawa teman lelaki ke rumah dan diajak tidur di kamarnya. Ayahnya malah senang, sedangkan ibunya sudah semakin buruk ingatannya meskipun sesekali datang kesadarannya dan menatapi nasib dirinya dan nasib Noura. Di rumah itu Noura diperlakukan layaknya pembantu rumah tangga. Memasak, mencuci, mengepel semua tanggung jawab Noura. Untungnya Noura masih dibolehkan ayahnya sekolah di Ma’had Al Azhar, itu pun karena sekolah di sana gratis dan kalau pulang agak terlambat akan mendapatkan hukuman dari ayah dan kedua kakaknya. Beragam bentuk siksaan ia terima dari orang yang ia anggap keluarganya. Puncak derita Noura adalah enam bulan terakhir ini, ketika ayahnya memaksanya dia agar ikut bekerja di Night Club seperti kakaknya. Bahkan ayahnya dapat tawaran dari manajernya agar Noura mau jadi penari perut tetap di Night Clubnya. Bos ayahnya memang pernah ke rumahnya sekali dan melihat Noura. Ayahnya pada waktu itu cerita pada bosnya kalau Noura saat TK dulu pernah menang lomba menari. Jelas Noura tidak bisa memenuhi keinginan ayahnya itu. Sejak itu ia sangat menderita. Puncaknya adalah malam itu. Sore sebelum berangkat kerja, ayahnya memaksanya untuk ikut Mona berangkat setelah maghrib, ada turis asing yang memesan perawan Mesir. Noura dihargai sepuluh ribu pound. Harga yang menurut ayah dan kedua kakaknya sangat tinggi. Ia menolak. Ayahnya lalu mencambuk punggungnya berkali-kali. Ia tidak tahan, akhirnya ia pura-pura mau. Ayahnya berangkat. Tapi begitu shalat maghrib ia mengurung diri di kamar. Tidak mau keluar. Tidak mau membukakan pintu. Bagaimana mungkin dia yang muslimah dan sekolah di Al Azhar akan melakukan perbuatan dosa besar itu. Mona tidak bisa berbuat apa-apa. Tengah malam ayahnya pulang dan terjadilah penyiksaan dan pengusiran itu. Ayah menyumpahinya sebagai anak setan, anak haram, anak tidak tahu diuntung. Mona menampar mukanya dengan sandal berkali-kali sambil berkata, “Kau ini siapa? Kau anak siapa hah? Kau bukan adik kami dan bukan keluarga kami? Aku akan buktikan nanti lewat test DNA kau bagian dari keluarga kami!”
Aku menitikkan air mata membaca kisah penderitaan yang dialami Noura. Aku tidak melihat bekas-bekas cambukan di punggungnya, tapi aku bisa merasakan sakitnya. Aku tidak melihat wajahnya saat itu tapi hatiku bisa menangkap rintihan batinnya yang remuk redam. Aku seolah ikut merasakan kecemasan, ketakukan dan kesendiriannya selama ini dalam neraka yang dicipta Si Muka Dingin Bahadur. Aku tiba-tiba merasa Noura itu seperti adik kandungku sendiri. Entah bagaimana aku bisa merasakan begitu, padahal aku tidak memiliki adik. Aku anak tunggal. Tapi aku seperti merasakan apa yang dirasakan Noura. Seandainya dia adikku tentu tidak akan aku biarkan ada orang jahat menyentuh kulitnya. Akan aku korbankan nyawaku untuk melindunginya.
Aku kembali menitikkan air mata. Oh Noura, semoga Allah menjagamu di dunia dan di akhirat. Gadis berwajah putih dan innocence itu selalu berjalan menunduk. Jika berpapasan kami hanya bersapa dengan tatapan mata sekilas. Tanpa kata-kata. Tapi kami merasa dekat dan saling kenal. Aku tidak mungkin membiarkan Noura terus jadi bulan-bulanan para serigala berkepala manusia. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Dan sampai sejauh mana langkahku? Aku adalah orang asing di sini. Aku menarik nafas panjang. Diam memejamkan mata dengan pikiran terus mengembara mencari jalan keluar. Aku tidak bisa, dan tidak akan mampu bertindak sendiri. Akan aku serahkan masalah ini pada Syaikh Ahmad, dia adalah intelektual muda yang sangat peduli pada siapa saja. Beliau pasti mau membantu Noura.

8. Getaran Cinta

Setelah shalat shubuh aku tidak langsung pulang, tapi menemui Syaikh Ahmad. Kukabarkan pada beliau kelulusanku dan rencanaku membuat proposal tesis. Imam muda berhati lembut itu mengecup kepalaku berkali-kali. Begitulah cara orang Arab memberikan tanda penghormatan yang tinggi. Penghormatan orang yang dianggap sangat dekat. Dari bibirnya keluar ucapan selamat dan doa tiada henti. Beliau bahkan menawarkan agar jika naskah proposal selesai kususun diserahkan terlebih dahulu padanya untuk dilihat bahasanya. Jika ada gaya bahasa yang mungkin kurang tepat beliau akan mentashihnya. Aku sangat senang mendengarnya. Barulah aku jelaskan padanya kisah derita Noura panjang lebar dan mendetail seperti yang aku lihat dan aku ketahui. Beliau menitikkan air mata mendengarnya.
“Di Mesir ini, banyak sekali orang mengakui muslim tapi akhlaknya tidak muslim. Mengaku Islam tapi sangat jauh dari cahaya Islam. Bagaimana mungkin seorang ayah yang mengaku umat Muhammad bisa begitu kejam pada anaknya, pada seorang gadis yang semestinya dia lindungi dan dia sayangi. Fahri, menghantarkan kesejukan ruh Islam ke dalam hati semua pemeluknya memang tidak semudah membalik kedua telapak tangan. Tapi kita tidak boleh berpangku tangan, apalagi berputus asa. Sebisa kita, kita harus terus berusaha,” kata Syaikh Ahmad sambil menarik nafas.
“Tidak hanya di Mesir saja Syaikh, di Indonesia juga ada. Bahkan di Indonesia lebih parah. Ada lelaki yang meniduri anak gadisnya dengan paksa. Lebih parah lagi ada yang tega menjual isteri dan anak gadisnya pada lelaki hidung belang. Setan memang ada di mana-mana. Dengan segala tipu dayanya, setan selalu berusaha membutakan hati manusia sehingga mereka beranggapan tindakan yang keji menjadi terpuji.”
“Laa haula wa laa quwwata illa billah!” ucap Syaikh Ahmad sambil memejamkan mata. Beliau lalu menepuk pundakku dan mengatakan dirinya akan terjun langsung membantu Noura secepatnya. Sebelum musim masuk sekolah tiba derita Noura harus diakhiri. Syaikh Ahmad berterima kasih atas segala yang telah kami lakukan. Beliau meminta agar jam sembilan nanti aku mengantarkan beliau menemui Noura di Nasr City. Beliau hendak mengambil Noura dan menempatkannya di tempat yang aman. Menurut beliau jika sampai nanti ayahnya tahu Noura berada di tempat mahasiswi Indonesia akan membuat masalah. Kasihan para mahasiswi jika terganggu belajarnya. Noura harus secepatnya dipindahkan ke tempat yang tepat. Kami sepakat untuk bertemu di depan mahattah Hadayek Helwan.
Aku segera pulang dan menelpon Nurul, memberitahukan rencana Syaikh Ahmad. Aku minta padanya untuk tidak pergi. Sekitar pukul sepuluh, kami insya Allah, sampai. Tepat pukul sembilan aku sampai di tempat yang dijanjikan. Syaikh Ahmad telah menunggu di dalam mobil Fiat tuanya. Seorang wanita berjilbab panjang duduk di samping beliau. Syaikh Ahmad memang hidup sederhana meskipun kata masyarakat beliau orang berada. Isteri beliau seorang dokter yang membuka praktek di Helwan dan membantu orang tidak mampu dengan membuka praktek di klinik masjid. Syaikh Ahmad mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Pukul sepuluh lebih sepuluh kami sampai di kediaman Nurul dan kawan-kawannya yang berada di tingkat enam. Para mahasiswi itu dipeluk oleh isteri Syaikh Ahmad dengan penuh kehangatan. Ketika memeluk Noura, isteri Syaikh Ahmad menangis tersedu-sedu. Berkali-kali ia mencium pipi gadis innocent itu. Syaikh Ahmad menjelaskan maksud kedatangan dia dan isterinya. Semuanya mengerti termasuk Noura. Noura akan dibawa ikut serta ke kampung halaman Syaikh Ahmad. Ke rumah orang tua Syaikh Ahmad di desa Tafahna El-Ashraf, Zaqaziq. Noura menurut. Setelahlah Noura siap terjadilah perpisahan yang mengharukan. Nurul dan teman-temannya terisak dan bergantian memeluk Noura. Noura juga menangis sambil mengucapkan terima kasih tak terhingga. Nurul bilang pada Noura, “Noura kau juga harus mengucapkan terima kasih tiada terhingga pada Akh Fahri.”
Noura menatapku sekilas dengan mata berkaca lalu menunduk dan dengan suara lirih dia menyampaikan rasa terima kasih dari hati yang terdalam. Kalau dia adikku pasti sudah kupeluk dengan penuh rasa sayang. Aku hanya mengangguk dan membesarkan hatinya bahwa Syaikh Ahmad dan isterinya akan membukakan jalan yang baik baginya. Mereka berdua orang-orang yang baik dan berhati lembut. Agar tidak mencurigakan, Noura diminta Syaikh Ahmad memakai cadar. Nurul dan teman-temannya diminta tidak turun ke bawah. Cukup melihat dari jendela saja. Kami berempat turun. Syaikh Ahmad masuk mobil diikuti isteri dan Noura. Aku mengucapkan salam dan selamat jalan. Kali ini Noura memandang diriku agak lama. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Aku terus berdoa semoga ia terbebas dari derita yang membelenggunya. Aku kembali ke Hadayek Helwan dengan hati lega. Syaikh Ahmad akan mengurus segalanya.
* * *
Sampai di rumah aku langsung melihat jadwal. Aku harus talaqqi ke Shubra. Aku mencela diriku sendiri kenapa setelah dari Rab’ah El-Adawea tadi tidak langsung ke Shubra saja. Namanya juga lupa. Telpon berdering. Nurul menelpon menanyakan bagaimana dengan uang yang telah aku berikan padanya. Padahal Noura hanya beberapa hari tinggal di rumahnya dan uang yang aku berikan padanya nyaris belum digunakan untuk apa-apa. Aku bilang tidak usah dipikirkan dan dikembalikan, terserah mau diapakan yang penting untuk kebaikan. Nurul dan teman-temannya orang yang jujur dan amanah. Keuangan negara tidak akan bocor jika ditangani oleh orang-orang seperti mereka. Aku salut padanya. Tiba-tiba aku teringat ledekan Si Rudi kemarin, ‘Jangan-jangan dia orangnya!.... Congratulation Mas. She is the star, she is the true coise, she will be a good wife!’.
Ah, tidak mungkin! Kutepis jauh-jauh pikiran yang hendak masuk. Memiliki isteri shalihah adalah dambaan. Tapi..ah, aku ini punguk dan dia adalah bulan. Aku ini gembel kotor dan dia adalah bidadari tanpa noda. Aku melangkah mengambil air wudhu. Tadi pagi aku baru membaca seperempat juz, aku harus menyelesaikan wiridku. Nanti habis zhuhur aku harus ke Shubra. Syaikh Utsman kurang berkenan jika ada hafalan yang salah, meskipun satu huruf saja.
Aku membukal mushaf. Handphone-ku berdering. Ternyata Aisha. Dia mengingatkan janji bertemu dengan Alicia di National Library. Aku mengucapkan terima kasih telah diingatkan. Dan siang itu aku kembali menantang panas sahara untuk mengaji Al-Qur’an di Shubra yang jauhnya kira-kira lima puluh kilo dari apartemenku. Hadayek Helwan tempat aku tinggal ada di ujung selatan kota Cairo sementara Shubra ada di ujung utara. Menjelang maghrib aku baru pulang dengan ubun-ubun kepala seperti kering tanpa ada darah mengalir di sana, telah menguap sepanjang siang. Aku benar-benar capek. Satu hari ini melakukan perjalanan hampir sejauh seratur kilo meter. Pagi bolak-balik Hadayek Helwan-Nasr City. Habis zhuhur bolak-balik Hadayek Helwan-Shubra.
Ba’da shalat maghrib aku merasa kepalaku tak bisa diangkat. Terasa berat dan sakit. Aku panggil Saiful, aku minta padanya untuk mengompres kepalaku. Saifu menempelkan telapak tangannya ke keningku, “Panas sekali Mas.”
Ia lantas bergegas memenuhi permintaanku. Saiful duduk disampingku sambil memijat kedua kakiku. Dia tahu persis apa yang kulakukan seharian ini. Hamdi ikut serta memijat-mijat. Teman-teman memang sangat baik dan perhatian. Kami sudah seperti saudara kandung. Seandainya Mishbah dan Rudi datang keduanya pasti juga ikut menunggui atau membelikan buah yang kusuka. Mishbah kembali ke Wisma untuk urusan pelatihannya. Dan Rudi pergi ke sekretariat Kelompok Studi Walisongo atau KSW dia mewakili Himpunan Mahasiswa Medan atau HMM untuk membicarakan kerjasama mengadakan tour ke tempat-tempat bersejarah di Mesir.
Bel berbunyi. Yousef mencari aku. Hamdi membawanya masuk ke kamarku. Yousef menyentuh tanganku. Ia ragu mengatakan sesuatu. Ia tersenyum dan mendoakan semoga tidak apa-apa dan segera pulih lalu kembali ke rumahnya. Tak lama kemudian bel kembali berbunyi. Hamdi beranjak membukanya. Hamdi melongok di pintu kamar dan bilang, “Tuan Boutros sekeluarga Mas. Bagaimana? Apa mereka boleh masuk kemari?”
Kalau kepalaku tidak seberat ini aku pasti keluar menemui mereka. Aku mengisyaratkan pada Hamdi agar mempersilakan mereka masuk. Pak Boutros masuk membawa satu botol madu. Madame Nahed membawa peralatan dokternya. Dan Maria membawa nampan entah apa isinya. Tuan Boutros menyentuh pipiku.
“Panas. Nahed, coba kau periksa!” katanya pada isterinya.
Madame Nahed meminta izin padaku untuk memeriksanya. Sambil memasang tekanan darah di lengan kananku, dia menanyakan apa yang kurasakan. Kujelaskan semua dengan pelan. Saiful memberitahukan diriku melakukan perjalanan panjang di tengah terik siang, dari pagi sampai sore.
“Agaknya kau terlalu memforsir dirimu. Banyak-banyaklah istirahat. Ada gejala heat stroke. Kau harus minum yang banyak dan makan buah-buahan yang segar. Istirahatlah dulu, jangan bepergian menantang matahari!” kata Madame Nahed lembut.
“Heat stroke itu apa, Madame?” tanya Saiful.
“Heat stroke adalah sengatan panas, yaitu penyakit yang terjadi akibat penumpukan panas yang berlebihan di dalam badan yang ditimbulkan oleh keadaan cuaca panas. Tapi tidak usah kuatir baru gejala,” jawab Madame Nadia. Dia lalu menulis resep dan minta puteranya Yousef untuk keluar membelinya. “Cepat ya. Sama ashir mangga!”
“Yousef, sebentar!” ujarku. Kepalaku semakin berat. “Tolong Saif ambilkan uang di dompetku. Ada di lemari. Saiful mengambil uang seratus pound dan menyerahkan pada Yousef. Tapi Tuan Boutros mencegahnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Yousef keluar. Maria mendekat.
“Fathi, ini aku buatkan ruz billaban untukmu,” lirih Maria.
“Lha untuk kami mana? Masak untuk Akh Fahri saja,” sahut Hamid.
“Maksudku juga untuk kalian,” ucap Maria agak tersipu. Maria meletakkan nampan berisi ruz billaban di atas meja belajarku. Saat itu kulihat dia memandang dua lembar kertas karton besar yang menempel di depan meja belajar.
“Oi Farhi, apa ini? Rancangan hidupmu? Sepuluh tahun ke depan. Dan planning tahun ini,” katanya setengah kaget.
“Maria, jangan kau baca! Aib!” Madame Nahed mengingatkan.
“Biarkan. Nggak apa-apa!” kataku.
Yang kutempel memang arah hidup sepuluh tahun ke depan. Target-target yang harus kudapat dan apa yang harus kulakukan. Lalu peta hidup satu tahun ini. Ku tempel di depan tempat belajar untuk penyemangat. Dan memang kutulis dengan bahasa Arab.
“Wow. Targetmu dua tahun lagi selesai master. Empat tahun berikutnya selesai doktor dan telah menerjemah lima puluh buku serta memiliki karya minimal lima belas karya. Dan empat tahun berikutnya atau sepuluh tahun dari sekarang targetmu adalah guru besar. Fantastik. Hai Fahri kapan rencanamu kawin. Kenapa tidak kau tulis dalam peta hidupmu?” celoteh Maria. Madame Nahed geleng-geleng kepala.
“Baca yang teliti!” lirihku.
Maria membaca dengan teliti, tak lama kemudian ia berkata, “Okey aku setuju. Ketika kau menulis tesis magister. Ya, untuk menemani perjuanganmu yang melelahkan!”
“Berarti sudah dekat. Mungkin tahun ini mungkin tahun depan. Karena dia sudah lulus ujian dan sudah diminta universitas membuat proposal tesis.” sahut Saiful. Serta merta Tuan Boutros, Madame Nahed, dan Maria mengucapkan selamat. Mereka senang mendengar aku mulai menulis tesis. Madame Nahed menanyakan apa aku sudah ada calon. Kepalaku nyut-nyut. Kupaksakan untuk tersenyum. Lalu aku bergurau, “Kebetulan tidak ada gadis yang mau dekat denganku. Tak ada yang mau mengenalku dan baik denganku. Yang baik padaku malah Maria. Bagaimana Madame, kalau calonnya Maria?”
Madame Nahed tersenyum, “Boleh saja. Tapi kusarankan tidak sama dia, dia gadis yang kaku. Beda dengan dirimu yang kulihat bisa romantis, bisa membuat kejutan-kejutan yang menyenangkan. Kemarin dalam perjalanan pulang kami mendapat cerita yang banyak tentang dirimu dari Rudi. Dia bercerita tentang kesan-kesannya padamu. Dia juga menjelaskan sesungguhnya yang merancang dan membelikan hadiah ulang tahun untukku dan untuk Yousef itu kamu. Aku takut kau kecewa dapat Maria. Dia gadis manja dan kaku. Saya tak tahu dia bisa romantis apa tidak. Dia itu gadis yang tidak pernah jatuh cinta. Tak suka dikunjungi teman lelaki. Tak suka diajak pergi kencan. Kau harus mendapatkan gadis yang bisa mengimbangi kelembutan hatimu dan kekuatan visimu mengarungi hidup. Kulihat kau pemuda yang sangat berkarakter dan kuat memegang prinsip namun penuh toleransi. Kau jangan sembarangan memilih pasangan hidup, itu saran dari Madame.”
“Terima kasih Madame atas sarannya, doakan saja.” jawabku. Kulirik Maria. Sesaat mukanya merona tapi ia segera dapat menguasai dirinya.
“Fahri, kenapa sih kau buat peta hidup ke depan segala, bukankah hidup ini enaknya mengalir bagaikan air?” tanya Maria.
Kepalaku sebenarnya semakin nyut-nyut tapi aku selalu tidak bisa membiarkan kecewa orang yang bertanya padaku.
“Maaf, setiap orang berbeda dalam memandang hidup ini dan berbeda caranya dalam menempuh hidup ini. Peta masa depan itu saya buat terus terang saja berangkat dari semangat spiritual ayat suci Al-Qur’an yang saya yakini. Dalam surat Ar Ra’ad ayat sebelas Allah berfirman, Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya. Jadi nasib saya, masa depan saya, mau jadi apa saya, sayalah yang menentukan. Sukses dan gagalnya saya, sayalah yang menciptakan. Saya sendirilah yang mengaristeki apa yang akan saya raih dalam hidup ini.”
Belum selesai aku bicara Maria menyela, “Kalau begitu di mana takdir Tuhan?”
“Takdir Tuhan ada di ujung usaha manusia. Tuhan Mahaadil, Dia akan memberikan sesuatu kepada umat-Nya sesuai dengan kadar usaha dan ikhtiarnya. Dan agar saya tidak tersesat atau melangkah tidak tentu arah dalam berikhtiar dan berusaha maka saya membuat peta masa depan saya. Saya suka dengan kata-kata bertenaga Thomas Carlyle: ‘Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus!’ Peta hidup ini saya buat untuk mempertegas arah tujuan hidupku sepuluh tahun ke depan. Ini bagian dari usaha dan ikhtiar dan setelah itu semuanya saya serahkan sepenuhnya kepada Tuhan.”
Maria mengangguk-anggukkan kepala.
“Apa kubilang, Fahri seorang visioner yang tegas. Tidak seperti dirimu Maria, hidup manja tanpa visi. Kau ini sudah berada di jalan yang mulus. Dikaruniai otak yang cerdas, hidup berkecukupan, disayang keluarga. Tapi kau tidak akan membuat kemajuan tanpa visi yang jelas.” sahut Madame Nahed.
Aku tidak enak mendengarnya. Aku tidak tahu seperti apa wajah Maria, mungkin memerah karena malu mendapat teguran dari ibunya yang ceplas-ceplos seperti itu. Aku memejamkan kepala merasakan rasa nyeri di dalam tempurung kepalaku.
Tuan Boutros menanyakan kemana Rudi dan Mishbah, keduanya tidak kelihatan. Hamdi menjelaskan dengan rinci. Pembicaraan lalu beralih kepada Hamdi dan Saiful. Aku mendengarkan dengan mata terpejam. Tangan Saiful masih memijit kakiku. Tak lama kemudian Yousef datang membawa obat dan satu botol ashir mangga. Madame Nahed memberikan petunjuk cara meminum obatnya. Berapa hari sekali. Dia berpesan agar aku istirahat dulu sampai pulih kembali. Mereka lalu pamitan. Saat mau pergi Maria berkata,
“Syukran Fahri, aku mendapatkan ilmu yang mahal sekali. Benar kata pepatah dekat dengan penjual minyak akan mendapatkan wanginya.”
Setelah mereka kembali ke flatnya, aku makan ruz billaban pemberian Maria. Enak. Lalu minum obat dan bersiap tidur. Aku telah meminta Hamdi menyetel beker jam tiga. Aku bersyukur memiliki teman-teman yang baik dan tetangga yang baik. Saiful memijat-mijat diriku sampai aku terlelap. Dalam tidur aku mendengar Maria menangis. Air matanya membasahi kakiku. Jam tiga aku terbangun. Heran dengan mimpiku. Sebelum tidur aku sudah baca shalawat dan doa. Aku tak tahu mimpi itu tafsirnya apa. Kalau Ibnu Sirin masih hidup tentu aku tanyakan padanya. Aku beristighfar berkali-kali memohon ampunan kepada Allah jika guyonanku pada Madame Nahed tadi tidak semestinya aku lakukan. Jangan-jangan menyakiti hati Maria. Aku bangkit. Kepalaku terasa lebih ringan. Aku tadi memang kepanasan dan kelelahan. Ya Allah, kulihat Saiful tidur di karpet. Ia begitu setia menunggui aku. Ana uhibbuka fillah ya Akhi! [76] Aku harus shalat Isya. Malam terasa sunyi. Aku teringat ayah bunda di kampung sana, di tanah air tercinta. Terbayang mata bening bunda.
selalu saja kurindu
abad-abad terus berlalu
berjuta kali berganti baju
nun jauh di sana mata bening menatapku haru
penuh rindu
mata bundaku
yang selalu kurindu
Dalam sujud kumenangis kepada Tuhan, memohonkan rahmat kesejahteraan tiada berpenghabisan untuk bunda, bunda, bunda dan ayahanda tercinta. Usai shalat Isya dan Witir aku tidur lagi. Aku bermimpi lagi. Bertemu ayah ibu, berpelukan dan menangis haru.
* * *
Pagi hari aku merasa segar kembali. Aku melihat jadwal. Ada janji di National Library. Kalau tak ada janji sebenarnya aku ingin istirahat saja. Kasihan tubuh ini, kepanasan setiap hari. Tapi janji harus ditepati. Meskipun harus merangkak akan aku jalani. Janjinya jam sebelas. Aku harus berangkat jam sepuluh masih ada tiga jam. Lumayan untuk mengejar terjemahan.
Pukul sepuluh aku berangkat. Matahari sudah mulai menyengat. Sampai di halaman Maria memanggil namaku dari jendelanya. Ia mengingatkan agar aku tidak pergi. Kukatakan padanya aku ada janji. Aku harus menepatinya meskipun untuk itu aku harus mati. Untung aku dapat tempat duduk. Lebih baik daripada berdiri. Di tengah perjalanan seorang pemuda Mesir memakai jubah lusuh naik. Ia membawa karung. Entah apa isinya. Sampai di dalam metro membuka karungnya. Mengeluarkan boneka panda. Ia menawarkan pada penumpang barang dagangannya. Boneka dan mainan anak-anak. Ia menawarkan dari ujung ke ujung. Ia bilang harga promosi jauh lebih murah dari yang di toko resmi. Tak ada yang beli. Ia mendekatiku dan menawatkan boneka panda itu padaku. Kukatakan padanya aku belum punya anak. Penjual mainan itu menjawab,
“Belilah, kudoakan kau mendapatkan isteri yang shalihah dan cantik seperti bidadari dan memiliki anak yang shalih shalihah, juga kudoakan umurmu berkah rizkimu melimpah sehingga kau dan anak cucumu tidak akan perlu berjualan di jalan seperti diriku. Belilah untuk penyemangat hidupku!”
Siapa yang tidak terenyuh mendengar kata-kata penuh muatan doa seperti itu. Hatiku luluh. Aku akhirnya membeli boneka panda dan pistol air. Cuma sepuluh pound. Boneka enam pound dan pistol airnya empat pound. Pemuda itu tampak berbinar matanya, ia mengucapkan terima kasih. Setelah aku membeli ada seorang ibu setengah baya tertarik dan membeli.
Aku memandangi boneka panda warna coklat dan putih di tanganku. Boneka yang cantik. Kepada siapa akan kuberikan? Aku tersenyum sendiri. Biar nanti kugantung di atas tempat tidur. Pemuda itu masih di dalam metro ia belum turun. Mungkin turun di mahatah depan. Keringatnya bercucuran. Aku teringat masa kecilku ketika aku masih SD. Kami keluarga susah. Kakek hanya mewariskan sepetak sawah, kira-kira luasnya setengah bahu. Dibagi dua dengan adil untuk ayah dan paman. Ayah tidak sekolah, dia hanya sampai kelas tiga sekolah SR. Hanya bisa baca dan menulis saja. Demikian juga dengan ibu. Lain dengan paman. Dia disekolahkan oleh kakek dengan bantuan ayah sampai SPG. Dia jadi guru. Karena paman sudah disekolahkan maka rumah kakek diberikan kepada ayah. Selama paman sekolah ayahlah yang menggarap sawah untuk membiayai paman. Dan paman sangat pengertian, sebenarnya dia tidak minta apa-apa. Apa yang dia punya sudah cukup. Dia kebetulan mendapatkan isteri teman sekolahnya, anak penilik sekolah jadi lebih tercukupi. Tapi ayah tetap meminta kepada paman agar sawah sepetak itu dibagi dua. Paman tidak boleh menolaknya. Akhirnya yang kami punya adalah rumah peninggalan kakek yang sangat sederhana dan sawah seperempat bahu. Apa yang bisa diharapkan dari sawah setengah bahu. Ayah tetap menggarap sawah itu dengan menanam padi. Hasilnya di makan sendiri. Untuk keperluan lain ibu jualan gorengan di pasar dan ayah jualan tape [77] dengan berkeliling dari kampung ke kampung. Jika hari minggu aku diajak ayah ikut serta. Berjalan berkilo-kilo. Jika telah dekat dengan rumah penduduk ayah akan berteriak, ‘Pe tape! Pe tape! Pe tape!’
Jika ayah lelah maka akulah yang bergantian berteriak menawarkan tape. Jika ada yang beli hati senangnya bukan main. Rasa lelah seperti hilang begitu saja. Apalagi jika ada yang memborong sampai belasan bungkus, kami akan merasa menjadi orang paling beruntung di dunia. Mataku basah mengingat itu semua.
Pukul sebelas kurang lima menit aku sampai di National Library. Aku langsung menuju kafetaria. Alicia dan Aisha sudah ada di sana. Alicia tersenyum padaku entah Aisha aku tidak tahu sebab ia bercadar. Mereka telah memesan minuman. Aku pesan segelas karikade dingin. Alicia menyerahkan dua lembar kertas berisi pertanyaannya. Kubaca sekilas. Pertanyaan yang sangat serius. Aku menjanjikan akan menyerahkan jawabannya hari Sabtu, di tempat dan waktu yang sama. Alicia setuju. Kami lalu berbincang-bincang. Alicia banyak bertanya tentang studiku. Aisha bercerita tentang pamannya yang senang sekali mendapatkan salam dariku, dan mengirim salam balik, juga dua keponakannya yang masih ingat padaku. Katanya si Amena menyebutku “Ammu Fahri Al Andonesy!” [78] Aisha juga bertanya apakah aku telah berkeluarga? Setelah selesai master apa yang akan aku kerjakan di Indonesia? Apakah aku akan melanjutkan S3? Aku menjawab apa yang bisa kujawab. Sebelum berpisah aku teringat boneka dan pistol air yang aku beli di dalam metro. Kutitipkan pada Aisha untuk keponakannya, Si Amena dan Hasan yang lucu dan menggemaskan. Melihat boneka panda yang cantik mata Aisha membesar dan berkata, “Wow cantik sekali, Amena pasti senang menerimanya dan dia akan terus mengingat pamannya dari Indonesia.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Sudah setengah tahun aku tidak bertemu dua jundi kecil itu. Amena mungkin sudah hafal juz dua puluh sembilan. Dan Si Hasan sudah bisa membaca tulisan. Aku tidak tahu sama sekali bahwa boneka panda yang aku beli tanpa sengaja itu suatu saat nanti akan membawaku ke kaki langit cinta yang tiada tara indahnya. Kaki langit cinta orang-orang yang bercinta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.


9. Merancang Peta Hidup

Dari National Library aku langsung pulang. Di dalam metro aku memaksakan diri membaca dengan seksama pertanyaan-pertanyaan yang diajukan nona Alicia dari Amerika itu. Rasa penasaran mengalahkan perut lapar belum sarapan dan badan yang terasa meriang. Lembar pertama berisi pertanyaan tentang bagaimana Islam memperlakukan wanita. Tentang beberapa hadits yang dianggap merendahkan wanita. Tentang poligami, warisan dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak asing namun terus menerus ditanyakan. Pertanyaan yang seringkali memang dipakai oleh mereka yang tidak bertanggung jawab untuk mendiskreditkan Islam. Di Barat masalah poligami dalam Islam dipertanyakan. Mereka menganggap poligami merendahkan wanita. Mereka lebih memilih anak puterinya berhubungan di luar nikah dan kumpul kebo dengan ratusan lelaki bahkan yang telah beristeri sekalipun daripada hidup berkeluarga secara resmi secara poligami. Menurut mereka pelacur yang memuaskan nafsu biologisnya secara bebas dengan siapa saja yang ia suka lebih baik dan lebih terhormat daripada perempuan yang hidup berkeluarga baik-baik dengan cara poligami.
Untuk semua pertanyaan tentang bagaimana Islam memperlakukan perempuan aku sudah membayangkan semua jawaban yang aku akan tulis, lengkap dengan sejarah perlakuan manusia terhadap perempuan. Sejak zaman Yunani kuno sampai zaman postmo. Aku ingat bahwa para pendeta di Roma sebelum Islam datang, pernah sepakat untuk menganggap perempuan adalah makhluk yang najis dan boneka perangkap setan. Mereka bahkan mempertanyakan, perempuan sebetulnya manusia apa bukan? Punya ruh apa tidak? Sementara Baginda Nabi sangat memuliakan makhluk yang bernama perempuan, beliau pernah bersabda bahwa siapa memiliki anak perempuan dan mendidiknya dengan baik maka dia masuk surga.
Aku tinggal meringkas jawaban yang telah banyak ditulis para sejarawan, cendekiawan dan ulama Mesir. Pertanyaan yang berkaitan dengan perempuan aku anggap selesai. Nanti malam akan aku jawab lengkap dengan data dan dalil-dalil utama dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hadits yang ditanyakan Alicia yang mengatakan katanya Nabi pernah bersabda perempuan adalah perangkap setan adalah bukan hadits. Itu adalah perkataan seorang Sufi namanya Basyir Al Hafi. Sebagaimana dijelaskan dengan seksama dalam kitab Kasyful Khafa. Itu adalah pendapat pribadi Basyir Al Hafi yang kemungkinan besar terpengaruh oleh perkataan para pendeta Roma. Itu bukan hadits tapi disiarkan oleh orang-orang yang tidak memahami hadits sebagai hadits. Bagaimana mungkin Islam akan menghinakan perempuan sebagai perangkap setan padahal dalam Al-Qur’an jelas sekali penegasan yang berulang-ulang bahwa penciptaan perempuan sebagai pasangan hidup kaum lelaki adalah termasuk tanda-tanda kebesaran Tuhan. Dalam surat Ar Ruum ayat dua puluh satu Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Jika perempuan adalah perangkap setan atau panah setan bagaimana mungkin baginda nabi menyuruh memperlakukan perempuan dengan baik. Bahkan beliau bersabda dalam hadits yang shahih, “Orang pilihan di antara kalian adalah yang paling berbuat baik kepada perempuan (isteri)nya.” [79] Baginda nabi juga menyuruh umatnya untuk mengutamakan ibunya daripada ayahnya. Ibu disebut nabi tiga kali. Ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu!.
Pada lembaran kedua, Alicia bertanya bagaimana Islam memperlakukan nonmuslim? Bagaimana Islam memandang Nasrani dan Yahudi? Apa sebetulnya yang terjadi antara umat Islam dan umat Koptik di Mesir, sebab media massa Amerika memandang umat Islam berlaku tidak adil? Bagaimana pandangan Islam terhadap perbudakan? Dan lain sebagainya.
Aku teringat sebuah buku yang menjawab semua pertanyaan Alicia ini. Buku apa, dan siapa penulisnya? Aku terus mengingat-ingat. Otakku terus berputar, dan akhirnya ketemu juga. Buku itu ditulis oleh Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi yang pernah menjadi sekretaris Grand Syaikh Al Azhar, Syaikh Abdul Halim Mahmud. Aku merasa sebaiknya menerjemahkan buku berjudul Limadza yakhaafunal Islam [80] itu ke dalam bahasa Inggris untuk menjawab pertanyaan Alicia. Supaya Alicia dan orang-orang Barat tahu jawabannya dengan jelas dan gamblang. Supaya mereka lebih tahu begaimana sebenarnya Islam memuliakan manusia.
Untuk pertanyaan, apa sebetulnya yang terjadi antara umat Islam dan umat Koptik di Mesir, yang paling tepat sebenarnya, biarlah umat koptik Mesir sendiri yang menjawabnya. Dan Pope Shenouda pemimpin tertinggi umat kristen koptik Mesir sudah membantah semua tuduhan yang bertujuan tidak baik itu. Pope Shenouda tidak akan bisa melupakan masa kecilnya. Dia adalah anak yatim di sebuah pelosok desa Mesir yang disusui oleh seorang wanita muslimah. Dan wanita muslimah itu sama sekali tidak memaksa Shenouda untuk mengikuti keyakinannya. Wanita muslimah itu mengalirkan air susunya ke tubuh si kecil Snouda murni karena panggilan Ilahi untuk menolong bayi tetangganya yang membutuhkan air susunya. Adakah toleransi melebihi apa yang dilakukan ibu susu Pope Shenouda yang muslimah itu?
Dalam sejarah pemerintahan Mesir, pada tanggal 10 Mei 1911 ada laporan kolonial Inggris ke London yang menjelaskan hasil sensus di Mesir. Dari sensus penduduk waktu itu jumlah umat Islam 92 persen, umat kristen koptik hanya 2 persen, selebihnya Yahudi dan lain sebagainya. Pada waktu itu jumlah pegawai yang bekerja di kementerian seluruhnya 17.569 orang. Dengan komposisi 9.514 orang dari kaum muslimin yang berarti 54,69 persen, dan selebihnya dari kaum koptik, yaitu 8.055 orang dan berarti, 45,31 persen. Bagaimana mungkin jumlah umat koptik yang cuma 2 persen itu mendapatkan jatah 45,31 persen di departemen-departemen kementerian. Dan umat Islam mesir tidak pernah mempesoalkan komposisi yang sangat menganakemaskan umat kristen koptik ini. Apakah tidak wajar jika para pendeta koptik ebih dahulu bersuara lantang menolak tuduhan Amerika sebelum Al Azhar bersuara?
Ulama-ulama besar dan terkemuka Mesir tidak pernah menyapa umat kristen koptik sebagai orang lain. Mereka dianggap dan disapa sebagai ‘ikhwan’ sebagai saudara. Saudara setanah air, sekampung halaman, sepermainan waktu kecil, bukan saudara dalam keyakinan dan keimanan. Syaikh Yusuf Qaradhawi menyapa umat koptik dengan ‘ikhwanuna al Aqbath’, saudara-saudara kita umat koptik. Sebuah sapaan yang telah diajarkan oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an mengakui adanya persaudaraan di luar keimanan dan keyakinan. Dalam sejarah nabi-nabi, kaum nabi Nuh adalah kaum yang mendustakan para rasul. Mereka tidak mau seiman dengan nabi Nuh. Meskipun demikian, Al-Qur’an menyebut Nuh adalah saudara mereka. Tertera dalam surat Asy Syuara ayat 105 dan 106: ‘Kaum Nuh telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka (Nuh) berkata pada mereka, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa?’ Apakah ajaran yang indah dan sangat humanis seperti ini masih juga dianggap tidak adil? Kalau tidak adil juga maka seperti apakah keadilan itu? Apakah seperti ajaran Yahudi yang menganggap orang yang bukan Yahudi adalah budak mereka. Atau ajaran yang diyakini ratu Isabela yang memancung jutaan umat Islam di Spayol karena tidak mau mengikuti keyakinannya?
Aku merasa isi buku Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi harus dibaca masyarakat Amerika, Eropa, dan belahan dunia lainnya yang masih sering tidak bisa memahami ruh ajaran Islam. Termasuk juga masyarakat Indonesia. Tapi aku bimbang, apakah aku punya waktu yang cukup untuk menerjemahkan buku itu. Kontrak terjemahan harus segera aku tuntaskan. Jakarta sedang menunggu naskah yang aku kerjakan. Proposal tesis juga harus segera kuajukan ke universitas. Dan kondisi kesehatan yang sedikit terganggu.
* * *
Metro yang kutumpangi sampai di Hadayek Helwan pukul dua. Panas sengatan matahari semakin kurang ajar dan kurang ajar. Aku keluar mahattah dengan memakai langkah cepat. Di perempatan jalan dekat rental dan toko peralatan komputer Pyramid Com, aku mendengar seseorang memanggil namaku. Suara yang tidak terlalu asing. Aku menengok ke kanan, ke arah Pyramid Com. Seorang gadis Mesir sambil memegang payung berjalan cepat ke arahku. Aku terus saja berjalan tak begitu mempedulikan dirinya. Sebab udara panas menyengat muka.
“Hai Fahri, tunggu, baru pulang ya? Kepanasan? Ini pakai saja payungku nanti kau sakit lagi?”
Gadis Mesir berpipi lesung kalau tersenyum itu telah berhasil mengejar langkahku. Ia berjalan sejajar denganku dan menawarkan payungnya padaku.
“Sudahlah Maria, kau jangan berlaku begitu!” sahutku sambil mempercepat langkah. Maria terus berusaha mengimbangi kecepatan langkahku. Ia berusaha memayungi diriku dari sengatan matahari. Beberapa orang Mesir yang berpapasan dengan kami melihat kami dengan pandangan heran. Maria melakukan sesuatu yang tidak biasanya dilakukan gadis Mesir. Juga tidak akan pernah ada lelaki di Mesir memakai payung untuk melindungi dari sengatan matahari.
“Maria, please, hormatilah aku. Jangan bersikap seperti itu!”
Maria menarik payungnya dan menggunakan untuk melindungi dirinya. Aku heran sendiri dengan perlakuan puteri Tuan Boutros ini padaku. Mamanya bilang Maria tidak suka didatangi teman-teman lelakinya. Juga tidak suka pergi atau kencan dengan mereka. Tidak suka menerima telpon dari mereka. Tidak bisa mesra katanya, tapi kenapa dia bersikap sedemikian perhatian padaku. Aku merasa ia seolah-olah menunggu kepulanganku di jalan yang pasti kulewati.
“Janji sama siapa Fahri, kalau aku boleh tahu?” tanyanya. Aku mempercepat langkah. Jarak apartemen dan mahattah metro sekitar seratus dua puluh lima meter.
“Sama teman. Kau panas-panas begini ke Pyramid Com ada apa? Kau ‘kan paling malas keluar di tengah panas yang menggila seperti ini?” tanyaku tanpa memandang kepadanya. Itu tidak mungkin kulakukan kecuali terpaksa misalnya ketika berjumpa begitu saja. Atau reflek menengok karena dia memanggil namaku.
“Terpaksa. Tinta printku habis. Padahal aku harus ngeprint banyak saat ini. Sialnya stok Pyramid Com juga habis. Aku mau ke Helwan malas sekali?” jawabnya dengan nada kecewa.
“Kebetulan tintaku masih penuh. Baru beli. Pakai saja milikku.”
“Terima kasih Fahri. Kebetulan sekali kalau begitu. Aku perlu sekali. Kalau aku tahu itu aku tidak akan capek-capek begini.”
“Kelihatannya kau sangat sibuk minggu dan banyak tugas minggu ini, Maria?”
“Iya, sejak empat hari kemarin aku sibuk mengedit kumpulan tulisanku yang tersebar di beberapa media selama satu tahun ini. Hari ini juga harus aku print. Sebab habis maghrib nanti akan diambil Wafa untuk dimintakan kata pengantar pada Anis Mansour, lalu diterbitkan. Setelah itu sampai kuliah aktif kembali aku kosong. Ada apa kau tanya seperti itu. Ada yang bisa aku bantu?”
“Ya. Kalau kau berkenan. Aku perlu bantuanmu.”
“Apa itu? Kalau aku mampu, dengan senang hati.”
Aku lalu menjelaskan pertemuanku dengan Alicia dan segala pertanyaannya. Aku menjelaskan keinginanku menyampaikan isi buku yang ditulis Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi. Tapi kelihatannya aku tidak punya waktu yang cukup. Buku itu setebal 143 halaman. Dan Maria bahasa Inggrisnya sangat bagus. Selama di sekolah menengah ia kursus di British Council, dan pernah terpilih pertukaran pelajar ke Skotlandia selama setengah tahun.
“Kapan dead linenya?”
“Jawaban harus aku sampaikan pada Alicia hari Sabtu depan. Kalau bisa malam Jum’at sudah selesai diterjemahkan sehingga aku juga ada kesempatan membacanya?”
“Baiklah. Nanti berikan buku itu padaku. Aku berjanji Kamis pagi selesai.”
“Thank’s, Maria.”
“Forget it.”
Tak terasa kami telah sampai di halaman apartemen. Aku mempercepat langkah. Aku tidak mau naik tangga di belakang Maria. Aku harus di depan, aku teringat kisah nabi Musa dan dua gadis muda pencari air. Nabi Musa tidak mau berjalan di belakang keduanya demi menjaga pandangan dan menjaga kebersihan jiwa.
Sampai di dalam flat, Saiful menyambutku dengan segelas ashir mangga. Aku langsung meminumnya. Rasa segar menjalar ke seluruh tubuh. Aku langsung masuk kamar dan menyalakan kipas angin. Maria mengirim sms agar tinta dan buku yang hendak diterjemah segera kusiapkan. Lima menit lagi ia akan menurunkan keranjang. Aku langsung mencari buku itu di rak. Ketemu. Jendela kubuka. Angin panas masuk serta merta. Maria telah menunggu dengan keranjang kecilnya. Tinta dan buku kumasukkan ke dalamnya. Dan ia mengangkatnya. Aku langsung shalat dan istirahat sampai ashar tiba.
* * *
Mishbah pulang dari Nasr City jam enam sore. Ketika aku sedang asyik membaca beberapa buku untuk menjawab pertanyaan Alicia. Ia membawa pesan dari Nurul yang secara tidak sengaja bertemu di depan Wisma agar aku menelpon dia sebelum maghrib tiba. Kembali Rudi menggodaku, “Tidak salah lagi. Pasti ada sesuatu. She is the true coise!” Aku beristighfar dalam hati. Semoga Allah melindungi dari godaan setan yang terkutuk yang menyesatkan manusia dengan berbagai macam cara. Dalam hati aku menegaskan, aku tidak akan menelponnya.
Setengah tujuh telpon berdering. Dari Nurul. Ia minta padaku agar ke rumah Ustadz Jalal, katanya Ustadz Jalal ingin minta tolong dan membicarakan sesuatu yang penting padaku. Kukatakan minggu ini aku tidak bisa. Ia bilang tidak apa-apa, tapi minta diusahakan kalau ada kesempatan langsung ke sana. Ustadz Jalal masih ada hubungan kerabat dengan Nurul, meskipun agak jauh. Mereka bertemu di ayah kakek alias buyut. Sudah lama aku tidak bertemu Ustadz Jalal. Beliau dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga yang mengambil S3 di Sudan, dan selama menulis disertasi doktoralnya beliau tinggal di Kairo bersama isteri dan ketiga anaknya. Aku akrab dengan beliau dimulai sejak kami umrah bersama dua tahun yang lalu. Kami mengarungi laut merah untuk mencapai Jeddah dengan kapal Wadi Nile. Saat itu beliau baru setengah tahun di Cairo. Anak beliau baru dua. Anaknya yang bungsu lahir di Cairo tujuh bulan yang lalu. Apa yang beliau inginkan dariku? Apakah beliau akan meminta tolong untuk ikut mentakhrij hadits lagi? Aku tak tahu pasti. Jawabnya adalah ketika aku bertemu dengannya. Sebenarnya yang membuatku sedikit heran, kenapa Ustadz Jalal tidak langsung menelponku, kenapa berputar lewat Nurul. Benar, rumahnya tidak ada telponnya, tapi dia tentunya bisa menelpon lewat Minatel yang tersebar di setiap sudut kota Cairo. Keadaan dan jalan berpikir seseorang terkadang memang susah dimengerti.
Usai mengangkat telpon aku tidak meneruskan pekerjaanku sebelumnya, yaitu membaca. Tapi aku merasa perlu meninjau kembali planning bulan ini. Utamanya adalah minggu yang sedang aku jalani ini. Aku melihat jadwal keluar rumah. Ada lima kegiatan. Kurasa harus aku pangkas semua. Aku harus istirahat dan mengejar terjemahan. Pengajian ibu-ibu KBRI hari Selasa. Pembanding dalam diskusi yang diadakan FORDIAN, Forum Studi Ilmu Al-Qur’an, di Buuts, hari Rabu pagi. Pergi ke warnet. Dan rapat Dewan Asaatidz Pesantren Virtual, di mahattah Shurthah, Nasr City, Kamis malam Jum’at. Semuanya harus aku batalkan. Yang perlu pengganti harus aku carikan ganti. Bahkan untuk talaqqi pada Syaikh Utsman hari Rabu aku ingin izin, sekali ini. Aku benar-benar ingin di rumah minggu ini, menghindari perjalanan panjang yang membuat ubun-ubun terasa mendidih.
Sore itu juga aku telpon takmir masjid Indonesia yang mengurusi pengajian ibu-ibu KBRI agar mengganti jadwalku dan memundurkan satu bulan ke belakang. Pada koordinator FORDIAN aku minta diganti, kutawarkan sebuah nama. Pada Gus Ochie El-Anwari sang penggagas rapat Dewan Asaatidz aku minta izin, aku sampaikan beberapa ide dan pokok pikiran yang mengganjal di kepala. Setelah semua beres aku merasa lega. Langsung kusambung dengan menulis jawaban atas pertanyaan Alicia seputar Islam dan Perempuan. Aku hanya istirahat untuk shalat, makan malam, dan minum air putih. Tekadku bulat harus tuntas malam ini. Tak ada bedanya dengan membuat karya ilmiah. Jawaban dengan bahasa Inggris itu selesai juga. Tepat pukul tiga malam. Dengan bahasa Inggris. Setebal empat puluh satu halaman spasi satu Microsoft Word, Times New Roman, Font 12. Seandainya tidak memakai bahasa Inggris kurasa pukul satu malam sudah selesai. Beberapa kali aku harus membuka kamus Al Maurid untuk sebuah kosa kata yang aku kurang yakin ketepatannya.
Sejak itu aku tidak keluar rumah kecuali untuk shalat berjamaah. Waktuku habis di dalam kamar, di depan komputer. Aktifitasku adalah menerjemah, menyelesaikan proposal, sesekali makan, ke kamar mandi dan tidur. Hari Selasa sore Maria memberi tahu buku Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi telah selesai ia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Hanya saja ia tidak berani menerjemahkan hadits dan ayat suci Al-Qur’an takut salah. Maria memberikan disket berisi terjemahannya. Kekurangannya kutambal. Jawabanku dan hasil terjemahan Maria langsung aku print dan ketika shalat shubuh aku berikan kepada Syaikh Ahmad untuk diperiksa. Kebetulan bahasa Inggris beliau bagus tidak seperti Imam masjid lainnya. Beliau bahkan pernah diutus oleh Al Azhar ke Australia untuk menjadi Imam di masjid Malik Faishal yang terletak di Common Wealth Street, Surry Hills, Sidney selama satu tahun. Aku jelaskan pada beliau pertemuanku dengan Miss. Alicia dari Amerika dan kapan jawaban itu harus aku serahkan. Aku ingin beliau mengoreksi dengan seksama. Beliau sangat senang dengan apa yang aku lakukan. Beliau menjanjikan malam Jum’at ba’da shalat Isya bisa aku ambil sehingga bisa diedit lagi dan diprint ulang.
Kekejaman pada diri sendiri untuk bekerja keras menampakkan hasilnya. Hari Jum’at terjemahan selesai. Tinggal menunggu diedit saja. Proposal tesis juga selesai, siap untuk diajukan ke tim penilai. Jika layak nanti pihak fakultas akan mencarikan promotor yang sesuai. Dan jawaban untuk semua pertanyaan Alicia yang telah dikoreksi dan diberi tambahan Syaikh Ahmad sudah aku print, aku fotocopy dan aku jilid jadi empat. Untuk Alicia, untuk Aisha, untuk Maria, dan untuk arsip pribadiku. Aku menatap peta hidup bulan ini. Aku tersenyum penuh rasa syukur. Kukatakan pada diriku sendiri, “Man jadda wajad!” [81]
Aku merasa bersyukur kepada Allah yang mengilhamkan untuk merubah strategi perangku minggu ini. Memang terkadang kita harus kejam pada diri sendiri. Dan sedikit tegas pada orang lain. Aktifitas yang penting tetapi tidak terlalu penting bisa dibuang atau di-pending.
* * *
Ketika aku mengambil naskah yang dikoreksi Syaikh Ahmad, beliau bercerita sedikit tentang Noura. Gadis innocent itu senang di Tafahna. Kebetulan satu hari sebelumnya, Ummu Aiman, isteri Syaikh Ahmad menjenguk ke sana. Syaikh Ahmad sedang melacak sebenarnya siapa Si Muka Dingin Bahadur itu. Apakah benar ayahnya atau bukan? Syaikh Ahmad mendapatkan informasi Noura dilahirkan di klinik bersalin Heliopolis. Bagaimana sejarahnya Noura bisa terlahir di klinik elite di kawasan elite itu? Syaikh Ahmad sedang menyelidikinya dengan bantuan Ridha Shahata, sepupunya yang menjadi staf intelijen Dewan Keamanan Negara atau yang disebut “Mabahits Amn Daulah”. Aku yakin tak lama lagi Noura kembali hidupnya yang penuh ketenteraman. Sebelum aku pulang beliau menyerahkan sepucuk surat kepadaku, beliau bilang, “Surat ini yang membawa Ummu Aiman, dari Noura, katanya ucapan terima kasih padamu!”
Inilah untuk pertama kalinya aku mendapatkan surat dari orang Mesir. Asli. Dari gadis Mesir lagi. Meskipun cuma ucapan terima kasih. Aku penasaran ingin tahu kata-kata apa yang ditulis oleh gadis innocent itu. Seperti apa tulisannya. Ingin rasanya kubuka seketika itu, tapi pada Syaikh Ahmad aku merasa malu. Kumasukkan surat itu begitu saja ke dalam saku.


10. Sepucuk Surat Cinta

Ini malam Sabtu. Besok pagi aku harus pergi. Memasukkan proposal tesis ke kampus. Menemui Alicia dan Aisha di National Library. Dan mengirimkan naskah terjemahan ke redaksi sebuah penerbit di Jakarta melalui email. Perjalanan yang agak melelahkan kelihatannya. Semua telah siap, kecuali naskah terjemahan. Belum selesai di edit. Aku ingin besok pagi semuanya berjalan seperti rencana. Sekali melakukan perjalanan banyak yang diselesaikan. Malam ini mau tidak mau aku harus sedikit keras pada diriku sendiri. Aku harus kerja lembut mengedit hasil terjemahanku sampai benar-benar matang.
Untuk persiapan lembur ini, aku telah menyiapkan dopping andalan. Madu murni, susu kambing murni yang dibelikan oleh Hamdi dari para penggembala kambing yang biasa lewat di Wadi Hof, dan telur ayam kampung. Agar suasana segar aku membuka jendela dan pintu kamar terbuka lebar-lebar. Pelan-pelan kusetel nasyid Athfal Filistin. Semangat bocah-bocah cilik Palestina yang membara dengan celoteh mereka yang menggemaskan menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan intifadhah membuat diriku bersemangat dan tidak mengantuk. Aku sudah minta izin teman-teman untuk membunyikan nasyid ini sampai tengah malam. Aku minta mereka menutup pintu kamar masing-masing agar tidak terganggu tidurnya.
Ternyata mereka malah asyik meminjam film Ashabul Kahfi dari seorang teman di Nasr City. Dan menontonnya di kamar Rudi. Mereka memerlukan waktu 16 jam untuk menonton film yang dibuat Iran dan Lebanon itu. Sebab film Ashabul Kahfi adalah film yang diputar bersambung oleh stasiun TV Lebanon selama bulan Ramadhan tahun kemarin. Hanya yang memiliki parabola yang bisa menontonnya. Malam ini mereka menyediakan waktu khusus untuk menontonnya. Aku belum pernah menontonnya, sebetulnya sangat ingin. Tapi apakah semua keinginan harus dipenuhi? Komentar teman-teman yang sudah menontonnya, film Ashabul Kahfi luar biasa indahnya, mampu menambah keimanan dan memperhalus jiwa. Lain kali semoga ada kesempatan menontonnya. Malam ini adalah malam kerja.
Malam ini, sementara teman-teman terbang ke zaman Ashabul Kahfi, mereka berdialog dengan pemuda-pemuda pilihan itu, aku malah berlayar di lautan kata-kata yang disusun Ibnu Qayyim. Aku harus membaca dengan teliti dan mengedit tulisan sebanyak 357 halaman. Tengah malam aku kelelahan. Aku istirahat dengan melakukan shalat. Ketika sujud kepala terasa enak. Darah mengalir ke kepala. Syaraf-syarafnya menjadi lebih segar. Kudengar teman-teman bertasbih atas apa yang mereka lihat di film itu. Aku melemaskan otot-otot dengan menelentangkan badan di atas kasur. Menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. Aku bangkit hendak meneruskan pekerjaan. Tak sengaja aku melihat sepucuk surat permintaan mengisi pelatihan terjemah dari sebuah kelompok studi. Aku jadi teringat dengan sepucuk surat dari Noura yang masih berada di saku baju koko yang tergantung di dalam almari. Aku belum membacanya. Segera kuambil surat itu dan kubaca.

Kepada
Fahri bin Abdillah, seorang mahasiswa
dari Indonesia yang lembut hatinya dan berbudi mulia

Assalamu’alaikum warahmatullah wa barakatuh.
Kepadamu kukirimkan salam terindah, salam sejahtera para penghuni surga. Salam yang harumnya melebihi kesturi, sejuknya melebihi embun pagi. Salam hangat sehangat sinar mentari waktu dhuha. Salam suci sesuci air telaga Kautsar yang jika direguk akan menghilangkan dahaga selama-lamanya. Salam penghormatan, kasih dan cinta yang tiada pernah pudar dan berubah dalam segala musim dan peristiwa.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Entah dari mana aku mulai dan menyusun kata-kata untuk mengungkapkan segala sedu sedan dan perasaan yang ada di dalam dada. Saat kau baca suratku ini anggaplah aku ada dihadapanmu dan menangis sambil mencium telapak kakimu karena rasa terima kasihku padamu yang tiada taranya.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Sejak aku kehilangan rasa aman dan kasih sayang serta merasa sendirian tiada memiliki siapa-siapa kecuali Allah di dalam dada, kaulah orang yang pertama datang memberikan rasa simpatimu dan kasih sayangmu. Aku tahu kau telah menitikkan air mata untukku ketika orang-orang tidak menitikkan air mata untukku.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Ketika orang-orang di sekitarku nyaris hilang kepekaan mereka dan masa bodoh dengan apa yang menimpa pada diriku karena mereka diselimuti rasa bosan dan jengkel atas kejadian yang sering berulang menimpa diriku, kau tidak hilang rasa pedulimu. Aku tidak memintamu untuk mengakui hal itu. Karena orang ikhlas tidak akan pernah mau mengingat kebajikan yang telah dilakukannya. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang saat ini kudera dalam relung jiwa.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Malam itu aku mengira aku akan jadi gelandangan dan tidak memiliki siapa-siapa. Aku nyaris putus asa. Aku nyaris mau mengetuk pintu neraka dan menjual segala kehormatan diriku karena aku tiada kuat lagi menahan derita. Ketika setan nyaris membalik keteguhan imanku, datanglah Maria menghibur dengan segala kelembutan hatinya. Ia datang bagaikan malaikat Jibril menurunkan hujan pada ladang-ladang yang sedang sekarat menanti kematian. Di kamar Maria aku terharu akan ketulusan hatinya dan keberaniannya. Aku ingin mencium telapak kakinya atas elusan lembut tangannya pada punggungku yang sakit tiada tara. Namun apa yang terjadi Fahri?
Maria malah menangis dan memelukku erat-erat. Dengan jujur ia menceritakan semuanya. Ia sama sekali tidak berani turun dan tidak berniat turun malam itu. Ia telah menutup kedua telinganya dengan segala keributan yang ditimbulkan oleh ayahku yang kejam itu. Dan datanglah permintaanmu melalui sms kepada Maria agar berkenan turun menyeka air mata dukaku. Maria tidak mau. Kau terus memaksanya. Maria tetap tidak mau. Kau mengatakan pada Maria: ‘Kumohon tuturlah dan usaplah air mata. Aku menangis jika ada perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon. Andaikan aku halal baginya tentu aku akan turun mengusap air matanya dan membawanya ke tempat yang jauh dari linangan air mata selama-lamanya. Maria tetap tidak mau.” Dia menjawab: “Untuk yang ini jangan paksa aku, Fahri! Aku tidak bisa.” Kemudian dengan nama Isa Al Masih kau memaksa Maria, kau katakan, “Kumohon, demi rasa cintamu pada Al Masih.” Lalu Maria turun dan kau mengawasi dari jendela. Aku tahu semua karena Maria membeberkan semua. Ia memperlihatkan semua kata-katamu yang masih tersimpan dalam handphone-nya. Maria tidak mau aku cium kakinya. Sebab menurut dia sebenarnya yang pantas aku cium kakinya dan kubasahi dengan air mata haruku atas kemuliaan hatinya adalah kau. Sejak itu aku tidak lagi merasa sendiri. Aku merasa ada orang yang menyayangiku. Aku tidak sendirian di muka bumi ini.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Anggaplah saat ini aku sedang mencium kedua telapak kakimu dengan air mata haruku. Kalau kau berkenan dan Tuhan mengizinkan aku ingin jadi abdi dan budakmu dengan penuh rasa cinta. Menjadi abdi dan budak bagi orang shaleh yang takut kepada Allah tiada jauh berbeda rasanya dengan menjadi puteri di istana raja. Orang shaleh selalu memanusiakan manusia dan tidak akan menzhaliminya. Saat ini aku masih dirundung kecemasan dan ketakutan jika ayahku mencariku dan akhirnya menemukanku. Aku takut dijadikan santapan serigala.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Sebenarnya aku merasa tiada pantas sedikit pun menuliskan ini semua. Tapi rasa hormat dan cintaku padamu yang tiap detik semakin membesar di dalam dada terus memaksanya dan aku tiada mampu menahannya. Aku sebenarnya merasa tiada pantas mencintaimu tapi apa yang bisa dibuat oleh makhluk dhaif seperti diriku.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Dalam hatiku, keinginanku sekarang ini adalah aku ingin halal bagimu. Islam memang telah menghapus perbudakan, tapi demi rasa cintaku padamu yang tiada terkira dalamnya terhunjam di dada aku ingin menjadi budakmu. Budak yang halal bagimu, yang bisa kau seka air matanya, kau belai rambutnya dan kau kecup keningnya. Aku tiada berani berharap lebih dari itu. Sangat tidak pantas bagi gadis miskin yang nista seperti diriku berharap menjadi isterimu. Aku merasa dengan itu aku akan menemukan hidup baru yang jauh dari cambukan, makian, kecemasan, ketakutan dan kehinaan. Yang ada dalam benakku adalah meninggalkan Mesir. Aku sangat mencintai Mesir tanah kelahiranku. Tapi aku merasa tidak bisa hidup tenang dalam satu bumi dengan orang-orang yang sangat membenciku dan selalu menginginkan kesengsaraan, kehancuran dan kehinaan diriku. Meskipun saat ini aku berada di tempat yang tenang dan aman di tengah keluarga Syaikh Ahmad, jauh dari ayah dan dua kakakku yang kejam, tapi aku masih merasa selalu diintai bahaya. Aku takut mereka akan menemukan diriku. Kau tentu tahu di Mesir ini angin dan tembok bisa berbicara.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Apakah aku salah menulis ini semua? Segala yang saat ini menderu di dalam dada dan jiwa. Sudah lama aku selalu menanggung nestapa. Hatiku selalu kelam oleh penderitaan. Aku merasa kau datang dengan seberkas cahaya kasih sayang. Belum pernah aku merasakan rasa cinta pada seseorang sekuat rasa cintaku pada dirimu. Aku tidak ingin mengganggu dirimu dengan kenistaan kata-kataku yang tertoreh dalam lembaran kertas ini. Jika ada yang bernuansa dosa semoga Allah mengampuninya. Aku sudah siap seandainya aku harus terbakar oleh panasnya api cinta yang pernah membakar Laila dan Majnun. Biarlah aku jadi Laila yang mati karena kobaran cintanya, namun aku tidak berharap kau jadi Majnun. Kau orang baik, orang baik selalu disertai Allah.
Doakan Allah mengampuni diriku. Maafkan atas kelancanganku.
Wassalamu’alaikum,
Yang dirundung nestapa,
Noura
Tak terasa mataku basah. Bukan karena inilah untuk pertama kalinya aku menerima surat cinta yang menyala dari seorang gadis. Bukan karena kata-kata Noura yang mengutarakan apa dirasakannya terhadapku. Aku menangis karena betapa selama ini Noura menderita tekanan batin yang luar biasa. Ia sangat ketakutan, merasa tidak memiliki tempat yang aman. Ia merasa berada dalam kegelapan yang berkepanjangan. Tanpa cahaya cinta dan kasih dari keluarganya. Ia merasa tidak ada yang peduli padanya. Ia telah kehilangan kepercayaan dirinya sebagai manusia merdeka tanpa belenggu nestapa. Sesungguhnya tekanan psikis yang menderanya selama ini lebih berat dari siksaan fisik yang ia terima. Maka ketika ada sedikit saja cahaya yang masuk ke dalam hatinya, ada rasa simpati yang diberikan orang lain kepadanya, ia merasa cahaya dan rasa simpati itu adalah segalanya baginya. Ia langsung memegangnya erat-erat dan tidak mau kehilangan cahaya itu, tidak mau kehilangan simpati itu dan ia sangat percaya dan menemukan hidupnya pada diri orang yang ia rasa telah memberikan cahaya dan rasa simpati.
Aku menyeka air mata kulipat kertas surat itu dan kumasukkan ke dalam amplopnya. Setelah shalat shubuh aku harus menyampaikan hal ini pada Syaikh Ahmad. Gadis itu perlu terus diberi semangat hidup dan dikokohkan ruhaninya. Gadis itu perlu diyakinkan bahwa dia akan mendapatkan rasa aman dan kasih sayang selama berada di tengah-tengah orang yang beriman. Aku mengambil air wudhu untuk menenangkan hati dan pikiran. Aku harus kembali menyelesaikan pekerjaan. Ketika azan shubuh berkumandang seluruh terjemahan telah selesai aku edit. Langsung kupecah menjadi empat file. Kumasukkan ke dalam disket. Mataku terasa berat dan perih. Seperti ada kerikil mengganjal di sana. Aku belum memicingkan mata sama sekali. Aku bangkit kuajak teman-teman untuk turun ke masjid.


11. Dijenguk Sahabat Nabi

Kepada Syaikh Ahmad aku berikan surat Noura untuk beliau baca. Jamaah shalat shubuh sudah banyak yang pulang. Kecuali beberapa kakek-kakek yang beri’tikaf dan membaca Al-Qur’an menunggu sampai waktu dhuha tiba. Aku diajak Syaikh Ahmad masuk ke dalam kamar imam. Aku memohon kepada beliau untuk memperlakukan gadis itu dengan lebih baik dan bijak. Aku memohon kepada beliau agar gadis itu jangan dicela atas apa yang ditulis dan dilakukannya. Gadis itu memang sedikit berbohong ketika mengatakan surat itu ucapan terima kasih semata. Gadis itu perlu dikokohkan semangat hidupnya dan diyakinkan dia tidak akan mendapatkan perlakuan buruk lagi. Dia akan aman di Mesir. Syaikh Ahmad membaca surat itu dan menitikkan air mata. “Akan aku minta kepada Ummu Aiman untuk mencurahkan perhatian yang lebih padanya. Dia memang memerlukan rasa aman dan kasih sayang yang selama ini hilang. Dan dia sepertinya belum merasa yakin dia akan mendapatkan rasa aman dan kasih sayang di sini.” Syaikh Ahmad berjanji akan menyelesaikan masalah Noura sebaik-baiknya dan meminta diriku agar tidak terganggu dan konsentrasi pada tesis. Dan surat Noura itu aku berikan pada Syaikh. Aku tidak mau menyimpannya. Baru aku pulang.
Sampai di rumah aku baca Al-Qur’an satu halaman. Aku ingin memejamkan mata setengah jam saja. Aku pesan pada Saiful agar membangunkan aku sampai aku benar-benar bangun pada pukul setengah tujuh.
Pukul setengah tujuh aku dibangunkan. Kerikil di mata belum sepenuhnya hilang. Aku mandi. Sarapan belum jadi. Aku mempersiapkan segalanya untuk pergi. Jawaban untuk Alicia. Proposal tesis. Dan disket berisi naskah terjemahan. Karena perjalanan panjang aku harus berangkat pagi. Di metro aku tidak dapat tempat duduk. Metro penuh oleh orang-orang yang berangkat kerja. Turun di Tahrir aku langsung mencari Eltramco menuju Hayyu Sabe. Tujuanku adalah @lfenia. Warnet yang dikelola teman-teman mahasiswa dari Indonesia. Pukul delapan aku sampai di sana. Bertemu Furqon, penjaga warnet yang sudah seperti saudara sendiri. Furqon memelukku dan berkata, “Pucat sekali sampean Mas. Begadang ya?”
Aku menganggukkan kepala. Furqon mempersilakan aku memilih sendiri tempat yang kuinginkan. Hanya ada tiga orang yang sedang berlayar di dunia maya. Aku memilih yang paling dekat dari tempatku berdiri. Membuka Yahoomail. Mengirim naskah terjemahan dengan attachment. Membuka beberapa message di mailist Mutarjim, Qahwaji, dan Indonesia Cinta Damai. Melihat Ahram, Time, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka dan Islam-online. Satu jam aku di @lfenia. Furqan menyuguhkan segelas teh Arousa. Teh paling merakyat di Mesir. Jika dibuat kental dan minum masih dalam keadaan agak panas pelan-pelan. Sruput demi sruput. Teh Arousa mampu meringankan kepala yang berat dan menyegarkan pikiran. Dari @lfenia aku langsung naik bis 926 menuju kampus Al Azhar di Maydan Husein. Kuserahkan proposal tesiskepada Syuun Thullab Dirasat Ulya Fakultas Ushuluddin. Aku merasa aku akan terlambat sampai di National Library. Aku kontak Aisha memberitahukan posisi keberadaanku dan meminta mereka menunggu jika aku terlambat.
Benar aku terlambat sepuluh menit. Aku minta maaf. Kukeluarkan jawaban atas pertanyaan Alicia yang telah kujilid.
“Semua pertanyaan tentang perempuan dalam Islam saya jawab dalam empat puluh halaman. Pertanyaan lainnya saya jawab dengan menerjemahkan buku yang ditulis oleh Prof.Dr. Abdul Wadud Shalabi.”
Alicia dan Aisha berdecak kaget dan gembira atas keseriusanku. Aku jelaskan siapa sebenarnya yang menerjemahkan buku Prof. Shalabi ke dalam bahasa Inggris. Sahamku dalam terjemahan itu hanyalah membaca ulang dan mengoreksinya serta menerjemahkan hadits dan melengkapi terjemahan Al-Qur’an yang ditinggalkan Maria. Korektor akhir atas semuanya adalah Syaikh Ahmad Taqiyyuddin. Lalu kami berdiskusi selama dua jam setengah. Saat berdiskusi aku merasa badanku terasa meriang sekali. Kepalaku berat tapi aku tahan dan aku kuat-kuatkan. Alicia minta data diriku dan alamat lengkapku. Dua hari lagi rencananya ia akan kembali ke Amerika. Aisha berkata suatu saat nanti akan mengajak diriku untuk berdiskusi lagi. Kami berpisah. Di luar gedung terik panas benar-benar menggila. Aku naik metro. Sampai di Maadi setengah tiga.Aku belum shalat. Terpaksa aku turun untuk shalat di masjid yang ada di luar mahattah.
Aku meneruskan perjalanan. Ubun-ubun kepalaku terasa sangat nyeri. Di Tura El-Esmen badai panas bergulung menebar debu ke dalam metro. Sangat tidak nyaman. Turun di Hadayek Helwan aku merasa tidak kuat untuk berjalan ke apartemen. Aku panggil taksi. Kepalaku nyeri sekali. Tubuh seperti remuk. Aku lupa belum sarapan sejak pagi. Sampai di halaman apartemen aku sempat melihat jam tangan. Pukul tiga seperempat. Kepalaku seperti ditusuk tombak berkarat. Sangat sakit. Begitu membuka pintu rumah aku merasa tidak kuat melangkahkan kaki. Kepala terasa seperti digencet palu godam. Lalu aku tidak tahu apa yang terjadi. Mataku menangkap kilatan cahaya putih lalu gelap.
* * *
Dalam keremangan gelap aku melihat ada cahaya. Perlahan aku membuka mata. Aku melihat langit-langit berwarna putih. Bukan langit-langit kamarku. Langit-langit kamarku biru muda. Kepalaku masih berat.
“Alhamdulillah. Kau sudah tersadar Mas,” suara Saiful serak. Aku memandang wajahnya.
“A..aku di...di mana?” lidahku terasa kelu sekali.
“Di rumah sakit Mas,” lirih Saiful.
“Kenapa?”
“Sudah lah Mas istirahat dulu. Jangan memikirkan apa-apa dulu.”
Kepalaku terasa nyeri kembali. Aku berusaha berpikir, mengingat-ingat apa yang terjadi padaku sehingga ada di rumah sakit ini. Perjalanan melelahkan, kepanasan dengan perut kosong. Membuka pintu dengan kepala sakit luar biasa seperti dihantam palu godam. Lalu gelap. Saiful menatapku dengan mata berkaca.
“Jam be..berapa?” tanyaku padanya.
“Setengah tiga malam Mas.”
Aku teringat belum shalat Ashar, Maghrib dan Isya. Aku ingin bangkit tapi seluruh tubuhku terasa lumpuh. Kepalaku tiba-tiba terasa sakit sekali.
“Aduuh! Astaghfirullah!” aku menahan sakit tiada terkira.
“Kenapa Mas?”
Semuanya kembali terasa gelap. Aku berlayar dalam gelap dan keheningan. Mengarungi dunia yang tiada aku tahu namanya. Aku mendengar suara magic Syaikh Utsman Abdul Fattah. Fahri, baca surat Al Anbiya! Kubaca surat Al Anbiya. Teruskan Surat Al Hajj, pakai qiraah Imam Warasy. [82] Aku membaca dengan qiraah Warasy sampai selesai. Semuanya gelap kembali. Aku tidak mendengar apa tidak melihat apa-apa. Aku kembali mendengar suara Syaikh Utsman, beliau membaca surat Al Furqan dengan qiraah Imam Hamzah aku mendengar dengan seksama kefasihan tajwidnya. Sampai ayat enam puluh lima beliau membaca dengan menangis tersedu-sedu. Aku ikut menangis. Beliau tiada kuasa untuk melanjutkannya. Aku membacanya dan melanjutkannya dengan qiraah yang sama. Selesai. Syaikh Utsman meminta aku meneruskan satu surat lagi. Aku memenuhi titah beliau, kubaca surat Asy Syuara. Sampai pada ayat seratus delapan puluh empat daun telingaku menangkap suara isak tangis sayup-sayup. Aku merasa ada sentuhan halus di pipiku. Aku mengerjapkan mataku.
“Fahri, kau sudah sadar Fahri. Kau bangun Fahri. Ini aku,” suara halus perempuan. Aku coba membuka mata lebih lebar. Semakin terang. Aku melihat wajah putih bersih. Dia duduk di kursi dekat dengan dadaku
“Ma..Maria?!” aku memanggil namanya, tapi cuma bibirku yang kurasa bergerak tanpa suara.
“Ya aku Maria,” ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
.“Astaghfirullah!” lirihku.
“Ada apa Fahri?”
“Ma..mana Saiful?”
“Sedang keluar, dia kusuruh sarapan.”
“Jam berapa?”
“Jam delapan pagi.”
Maria tiada berkedip memandangi diriku yang terbujur tiada berdaya seperti bayi. Matanya berkaca-kaca, hidungnya memerah dan pipinya basah.
“Kenapa kau kemari, Maria?”
“Aku ingin tahu keadaanmu. Aku mencemaskanmu.”
“Kau menangis Maria?”
“Kau membuatku menangis Fahri. Kau mengigau terus dengan bibir bergetar membaca ayat-ayat suci. Wajahmu pucat. Air matamu meleleh tiada hento. Melihat keadaanmu itu apa aku tidak menangis,” serak Maria sambil tangan kanannya bergerak hendak menyentuh pipiku yang kurasa basah.
“Jangan Maria tolong, ja..jangan sentuh!”
“Maaf, aku lupa. Keadaan haru sering membuat orang lupa.”
Aku melihat di samping kiriku ada tiang besi putih, ada tabung infus tergantung di sana. Di bawah tabung ada selang kecil mengalirkan air infus ke dalam nadi tangan kiriku. Air infus terus menetes seperti embun di musim penghujan. Aku kembali merasakan nyeri dalam tempurung kepalaku. Seperti ada ratusan paku menacam. Aku berusaha menahan dengan memejamkan mata dan otot rahang menegang. Tak kuat juga aku mengaduh, meskipun lirih.
“Ada apa Fahri, apa yang kau rasakan?” suara Maria serak.
“Kepalaku nyeri sekali.”
“Biar kupanggilkan petugas,” telingaku menangkap suara langkah kaki Maria. Tak lama kemudian ia datang dengan seorang dokter lelaki. Dokter itu memasang menempelkan tangannya di keningku. Memeriksa tekanan darahku. Memasang termometer sebesar pena di ketiakku. Dan dengan suara yang lembut menanyai apa yang kurasakan serta membesarkan hatiku. Ia mengambil termometer dan melihatnya. Lalu menuliskan sesuatu di dalam berkas yang di bawanya. Kemudian menyuntikkan sesuatu lewat jarum selang infus yang menancap di tangan kiriku.
“Suntikan untuk meredakan rasa sakit. Kau akan cepat sembuh,” kata dokter itu. Maria mengamati dengan seksama apa yang dilakukan dokter itu padaku. Ia berdiri di samping ranjang. Rambutnya yang hitam terkucir rapi. Setelah mendapat suntikan itu rasa sakit di kepalaku terasa mulai berkurang. Saiful datang tepat saat dokter setengah baya yang mengenalkan dirinya bernama Ramzi Shakir itu hendak pergi. Saiful menyalami dokter Ramzi dan berbincang sebentar dengannya. Maria duduk di kursi di samping ranjang. Saiful mendekat. Ia mengucapkan salam dan tersenyum.
“Maria, boleh aku bicara empat mata dengan Saiful?” lirihku pada Maria.
Maria mengangguk dan melangkah keluar. Ia tidak membawa serta tas kecilnya.
“Saif, kenapa kau tinggalkan aku sendirian dengan Maria? Kenapa dia yang menunggui aku? Dia bukan mahramku.” Aku memaksakan diri untuk bersuara agak keras. Saiful sepertinya tahu kalau aku marah dan tidak berkenan.
“Maafkan saya Mas. Keadaannya darurat. Aku belum tidur sama sekali semalam dan perutku perih sekali. Kebetulan Maria datang,” jawabnya.
“Teman-teman yang lain mana?”
Saiful lalu menceritakan kejadian itu.
“Saat Mas pulang dan terjatuh tak sadarkan diri di pintu, yang ada di rumah cuma saya seorang. Saya langsung mengontak Mishbah yang saat itu ada di Wisma agar pulang. Sedangkan Hamdi dan Rudi, hari itu sedang dalam perjalanan ikut rihlah [83] ke Luxor yang diadakan Majlis A’la. Mereka tidak mungkin dihubungi. Saya bingung, saya naik ke atas. Untung saat itu Yousef dan Maria ada. Maria langsung menelpon mamanya, Madame Nahed, yang sedang kerja di Rumah Sakit Maadi. Madame Nahed meminta pada Maria agar seketika itu juga membawa Mas Fahri ke rumah sakit. Madame Nahed mengurusi semuanya dan memilihkan kamar kelas satu. Dia juga yang memilihkan dokter. Madame Nahed tidak bisa langsung menanganimu sebab dia dokter spesialis anak. Mas tak sadarkan diri dalam waktu yang lama sekali. Mas baru sadar jam setengah tiga malam. Setelah itu tak sadarkan diri lagi. Mishbah sampai di rumah sakit jam lima sore ikut menunggui sampai jam satu malam. Saya dan Mishbah sepakat membuat jadwal. Malam itu saya minta Mishbah istirahat di rumah, karena dia terlihat sangat kelelahan. Dan saya minta dia datang pukul sembilan pagi untuk gantian jaga. Pukul setengah delapan tadi Maria datang tepat ketika saya merasakan perut ini sedemikian perih karena sejak sore kemarin belum kemasukan apa-apa. Melihat wajah saya pucat Maria minta saya keluar keluar untuk makan dan membersihkan badan. Jadilah Maria menjaga Mas sendirian.”
Mendengar cerita itu aku maklum adanya. Saiful berjanji akan menjaga diriku sebaik-baiknya bergantian dengan Mishbah. Dan tidak akan membiarkan diriku dijaga oleh orang lain.
Maria mengetuk pintu minta izin masuk. Aku minta Saiful untuk mempersilakan dia masuk. Maria datang dengan menenteng kantong plastik putih. Ia duduk dan mengeluarkan isinya; satu botol air mineral, satu kotak susu Juhayna isi satu kilo, satu kotak ashir mangga, sebungkus roti tawar, satu kaleng vitrac rasa strawberry, satu kaleng cokelat, sekotak keju president, dan satu kotak tissue meja. Ia menatanya di atas meja yang masih kosong tidak ada apa-apa. Maria menawariku makan atau minum. Aku sama sekali tidak berselera. Ia mengambil selembar roti tawar, mengoleskan keju dan cokelat dan menutupnya dengan selembar roti tawar di atasnya dan menyerahkan pada Saiful. Saiful tidak bisa menolaknya. Maria kembali mengambil roti tawar. Kali ini untuk dirinya. Lalu ia mengambil dua gelas dan bertanya pada Saiful mau minum apa. Saiful menjawab, air putih saja. Maria menuangkan air mineral ke dalam gelas dan menyerahkan pada Saiful. Ia sendiri menuangkan ashir mangga.
Kudengar mereka berdua berbincang sambil makan roti. Saiful mengucapkan rasa terima kasih atas kebaikan Maria. Dengan sangat hati-hati ia menjelaskan masalah mahram kepada Maria. Dengan bahasa halus ia meminta agar jika bisa Maria datang bersama ayah atau adiknya. Jadi seandainya berbincang atau berada dalam satu ruangan seperti itu ada mahram yang menemaninya. Bukan karena tidak percaya pada Maria tapi demi kedamaian jiwa. Aku diam saja. Sebab perlahan aku kembali merasakan kepalaku mulai bersenut-senut. Aku masih bisa mendengar Saiful menyitir beberapa sabda Rasul yang memberikan tuntunan cara berinteraksi pria dengan wanita. Batasan boleh dan tidaknya.
Aku juga mendengar pertanyaan Maria tentang boleh tidaknya perempuan menjenguk pria yang dikenalnya yang sakit. Aku mendengar Saiful menjawab boleh, mendasarkan jawabannya bahwa Imam Bukhari dalam kitab shahihnya secara khusus menulis “Bab Perempuan Membesuk Lelaki”. Beliau mengatakan, “Ummu Darda’ menjenguk seorang lelaki ahli masjid dari kalangan Anshar.” Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa ketika Ka’ab bin Malik Al Anshari sakit keras dan dekat dengan kematiannya, Ummu Mubasyir binti Al Barra bin Ma’rur Al Anshariyyah menjenguknya. Maka tidak ada masalah seorang perempuan menjenguk saudaranya yang lelaki selama masih menjaga adab kesopanan yang diajarkan Rasulullah.
Setelah itu aku tidak mendengar lagi apa yang mereka bicarakan. Aku kembali merasakan nyeri yang luar biasa dalam tempurung kepalaku. Aku mengaduh. Lalu semuanya terasa gelap.
* * *
Ketika aku sadar, aku tidak menemukan Saiful dan Maria. Yang ada di sisiku adalah Mishbah dan beberapa teman dari Nasr City yang kukenal baik. Ada Mas Khalid, Kang Kaji, Mas Junaedi, Sofwan, Iswan, Khalil, Bimo dan Chakim. Mereka semua tersenyum padaku meskipun aku menangkap guratan sedih dalam wajah mereka. Mereka mendekat satu persatu dan memelukku pelan sambil berbisik, “Syafakallah syifaan ajilan, syifaan la yughadiru ba’dahu saqaman.” [84]
Kutanyakan pada Mishbah jam berapa sekarang. Mishbah menjawab jam satu siang. Apakah ini hari Ahad? Mishbah menjawab iya. Aku minta pada Mishbah untuk menghubungi Syaikh Utsman. Rabu lalu aku sudah tidak datang. Aku minta Mishbah menjelaskan kondisiku pada beliau dan memohon agar beliau memberikan doanya. Mishbah keluar. Aku mencoba mengangkat tanganku. Tidak bisa juga. Rasanya seperti lumpuh. Aku meneteskan air mata. Aku belum berani bertanya sakit apa aku sebenarnya.
Aku minta pada Mishbah dan teman-teman agar tidak mengabarkan sakitku ini ke Indonesia. Aku merasa ingin buang air kecil. Aku katakan itu pada Mas Khalid. Mas Khalid mengambilkan pispot. Teman-teman yang lain keluar. Mas Khalid memasukkan pispot ke balik selimutku. Tangannya meraba tanpa membuka auratku dan berusaha aku bisa buang air kecil di dalam pispot. Aku tidak bisa membayangkan kalau dalam keadaan seperti ini yang ada di sampingku hanyalah Maria seperti tadi pagi. Apakah aku harus buang air kecil begitu saja di atas kasur seperti waktu aku masih bayi dulu, ataukah aku akan meminta tolong padanya untuk memasangkan pispot. Selesai buang air kecil, aku minta pada Mas Khalid mentayamumi aku. [85] Tanganku sama sekali tidak bisa digerakkan. Lalu aku shalat dengan menggunakan isyarat mata dan tubuh terlentang tiada berdaya seperti seorang balita.
Teman-teman menemani sampai jam besuk habis. Tinggal Mishbah seorang yang tetap menunggui diriku. Mishbah memberi tahu habis maghrib, insya Allah, Syaikh Utsman Abdul Fattah akan datang. Aku meneteskan air mata, diriku telah menyusahkan banyak orang. Mishbah mengusap air mata yang meleleh dipipiku dengan tissue yang dibeli Maria, baunya wangi. Sambil menghiburku bahwa semuanya akan kembali seperti sedia kala, aku akan sembuh dan sehat kembali serta bisa main bola lagi. Saiful datang membawa bantal. Ia bilang sejak sekarang ia dan Mishbah akan menjagaku berdua. Tidur dan istirahat bergantian di dalam kamar kelas satu ini. Memang di kamar yang tidak terlalu luas ini hanya aku seorang pasiennya. Aku tidak tahu bagaimana nanti membayar ongkosnya. Kepalaku terasa berat lalu nyeri dan semuanya kembali terasa gelap.
Dalam gelap aku tidak tahu berada di alam apa. Tiba-tiba aku berjumpa dengan orang yang kurus dan bercahaya wajahnya, orang yang belum pernah aku berjumpa dengannya. Dia mengenalkan dirinya sebagai Abdullah bin Mas’ud. Aku tersentak kaget. Abdullah bin Mas’ud adalah satu-satunya sahabat, yang Baginda Nabi ingin mendengar bacaan Al-Qur’an darinya. Abdullah bin Mas’ud adalah Guru Besar Tafsir dan Qiraah di kota Kufah. Imam-imam besar dari kalangan tabiin banyak yang belajar membaca Al-Qur’an darinya. Abdullah bin Mas’ud tersenyum padaku serta merta aku mencium tangannya, ia menyambutku dan memeluk diriku. Aku bisa berdiri, aku tidak lumpuh. Ibnu Mas’ud membisikkan syafakallah ke telingaku. Aku mencium bau harum dari jubah dan tubuhnya.
Beliau melepaskan pelukannya dan memintaku membaca Al Baqarah. Aku membacanya dengan hati bahagia. Beberapa kali dia membetulkan bacaanku. Aku membaca sampai akhir Al Baqarah. Abdullah bin Mas’ud memintaku berhenti. Abdullah bin Mas’ud mencium keningku dan hendak pergi. Aku menahannya. Aku katakan aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Beliau tersenyum dan menyilakan aku bertanya.
Aku tanyakan padanya, “Apakah benar riwayat yang mengatakan Anda tidak mengakui mushaf Utsmani?”
Abdullah bin Mas’ud tersenyum padaku dan berkata dengan suara yang sangat berwibawa,
“Yang tidak mengakui mushaf Utsmani dan tidak suka dengannya adalah orang-orang munafik dan orang-orang yang memusuhi agama Allah. Mereka mencatut namaku untuk membela tujuan-tujuan mereka yang jahat. Apa yang ada di dalam mushaf Utsmani dari Al Fatihah sampai An Naas adalah wahyu yang diturunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada Baginda Nabi. Tertulis utuh dan sempurna. Tidak berkurang dan tidak bertambah meskipun cuma satu huruf. Dan apa yang ada dalam mushaf Utsmani itulah yang aku ajarkan pada para tabiin dan mereka mengajarkan pada murid-muridnya. Begitu seterusnya hingga sampai kepadamu dan kepada jutaan umat Muhammad di seluruh penjuru dunia. Al-Qur’an terjaga keasliannya. Memang akan selalu ada orang-orang jahat yang berusaha meragukan kebenaran dan merusak kesucian Al-Qur’an. Namun ketahuilah usaha mereka akan sia-sia. Sebab Allah sendiri yang akan menjaga keutuhan dan kesuciannya sampai hari akhir. Dan orang-orang pilihan Allah di dunia ini adalah mereka yang disebut Ahlul Quran. Orang-orang yang hatinya selalu terpatri pada Al-Qur’an, mengimani Al-Qur’an, dan berusaha mengajarkan dan mengamalkan isi Al-Qur’an dengan penuh keikhlasan.”
Sahabat nabi, Abdullah bin Mas’ud tersenyum. Aku pun tersenyum. Aku ingin ikut dengannya, tapi beliau tidak memperbolehkannya. Aku lalu titip padanya salam sejahtera, rasa cinta dan rasa rindu tiada terkira untuk Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahabat nabi itu lalu meninggalkan diriku. Semakin lama semakin jauh. Mengecil. Menjadi titik. Dan hilang. Aku merasa kehilangan dan sedih. Mataku basah.


12. Siapa Malaikat Itu?

Wajah itu Nurul. Ya Nurul. Ketika aku terbangun dari ketidaksadaran, aku melihatnya, tak jauh dari kakiku bersama teman-temannya. Kulihat sekilas wajahnya sendu. Ada juga ketua dan pengurus PPMI, Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia. Saiful duduk di dekat kepalaku. Ia paling dekat denganku. Tangannya mengusap pipiku yang basah.
“Alhamdulillah, Mas Fahri sadar.” Aku mendengar mereka memuji Allah.
“Sabar Mas Ya? Insya Allah segera sembuh,” lirih Saiful dengan mata berkaca-kaca.
“Aku sakit apa katanya Saif?”
“Dokter belum menjelaskannya Mas.”
Zaimul Abrar, Ketua PPMI, mendekat, mendoakan, dan atas nama seluruh mahasiswa ikut merasa sedih atas sakit yang menimpaku. Lalu gantian Nurul mewakili teman-temannya, ketika dekat dengan diriku ia menatapku dengan penuh iba dan sorot mata yang aku tidak tahu maknanya. Kedua matanya berkaca-kaca dan sendu. “Cepat sembuh Kak. Cepat selesaikan masternya dan cepat mengabdi di tanah air tercinta,” katanya terbata-bata. Aku mendengarnya dengan sesekali memejamkan mata.
“Mas kami pamit. Kami sudah lama di sini. Syafakallah!” ucap Zaim.
“Kami juga minta diri Kak,” ikut Nurul.
Mereka pun pulang. Aku merasa wujudku benar-benar ada dan berarti. Aku merasa diperhatikan, disayang, dan dicintai semua orang.
Dua menit setelah mereka keluar, Syaikh Ahmad datang bersama Ummu Aiman. Syaikh Ahmad berusaha tersenyum padaku. Beliau memelukku pelan sambil mendoakan kesembuhanku. Ia tahu aku sakit dari Mishbah yang ketika shalat shubuh mengabarkan padanya. Syaikh Ahmad memberikan sedikit tadzkirah yang membesarkan hatiku dan menguatkan jiwaku.
“Pintu-pintu surga terbuka lebar untuk orang yang sabar menerima ujian dari Allah!”
Syaikh Ahmad tidak lama berada di sisiku. Tak lebih dari seperempat jam. Setelah itu pamitan. Beliau membawa dua kilo anggur yang sangat segar.
* * *
Menjelang maghrib Dokter Ramzi Shakir memberi tahu setelah melihat hasil foto rontgen kepalaku, aku harus dioperasi. Ada gumpalan darah beku yang harus dikeluarkan. Rencananya operasi besok pagi pukul delapan. Aku diminta untuk puasa malam ini. Aku mungkin akan tinggal di rumah sakit sekitar satu bulan lamanya. Aku menitikkan air mata. Saiful dan Mishbah menghibur, meskipun kulihat mereka berdua juga menitikkan air mata.
Menjelang Isya, Syaikh Utsman Abdul Fattah benar-benar datang bersama beberapa teman Mesir yang mengaji qiraah sab’ah pada beliau. Syaikh Utsman mengusap kepalaku, persis seperti ayahku mengusap kepalaku. Beliau tersenyum padaku. Beliau meminta kepada semuanya untuk keluar sebentar. Beliau ingin berbicara hanya berdua denganku. Saiful, Mishbah dan teman-teman Mesir keluar meninggalkan kami. Syaikh Utsman duduk di kursi dekat dadaku.
Sambil mengelus rambut kepalaku beliau berkata,
“Anakku, ceritakan padaku apa yang dilakukan sahabat nabi yang mulia, Abdullah bin Mas’ud padamu?”
Aku kaget bukan main. Bagaimana Syaikh Utsman tahu kalau aku bertemu sahabat nabi Abdullah bin Mas’ud dalam pingsanku.
“Tadi malam jam tiga saat aku tidur setelah tahajjud aku didatangi Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu. Aku hanya sempat bersalaman saja. Beliau bilang akan menjengukmu sebelum aku menjengukmu.” Syaikh Utsman seperti mengerti keherananku, beliau menjelaskan bagaimana beliau tahu aku kedatangan Abdullah bin Mas’ud.
“Bagaimana Syaikh bisa yakin aku benar-benar di datangi Abdullah bin Mas’ud?” tanyaku dengan suara serak untuk lebih meyakinkan diriku.
“Seperti keyakinan Rasulullah ketika bermimpi akan berhaji dan membuka kota Makkah.”
Jawaban singkat Syaikh Utsman menyadarkan diriku akan kekuatan mimpi orang-orang shaleh yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala. Untung aku sudah membaca dan menelaah Kitab Ar Ruuh yang ditulis oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauzi. Murid utama Imam Ahmad bin Hambal dan ulama terkemuka pada zamannya itu membahas masalah ruh dengan tuntas disertai dalil-dalil yang tidak bisa diragukan. Bahwa ruh orang yang telah wafat bisa bertemu dengan ruh orang yang masih hidup. Semuanya atas izin dan kekuasaan Allah Swt. Kisah para sahabat dan ulama salafush shalih menjadi bukti dan kenyataan yang terang tiada keraguan seperti terangnya cahaya matahari di waktu siang.
Di antaranya, Imam Ibnu Qayyim menuliskan kisah nyata, dengan sanad yang shahih, dari Imam Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Shahr bin Hausyab:
Bahwa dua orang sahabat nabi yaitu Sha’b bin Jitsamah dan Auf bin Malik adalah bersaudara. Sha’b berkata kepada Auf,
‘Saudaraku, jika salah satu di antara kita mati dahulu maka harus berusaha datang menemui dalam mimpi.’
Auf berkata, ‘Apakah itu mungkin?’
Sha’ab menjawab, ‘Ya.’
Kemudian meninggallah Sha’b. Dan Auf melihatnya di dalam mimpi seolah Sha’b mengunjunginya. Auf menyapa, ‘Wahai Saudaraku!’
‘Ya.’ Jawab Sha’b.
‘Apa yang terjadi denganmu?’ tanya Auf.
‘Beberapa dosaku telah diampuni.’ Jawab Sha’b.
Auf melihat ada noda hitam di lehar Sha’b. Ia langsung bertanya, ‘Saudaraku, ini apa?’
Sha’b menjawab, ‘Ini adalah sepuluh dinar yang aku pinjam dari lelaki Yahudi (dan belum aku kembalikan). Sepuluh dinar itu ada di dalam tanduk milikku, berikanlah padanya. Ketahuilah Saudaraku, semua kejadian yang menimpa keluargaku setelah kematianku telah kuketahui kabarnya, termasuk kucing yang meninggal beberapa hari yang lalu. Dan ketahuilah, puteriku akan meninggal enam hari lagi, maka berwasiatlah yang baik untuknya.’
Ketika bangun Auf berkata, ‘Dalam mimpi ini ada pemberitahuan.’
Auf lalu mendatangi keluarga Sha’b. Mereka menyambutnya dengan hangat dan berkata, ‘Selamat datang Auf, apakah seperti ini perlakuanmu pada keluarga yang ditinggal saudaramu? Kau tidak mendatangi kami sejak dia meninggal.’ Auf memberikan alasan seperti orang-orang memberi alasan. Lalu melihat tanduk dan menurunkan dari tempatnya. Dan menemukan kantung berisi dinar di dalamnya. Lalu membawanya ke tempat orang Yahudi.
Auf bertanya pada orang Yahudi, ‘Apakah Sha’b punya hutang padamu?’
Orang Yahudi menjawab, ‘Semoga Allah merahmati Sha’b. Dia termasuk sahabat nabi yang utama. Hutangku kuikhlaskan untuknya.’
Auf mendesak, ‘Katakanlah padaku berapa dia berhutang padamu?’
Orang Yahudi menjawab, ‘Sepuluh dinar.’
Auf lalu menyerahkan kantong berisi sepuluh dinar itu pada orang Yahudi. Auf berkata, ‘Ini yang pertama!’
Kemudian Auf kembali menemui keluarga Sha’b dan bertanya, ‘Apakah ada suatu kejadian di rumah kalian setelah kematian Sha’b?’
Mereka menjawab, ‘Ya, kucing kami mati beberapa hari yang lalu!’
Auf berkata, ‘Ini yang kedua!’
Lantas Auf bertanya, ‘Mana anak perempuan Saudaraku?’
“Dia sedang bermain.’ Jawab mereka.
Auf lalu mendatanginya dan mengusap-usapnya, anak puteri itu ternyata sedang demam. Auf berkata pada mereka, ‘Berwasiat baiklah untuknya.’ Dan anak perempuan itu meninggal enam hari kemudian.
Kisah serupa sangat banyak terjadi di zaman sahabat nabi dan zaman tabiin. Imam Ibnu Abdul Bar yang mengarang kitab ‘Al Tamhid’ penjelas kitab Muwatta’ Imam Malik menuturkan kisah tsabit bin Qaish bin Syamas yang mati syahid dan mendatangi Abu Bakar dalam mimpinya karena punya hutang. Abu Bakar pun menjalankan wasiat Tsabit.
Syaikh Utsman masih menunggu jawabanku.
“Anakku, apa yang kau dapat dari Abdullah bin Mas’ud yang mendatangimu. Ceritakanlah pelan-pelan, aku ingin tahu?’ Syaikh Utsman kembali mengulangi pertanyaannya. Aku lalu menceritakan semuanya. Syaikh Utsman menitikkan air mata dan berkata, ‘Allah yubarik fik ya bunayya!’ [86] Lalu beliau berpesan agar aku tidak menceritakan mimpi ini kepada siapa-siapa, kecuali orang-orang yang bisa dipercaya. Mimpi seperti ini tidak semua orang suka mendengarnya, dan tidak semua orang mempercayainya.
Syaikh Utsman lalu mengeluarkan botol kecil dari saku jubahnya.
‘Ini aku bawakan air zamzam. Tidak banyak, namun semoga bermanfaat. Minumlah dengan terlebih dahulu membaca shalawat nabi dan berdoa minta kesembuhan dan ilmu yang manfaat.’ Ucap beliau.
Aku belum bisa menggerakkan tanganku. Syaikh Utsman agaknya tahu. Beliau sendiri yang meminumkan air zamzam itu ke mulutku. Setelah itu beliau berpesan agar aku memperbanyak istighfar dan shalawat. Agar aku mengikuti semua petunjuk dokter dan minum obat yang teratur. Aku beberkan semua kecemasanku pada beliau, terutama tentang kepalaku yang mau dioperasi. Beliau menenangkan diriku. Beliau minta kepadaku agar besok pagi minta kepada dokter untuk memfoto rontgen sekali lagi. Jika tidak ada perubahan dan memang harus dioperasi ya harus dijalani. Beliau akan berdoa semoga Allah memberikan jalan kesembuhan yang lebih mudah. Beliau mencium keningku seperti seorang kakek mencium cucunya. Setelah itu memanggil kembali teman-teman untuk masuk. Teman-teman Mesir berusaha menghibur. Si Mahmoud bercerita tentang Juha yang lucu, aku tersenyum mendengarnya. Pukul setengah sepuluh Syaikh Utsman dan teman-teman Mesir pamitan.
Menjelang tidur Himam datang. Ia bersama Hamim dan Mahmudi. Himam pernah satu bulan satu rumah denganku di Hayyul Asyir sebelum aku pindah ke Hadayek Helwan. Ia punya buku pijat refleksi dan suka mencoba-coba pada teman-teman satu rumah yang kelelahan. Itu pula yang dilakukan Himam terhadapku. Ia menyibak selimut di kakiku dan mencoba-coba mencari syaraf yang ia rasa ganjil di telapak kaki. Himam memijat dan aku menahan sakit. Begitu berulang-ulang. Lalu Himam memijit dengan santai ke seluruh kakiku, sampai aku tertidur.
* * *

Pagi hari aku merasa badanku lebih enak. Kepalaku lebih ringan. Jam enam pagi, aku minta Mishbah memberi tahukan pada dokter atau petugas bahwa aku minta dirontgen ulang. Aku tidak akan menandatangani surat kesediaan operasi sebelum dirontgen ulang dan hasilnya dilihat kembali dengan teliti.
Dengan senang hati, Dokter Ramzi memenuhi permintaanku. Aku digeledek ke ruang rontgen. Dua orang perawat mengangkatku ke meja yang menyatu dengan alat foto berukuran besar itu. Seorang petugas mengepaskan titik fokus di kepalaku. Aku di foto dalam tiga posisi. Lalu dibawa kembali ke kamar.
Sampai di kamar sudah ada Maria dan keluarganya. Maria menatapku dengan wajah sedih, juga Yousef, Tuan Boutros dan Madame Nahed. Mereka tahu kalau pagi ini aku akan dioperasi maka mereka datang untuk melihatku sebelum masuk ke ruang operasi. Maria menitikkan air mata ia takut terjadi apa-apa padaku. Aku bilang pada mereka semua, insya Allah, tidak akan terjadi apa-apa dan aku akan sembuh seperti sedia kala.
Pukul setengah sembilan Dokter Ramzi datang dengan wajah cerah. Beliau menyerahkan hasil rontgen dan membawa kabar gembira, “Entah ini mukjizat atau apa, gumpalan darah beku di bawah tempurung kepalanya itu telah tiada.” Dokter Ramzi minta aku mencoba menggerakkan tanganku, meskipun sangat pelan aku bisa. “Tak perlu operasi, kau akan sembuh seperti sedia kala. Tinggal perawatan medis secara intensif untuk penyembuhan.”
Aku mengucapkan syukur berkali-kali kepada Allah atas anugerah ini. Kudengar Tuan Boutros memuji tuhannya; Bapa, Yesus dan Roh Kudus. Kuminta kepada Saiful dan Mishbah untuk sujud syukur. Madame Nahed masih melihat foto rontgen. Dia membandingkan foto pertama dan foto kedua. Bibirnya berdesis, “Mahabesar kekuasaan Tuhan, ini mukjizat!”
Dokter Ramzi bilang aku telah melewati masa kritis, dia mengucapkan selamat kepadaku. Sejak itu keadaanku semakin membaik. Teman-teman mahasiswa Indonesia banyak yang berdatangan menjenguk. Beberapa staf KBRI yang kenal baik juga menjenguk. Teman-teman dari Malaysia, Patani dan Singapura juga.
Hari kelima aku sudah bisa bangkit dari tempat tidur. Aku sudah bisa makan sendiri dengan kedua tanganku. Dari hari ke hari perkembangan kesehatanku terus membaik. Hari ke sembilan aku sudah bisa ke toilet sendiri. Hari ke sebelas aku sudah bisa jalan-jalan keluar kamar, ke taman dan duduk-duduk di sana ditemani Saiful dan Mishbah. Hari itu juga Rudi, dan Hamdi pulang dari Luxor. Mereka sangat terkejut dan menyesal tidak berada di sisiku melewati masa kritis. Aku minta kepada Saiful untuk bertanya kapan aku boleh pulang dan kira-kira biaya semuanya berapa? Saiful memberi tahu dua hari lagi bisa pulang dan biaya semuanya sekitar seribu dua ratus dollar. Aku mengerutkan kening. Dalam tabunganku hanya ada lima ratus dollar. Aku bertanya mereka berempat ada uang berapa. Hamdi kosong, tinggal dua puluh lima pound saja. Rudi ada cadangan seratus dollar. Saiful lima puluh dollar. Dan Mahmoud juga lima puluh dollar. Berarti semua baru ada enam ratus dollar. Masih kurang enam ratus dollar. Dan bisa jadi totalannya nanti lebih dari itu. Mau tidak mau harus mencari pinjaman. Aku minta pada Rudi untuk menemui Pak Jayid Hadiwijaya, Atase Pendidikan yang baik hatinya, agar meminjam uang secukupnya dari beliau untuk biaya perawatan rumah sakit. Siang Rudi berangkat, sore kembali dengan membawa uang seribu dollar.
Pagi hari H aku boleh pulang ke rumah sakit Saiful mengurusi semua administrasi. Ia kembali ke kamar dengan wajah heran.
“Mas, biayanya semua sudah dilunasi seseorang,” lapornya dengan wajah ceria bercampur bingung.
“Siapa yang melunasinya?” tanyaku heran.
“Pihak rumah sakit tidak mau menyebutkan namanya,” jawabnya.
Rudi yang bertugas mencari mobil kembali bersama Tuan Boutros dan keluarganya. “Tak usah repot cari mobil, kami datang untuk menjemputmu pulang,” demikian Tuan Boutros. Aku tak menjawab apa-apa. Mereka sangat baik, seperti keluarga sendiri, seperti bukan orang lain. Aku teringat biaya yang sudah dilunasi, jangan-jangan mereka.
“Sebelum pulang aku mohon kejujuran kalian. Apakah kalian yang telah melunasi seluruh biaya perawatan saya?” tanyaku sambil memandang Tuan Boutros dan Madame Nahed bergantian.
“Tidak. Bukan kami,” jawab Madame Nahed.
“Kumohon demi kasih Isa Al Masih, kalian harus berterus terang, aku tidak akan tenang,” desakku.
“Kami benar-benar tidak melunasinya. Kami memang berniat melunasinya tapi sudah terlambat. Sudah ada yang mendahului kami. Kukira kalian sendiri yang telah melunasinya. Kami berkata yang sebenarnya,” terang Madame Nahed.
“Semoga Allah membalas dia dengan pahala yang tiada hentinya,” lirihku mendoakan orang yang telah membayar seluruh biaya perawatanku.
* * *
Hari itu kami pulang ke Hadayek Helwan. Selama perjalanan Madame Nahed memberi tahu sakit apa aku sebenarnya.
“Dokter Ramzi mengatakan kau terkena Heat Stroke dan Meningitis sekaligus. Tapi sekarang sudah sembuh.”
Aku sudah tahu heat stroke itu apa. Madame Nahed pernah menerangkannya. Tapi meningitis, aku belum tahu jenis penyakit apa itu. “Apa itu meningitis, Madame?”
“Meningitis, adalah penyakit radang selaput otak yang menular disebabkan oleh kuman meningokoccal. Kuman penyakit ini cepat menular pada suhu tinggi atau rendah. Cara penularan penyakit Meningitis Meningokoccal adalah melalui kontak langsung, terkena percikan air ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan dari tenggorokan penderita penyakit Meningitis Meningokoccal. Tanda-tanda orang yang terkena meningitis adalah panas mendadak, sakit kepala luar biasa, kemerahan di kulit dan kaku kuduk. Tapi kau tidak usah kuatir. Kau sudah sembuh dan terbebas dari kuman meningokoccal. Dokter Ramzi mengatakan begitu. Kau sudah diterapi dengan pengobatan propilaksis memakai cyproflovacin terbaik. Yang sekarang harus kau lakukan adalah menjaga kesehatanmu. Jangan keluar rumah dulu. Jaga kondisi tubuh supaya tetap segar. Istirahat yang cukup 6-8 jam sehari semalam. Jangan menantang panas. Minum yang cukup. Jangan sekali-kali minum dari kran air minum umum di pinggir jalan seperti orang-orang, sebab kebersihannya kurang. Gelasnya cuma satu untuk minum bergantian. Sangat riskan terjadi penularan kuman. Banyak makan buah-buahan segar seperti anggur, jeruk, apel, mangga, semangka, dan lain sebagainya.” Madame Nahed memberi penjelasan yang cukup dan sangat berguna bagi diriku.
* * *
Sejak pulang dari rumah sakit, aku merubah peta hidup yang telah kurancang satu bulan ke depan. Aku lebih banyak di rumah. Kegiatan menerjemah sementara aku tinggal dulu. Waktuku kuhabiskan untuk buku-buku yang berkaitan dengan materi penulisan tesis. Syaikh Utsman memberiku izin tidak ikut mengaji sampai musim panas benar-benar reda.
Aku masih penasaran siapa yang melunasi biaya rumah sakit itu. Aku dan teman-teman meraba-raba beberapa kemungkinan.
Saiful menduga yang membayar Syaikh Utsman, bisa murni dari saku beliau bisa juga beliau menyalurkan zakat mal para dermawan. Beliau adalah tokoh yang memiliki banyak koneksi dan akses.
Sedangkan Hamdi berpendapat yang melunasi mungkin Syaikh Ahmad. Karena beliau dan isterinya dikenal kaya, dermawan, dan suka menolong orang. Rudi lain lagi, dia menduga yang melunasi adalah pihak KBRI. Mungkin diam-diam Pak Atase Pendidikan mengucurkan dana dari anggaran kemasyarakatan.
Mishbah tidak berpendapat apa-apa, tapi dia berkomentar yang paling tidak mungkin adalah pendapat Rudi. Bagaimana mungkin Atase Pendidikan mengeluarkan dana untuk biaya seorang mahasiswa yang sakit sedangkan diminta dana untuk pelatihan ekonomi Islam saja seretnya bukan main. Itu alasan Mishbah yang sedikit kecewa dengan KBRI.
Entahlah siapa sebenarnya dia yang berhati putih itu. Mata hatiku berkata, yang membayar bukan yang disebut teman-teman itu. Tapi orang lain. Dan orang lain itu adalah orang yang berhati ikhlas, mengenalku, sangat perhatian padaku, dan aku tidak tahu siapa dia. Aku tidak bisa menduga sebuah nama. Aku hanya berdoa, agar suatu saat nanti Allah membuka rahasia siapa malaikat itu sebenarnya. Aku berharap bisa membalas kebaikannya.


13. Ketika Hati Berdesir-desir

Tak terasa sudah memasuki pertengahan September. Suhu musim panas mulai turun. Paling tinggi 32 derajat celcius. Bulan Oktober nanti adalah bulan peralihan dari musim panas ke musim dingin. Si Musthafa Fathullah Said, teman Mesir satu kelas di pascasarjana yang juga sedang mengajukan proposal tesis memberitahukan, bahwa dua hari lagi aku harus ke kampus untuk ujian proposal tesis yang kuajukan. Aku terfokus pada ujian yang sangat menentukan itu. Jika proposalku ditolak maka aku harus menunggu setengah tahun lagi untuk mengajukan proposal baru.
As you sow, so will you reap! Demikian pepatah Inggris mengatakan. Seperti apa yang anda tanam, sebegitu itulah yang akan anda petik. Rasanya tidak sia-sia apa yang telah kukerjakan selama ini. Membuat jadwal ketat, bolak-balik ke National Library, ke perpustakaan IIIT di Zamalek, dan mengumpulkan bahan. Membaca literatur-literatur klasik berkaitan Ilmu Quran, berdiskusi dengan teman-teman pascasarjana. Kerja yang melelahkan. Mengantuk. Pusing. Mual. Kurang tidur. Semuanya terasa bagaikan simponi hidup yang indah setelah tim penilai yang terdiri para guru besar menerima proposal tesis yang aku ajukan. Aku jadi menulis tentang ‘Metodologi Tafsir Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi’. Aku memang pengagum ulama terbesar Turki abad 20 itu. Dia termasuk tokoh dunia Islam yang menurut Syaikh Yusuf Al Qaradhawi layak disebut mujaddid umat Islam abad 20 disamping Hasan Al Banna. Pembimbingku juga telah ditentukan yaitu Syaikh Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far. Aku seperti mendapat durian runtuh sebab beliau memang profesor idolaku. Terkenal paling mudah ditemui dan paling senang dengan mahasiswa dari Asia Tenggara. Aku belum dikenal oleh beliau, tapi aku akan berusaha menjadi muridnya yang baik sehingga beliau akan mengenalku dengan baik sebagaimana Syaikh Utsman mengenalku.
Dan sebagai rasa syukur aku harus kembali memeras otak dan bekerja keras untuk menyelesaikan tesis ini. Pekerjaan yang tidak ringan, sebab aku juga harus menerjemah. Tanpa menerjemah dari mana sumber penghidupan akan aku dapatkan. Aku kembali menata peta hidup dua tahun ke depan. Aku teliti dan aku kalkulasi dengan seksama. Target-target dan cara pencapaiannya. Ada satu target yang masih mengganjal. Yaitu menikah. Aku mentargetkan saat menulis tesis aku harus menikah. Umurku sudah 26 tahun menginjak 27.
Aku mengkalkulasi kemampuan mencari dana setiap bulan. Sebelum menulis tesis aku sanggup merampungkan buku setebal 200-300 halaman setiap bulan. Itu berarti aku akan mendapat masukan sekitar 250 dollar perbulan. Dan aku hanya bisa menyisakan 100 dollar dan terkadang malah cuma 50 dollar. Setiap kali masuk toko buku aku tidak bisa menahan diri untuk membeli buku atau kitab. Ketika konsentrasiku terpusat pada menulis tesis maka kemampuanku menerjemah akan berkurang. Mungkin aku hanya akan mampu menerjemah 150-200 halaman saja perbulan. Uang yang aku terima dari bayaran menerjemah hanya cukup untuk memenuhi biaya sehari-hari. Bagaimana? Apakah akan tetap nekad menikah?
Tunggu dulu! Bang Aziz yang mengais nafkah dengan membuat tempe dan mendistribusikannya ke rumah-rumah mahasiswa itu berani menikah. Bang Aziz bercerita dengan pemasukan 150 dollar perbulan sudah berani menikah. Hidup sederhana dan menyewa rumah sederhana di kawasan Hayyu Thamin, atau jauh di Zahra sana. Apalagi jika mencari isteri mahasiswi yang kebetulan dapat beasiswa. Meskipun beasiswa tak seberapa tapi sangat membantu karena datangnya tetap.
Akhirnya kupikir dengan matang, bahwa umur tidak bisa dihargai dengan materi. Jika menemukan perempuan shalihah dan mau menerima diriku seutuhnya dan siap hidup berjuang bersama, dalam suka dan duka, maka aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menyempurnakan separo agama. Kutetapkan tahun ini bisa menikah, tapi tidak mencari. Lho bagaimana? Siapa tahu ada yang menawari. Kalau sampai selesai magister tidak ada yang menawari ya berarti memang nasibku tidak menikah di Cairo dengan mahasiswi Al Azhar. Mungkin nasibku adalah menikah di Indonesia, dengan seorang akhwat berjilbab yang ghirah keislamannya bagus, yang ada di UI, atau di UGM, atau di UNDIP, atau di UNS. Atau malah gadis dari pesantren yang masih sangat virgin. Atau, tak tahunya anak tetangga sendiri, teman gebyuran di sungai waktu kecil. Jadi tidak asing lagi, sejak kecil sudah sama-sama tahu.
Aku jadi teringat puisiku sendiri, yang kutulis jelek sekali di buku harian suatu malam di musim semi setahun yang lalu:
Bidadariku,
Namamu tak terukir
Dalam catatan harianku
Asal usulmu tak hadir
Dalam diskusi kehidupanku
Wajah wujudmu tak terlukis
Dalam sketsa mimpi-mimpiku
Indah suaramu tak terekam
Dalam pita batinku
Namun kau hidup mengaliri
Pori-pori cinta dan semangatku
Sebab
Kau adalah hadiah agung
Dari Tuhan
Untukku
Bidadariku
Seorang perempuan shalihah yang akan jadi bidadariku, yang akan aku cintai sepenuh hati dalam hidup dan mati, yang akan aku harapkan jadi teman perjuangan merenda masa depan, dan menapaki jalan Ilahi, itu siapa? Aku tak tahu. Ia masih berada dalam alam ghaib yang belum dibukakan oleh Tuhan untukku. Jika waktunya tiba semuanya akan terang. Hadiah agung dari Tuhan itu akan datang.
* * *
Di layar TV Channel 2 ada pengumuman nama-nama orang hilang, lengkap dengan data singkat, ciri-ciri dan fotonya. Nama yang terakhir di tampilkan adalah Noura binti Bahadur Gonzouri, lengkap dengan fotonya. Saat itu pukul setengah sepuluh malam. Kami satu rumah kaget.
Si Muka Dingin Bahadur rupanya masih mencari Noura untuk ia jual kepada serigala-serigala berwajah manusia. Kami satu rumah cemas jika urusannya akan sampai kepada polisi dan menyeret Syaikh Ahmad. Jika Si Muka Dingin Bahadur punya hubungan dengan seorang pembesar di bagian intelijen keamanan negara urusannya benar-benar bisa merepotkan. Saat itu juga aku menelpon Syaikh Ahmad. Beliau minta aku tenang saja dan tidak usah kuatir. Noura sedang berada di pintu gerbang kemerdekaan dan kebahagiaannya. Besok pagi setelah shalat shubuh beliau akan menjelaskan semuanya.
Usai shalat shubuh, Syaikh Ahmad menjelaskan kepadaku bahwa masalah Noura sedang ditangani diam-diam oleh Ridha Shahata, saudara sepupunya yang bertugas di bagian intelijen keamanan negara. Ridha Shahata menemukan informasi berharga bahwa Noura dilahirkan di sebuah rumah sakit elite di kawasan elite Heliopolis. Pada minggu yang sama Noura dilahirkan hanya ada lima bayi. Dan pada hari yang sama Noura lahir cuma ada dua bayi di sana. Yaitu dia dan bayi satunya bernama Nadia. Setelah dilacak. Nadia kini tinggal di Heliopolis, ayah dan ibunya dosen di Universitas Ains Syams. Yang sedikit aneh Nadia berkulit hitam sementara ayah dan ibunya berkulit putih. Kolonel Ridha Shahata sedang menyiapkan surat pemanggilan untuk tes DNA pada Si Muka Dingin Bahadur dan isterinya. Juga pada Nadia dan kedua orang tuanya. Sebab memang sangat mencurigakan dua bayi itu tertukar. Jika benar tertukar nanti akan dicari siapa saja perawat yang bertugas waktu itu. Tertukarnya sengaja atau tidak. Tes DNA itulah yang akan jadi bukti kuat kejelasan kasus Noura. Namun seandainya tidak terbukti ada pertukaran bayi, Noura akan tetap dilindungi. Kolonel Ridha Shahata juga telah menyiapkan bukti untuk menyeret Si Muka Dingin Bahadur ke penjara. Kolonel Ridha Shahata adalah intelijen yang sangat profesional, dia pernah menangkap seorang turis Spanyol yang ternyata adalah mata-mata Mossad.
Syaikh Ahmad meminta saya tenang. Wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhraja. Siapa yang bertakwa kepada Allah maka Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar. Aku lega.
Begitu sampai dirumah, aku mendapat telpon dari Nurul. Ia rupanya juga melihat tayangan nama orang hilang tadi malam. Ia cemas kalau Noura tertangkap dan urusannya melebar. Aku lalu menjelaskan apa yang dijelaskan Syaikh Ahmad kepadaku. Nurul merasa lega. Sebelum mengakhiri pembicaraannya dia bertanya apakah aku sudah ke tempatnya Ustadz Jalal. Kubilang sejak sakit aku belum ke mana-mana. Aku minta pada Nurul agar menyampaikan pada Ustadz Jalal permohonan maafku belum bisa ke sana. Dan aku titip pesan seandainya beliau ada waktu supaya menghubungi aku langsung. Biar aku tahu sebenarnya beliau mau minta tolong apa. Aku juga menjelaskan pada Nurul saat ini sudah konsentrasi menulis tesis. Alhamdulillah judul tesisnya sudah diterima. Nurul menyatakan rasa gembira dan senangnya.
* * *
Aku teringat ini hari Ahad. Sudah lama aku tidak tidak mengaji pada Syaikh Utsman. Aku benar-benar rindu pada beliau. Ramalan cuaca siang ini Cairo tidak terlalu panas. Hanya 30 derajat celcius. Aku berangkat setengah sebelas. Aku ingin shalat zhuhur di Shubra. Baru keluar sampai di halaman apartemen, aku dicegah oleh Maria dari atas, dari jendelanya. Dia minta agar aku tidak pergi dulu, di rumah dulu. Aku heran apa haknya melarang aku. Aku jelaskan padanya aku harus belajar qiraah sab’ah. Akhirnya dia menyuruh adiknya, Si Yousef untuk mengantar aku ke tempat aku ngaji. Aku merasa heran dengan diri sendiri, keluarga Tuan Boutros begitu baik dan besar perhatiannya kepada kami. Hari itu Yousef mengantar aku sampai di depan masjid Abu Bakar Shiddiq, Shubra. Ia juga berjanji akan menjemputku pukul setengah lima sore. Aku mengucapkan terima kasih padanya.
Syaikh Utsman dan teman-teman menyambutku dengan penuh kehangatan. Kami mempraktekkan qiraah Imam Warasy dengan membaca surat Al Mujaadilah, Al Hasyr, Al Mumtahanah, Ash Shaf dan Al Jumu’ah. Selesai mengaji Syaikh Utsman mengajakku masuk ke kamar beliau yang khusus disedikan oleh takmir masjid. Beliau ingin berbicara masalah khusus.
“Anakku, kau sudah sehat betul?” tanya beliau lembut.
“Alhamdulillah, Syaikh,” jawabku dengan menundukkan kepala, aku tidak berani memandang beliau. Segan.
“Alhamdulillah. Terus bagaimana dengan kuliahmu?”
“Alhamdulillah. Judul tesis magister sudah diterima Syaikh. Sekarang sedang mengumpulkan bahan lebih lengkap untuk menulis.”
“Alhamdulillah. Kau menulis tentang apa?”
“Metodologi Tafsir Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi.”
“Bagus sekali. Said An-Nursi memang ulama luar biasa yang harus dikaji kelebihan yang diberikan Allah kepadanya. Lantas siapa pembimbingmu?”
“Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far.”
“Yang tinggal di dekat masjid Rab’ah El-Adawea, Nasr City itu?”
“Benar Syaikh.”
“Alhamdulillah. Kau insya Allah akan mendapat bimbingan dan kemudahan dari beliau. Beliau adalah salah seorang muridku angkatan pertama. Beliau mengambil sanad dan ijazah qiraah sab’ah dariku. Nanti akan aku telpon beliau agar memberikan bimbingan terbaik kepadamu. Dan agar kamu benar-benar menjadi pembela dan penyebar agama Allah di tanah airmu kelak.” Suara Syaikh Utsman bernada optimis dan bahagia. Diam-diam aku sangat kagum pada beliau yang sangat memperhatikan semua muridnya. Beliau memang tidak mau mengambil murid terlalu banyak. Tapi yang sedikit itu benar-benar beliau curahi perhatian yang luar biasa.
“Anakku. Aku mau bertanya masalah penting padamu. Apakah kau mau menikah?”
Pertanyaan Syaikh Utsman itu bagaikan guntur yang menyambar gendang telingaku. Aku kaget. Hatiku bergetar hebat. Jika yang bertanya orang semacam Rudi, Hamdi, dan Saiful aku akan menjawabnya dengan santai, bahkan aku bisa menjawabnya dengan guyon. Tapi ini yang bertanya adalah ulama terkemuka, gurunya para guru besar di Mesir.
“Maksud Syaikh bagaimana?”
“Apakah kau mau menikah dalam waktu dekat ini. Kalau mau, kebetulan ada orang shalih datang kepadaku. Ia memiliki keponakan yang shalihah yang baik agamanya dan minta dicarikan pasangan yang tepat untuk keponakannnya itu. Aku melihat kau adalah pasangan yang tepat untuknya.”
Keringat dinginku keluar.
“Tapi aku mahasiswa miskin Syaikh, tidak punya biaya.”
“Baginda nabi dulu menikah dalam keadaan miskin. Sayyidina Ali bin Abi Thalib juga menikah dalam keadaan miskin. Aku sendiri menikah dalam keadaan miskin. Begini Anakku, kau pikirkanlah dengan matang. Lakukanlah shalat istikharah. Gadis shalihah ini benar-benar shalihah, dia mencari pemuda yang shalih bukan pemuda yang kaya. Sekarang pulanglah, pikirlah dengan matang. Jika kau mantap dengan jawabanmu siap menikah atau tidak secepatnya datanglah kau menemuiku. Jika kau mantap, maka akan aku pertemukan kau dengan walinya dahulu, jika tidak, maka aku akan mencarikan yang lain.” Kata-kata Syaikh Utsman yang berwibawa itu merasuk dan mendesir hebat dalam jiwaku.
Sampai di rumah hatiku masih terasa bergetar atas pertanyaan sakral yang diajukan Syaikh Utsman. Jiwaku masih terasa berdesir. Apa yang beliau tawarkan bukan sembarang tawaran. Yang beliau tawarkan adalah sebaik-baik rizki bagi seorang pemuda. Adakah rizki lebih agung dari seorang gadis shalihah yang jika dipandang menyejukkan jiwa bagi seorang pemuda? Aku belum bisa mempercayai apa yang aku alami hari ini. Baru saja target dan peta hidup dibuat, tawaran untuk menikah datang sedemikian cepat. Siap. Atau tidak. Aku harus minta penerang dari Allah Swt.

14. Badai Kegelisahan

Tiga hari berturut-turut aku shalat istikharah. Yang terbayang adalah wajah ibu yang semakin menua. Sudah tujuh tahun lebih aku tidak berjumpa dengannya. Oh ibu, jika engkau adalah matahari, aku tak ingin datang malam hari. Jika engkau adalah embun, aku ingin selalu pagi hari. Ibu, durhakalah aku, jika ditelapak kakimu tidak aku temui sorga itu. [87]
Maka kuputuskan untuk minta persetujuan ibu. Ibu adalah segalanya bagiku. Jika beliau meridhai maka aku akan melangkah maju. Jika tidak maka aku pun tidak.
Aku telpon ke Indonesia. Ayah dan ibu tinggal jauh di desa. Tak ada telpon di sana. Aku menelpon ke rumah Pak Zainuri, mertua paman yang penilik sekolah dan tinggal di kota kecamatan. Rumah paman tak jauh dari beliau. Selama ini, jika aku ingin menghubungi ayah dan ibu caranya memang lewat Pak Zainuri dulu. Pak Zainuri akan menghubungi paman dan paman akan menghubungi ayah ibu. Kalau aku mengirim surat pun aku lebih suka mengalamatkannya ke rumah Pak Zainuri lebih cepat sampainya. Sebab jika dialamatkan ke desa, suratku bisa bertapa dulu di balai desa, atau di rumah Pak RW dalam waktu tak tentu. Masalah transportasi dan komunikasi global memang agak susah jika hidup di desa.
Kepada paman aku jelaskan semuanya. Siapa Syaikh Utsman dan apa yang beliau tawarkan kepada diriku. Paman adalah orang yang wawasannya luas, ia guru SMP teladan se kabupaten. Paman banyak bertanya tentang seandainya benar-benar menikah dengan muslimah yang bukan dari Indonesia. Aku jelaskan, jika dia gadis yang shalihah semuanya akan mudah. Aku jelaskan pada paman, tidak semua orang mendapatkan tawaran sedemikian terhormatnya dari Syaikh Utsman. Di Indonesia, kalau mendapatkan tawaran untuk menikah dengan anak seorang kiai mushalla saja dianggap suatu keberuntungan yang luar biasa. Juga kujelaskan hasil istikharahku. Aku minta pada paman agar mengajak musyawarah ayah dan ibu. Disamping itu aku juga minta ayah ibu juga melakukan shalat istikharah. Apa pun hasilnya itulah keputusan yang akan aku ambil. Dua hari lagi pada jam yang sama aku akan menelpon menanyakan hasilnya. Dan aku ingin langsung mendengar dari lisan ibu.
Dua hari kemudian. Pada waktu yang dijanjikan aku menelpon ke tanah air. Aku mendengar suara ibu,
“Jika isterimu nanti mau diajak hidup di Indonesia, tidak terlalu jauh dari ibu, maka menikahlah dan ibu merestui, ibu yakin akan penuh berkah. Tapi jika tidak bisa dibawa ke Indonesia tidak usah, cari saja gadis shalihah yang dari Indonesia!”
Air mataku meleleh mendengar keputusan ibu. Sebuah keputusan yang sangat bijaksana. Aku memang tidak mungkin hidup dan berjuang selain di tanah air tercinta. Hari itu juga aku menemui Syaikh Utsman dan memberitahukan keputusanku. Beliau berpesan agar hari berikutnya datang ke tempat beliau lagi, untuk mengetahui kabar selanjutnya. Hari berikutnya aku datang. Syaikh Utsman menyambutku dengan senyum dan pelukan penuh kehangatan. Aku seperti seorang cucu yang beliau sayangi.
“Semoga gadis shalihah ini menjadi rizkimu di dunia dan di akhirat. Dia siap kau bawa berjuang di mana saja dan walinya menyetujuinya. Ini ada dua album foto dia, kau bawalah pulang! Kau lihat-lihat. Kau istikharah lagi. Jika kau mantap kau akan aku pertemukan dengan gadis shalihah ini dan walinya.”
Aku pulang dengan membawa dua album foto yang kumasukkan dalam tas cangklongku. Aku merasa seperti memikul beban satu ton. Tas cangklong itu terasa berat sekali.
Sampai di kamar aku memegang album itu dengan tangan gemetar, dan hati bergetar. Aku akan melihat wajah calon bidadari yang menemani hidupku selamanya. Aku akan melihat wajah calon belahan jiwa. Tapi entah kenapa aku tidak berani membukanya sama sekali. Dua album itu cuma aku pegang dan tanpa kubuka sedikitpun. Aku tersentak, aku belum tahu namanya. Kenapa tidak aku tanyakan namanya pada Syaikh Utsman? Aku ingin membukanya, siapa tahu di dalam Album itu ada namanya. Tapi urung. Aku tidak berani. Entah kenapa. Aku shalat istikharah, yang datang adalah ibunda tercinta. Beliau berkata singkat, “Menikahlah ibu merestui.”
Hari berikutnya aku kembali menemui Syaikh Utsman dan kukatakan kemantapanku untuk menikahi gadis itu. Syaikh Utsman berkata,
“Aku sudah menduga dan aku sangat yakin kau akan mengatakan itu. Aku memang belum melihat gadis itu, tapi isteriku, Ummu Fathi, yang melihat foto-foto dalam album itu memuji-muji kecantikannya. Ummu Fathi malah bilang jika kau sampai tidak mau, maka ia memintaku agar menjodohkan dengan cucuku yang sedang kuliah di Perancis. Aku geli sekali mendengar perkataan Ummu Fathi. Dan kau nanti akan kaget karena tadi malam walinya bilang gadis itu sangat mengenalmu, dan kau mungkin telah mengenalnya. Kau sudah melihatnya, kau mengenalnya bukan?”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku sama sekali belum melihat album itu dan aku sama sekali tidak tahu namanya. Aku diam saja. Gadis itu jadi rasa penasaran dalam hati yang luar biasa. Aku telah menyatakan kemantapanku tapi aku belum tahu siapa dia. Aku menjadi orang yang paling penasaran di dunia. Syaikh Utsman minta kepadaku agar besok datang tepat setelah shalat Ashar, kalau bisa shalat Ashar di Shubra. Jadwal mengaji qiraah sab’ah diundur hari berikutnya. Besok aku akan dipertemukan dengan gadis itu bersama walinya. Untuk saling melihat dan saling mengenal sebelum kata sepakat untuk akad nikah diputuskan.
Malam itu, malam sepulang dari rumah Syaikh Utsman adalah malam paling menyiksa dalam hidupku. Namun ada kesejukan yang sedemikian lembut mengaliri relung-relung hatiku. Kesejukan itu apa aku tidak tahu namanya. Saiful rupanya sangat memperhatikan kesibukkanku selama ini. Dia bertanya ini itu tapi masalah diriku sedang proses ke gerbang pernikahan sama sekali tidak aku beritahukan padanya, juga pada siapa saja. Malam itu aku tidak bisa tidur, aku menutup kamar, dan berada di kamar seperti orang linglung. Siapa gadis itu? Dia mengenalku dan aku mengenalnya, siapa dia? Jangan-jangan gadis itu bukan gadis Mesir. Aku membodoh-bodohkan diriku kenapa tidak melihat dua album yang telah berada di tanganku. Jangan-jangan dia gadis Indonesia. Walinya tahu aku mengaji pada Syaikh Utsman dan minta agar menjodohkan keponakannya denganku. Tapi, siapa gadis Indonesia yang kecantikannya layak dipuji oleh isteri Syaikh Utsman dan dia memiliki wali di sini?
Seingatku mahasiswi Indonesia yang disertai kerabatnya hanya ada tiga orang. Raihana disertai kakak kandungnya. Fauzia disertai adiknya. Dan Nurul, ia disertai pamannya, tapi paman jauh. Tiba-tiba hatiku berdesir, jantungku mau copot. Yang paling cantik memang Nurul. Tapi aku merasa itu tidak akan terjadi. Tidak mungkin. Dia adalah puteri seorang kiai besar, pengasuh pesantren besar di Jawa Timur. Dan seorang kiai biasanya telah memilih besan sejak anaknya masih belum bisa berjalan. Tapi kenapa Ustadz Jalal memintaku datang? Aku semakin didera badai kegelisahan yang dahsyat. Aku mengumpat diriku sendiri. Seandainya aku melihat foto dalam album aku tidak akan dirajam penasaran yang menggila ini. Aku berusaha mengurangi rasa gelisah dan penasaran dengan bersujud dan menangis kepada Tuhan. Dalam sujud aku berdoa sebagaimana doa nabi hamba pilihan Allah dalam Al-Qur’an,
“Rabbana hab lana min azwaajina wa dzurriyyatina qurrata a’yun wal’alna lil muttaqiina imaama! Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa!” [88]


15. Pertemuan

Aku sampai di masjid Abu Bakar Shiddiq tepat saat azan Ashar berkumandang. Seluruh tubuhku bergetar tidak seperti biasanya. Keringat dinginku keluar. Aku tidak tahu shalatku kali ini khusyuk apa tidak. Yang jelas mataku basah. Dalam sujud aku menangis memohon kepada Allah agar diberi umur yang penuh berkah, pertemuan dengan calon belahan jiwa yang penuh berkah, akad nikah yang penuh berkah, malam zafaf yang penuh berkah, dan masa depan yang penuh berkah. Selesai shalat aku masih duduk menitikkan air mata. Aku meyakinkan diriku bahwa aku tidak sedang bermimpi. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan dia. Dia yang aku belum tahu namanya dan belum tahu wajahnya seperti apa. Dia yang telah lama kurindu. Aku minta kekuatan kepada Allah.
Syaikh Utsman menyentuh pundakku beliau tersenyum. Beliau mengajakku ikut serta dalam mobil beliau. Dari masjid Abu Bakar sampai ke rumah beliau memang agak jauh. Syaikh Utsman memiliki seorang sopir bernama Faruq. Selama dalam perjalanan Syaikh Utsman bercerita masa mudanya dulu. Beliau dan Ummu Fathi asalnya juga tidak saling kenal. Bertemu dalam majlis khitbah. Dan cinta itu hadir begitu saja setelah akad nikah, begitu kuatnya.
“Anakku, kau pasti panas dingin sekarang. Iya ‘kan? Aku dulu juga merasakan hal yang sama. Dalam perjalanan bersama keluarga ke rumah Ummu Fathi, untuk bertemu pertama kalinya sekaligus khitbah hatiku berdesir, jantungku berdegup, keringat dingin keluar. Tapi itulah saat-saat yang tak terlupakan. Dan ketika kami bertemu. Ummu Fathi keluar mengeluarkan minuman dengan tangan bergetar. Mata kami sekilas bertemu dan hati diliputi rasa malu yang luar biasa. Itu adalah kenikmatan luar biasa. Kenikmatan istimewa yang jarang dirasakan anak muda sekarang, kecuali yang benar-benar menjaga diri dan menjaga hubungan lelaki perempuan dalam adab-adab syar’i. Kulihat mukamu pias, kau pasti sedang panas dingin. Anakku, tunggulah nanti sebentar lagi ketika kau sudah duduk di ruang tamu dan gadis itu masuk bersama walinya kau akan merasakan panas dingin yang luar biasa. Panas dingin yang belum pernah kau rasakan. Apalagi kala kau dan dia nanti sesekali mencuri pandang. Suasana hatimu tidak akan bisa kau lupakan seumur hidupmu. Inilah keindahan Islam. Dalam Islam hubungan lelaki perempuan disucikan sesuci-sucinya namun tanpa mengurangi keindahan romantisnya.” Kata-kata Syaikh Utsman menambah tubuhku semakin dingin. Syaikh Utsman seperti masih muda. Beliau juga menasihatiku agar majelis pertemuan nanti benar-benar dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengenalkan diri dan mengenal gadis itu. Syaikh Utsman dan wali gadis itu hanya akan menjadi pembawa acara.
* * *
Memasuki ruang tamu Syaikh Utsman kakiku seperti lumpuh. Aku hampir tidak bisa mengangkat kakiku. Tubuhku gemetar. Ruang tamu yang penuh dengan kitab-kitab klasik ini akan menjadi saksi penting dalam sejarah hidupku. Syaikh Utsman mempersilakan aku duduk di sofa busa yang menghadap ke barat. Di sebelah selatan ada sofa panjang menghadap utara untuk dua orang. Di sebelah barat ada sofa menghadap ke timur untuk satu orang. Di sebelah utara ada dua sofa menghadap ke selatan. Pintu ada dekat tempat aku duduk.
Ummu Fathi keluar membawa nampan berisi dua gelas air putih. Untuk kami berdua. “Anakku, ayo diminum dulu. Kau tampaknya kehausan,” ucap Syaikh Fathi. Aku meneguk sedikit. “Lima menit lagi, mereka insya Allah datang!” sambung beliau. Jantungku berdegup kencang. Panas dingin tubuhku semakin kuat terasa. Aku banyak beristighfar di dalam hati untuk menenangkan diri.
Bel berbunyi.
“Itu mereka datang. Kau tetaplah duduk di tempatmu!” kata Syaikh Fathi. Aku tidak bisa lagi menangkap nuansa yang menyergap hatiku. Berbagaimacam perasaan bercampur menjadi satu; penasaran, rindu, malu, gugup, takut, cemas, tidak percaya diri, optimis, senang, dan bahagia. Ummu Fathi mengambil dua gelas berisi air putih itu. Sementara Syaikh Fathi beranjang membukakan pintu.
Suara pintu di buka. Aku sama sekali tidak berani memandang ke arah pintu yang hanya dua meter di sampingku.
“Assalamu’aikum!” Hatiku berdesir keras. Suara lelaki. Bukan suara orang Indonesia, tapi suara itu memang sangat khas dan aku sangat mengenalnya. Aku masih menunduk.
“Wa’alaikumussalam wa rahmatullah. Ahlan wa sahlan. Ayo masuk! Fahri, berdirilah sambutlah calon pamanmu!” Suara Syaikh Utsman membuatku tergagap. Aku berdiri. Dan….
Subhanallah!
Lelaki yang berdiri di hadapanku adalah Eqbal Hakan Erbakan. Dia tersenyum padaku. Hatiku terasa dingin sekali. Aku berusaha tersenyum. Aku tak tahu seperti apa raut mukaku. Aku sungguh-sungguh terkejut. Kami berangkulan erat sekali. “Kaif halak ya ‘aris!” Eqbal membisikkan kata sapaan padaku, yang dalam kata sapaan ada kata-kata yang menggoda. Dia sudah memanggilku ‘ya ‘aris’, wahai pengantin pria.
“Alhamdulillah,” lirihku.
Di belakang Eqbal ada dua perempuan bercadar dan dua anak kecil yang lucu. Aku kenal dengan dua anak kecil itu. Amena dan Hasan. Amena membawa boneka panda. Aku jadi teringat itu boneka yang kutitipkan lewat Aisha. Dan Hasan membawa pistol air mainan. Dua perempuan bercadar itu menatapku sekilas, lalu beranjak menyalami Ummu Fathi. Mereka berpelukan bergantian. Eqbal menarik tangan Amena dan Hasan agar bersalaman denganku. Aku berjongkok. Melihat Amena dan Hasan yang lucu rasa grogiku sedikit berkurang. Aku cium kening Amena yang baru berumur lima tahun itu juga kening Hasan yang baru tiga tahun. Eqbal minta pada Amena untuk berterima kasih padaku atas hadiahnya.
“Syuklon alal hadieh el jamileh, Am…amu Andonesy.” [89] Lirih Amena terbata-bata dengan suara agak cedal. Kontan Syaikh Utsman tertawa. Aku tersenyum saja.
Ummu Fathi, isteri Syaikh Utsman mempersilakan yang bernama Aisha agar duduk di sofa yang menghadap ke timur. Dan mempersilakan isteri Eqbal duduk di dekat Aisha, sofa yang menghadap ke selatan. Beliau sendiri duduk tepat di depannya. Syaikh Utsman duduk di sampingnya, dekat denganku. Dan Eqbal duduk berhadapan dengan Syaikh Utsman, juga berdekatan denganku. Si kecil Amena duduk di pangkuan ibunya. Dan si kecil Hasan berdiri di depan ayahnya.
Pembicaraan di mulai. Jantungku mulai berdegup kencang. Tubuhku panas dingin. Kini aku tahu gadis itu adalah Aisha. Keponakan Eqbal Hakan Erbakan. Syaikh Utsman benar, Aisha telah mengenalku dan aku telah mengenalnya. Perkenalan yang begitu singkat. Aisha mungkin tahu banyak tentang diriku. Ia mungkin telah mendapat banyak info dari Eqbal. Sebab selama bersahabat dengan Eqbal dan selama i’tikaf di masjid Helmeya Zaitun kami sudah seperti keluarga sendiri. Eqbal banyak cerita tentang dirinya dan keluarganya. Masa kecilnya. Bagaimana bisa ke Mesir. Bagaimana bisa menikah dengan Sarah yang kini jadi isterinya. Sarah yang dari keluarga konglomerat Turki namun sangat kuat penghayatannya atas Islam. Aku pun telah cerita banyak pada Eqbal. Tentang keluargaku yang miskin. Tentang bagaimana diriku datang ke Mesir dengan menjual sawah warisan kakek. Harta satu-satunya yang dimiliki keluarga. Tentang awal-awal di Mesir yang penuh derita. Tak ada beasiswa. Tak ada pemasukan. Kerja membantu Bang Aziz mendistribusikan tempe ke rumah-rumah mahasiswa dari Indonesia dan Malaysia. Jualan beras dengan cara mengambil beras dari pelosok Mesir seperti Zaqaziq dan menjual ke teman-teman mahasiswa. Dan lain sebagainya. Aisha mungkin telah tahu banyak tentang diriku, tapi aku apa yang aku ketahui tentang dirinya. Melihat mukanya saja belum.
Sarah, isteri Eqbal berbicara dengan Ummu Fathi. Sesekali Syaikh Fathi dan Eqbal menimpali. Sarah menceritakan siapa Aisha ini.
Aku memandang ke arah Aisha, pada saat yang sama dua matanya yang bening di balik cadarnya juga sedang memandang ke arahku. Pandangan kami bertemu. Dan ces! Ada setetes embun dingin menetes di hatiku. Kurasakan tubuhku bergetar. Aku cepat-cepat menundukkan kepala. Dia kelihatannya melakukan hal yang sama. Kukira Aisha tidak setegang diriku, sebab dia merasa lebih santai. Wajahnya tersembunyi di balik cadarnya. Sementara diriku, aku tidak tahu seperti apa bentuk mukaku. Aku harus mencari cara untuk menghilangkan ketegangan ini. Si kecil Hasan memandangi aku. Aku tersenyum padanya. Kutarik dia ke pangkuanku. Dia menurut.
Dengan adanya Hasan di pangkuanku aku jadi merasa lebih nyaman. Aku bisa membelai-belai rambutnya. Hasan anak yang penurut. Kelihatannya ia benar-benar masih ingat padaku. Sesekali ia berceloteh dan aku menanggapi lirih sambil mencium kepalanya gemas. Dan di balik cadar, mata bening Aisha memperhatikan apa yang aku lakukan.
“Ini adalah majelis ta’aruf [90] untuk dua orang yang sedang berniat untuk melangsungkan pernikahan. Menurut ajaran nabi, seorang pemuda boleh melihat wajah perempuan yang hendak dinikahinya. Untuk melihat daya tarik dan untuk menyejukkan hati. Maka lebih baiknya Anakku Aisha membuka cadarnya. Meskipun Fahri sudah melihat wajahmu lewat album foto. Tetapi dia harus melihat yang asli sebelum melangsungkan akad nikah. Bukankah begitu Ummu Amena?” Kata-kata Ummu Fathi ini membuat jantungku berdesir. Sebentar lagi Aisha akan menanggalkan cadarnya, dan aku..masya Allah..aku akan melihat wajah calon isteriku.
Aku memandang Aisha. Dia memandangku lalu menunduk. Kelihatannya dia sangat malu dan salah tingkah.
“Aisha, bukalah cadarmu! Calon suamimu berhak melihat wajah aslimu,” desak Sarah, bibinya.
Sambil mendekap Hasan aku menyaksikan tangan kanan Aisha perlahan-lahan membuka cadarnya. Ada hawa sejuk mengalir dari atas. Masuk ke ubun-ubun kepalaku dan menyebar ke seluruh syaraf tubuhku. Wajah Aisha perlahan terbuka. Dan wajah putih bersih menunduk tepat di depanku. Subhanallah. Yang ada di depanku ini seorang bidadari ataukah manusia biasa. Mahasuci Allah, Yang menciptakan wajah seindah itu. Jika seluruh pemahat paling hebat diseluruh dunia bersatu untuk mengukir wajah seindah itu tak akan mampu. Pelukis paling hebat pun tak akan bisa menciptakan lukisan dari imajinasinya seindah wajah Aisha. Keindahan wajah Aisha adalah karya seni mahaagung dari Dia Yang Maha Kuasa. Aku benar-benar merasakan saat-saat yang istimewa. Saat-saat untuk pertama kali melihat wajah Aisha.
“Bagaimana apakah kalian sudah benar-benar siap membangun rumah tangga berdua?” Pertanyaan Syaikh Fathi membuat diriku mendongakkan kepala. Aisha juga melakukan hal yang sama. Pandangan kami bertemu. Dan ces! Hatiku seperti ditetesi embun dingin dari langit. Entah hati Aisha. Lalu kami kembali menundukkan kepala. Aku diam tidak menjawab.
“Akh Fahri, bagaimana, kau siap menerima Aisha sebagai isterimu?” tanya Eqbal dengan suara tegas. Aku malah meneteskan air mata.
“Akh Eqbal, semestinya bukan aku yang kau tanya. Tanyalah Aisha, apakah dia siap memiliki seorang suami seperti aku? Kau tentu sudah tahu siapa aku. Aku ini mahasiswa yang miskin. Anak seorang petani miskin di kampung pelosok Indonesia,” jawabku terbata-bata sambil terisak. “Apakah aku kufu dengannya? Aku merasa tidak pantas bersanding dengan keponakanmu itu. Aku tidak ingin dia kecewa di belakang hari,” lanjutku.
“Baiklah, biar Aisha sendiri yang menjawabnya. Bicaralah Aisha, jangan malu,” ujar Eqbal.
Aku mencuri pandang melihat Aisha. Ia menundukkan kepalanya. Bulu matanya yang lentik bergerak-gerak.
“Baiklah, aku akan bicara dari hatiku yang terdalam. Fahri, dengan disaksikan semua yang hadir di sini, kukatakan aku siap menjadi pendamping hidupmu. Aku sudah mengetahui banyak hal tentang dirimu. Dari Paman Eqbal, dari Nurul dan orang-orang satu rumahnya. Dari Ustadzah Maemuna isteri Ustadz Jalal. Dari Ruqoyya, isteri Aziz. Aku tidak akan sangat berbahagia menjadi isterimu. Dan memang akulah yang meminta Paman Eqbal untuk mengatur bagaimana aku bisa menikah denganmu. Akulah yang minta.” Aisha menjawab dengan bahasa Arab fusha yang terkadang masih ada sususan tata bahasa yang keliru namun tidak mengurangi pemahaman orang yang mendengarnya. Suaranya terasa lembut dan indah, lebih lembut dari suaranya saat berkenalan di Metro dan beberapa kali bertemu, di Tahrir dan di National Library. Aku tidak tahu kenapa. Apakah karena aku kini telah jatuh cinta padanya? Jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Dan semoga juga yang terakhir kalinya.
“Bagaimana Fahri, Kau sudah mendengar sendiri dari Aisha, sekarang kau bagaimana?” ujar Eqbal sambil memandang ke arahku. Semua mata tertuju ke arahku, kecuali mata si kecil Amena dan Hasan. Aku memberanikan diri untuk menatap wajah Aisha, agak sedikit lama. Aisha memandangku, ia menanti jawabanku. Aku merasa tak mampu menahan air mata yang meleleh.
“Jika Aisha sedemikian mantapnya dan percaya padaku, maka, bismillah, aku pun mantap menerima Aisha untuk jadi isteriku, pendamping hidupku dan ibu dari anak-anakku, aku akan sepenuh hati percaya padanya,” kataku dengan suara parau bergetar, dengan mata tetap menatap Aisha. Aku melihat mata Aisha berkaca-kaca. Suasana hening dan haru menyelimuti ruangan itu.
“Aku jadi teringat lima puluh tahun yang lalu, saat mengkhitbah Ummu Fathi, suasananya tak jauh berbeda. Penuh dengan perasaan cinta dan nuansa indah yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.” Suara Syaikh Utsman memecahkan keheningan dan keharuan. Syaikh Utsman lalu bercerita tentang hari-hari pertamanya membangun rumah tangga. Banyak hal lucu penuh hikmah yang beliau kisahkan. Terkadang Ummu Fathi yang juga sudah tua menyela. Suasana jadi lebih hidup.
Pembicaraan terus berlanjut ke masalah kami berdua, masalah diriku dan masalah Aisha. Syaikh Utsman mampu menggiring kami untuk membuka diri. Aku berterus terang tentang sakitku sebulan yang lalu. Aisha membuka dirinya pernah sakit Asma. Aku ungkapkan kembali persyaratan ibuku, bahwa isteriku mau tidak mau harus hidup dan berjuang di Indonesia.
“Diriku sudah aku wakafkan di jalan Allah. Aku siap hidup dan berjuang di mana saja mendampingi perjuangan suamiku tercinta.” Tegas Aisha tanpa ragu sedikitpun.
Kami lalu berbicara tentang harapan masing-masing. Cita-cita dan idealisme masing-masing. Aku merasa apa yang diharapkan dan dicita-citakan Aisha tidak ada yang berseberangan jauh dengan apa yang aku harapkan dan aku cita-citakan. Dia ingin suami yang sepenuh hati mencintainya, menjadikan dirinya satu-satunya isterinya, setia dalam suka dan duka, perhatian pada keluarga, dan tidak melalaikan tugas berjuang di jalan Allah. Itu adalah juga yang aku inginkan dari isteriku. Aku ingin isteri yang shalihah, setia dan tidak mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.
Setelah pembicaraan berlangsung lama, rasa canggung tidak lagi penghalang untuk mengungkapkan segala yang ingin diungkapkan. Aku bahkan tanpa perlu malu, dan dengan penuh keterus-terangan membuka kemampuanku mencari nafkah saat ini. Andalanku adalah terjemahan. Dan karena sedang konsentrasi penulisan tesis, aku tidak bisa menerjemah sebanyak yang kemarin. Aku jelaskan nominal yang kira-kira masuk tiap bulan. Itu pun terkadang terlambat pembayarannya. Juga uang yang aku punya saat ini.
Aisha menjawab dengan tenang,
“Alhamdulillah aku sudah mempelajari sifat perempuan Jawa. Aku sangat kagum pada mereka. Mereka adalah perempuan yang sangat setia, dan peduli pada keluarga. Di Jawa seorang isteri terlibat sepenuhnya dalam masalah keluarga. Isteri ikut memikirkan bagaimana dapur mengepul. Perempuan Jawa bisa hidup sederhana. Seperti Fatimah Zahra puteri Rasulullah bisa hidup sangat sederhana, yang mengambil air dan membuat roti sendiri. Padahal dia puteri seorang nabi agung. Aku siap untuk hidup seperti Fatimah Zahra. Aku sudah meneliti mahasiswa Indonesia, khususnya dari Jawa yang berkeluarga di Cairo. Mereka hidup sangat sederhana. Mengatur uang yang ada sebaik-baiknya. Saling melengkapi. Aku siap hidup seperti mereka. Menurut Ruqoyya isteri seorang mahasiswa bernama Aziz yang berjualan tempe. Dengan uang 150 dollar ia sudah bisa hidup normal meskipun sangat sederhana dengan menyewa rumah yang sederhana. Aku bahkan siap untuk hidup lebih buruk dari itu. Aku siap dalam suka maupun duka.”
Aku mantap dengan apa dengar dari Aisha. Semoga apa yang ia katakan adalah apa yang keluar dari hatinya. Kata-kata adalah cermin jiwa.
Lalu aku mengutarakan masalah cadar yang dipakai Aisha. Bukan aku tidak setuju atau menentangnya. Tapi untuk fiqh dakwah di Indonesia lebih hikmah tidak pakai cadar. Aku jelaskan kondisi masyarakat di desaku dan sekitarnya. Perempuan bercadar akan dianggap sangat aneh dan mencurigakan.
“Jangan kuatir. Aisha dan Sarah isteriku adalah muslimah-muslimah moderat. Itu tidak akan menjadi masalah. Sarah sendiri kalau pulang ke Turki tidak memakai cadar. Menurut mayoritas Ulama, menutup wajah bagi perempuan tidak wajib. Yang wajib adalah menutup seluruh aurat kecuali telapak tangan dan wajah,” jelas Eqbal.
“Ya. Paman Eqbal benar,” sahut Aisha.
Setelah segala yang bersifat pribadi dirasa cukup, dan kami merasa benar-benar akan bisa menjadi pasangan hidup yang serasi, bisa saling mengisi dan melengkapi, pembicaraan berlanjut ke masalah akad nikah dan pesta walimatul ‘ursy. Aisha ingin akad dan pesta dilaksanakan secepatnya. Setelah dikalkulasi dan timbang paling cepat akad dilaksanakan satu minggu lagi dan pestanya dua hari setelahnya. Akhirnya ditetapkan akad nikah akan dilaksanakan Jum’at depan, tanggal 27 Sepetember, di masjid Abu Bakar Shiddiq setelah shalat Ashar. Karena nantinya Aisha akan tinggal di Indonesia, maka aku harus mengurusi segalanya yang berkaitan dengan dokumen pernikahan yang diakui di Indonesia. Aku jelaskan itu mudah. Eqbal akan melengkapi semua dokumen Aisha yang diperlukan untuk Kedutaan Besar Republik Indonesia. Aisha bilang ia juga akan mencatatkan pernikahannya ke kedutaan Jerman.
Aisha meminta agar uang yang aku miliki saat ini disiapkan untuk mahar dan pengurusan surat nikah KBRI. Adapun biaya yang lainnya biar paman Eqbal yang mengurusi. Tempat pesta walimatul ursy juga ditetapkan saat itu juga. Yaitu di Darul Munasabat [91] masjid Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Itu adalah tempat yang paling cocok. Letaknya strategis. Dekat dengan tempat tinggal umumnya mahasiswa Indonesia dan mahasiswa Turki. Jumlah orang indonesia yang akan diundang sekalian di tentukan. Tentunya undangan terbatas. Karena di pihak Aisha juga mengundang orang Turki. Undangan disesuaikan dengan kapasitas tempat duduk. Jenis hidangan yang disajikan juga ditetapkan. Tidak terlalu mewah tapi juga tidak terlalu sederhana. Yang dicari adalah barakahnya.
Malam zafaf juga ditentukan. Tidak setelah akad, tapi setelah walimah. Tempatnya di mana, Aisha dan Sarah yang akan merancangnya. Aku diminta tinggal menerima jadi saja. Sebab suasana kamar pengantin akan dibuat suasana Turki. Sarah adalah seorang da’iyah di kalangan mahasiswi Turki, karenanya aku yakin meskipun di tata ala Turki tapi tidak akan menyimpang dari sunnah nabi.
Saat itu juga Eqbal mengukur tubuhku untuk mencari pakaian pengantin yang akan dipakai saat walimah nanti. Sesuai keinginan Aisha, rencananya kami berdua akan memakai busana pengantin muslim Turki. Hal-hal seperti itu bagiku tidak ada masalah. Semua panitia akan ditangani oleh teman-teman dari Turki. Eqbal hanya minta bantuan beberapa orang untuk penyambut tamu dan penyaji hidangan.
Perbincangan selesai tepat saat azan maghrib berkumandang. Sore itu sejarah baru hidupku telah dirancang dengan matang. Aisha sempat tersenyum padaku sebelum ia dan keluarganya meninggalkan ruang tamu Syaikh Utsman. Aku tidak bisa mengungkapkan rasa cintaku yang membuncah memenuhi segenap ruang hatiku. Aku melangkahkan kaki dengan perasaan bahagia tiada terkira, meskipun aku tidak mengingkari ada sedikit rasa cemas. Cemas yang terlahir dari kekurangpercayaan pada apa yang aku alami. Yang aku alami tadi sungguhkah kejadian nyata ataukah sekadar mimpi belaka? Terkadang orang yang terlalu bahagia melihat apa yang dialaminya seperti mimpi. Terkadang waktu berjalan sedemikian cepatnya tanpa memberi kita kesempatan untuk berpikir sebenarnya apa yang sedang terjadi pada diri kita sendiri.





16. Cobaan

Teladan orang-orang yang bercinta adalah Baginda Nabi. Cinta sejati adalah cintanya sepasang pengantin yang telah diridhai Tuhan dan didoakan seratus ribu malaikat penghuni langit. Tak ada perpaduan kasih lebih indah dari pernikahan, demikian sabda baginda Nabi.
Setelah melihat Aisha yang tiada lain adalah calon bidadariku, belahan jiwa yang akan mendampingi hidupku, tak bisa kupungkiri aku didera rasa cinta yang membuncah-buncah. Inilah cintaku yang pertama, dan Aisha adalah gadis pertama yang menyentuh hatiku dan menjajahnya.
Waktu di Aliyah dulu, aku pernah naksir pada seorang gadis tapi tak pernah sampai menyentuh hati. Tak pernah sampai merindu dendam. Aku bahkan tak punya keberanian untuk sekadar menyapanya atau mengingat namanya. Diriku yang saat itu hanya berstatus sebagai khadim romo kiai, batur para santri, tak berani sekadar mendongakkan kepala kepada seorang santriwati.
Juga selama di Kairo, sampai Aisha membuka cadarnya di rumah Syaikh Utsman. Kuakui ada satu nama yang membuatku selalu bergetar bila mendengarnya, namun tak lebih dari itu. Aku merasa sebagai seekor punguk dan seluruh mahasiswi Indonesia di Kairo adalah bulan. Aku tidak pernah berusaha merindukannya. Dan tak akan pernah kuizinkan diriku merindukannya. Karena aku merasa itu sia-sia. Aku tak mau melakukan hal yang sia-sia dan membuang tenaga.
Aku lebih memilih mencurah seluruh rindu dendam, haru biru rindu dan deru cintaku untuk belajar dan menggandrungi Al-Qur’an. Telah kusumpahkan dalam diriku, aku tak akan mengulurkan tangan kepada seorang gadis kecuali gadis itu yang menarik tanganku. Aku juga tak akan membukakan hatiku untuk mencintai seorang gadis kecuali gadis itu yang membukanya. Bukan suatu keangkuhan tapi karena rasa rendah diriku yang selalu menggelayut di kepala. Aku selalu ingat aku ini siapa? Anak petani kere. Anak penjual tape. Aku ini siapa?
aku adalah lumpur hitam
yang mendebu
menempel di sepatu dan sandal
hinggap di atas aspal
terguyur hujan
terpelanting
masuk comberan
siapa sudi memandang
atau mengulurkan tangan?
tanpa uluran tangan Tuhan
aku adalah lumpur hitam
yang malang

Tuhan telah mengucapkan kun! Lumpur hitam pun dijelma menjadi makhluk yang dianugerahi kenikmatan cinta yang membuncah-buncah dan rindu yang berdebam-debam. Seorang bidadari bermata bening telah disiapkan untuknya. Fa bi ayyi alaai Rabbikuma tukadziban! Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.
Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari
yang baik-baik lagi cantik-cantik.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.
Bidadari-bidadari yang jelita, putih bersih dipingit dalam rumah.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan. [92]
Belum juga masuk surga, Tuhan telah begitu pemurah memperlihatkan seorang bidadari yang baik dan cantik, bidadari yang putih bersih bernama Aisha. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakan yang kamu dustakan?
Maka tiada henti menangis kepada Tuhan, merasa terlalu agung anugerah yang dilimpahkan oleh-Nya kepadaku yang lumpur hitam. Mengiba-iba kepadaNya kiranya anugerah ini bukan bentuk istidraj, bukan bentuk nikmat yang sejatinya azab. Dalam sujud tangis di keheningan malam kuisakkan seribu doa dari ratapan jiwa. Doa Adam, doa Ibrahim, doa Ayyub, doa Ya’qub, doa Daud, doa Sulaiman, doa Zakariya, doa Muhammad, doa seribu nabi, doa seribu wali, dan doa seribu sufi yang telah mereguk cinta hakiki dan melahirkan sejuta generasi rabbani.
* * *
Dua hari menjelang hari H, barulah teman-teman satu rumah aku beritahu. Semua urusan di KBRI sudah selesai. Mahar telah aku beli; seuntai kalung, sebuah cincin dan mushaf mahar. Aku juga telah membeli satu stel jas yang pantas. Aku meminta kepada teman-teman untuk mengundang teman-teman terdekat. Tak lebih dari empat puluh orang. Mohon kesediaan datang di acara akad nikah Jum’at depan, di masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq, Shubra El-Khaima.
Seperti biasa Rudi nyeletuk, “Nurul dkk. diundang nggak Mas?”
“Untuk akadnya tidak usah. Tapi walimahnya ya,” jawabku dengan tegas. Sebagai kabar gembira kuberitahukan pada teman-teman bahwa Bapak Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) secara khusus telah kuminta untuk menjadi saksi, dan beliau telah menyatakan kesediaannya. Aku juga minta pada teman-teman untuk mengundang dua ratus orang. Seratus lima puluh putera dan lima puluh puteri untuk datang di acara walimatul ‘ursy. Teman-teman satu rumah sepertinya masih tidak percaya pada apa yang aku kabarkan. Namun mereka mau tidak mau harus percaya sebab aku tidak pernah main-main untuk urusan serius.
Aku datangi rumah Tuan Boutros. Kosong.
Saiful bilang, saat aku dua hari tidak di rumah, Tuan Boutros sekeluarga pergi rekreasi ke Pantai Hurgada. Dua hari yang lalu aku memang sibuk di Nasr City membantu teman-teman Turki mempersiapkan segalanya. Aku merasa tidak lengkap jika sampai pesta walimatul ursy nanti keluarga Tuan Boutros tidak menyaksikan. Mereka adalah orang terdekat selama tiga tahun ini. Aku mencoba menghubungi nomor handphone Maria. Jawabannya, nomor yang anda hubungi sedang berada di luar area! Sedih! Aku minta pada Rudi agar terus mencoba menghubungi Maria, memberitahukan acara paling bersejarah dalam hidupku ini pada keluarganya. Mohon mereka bisa datang pada saat pesta walimah.
Yang aku belum bisa mengerti adalah di manakah nanti aku setelah menikah? Aku telah berusaha menyewa rumah di Hayyu Tsamin tapi Eqbal tidak mengizinkannya. Katanya rumahnya telah disiapkan oleh Aisha. Aku ingin tahu rumahnya di mana dan sewanya perbulan berapa, tapi dia juga tidak mau memberitahukannya, katanya biar surprise sesuai permintaan Aisha. Yang jelas, kata dia, rumah itu memang sangat layak untuk tinggal memadu kasih bersama Aisha. Aku pasrah saja, aku tidak meragukan ketulusan mereka.
Satu hari menjelang akad nikah Eqbal dan dua orang Turki datang dengan membawa mobil pick up. Dia bilang akan mengangkut barang-barangku untuk di tata di rumah baru. Aisha yang memintanya. Komputer, beberapa stel pakaian, dan puluhan jilid buku dan kitab penting diangkut. Aku tidak boleh ikut.
“Insya Allah, semuanya akan beres dan aman. Saat ini kau adalah raja yang tidak boleh susah. Kami berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian berdua. Dan jangan lupa selesai shalat Jum’at kau langsung ke rumahku di Maadi. Kita akan berangkat ke Shubra bersama,” kata Eqbal yang sebentar lagi harus kupanggil paman.
Ketika melihat kamarku yang berubah dan kehilangan banyak isinya aku menitikkan air mata. Waktu terus berjalan. Manusia tidak bisa menentang perubahan. Tak lama lagi aku akan meninggalkan kamar tercinta ini. Aku akan meninggalkan teman-teman dan membuka lembaran hidup baru bersama seorang isteri bernama Aisha.
berjalan di titian kodrat
(apa yang harus kita katakan)
jika berharap Dia menentukan [93]

* * *
Ketika fajar Jum’at merekah di ufuk timur, aku berkata dalam hati, “Inilah hariku.” Tiada sabar rasanya menunggu ashar tiba. Matahari seperti diganduli malaikat. Hari terasa berat. Waktu sepertinya berjalan begitu lambat.
Usai shalat shubuh teman-teman telah bersiap. Mereka kubagi tugas. Rudi shalat Jum’at di Masjid Indonesia menjadi petunjuk jalan bagi Pak Atdikbud. Mishbah ke Wisma Nusantara menjadi petunjuk jalan bagi bus yang disediakan untuk teman-teman undangan. Jarak Nasr City-Shubra tidak dekat. Sedangkan Hamdi dan Saiful nanti begitu selesai shalat Jum’at langsung ke Shubra. Aku sendiri usai shalat Jum’at langsung ke rumah Eqbal Hakan Erbakan.
Pukul delapan tepat telpon berdering, kukira dari Eqbal. Ternyata tidak. Dari Ustadz Jalal. Katanya beliau dan isterinya telah sampai di mahattah metro Hadayek Helwan. Beliau datang untuk membicarakan masalah yang dulu pernah beliau pesankan melalui Nurul. Kuminta Saiful untuk menjemput Ustadz Jalal. Aku jadi merasa tidak enak tidak mengundang beliau secara langsung untuk menghadiri akad nikah. Kutanyakan pada teman-teman apakah undangan walimah untuk beliau sudah sampai. Tidak tahu, mungkin belum, sebab undangan itu dititipkan pada Mas Khalid. Dan rencananya Mas Khalid akan menyampaikannya usai shalat Jum’at nanti. Meskipun terkesan sangat mepet dan mendadak terpaksa nanti Ustadz Jalal akan kumohon untuk datang ke acara akad nikah.
Ustadz Jalal dan ustadzah Maemuna, isterinya, sampai dengan wajah cerah. Mereka datang cuma berdua, tidak membawa ketiga anak mereka.
“Mana keponakan-keponakanku Ustadz? Kenapa tidak dibawa serta?” tanyaku basa-basi.
Hamdi datang dengan nampan berisi tiga gelas teh Arousa panas dan satu piring roti bolu. Entah dapat bolu dari mana anak itu.
“Sekali-kali kami ingin bepergian berdua tanpa diganggu anak-anak. Biar bisa sedikit mesra. Pagi ini kami benar-benar menikmati perjalanan dengan metro. Dari Ramsis sampai Hadayek Helwan sepi, hawanya juga sejuk,” jawab Ustadz Jalal.
“Mereka ditinggal sendirian di rumah?” heranku.
“Tidak. Kebetulan Nurul dan teman-temannya usai shalat shubuh tadi datang ke rumah. Jadi mereka yang menjaga,” sahut Ustadzah Maemuna.
“O begitu, syukurlah. Ngomong-ngomong Ustadz dan Ustadzah menyempatkan untuk berkunjung kemari ada yang bisa saya bantu?” ucapku.
Ustadz Jalal memberi tahu ada masalah sangat penting dan rahasia yang ingin beliau bicarakan denganku. Beliau minta tempat yang aman. Kubawa beliau dan Ustadzah Maemuna ke dalam kamarku yang berantakan. Pintu kututup rapat.
“Kok berantakan begini. Komputermu dan kitab-kitabmu tidak ada. Mau pindahan nih, atau malah sedang pindahan?” komentar Ustadz Jalal.
“Nanti setelah masalah Ustadz selesai akan aku ceritakan, insya Allah. Silakan Ustadz bicara,” jawabku.
“Kami berdua datang kemari memohon bantuanmu menyelesaikan suatu masalah serius. Tidak masalah kami sebenarnya, tapi masalah seseorang yang dekat dengan kami. Dan yang paling tepat untuk kami minta pertolongan adalah engkau, Fahri. Kami sangat berharap engkau bisa membantu,” kata Ustadz Jalal.
“Kau saya diberi kemampuan untuk itu. Insya Allah. Masalah apa itu Ustadz?”
“Ini masalah serius yang mengancam jiwa Nurul?”
Mendengar hal itu pikiranku langsung tertuju pada buntut peristiwa Noura bersembunyi di rumah Nurul. Jangan-jangan Si Muka Dingin Bahadur tahu itu dan memperkarakannya, tapi kalau itu masalahnya kenapa diriku tidak ikut diperkarakan?.
“Bagaimana jiwa Nurul bisa terancam Ustadz? Apa yang terjadi padanya, dan apa yang bisa saya lakukan untuk membantunya?”
“Kau tahu Nurul adalah puteri tunggal Bapak KH. Ja’far Abdur Razaq, pengasuh pesantren besar di Jawa Timur. Selain cantik dia juga cerdas dan halus budi. Sejak masih kelas satu aliyah sudah banyak kiai besar yang melamar Nurul untuk puteranya. Nurul tidak mau. Ketika akhirnya Nurul belajar di Al Azhar pinangan itu justru semakin banyak. Kiai Ja’far ayah Nurul berkali-kali menelpon Nurul agar segera menentukan pilihan pendamping hidupnya. Beliau merasa sangat tidak enak menolak pinangan terus menerus. Apalagi jika pinangan itu datangnya jadi kiai yang lebih senior dari beliau atau dari guru beliau. Jika Nurul sudah tunangan atau menikah dengan seseorang yang dipilihnya tentu kedua orang tua Nurul akan lebih tenang. Dan jika berjumpa dengan para kiai-kiai di Jawa Timur tidak akan terbebani oleh sindiran-sindiran halus dari para kiai yang meminang puterinya. Dua bulan yang lalu ayahnya menelpon ada pinangan dari Kiai Rahmad untuk puteranya Gus Anwar. Kiai Rahmad ini adalah gurunya ayah Nurul waktu mondok di Bandar Kidul Kediri. Ayah Nurul tidak bisa menolaknya kecuali Nurul sudah memiliki seorang calon di Mesir. Jika tidak, maka Nurul terpaksa harus menerima pinangan itu. Inilah masalahnya.”
“Nurul sendiri bagaimana? Saya mendengar ada beberapa mahasiswa yang suka dengannya.”
“Memang ada beberapa mahasiswa yang mendekati dia secara baik-baik. Ada yang secara langsung. Ada juga yang lewat kami atau teman satu rumahnya. Tapi tak ada yang cocok di hatinya. Ternyata sejak dua tahun yang lalu diam-diam Nurul telah kagum dan jatuh hati pada seseorang. Tapi sayangnya Nurul tidak berani mengungkapkannya karena rasa malunya yang tinggi. Ia berharap orang yang dicintainya terbuka hatinya dengan dan meminangnya tapi sepertinya orang yang dicintainya tidak tahu kalau Nurul mencintainya. Rasa cinta Nurul padanya membuncah dan tak bisa dia sembunyikan sejak dua bulan yang lalu. Sejak ayahnya menelponnya untuk menerima Gus Anwar atau mencari calon sendiri di Mesir yang shalih. Saat itu dia menangis pada isteriku. Ia mengungkapkan seluruh isi hatinya. Ia minta kepada isteriku untuk membantunya. Isteriku memberi saran untuk berterus terang saja pada orang yang dicintainya itu. Tapi Nurul tidak mau, ia sangat malu. Nurul minta pada isteriku agar aku yang bicara dengan orang itu. Aku sangat sibuk sekali dan aku merasa tidak tepat untuk bicara pada orang yang dicintai Nurul itu. Akhirnya aku merasa aku perlu minta bantuanmu. Kau sangat dekat dengan orang itu. Sudah berkali-kali Nurul bertanya padaku bagaimana hasilnya. Aku tidak bisa menjawabnya. Sebab aku belum bertemu denganmu. Kau sibuk aku pun sibuk. Baru kali ini aku bisa bertemu denganmu. Aku sangat berharap kau bisa membantu.”
“Asal saya mampu, insya Allah Ustadz. Dia mahasiswi yang baik. Saya salut dan kagum padanya. Meskipun telah menjabat sebagai Ketua Wihdah tapi dia masih mau meluangkan waktu mengajar anak-anak baca Al-Qur’an di Masjid Indonsia. Dia juga orang yang mudah diminta tolong. Sangat kasihan memang kalau orang sebaik dia tidak mendapatkan apa yang dicintainya. Namanya orang kalau sudah cinta itu susah untuk tidak dipertemukan. Abu Bakar saja ketika ada seorang budak perempuan merana karena mencintai Muhammad bin Qasim bin Ja’far bin Abi Thalib hati beliau luluh. Beliau langsung menemui tuan pemilik budak itu dan membelinya, lalu mengirimnya ke Muhammad bin Qasim bin Ja’far bin Abi Thalib. Hal serupa juga dilakukan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Cinta memang tidak mudah. Orang Inggris bilang, Love is a sweet torment. Cinta adalah siksaan yang mengasyikkan. Tapi jika orang terus tersiksa karena cinta, ia bisa binasa seperti Laila dan Majnun. Kebinasaan paling tragis adalah yang disebabkan oleh cinta,” jawabku.
Ustadzah Maemuna menyahut,
“Dan kami tak ingin melihat Nurul binasa karena cintanya pada pujaan hatinya.”
“Memangnya rasa cinta Nurul sampai seperti itu?” heranku.
“Sejak dua bulan yang lalu. Sejak ia menangis di pangkuanku, Nurul sering menangis sendiri. Berkali-kali dia cerita padaku akan hal itu. Ia ingin sekali orang itu tahu bahwa dia sangat mencintainya, lalu orang itu membalas cintanya dan langsung melaksanakan sunnah Rasulillah. Nurul anti pacaran. Tapi rasa cinta di dalam hati siapa bisa mencegahnya. Aku tahu benar Nurul siap berkorban apa saja untuk kebaikan orang yang dicintainya itu. Bantulah kami membuka hati orang itu?” kata Ustadzah Maemuna.
“Insya Allah. Saya paling tak tahan melihat seseorang tersiksa batinnya. Jadi siapakah orang yang sangat beruntung itu, orang yang dipuja dan dicintai gadis shalihah seperti Nurul?” tukasku tenang. Dalam hati aku merasa bersyukur bahwa aku mendapatkan seorang biadadari yang kucintai tanpa harus melalaui siksaan batin serumit Nurul. Tenyata menjadi seorang gadis tidak semudah menjadi seorang pemuda.
“Kau sangat mengenalnya kuharap kau tidak kaget mendengar namanya kusebut,” kata Ustadz Jalal.
“Santai saja Ustadz, insya Allah saya akan biasa saja,” jawabku santai.
“Orang yang dicintai Nurul, yang namanya selalu dia sebut dalam doa-doanya, yang membuat dirinya satu minggu ini tidak bisa tidur entah kenapa, adalah FAHRI BIN ABDULLAH SHIDDIQ!”
Mendengar namaku yang disebut aku bagaikan mendengar gelegar petir menyambar telingaku. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar dari lisan ustadz Jalal.
“Siapa Ustadz, mungkin ustadz salah ucap?” tanyaku meyakinkan apa yang aku dengar.
“Aku tidak salah ucap Fahri. Kaulah orangnya. Nurul sangat mencintaimu. Berkali-kali dia bicara denganmu langsung atau lewat telpon tapi dia tidak berani mengatakan itu. Dan sudah berkali-kali dia minta kami menemuimu mengungkapkan isi hatinya padamu, tapi baru kali ini aku sempat. Bagaimana Fahri kau bisa membantu Nurul bukan?”
Aku meneteskan air mata. Tetesan itu makin lama makin deras. Akupun tergugu. Kenapa jalan takdirnya seperti ini? Kenapa berita yang sebenarnya sangat membahagiakan hatiku ini datang terlambat. Satu-satu nama seorang gadis yang bila kudengar hatiku bergetar adalah Nurul. Nurul Azkiya. Berita yang seharusnya membuat hatiku berbunga-bunga itu kini justru membuat hatiku terasa pilu. Dalam hati aku menyumpahi kebiasaan buruk orang Jawa. Alon-alon waton kelakon! Jadinya selalu terlambat. Jika dua bulan yang lalu Nurul mengucapkan tiga kata saja: maukah kamu menikahi aku? Tak akan ada kepedihan ini. Sejak bertemu muka dengan Aisha hatiku sepenuhnya dipenuhi rasa cinta kepadanya. Dan beberapa jam lagi ikatan suci yang menyatukan cinta kami akan terjadi, insya Allah.
Dengan terisak-isak kukatakan pada Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemunah, “Oh, andaikan waktu bisa diputar kembali. It is no use crying over spilt milk . Tak ada gunanya menangisi susu yang telah tumpah!”
Lalu kucoba menenangkan diri dan kujelaskan semuanya yang telah terjadi atas diriku. Aku tak bisa menyembunyikan tangisku saat menceritakan semuanya. Pertemuan dengan Aisha di Metro, diskusi dengan Alicia, tawaran Syaikh Utsman, pertemuan dengan Aisha dan keluarganya, sampai rencana akad nikah dan walimah yang tinggal menunggu jam D nya.
“Apa yang bisa aku lakukan untuk Nurul Ustadz, apa. Seandainya Ustadz jadi diriku apa yang bisa Ustadz lakukan?” kataku sambil tergugu, hatiku merasa pilu. Seandainya Nurul dan Aisha datang bersamaan, aku tak perlu istikharah untuk memilih Nurul. Aku lebih mengenal Nurul daripada Aisha. Tapi siapa bisa menarik mundur waktu yang telah berjalan.
Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemuna menangis terisak-isak. Ustadz Jalal merasa sangat menyesal dan sangat bersalah pada Nurul. Sudah berkali-kali Nurul mendesaknya untuk menemui aku dan menjelaskan masalah itu tapi Ustadz Jalal selalu mengulur waktu karena konsentrasi memperbaiki disertasi doktoralnya. Yang ia sesalkan adalah kenapa beliau tidak menyempatkan sepuluh menit saja untuk menilpunku memberikan sekadar isyarat ada seorang yang mencintaiku. Ustadzah Maemuna menangis tersedu-sedu, ia tak bisa membayangkan pilunya hati Nurul. Hanya karena sebuah keterlambatan sesuatu yang paling berharga bagi jiwanya tidak ia dapatkan.
Dalam tangisku aku merasa masalah Nurul ini adalah cobaan besar bagi komitmenku atas semua kata-kataku di rumah Syaikh Utsman. Cobaan atas cinta dan kesetiaanku pada Aisha. Bisa saja aku nekad membatalkan kesepakatan dan semua rencana yang telah ditetapkan seperti dalam film India. Akad Nikah toh belum terjadi. Mahar belum aku bayarkan. Aku juga sama sekali belum pernah menyentuh Aisha. Melihat wajahnya juga baru satu kali. Tapi jika aku melakukan hal itu, namaku akan ditulis dengan lumpur hitam berbau busuk oleh sejarah. Aku akan menjadi orang munafik paling menyakitkan hati orang-orang yang kucintai dan kuhormati seperti Syaikh Utsman, Ummu Fathi, Eqbal Hakan Erbakan dan isterinya, dan tentunya paling sakit dan terzalimi adalah Aisha. Kemudian seluruh mahasiswa Turki di Mesir akan melaknat perbuatanku. Dan kelak ketika aku berjumpa dengan Baginda Nabi beliau akan murka padaku karena aku telah menyakiti perasaan sekian banyak umatnya. Aku tak mau itu terjadi. Lebih dari itu aku tidak tahu seberapa panjang umurku ini. Jika aku membatalkan pernikahan yang telah dirancang matang, aku tidak tahu apakah Allah masih akan memberikan kesempatan padaku untuk mengikuti sunnah Rasul. Ataukah aku justru tidak akan punya kesempatan menyempurnakan separo agama sama sekali. Tidak selamanya perasaan harus dituruti. Akal sehat adalah juga wahyu Ilahi.

17. Ikatan Suci

Apa yang terjadi antara diriku dan Nurul adalah tragedi yang sangat memilukan. Aku tak memungkiri, di dalam taksi selama perjalanan menuju rumah Eqbal Hakan Erbakan, hatiku menangis. Aku ini siapa? Nurul sungguh terlalu. Apakah dia bukan orang Jawa? Aku ini orang Jawa. Di Jawa, seorang khadim kiai dan batur santri, anak petani kere, mana mungkin berani mendongakkan kepala apalagi mengutarakan cinta pada seorang puteri kiai. Dia sungguh terlalu menunggu hal itu terjadi padaku. Semestinya dialah yang harus mengulurkan tangannya. Dia sungguh terlalu berulang kali ketemu tidak sekalipun mengungkapkan perasaannya yang mungkin hanya membutuhkan waktu satu menit. Atau kalau malu hanya dengan beberapa baris tulisan tangannya tragedi ini tidak akan terjadi. Menyatakan cinta untuk menikah di jalan Allah bukanlah suatu perbuatan tercela. Dia sungguh terlalu. Tapi dia tidak keliru. Dia telah menempuh jalan yang benar. Dia benar-benar gadis shalihah yang pemalu. Yang terlalu sesungguhnya adalah Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemuna. Mereka berdua sungguh terlalu. Atau justru aku yang terlalu dan begitu dungu.
rinai tangis dalam hatiku
bagai rintik hujan di kota
apa gerangan makna lesu
yang menyusup masuk kalbuku? [94]

Sampai di halaman rumah Eqbal aku melihat tiga mobil mewah berjajar. Rumahnya ada di lantai tiga sebuah villa mewah tak jauh dari KFC Maadi. Sebelum masuk kuhapus air mata, kutata hati dan jiwa. Aku berusaha tersenyum. Aku disambut hangat oleh Eqbal dan tiga lelaki Turki. Rumahnya tidak terlalu ramai. Eqbal memperkenalkan tiga lelaki Turki yang berpakaian rapi itu.
“Ini Ismael Akhtar, Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Turki di Mesir, ini sekjennya Ali Naar, sedangkan ini yang baru tiba dari Turki tadi pagi adalah calon pamanmu Akbar Ali Faroughi, adik kandung ibunya Aisha.”
Akbar Ali yang gagah itu memelukku erat dan berbisik, “Senang memiliki keponakan seperti dirimu. Aisha sudah banyak bercerita tentangmu padaku. Selamat datang di keluarga besar Ali Faroughi.”
Di ruang tamu itu kami berbincang-bincang sambil menunggu Aisha yang sedang berdandan. Akbar Ali menceritakan silsilah keluarga besarnya agar aku tahu jelasnya. Ali Faroughi ayahnya dan juga kakek Aisha adalah asli Turki. Beliau lahir di kota Izmir dari keluarga pedagang kain. Lulus sekolah menengah langsung diminta ayahnya merantau ke Istambul dan membuka toko kain di sana. Beliau menuruti anjuran ayahnya. Bakat bisnisnya luar biasa besar. Tokonya maju pesat sampai akhirnya bisa membuat pabrik tekstil kecil-kecilan. Akhir tahun 1948 beliau menikah di Yordan dengan seorang gadis pengungsi Palestina sebatang kara yang seluruh keluarganya telah tewas dibantai Israel dan harta kekayaannya juga dirampas. Gadis Palestina itu beliau bawa ke Istanbul. Enam tahun kemudian, yaitu tahun 1954, lahirlah anak mereka yang pertama diberi nama Alia Ali Faroughi. Alia itulah ibu kandung Aisha. Empat tahun kemudian lahirlah Akbar Ali Faroughi dan jauh setelah itu, lima bekas tahun kemudian baru lahir Sarah Ali Faroughi yang sekarang menikah dengan Eqbal Hakan Erbakan. Ali Faroughi adalah pengikut setia Al-Imam Asy-Syaikh Al-Mujaddid Badiuz Zaman Sa’id An-Nursi. Ali Faroughi wafat pada tahun 1993 pada usia 73 tahun, meninggalkan tiga buah perusahaan besar. Di antara ketiga anaknya itu yang paling cerdas dan ulet adalah Alia. Dia selalu terbaik di sekolah menengah. Dia dokter terbaik lulusan Istanbul University tahun 1976 dan langsung mendapat beasiswa ke Jerman tahun itu juga. Di Jerman Alia mengambil spesialis jantung. Setelah tiga tahun di Jerman ia menikah dengan seorang muallaf Jerman namanya Rudolf Greimas, seorang pemilik swalayan. Tahun 1981 Aisha lahir. Dan tahun 1982 Alia memperoleh gelar doktornya dengan predikat summa cumlaude dan mengambil keputusan untuk tinggal dan bekerja di Jerman. Yang menyedihkan tujuh tahun yang lalu, Alia tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di sebuah jalur cepat yang berada pinggir kota Munchen, meninggalkan Aisha yang masih belia. Aku baru tahu sebenarnya Aisha telah lama kehilangan seorang ibu.
Kira-kira setengah jam sebelum azan ashar berkumandang, Sarah Ali Faroughi, memberi tahu semuanya telah siap. Aku minta tolong pada Eqbal agar bisa melihat wajah Aisha sebelum berangkat. Aku ingin mengisi kembali energi cintaku. Aku ingin menghilangkan segala galau dan melenyapkan segala pilu yang masih terasa menyelimuti hatiku. Aku tak mau tragedi Nurul menorehkan noda dalam hatiku. Aku harus melihat wajah Aisha yang sinarnya akan menerangi semua kisi dan relung hatiku. Kesejukannya akan menyiram jiwaku.
Eqbal tersenyum padaku dan menarik lenganku. Dia membawaku masuk ke sebuah kamar di sana hanya ada tiga perempuan Turki semuanya telah memaki cadar. Eqbal minta agar Aisha membuka cadarnya. Seorang perempuan yang memakai abaya paling indah perlahan membuka cadar kuning keemasannya. Perlahan wajah yang bercahaya itu tampak dan tersenyum padaku. Aku memandangnya lekat-lekat. Aku tersihir oleh pesonanya. Tanpa sadar hatiku bertasbih dan berpuisi:
alangkah manis gadis ini
bukan main elok dan ayu
calon isteriku
matanya berbinar-binar
alangkah indahnya
Setelah kurasa cukup, aku meminta Aisha memakai kembali cadarnya. Kami pun berangkat dengan menggunakan tiga sedan Mercy. Aku bersama Eqbal dan isterinya. Aisha bersama pamannya Akbar dan isterinya. Ketua Persatuan Mahasiswa Turki bersama sekjennya. Selama dalam perjalanan aku lebih banyak mengucapkan istighfar. Aku berharap saat ini keluarga di Indonesia mengirimkan selaksa doa untukku. Mereka sudah aku beri tahu detik-detik ini aku akan membuka lembaran hidup baru. Dalam perjalanan sempat aku keluarkan pertanyaan yang mengganjal pada Eqbal, “Ayah Aisha, Tuan Rudolf Greimas, bukankah masih hidup. Apakah beliau akan datang?”
“Beliau memang masih hidup tapi tidak akan datang dan Aisha juga tidak terlalu menginginkan dia datang. Yang jelas dia sudah tahu puterinya akan menikah dengan mahasiswa Indonesia. Tentang Rudolf Greimas nanti tanyakanlah sendiri pada Aisha, kenapa sampai dia tidak mengharapkan kedatangannya,” jawab Eqbal Hakan.
* * *
Tepat saat adzan ashar berkumandang kami sampai di masjid tempat akad nikah akan dilangsungkan. Sudah banyak teman-teman mahasiswa Indonesia dan mahasiswa Turki yang sampai di sana. Aisha dan dua bibinya langsung menuju lantai dua tempat jamaah wanita. Aku menyalami teman-teman. Mereka semua tersenyum dan mengucapkan selamat padaku. Usai shalat ashar acara akad nikah dimulai.
Acara dilangsungkan di depan mihrab masjid. Syaikh Ustman, Syaikh Prof.Dr. Abdul Ghafur Ja’far, Bapak Atdikbud, Eqbal Hakan Erbakan, Akbar Ali dan beberapa syaikh Mesir yang diundang Syaikh Ustman duduk dengan khidmat tepat di depan mihrab menghadap ke arah jamaah dan hadirin yang memenuhi masjid. Rupanya saat shalat Jum’at tadi telah diumumkan akan ada acara akad nikah antara mahasiswa Indonesia dan muslimah Turki, sehingga orang Mesir yang ada di sekitar masjid penasaran dan masjidpun penuh. Aku duduk di sebelah kanan Akbar Ali. Di barisan depan hadirin tampak ketua PPMI dan pengurusnya, teman-teman satu rumah, Syaikh Ahmad Taqiyyuddin, teman-teman Mesir di program pasca dan Bapak M. Saeful Anam dari bagian Konsuler KBRI yang akan mencatat kejadian penting ini untuk mengeluarkan surat nikah resmi. Rudi yang paling suka pegang tustel sibuk membidikkan kameranya. Dua orang mahasiswa Turki juga sibuk mengabdikan peristiwa bersejarah ini dengan handycam dan kamera.
Yang menjadi pembawa acara adalah Ismael Akhtar, Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Turki di Mesir. Bahasa Arab fushanya indah. Acara dibuka dengan basmalah dan pembacaan kalam Ilahi. Lalu sambutan singkat dari keluarga mempelai perempuan yang disampaikan Eqbal. Sambutan singkat dari keluarga mempelai pria oleh Syaikh Utsman. Barulah akad nikah. Pihak wali perempuan mewakilkan Syaikh Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far untuk menikahkan Aisha.
Syaikh Abdul Ghafur Ja’far, yang tak lain adalah pembimbingku menulis tesis itu maju dan duduk di tengah lingkaran. Akbar Ali dan Eqbal Hakan menuntunku maju dan duduk di hadapan Syaikh. Mereka berdua mendampingku. Pak Atdikbud juga maju, duduk di samping Syaikh sebagai saksi. Ismael Akhtar juga maju sebagai saksi. Saiful ikut maju membawakan mahar. Aku sempat melirik ke lantai dua. Aisha dan kedua bibinya serta ratusan muslimah di sana memandang ke bawah. Ke arah prosesi sakral ini dilangsungkan.
Sebelum memulai mengakad Syaikh Abdul Ghafur meminta kepada semua hadirin untuk beristighfar, mensucikan hati dan jiwa. Lalu meminta kepada semuanya untuk bersama-sama membaca dua kalimat syahadat. Aku meneteskan air mata, hatiku basah. Aku belum pernah merasakan suasana sedemikian sakralnya. Syaikh Abdul Ghafur menjabat tanganku erat, lalu mewakili wali menikahkan diriku dengan Aisha. Dan dengan suara terbata-bata namun jelas aku menjawab dengan penuh kemantapan hati:
“Qabiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkur, ala manhaji kitabillah wa sunnati Rasulillah! Aku terima nikah dan kawin dia (Aisha binti Rudolf Kremas) dengan mahar yang telah disebut, di atas manhaj kitab Allah dan sunnah Rasulullah!”
Spontan dari lantai dua terdengar wanita-wanita Mesir melantunkan zaghrudah [95] yang melengking indah. Dan Syaikh Abdul Ghafur membimbing seluruh hadirin untuk mengucapkan doa yeng telah diajarkan oleh Rasulullah Saw.:
“Baralallahu laka wa baraka alaika wa jama’a bainakuma fi khair!” [96]
Masjid pun berdengung-dengung oleh doa seluruh hadirin. Hatiku terasa sejuk sekali. Air mataku terus melelah tiada henti. Aku tiada henti mengucapkan hamdalah dalam hati. Setelah itu disambung khutbah nikah yang dibawakan Syaikh Ahmad. Khutbah yang singkat, padat, namun membuat hatiku bergetar hebat. Diakhiri dengan doa yang dipimpin Syaikh Utsman, doa yang membuat diriku lebur dalam keagungan tanda-tanda kekuasaan Tuhan.
Selesai doa, Syaikh Utsman membimbing hadirin untuk melantunkan thalaal badru, lagu kebahagiaan yang dinyanyikan kaum Anshar saat menyambut kedatangan Nabi Muhammad Saw. dan Abu Bakar Ash-Shiddiq di madinah setelah menempuh perjalanan hijrah yang panjang dan melelahkan. Para hadirin berdiri, menyalami dan merangkulku satu persatu sambil membisikkan doa barakah diiringi lantunan thalaal badru. Gerimis di hatiku tidak mau berhenti. Air mata terus saja meleleh. Aku kini telah memiliki seorang isteri. Subhanallah, wal hamdulillah, wa laa ilaaha illallah, Allahu akbar!
* * *
Seperti kesepakatan setelah akad nikah kami tidak langsung zafaf. Malam zafaf adalah setelah walimah. Dua hari lagi. Sampai rumah teman-teman menggodaku habis-habisan. Aku tanyakan pada mereka apa sudah bisa menghubungi keluarga Tuan Boutros. Belum bisa. Tidak enak rasanya jika mereka tidak menghadiri walimah nanti. Meskipun berbeda agama mereka sudah seperti keluarga sendiri.
Pukul dua belas malam teman-teman sudah tidur. Tapi aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Aku ingat banyak hal. Aku menelusuri kembali perjalanan hidupku. Sejak masih SD, jualan tape. Lalu masuk pesantren menjadi khadim Romo Kiai sambil melanjutkan sekolah di Tsanawiyah dan Aliyah milik pesantren. Dan akhirnya dengan susah payah bisa sampai Mesir. Aku menangis sendiri ditemani sepi.
Tiba-tiba handphone-ku berdering. Kulihat ada yang memanggil. Aisha! Hatiku berdegup kencang. Aku menyeka air mata dan menata perasaan. Kuangkat:
“Fahri?”
“Ya.”
“Kasihku, aku yakin kau belum tidur. Kau tidak bisa tidur. Kau pasti sedang memikirkan aku. Ya ‘kan?” Dan klik. Diputus. Aku belum sempat menjawab.
Aku gemes sekali padanya. Pada Aisha. Ia menggodaku. Kukirim sms padanya. Sebab jika kutelpon takut tidak dia angkat. Percuma.
“Aisha, aku sangat merindukanmu.” Tulisku.
“Aku sudah tahu. Bersabarlah. Allah mencintai orang-orang yang bersabar.” Jawab Aisha. Aku menghela nafas panjang. Aku ingin shalat malam.
* * *
Pagi hari, usai shalat shubuh, di masjid Al Fath Al Islami, seluruh jamaah yang mengenalku mengucapkan selamat. Rupanya Syaikh Ahmad telah memberi tahu mereka. Dan Syaikh Ahmad mengajakku ke kamarnya di belakang mihrab. Beliau memberikan kabar bahagia mengenai Noura.
Alhamdulillah kebenaran itu terkuat juga. Dari tes DNA, gen Noura tidak sama dengan gen Si Muka Dingin Bahadur dan isterinya yaitu Madame Syaima. Gen Noura justru sama dengan milik suami isteri bernama Tuan Adel dan Madame Yasmin yang kini jadi dosen di Ains Syam University yang saat itu melahirkan bayinya bersamaan harinya dengan Madame Syaima. Dan Nadia gadis yang selama ini mereka besarkan dengan penuh kasih sayang sama gennya dengan Si Muka Dingin Bahadur dan Madame Syaima. Dua bayi itu tertukar. Noura memang mirip sekali dengan Madame Yasmin dan Si Nadia mirip dengan Madame Syaima. Mereka telah menemukan orang tua masih-masing. Noura bahagia dan Nadia nelangsa. Untungnya Tuan Adel dan Madame Yasmin tetap meminta Nadia tinggal bersama mereka. Sebab Nadia telah dianggap sebagai anaknya sendiri. Si Muka Dingin Bahadur sedang diproses atas segala kejahatannya. Mendengar kabar bahagia itu aku merasa sangat bahagia. Gadis innocent yang lembut itu akhirnya benar-benar menemukan taman kebahagiaan yang selama ini hilang.
Usai dari masjid aku mengajak musyawarah teman-teman satu rumah. Tak lama lagi aku akan meninggalkan mereka. Iuran sewa rumah bulan depan aku bayar sekalian. Jadi mereka tidak bertambah beban meskipun aku tidak lagi satu rumah dengan mereka. Namun aku minta tolong kepada mereka agar bulan berikutnya sudah ada yang menggantikan aku. Teman-teman rela melepaskan aku dan mendoakan semoga hidup bahagia. Mereka minta agar aku tidak segan dan masih sering main ke Hadayek Helwan. Mereka bertanya aku akan tinggal di mana. Aku menjawab, “Belum tahu. Semua yang mengurus isteri tercinta!” Kontan mereka menyahut bareng, “Enaknya punya isteri gadis Turki yang shalehah seperti Aisha!” Aku tersenyum mendengarnya.
Pukul sembilan Paman Eqbal—setelah akad nikah aku harus memanggilnya paman—dan tiga mahasiswa Turki datang kembali dengan pick up. Hendak mengangkut semua barangku yang tersisa. Dia belum juga mau mengatakan rumah yang akan kami tempati itu di mana. “Nanti kau akan tahu juga!” jawabnya enteng.
Hari berikutnya adalah pesta walimatul ursy di Darul Munasabat Masjid Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Sejak ashar aku telah berada di rumah mahasiswa Turki yang telah berkeluarga di Hadidar Toni Street. Namanya Subhan Tibi. Isterinya bernama Laila Belardi. Mereka teman baik Paman Eqbal dan Bibi Sarah. Di rumah mereka yang letaknya kira-kira satu kilometer dari lokasi walimah, aku dan Aisha dirias ala pengantin Turki. Aisha benar-benar seperti bidadari. Tapi elok wajahnya tersembunyi di balik cadar tipis keemasan. Dan inilah untuk pertama kali kami duduk bersanding di dalam mobil mewah. Selama dalam perjalanan menuju tempat walimah aku tak berani menyentuhnya. Kelihatannya Aisha gemes melihat ketidakberanianku. Ia meletakkan tangannya di atas telapak tanganku. Dengan ragu-ragu aku memegang tangannya. Dan hatiku berdesir hebat. Itulah untuk pertama kalinya aku memegang tangan halus seorang gadis.
Pesta walimah sangat meriah. Di mulai tepat setelah ashar. Ada panggung di depan. Tempat lelaki dan wanita di pisah dengan satir. Pengantin lelaki berbaur dengan undangan lelaki dan pengantin wanita berbaur bersama pengantin wanita. Panggung yang indah itu rupanya untuk hiburan. Tim Shalawat Turki menunjukkan kebolehannya. Juga tim nasyid Indonesia. Ada juga pantomim, sumbangan dari teman-teman KSW. Tadzkirah di sampaikan oleh Dr. Akram Ridha, pakar psikologi yang juga seorang dai terkemuka di Kairo. Semua berjalan dengan sangat mengesan bagi siapa saja yang hadir malam itu.
Setelah acara berakhir, dan tamu undangan telah banyak yang pulang, Paman Eqbal membawaku ke tempat pengantin wanita. Di sana ternyata ada pelaminan yang telah dihias indah. Aisha sudah duduk manis duduk di sana. Aku diminta untuk duduk di sampingnya untuk diabadikan dalam foto dan video.
Aisha minta dipangku dan disuapi kue. Lalu minta dibopong dan digendong. Ia juga minta difoto dalam gaya-gaya dansa. Ada-ada saja. Ia sangat mesra dan manja. Tapi ia sangat tahu menjaga diri, ia tidak minta dicium saat itu. Kemesraan kami yang tak lama itu tidak ada yang melihat kecuali beberapa muslimah, Paman Eqbal dan Paman Akbar Ali. Saat adzan maghrib berkumandang dari menara masjid. Aku dan Aisha telah berada di dalam Limousin meluncur menuju tempat untuk malam zafaf. Menjadi sopir kami adalah Paman Eqbal Hakan Erbakan, isterinya Sarah duduk disampingnya dengan si kecil Hasan di pangkuannya. Di belakang kami mobil Paman Akbar Ali membuntuti. Ia bersama isterinya dan si kecil Amena. Selama dalam perjalanan kami diam tanpa bicara apa-apa namun tangan kami erat berpegangan.
Mobil kami terus melaju. Lampu-lampu telah menyala seperti bintang-bintang. Langit merah bersemburat indah. Mobil melaju diatas jalan layang yang membelah Ramsis. Terus ke Barat. Apakah Paman Eqbal akan membawa kami ke hotel? Aku tidak tahu. Semua mahasiswa Indonesia yang menikah di Cairo tidak ada yang menghabiskan malam pertama di hotel. Semuanya menghabiskan malam pertama di rumah kontrakan yang sederhana. Di depan sudah tampak sungai Nile. Kami melewati Ramses Hilton. Mobil terus melaju. Aisha menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku merasakan suasana yang sangat indah. Kami berada di atas Jembatan 6th Oktober yang menyeberangi sungai Nil. Restauran dan nigh club terapung telah menyalakan lampunya. Di depan sana agak ke selatan di tengah daratan seperti pulau di tengah sungai Nil tampak Cairo Tower menjulang tinggi. Daratan yang dikelilingi sungai Nile itu disebut daerah El-Zamalik. Kawasan yang sangat elite dan indah. Eqbal membelokkan mobil dan turun dari jembatan ke El-Gezira Street. Kami berada di daerah El-Zamalik. Mobil terus berjalan ke utara menyusuri pinggir sungai Nil. Melewati Cairo Marriot Hotel. Melewati Kedutaan Swedia. Akhirnya sampai di Muhamad Mazhar Steet. Di sebuah gedung bertingkat dua belas yang berada tepat di pinggir sungai Nile kami berhenti.
Paman Eqbal membawa kami masuk. Di dalam gedung dekat tangga naik dan lift ada dua penjaga berdasi dan membawa senapan otomatis. Paman Eqbal berbincang dengan mereka sebentar lalu menarik lenganku.
“Ini saudara saya, Fahri Abdullah dari Indonesia, dia nanti yang akan menempati flat nomor 21 bersama isterinya. Mereka berdua akan menggantikan Mr. Edward Minnich yang telah pindah bulan yang lalu.”Kata Paman Eqbal memperkenalkan diriku. Dua penjaga itu tersenyum dan menjabat tanganku sambil berkata, “Selamat datang di apartemen ini pengantin baru!” Penampilanku dan Aisha memang mudah sekali ditebak.
Kami lalu masuk lift dan naik ke lantai tujuh. Tiap lantai ada tiga flat. Flat nomor, 19, 20 dan 21 berada dalam satu lantai. Paman Eqbal membuka pintu flat nomor 21. Kami masuk. Paman Eqbal menyalakan lampu. Dan tampaklah sebuah ruangan tamu yang mewah. Lebih mewah dari rumah Bapak Atase Pendidikan di Dokki. Kami duduk di sofa yang empuk. Tak lama kemudian Paman Akbar Ali dan isterinya masuk. Mereka langsung duduk.
“Gimana pengantin baru, kalian sudah siap?” tanya Paman Eqbal sambil tersenyum.
Aku diam tidak menjawab kecuali dengan senyum.
“Baiklah Fahri, kau berbahagialah malam ini bersama isterimu. Kami tidak akan lama-lama di sini. Ini kuncinya peganglah. Dua penjaga itu yang hitam namanya Hosam dan yang kuning namanya Magdi. Kau sudah lama di Mesir jadi kau tidak akan asing berada di sini. Jika ada apa-apa telpon aku. Kami pamit dulu. Semoga umur kalian penuh berkah.” Pamit Paman Eqbal sambil berdiri dari duduknya.
“Aisha dan kau Fahri, kami juga pamit. Malam ini juga kami akan terbang ke Istanbul. Sudah tiga hari kami di sini. Nanti kalau ada waktu kami akan mengunjungi kalian,” kata Akbar Ali Faraughi, paman Aisha. Aisha memeluk pamannya dengan mata berkaca-kaca. Lalu gantian aku memeluknya, dan dia berbisik, “Jaga dia baik-baik Fahri, aku percaya padamu!”
“Insya Allah, paman. Doanya. Salam buat seluruh keluarga di Turki.” jawabku. Kulihat Aisha lalu berpelukan dengan Elena Hashim, isteri Akbar Ali. Setekah itu ia memeluk bibinya, Sarah Ali Faraughi dengan tangis pecah.
“Aisha kau sudah hidup di dunia baru. Kuatkanlah dirimu dengan takwa. Minta tolonglah kepada Allah dengan shalat dan kesabaran. Dan layanilah suamimu dengan sebaik-baiknya. Ridha suamimu adalah surgamu,” suara Bibi Sarah terdengar parau.
Mereka lalu beranjak keluar. Satu persatu meninggalkan pintu. Kami mengantar sampai di pintu. Terakhir Paman Eqbal memeluk diriku sambil berkata, “Fahri, kau tentu ingat pelajaran hadits di kuliah, Rasulullah bersabda, ‘Orang pilihan di antara kalian adalah yang paling berbuat baik kepada perempuan (isteri)nya.’ Kumohon, muliakanlah isterimu. Bawalah dia hidup di jalan yang diridhai Allah!’
“Insya Allah, doakanlah kami,” jawabku.
Tak lama kemudian mereka hilang di telah pintu lift. Kami masuk kembali ke dalam flat dan menutup pintu.
* * *
Mereka telah pergi meninggalkan kami berdua. Kami salah tingkah. Wajah Aisha merona. Tubuhku panas dingin. Kami merasa sama-sama canggung mau berbuat apa. Tapi kami merasa itulah indahnya.
“Kita belum shalat maghrib,” lirih Aisha. Ia masih berdiri tak jauh di depanku dengan wajah menunduk. Aku tersadar, waktu sudah mepet, aku harus segera memberanikan diri melakukan sesuatu. Ada sunnah Rasulullah yang harus aku amalkan ketika untuk pertama kalinya berada dalam satu kamar atau satu rumah dengan pengantinku. Aku bergerak mendekati Aisha dan menggamit tangannya.
“Kamar kita di mana, Sayang?” tanyaku pelanku.
“Sini,” jawab Aisha sambil melangkah ke sebuah kamar.
Pintu kubuka. Gelap. Lampu kunyalakan, tampaklah kamar pengantin yang berhias indah, wangi dan sangat romantis. Kuajak Aisha duduk di ranjang. Aku membaca basmalah dengan segenap penghayatan akan ke-MahaRahman-an dan ke-Maharahim-an Allah. Lalu kupegang ubun-ubun kepala Aisha dengan penuh kasih sayang sambil berdoa seperti yang diajarkan baginda Nabi,
“Allaahumma, inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa a’udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha! Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya. Amin.” [97]
Kulihat Aisha memejamkan kedua matanya dan dari mulutnya terdengar amin..amin..amin, berkali-kali. Ia sudah mengerti bagaimana memasuki malam zafaf agar pernikahan penuh berkah. Setelah itu kulanjutkan dengan doa yang diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkaar,
“Baarakallaahu likulli waahidin minna fi shaahibihi. Semoga Allah membarakahi masing-masing di antara kita terhadap teman hidupnya.”
Lalu kukecup ubun-ubunnya sambil menangis dan mengulang doa itu berkali-kali. Aisha terus mengucapkan amin..amin..amin, dengan air mata meleleh di pipinya.
Barulah kuajak Aisha untuk mengambil air wudhu dan shalat maghrib berjamaah. Setelah shalat maghrib membaca dzikir, shalat sunnah ba’diyah, membaca wirid dan doa rabithah. Menjelang Isya kuajak Aisha untuk shalat sunnah bersama sebagaimana dilakukan salafush shalih, agar pernikahan kami ini penuh barakah. Selesai shalat aku membaca doa sebagaimana diajarkan baginda nabi dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud,
“Allaahumma baarik li fi ahli, wa baarik lahum fiyya. Allaahumma ijma’ bainana ma jama’ta bikhair, wa farriq bainana idza farraqta ila khair. Ya Allah, barakahilah bagiku dalam keluargaku, dan berilah barakah mereka kepadaku. Ya Allah, kumpulkan antara kami apa yang engkau kumpulkan dengan kebaikan, dan pisahkan antara kami jika engkau memisahkan menuju kebaikan. Amin.”
Di belakangku Aisha khusyu mengucapkan amin..amin..amin, kabulkan ya Allah, kabulkan ya Allah, kabulkan ya Allah, dengan rahmat dan kasih-Mu.
Usai shalat dan berdoa aku berbalik menghadap Aisha, aku hendak mengelus kepalanya. Aisha malah mencium tanganku sambil terisak-isak. Adzan Isya berkumandang. Kupegang kepala Aisha dengan kedua tanganku. Kupandangi lekat-lekat wajahnya yang jelita. Kuseka air mata yang melelah di pipinya.
“Fahri, aku mencintaimu.” Ia mengucapkannya dengan penuh kesungguhan.
“Aku juga mencintaimu, Aisha,” jawabku sambil mengecup keningnya penuh cinta.
“Kecupan pertama yang tak akan pernah kulupa,” lirih Aisha.
“Aisha, cinta Tuhan memanggil-manggil kita. Saatnya shalat Isya. Aku ke masjid dulu untuk shalat berjamaah. Kau shalat di rumah saja ya. Dalam suasana seperti apapun shalat fardhu adalah utama.”
Dia mengangguk.
“Tapi selesai shalat langsung pulang. Jangan lama-lama di masjid. Shalat sunnahnya di rumah saja.”


18. Saat-saat Indah di Tepi Sungai Nil

Di masjid aku bertemu Magdi penjaga apartemen. Aku sangat senang ada polisi yang rajin berjamaah seperti dia. Aku berbincang dengannya sebentar. Dia ternyata sekolah menengahnya dulu di Ma’had Al Azhar, Damanhur. Dan dia bukan satpam biasa, tapi polisi khusus yang ditugaskan untuk menjaga keamanan beberapa diplomat yang tinggal di apartemen itu. Ketika kukenalkan diriku dia sangat senang sekali. Lalu aku dikenalkan pada imam masjid yang bernama Syaikh Abdurrahim Hasuna. Beliau senang sekali berkenalan denganku. Beliau bahkan mempersilakan diriku untuk melihat perpustakaan pribadinya jika aku memerlukannya. Aku senang dengan tawarannya.
Selesai shalat berjamaah dan berdzikir secukupnya aku langsung pulang. Shalat sunnah di rumah saja. Aku tak ingin Aisha menunggu lama. Usai shalat sunnah Aisha telah siap dengan penampilan yang membuat seorang suami senang. Penuh pesona. Parfumnya segar. Ia benar-benar mengerti hukum memakai parfum. Selama memakai gaun pengantin di acara walimah, ia sama sekali tidak memakai parfum. Justru ketika di rumah berduaan denganku ia memakainya.
Aisha mengajakku ke balkon. Ia telah mempersiapkan segalanya. Isteri yang baik. Lampu balkon ia matikan. Kaca riben menutup balkon rapat.
“Ini kaca khusus, aman dari pandangan luar tapi tidak mengurangi jernihnya kita memandang keluar, bahkan menambah kejernihan pandangan di malam hari. Kalau mau kita juga bisa membuka kaca ini.” Kata Aisha sambil seluruh menyibak sebagian gorden yang masih menutupi balkon. Dan tampaklah panorama sungai Nil malam hari.
Posisi balkon rumah kami sangat strategis. Tepat menghadap ke sungai Nil Dari ketinggian lantai tujuh kami bisa melihat kerlap-kerlip lampu gedung-gedung nun jauh di sana. Kami bisa melihat indahnya riak sungai Nil tertimpa cahaya lampu kota. Gemerlap lampu-lampu hias dari perahu-perahu kecil yang bergerak pelan. Mobil-mobil yang seperti semut di sepanjang kornes Nil sana. Pesona Cairo Plaza Tower yang menjulang megah. Juga Imbaba Brige, salah satu jembatan terpenting yang melintas di atas sungai Nil.
Apartemen di mana kami berada memang terletak di ujung utara pulau di tengah sungai Nil. Inilah salah satu keindahan kota Cairo. Kota Cairo dibelah oleh sungai Nil yang mengalir dari selatan ke utara. Dan di tengah kota Cairo sungai Nil ini terbelah menjadi dua, di mulai dari selatan di dekat Tahrir dan kembali menyatu di dekat Imbaba. Daratan mirip pulau Samosir berbentuk pisang yang berada ditengah belahan sungai Nil ini terbagi dua kawasan, yang selatan disebut El-Gezira dan yang utara di sebut El-Zamalik. Di daratan—yang aku lebih suka menyebut pulau di tengah sungai Nil—ini berdiri bangunan-bangunan penting. Di ujung selatan berdiri hotel mewah Gezira Sheraton dan El-Burg. Juga Cairo Opera House, Cairo Tower, Egyptian Civilization Musium, National Sporting Club dan Nile Aquarium and Grotto ada di pulau ini. Sekali lagi aku lebih senang menyebutnya pulau. Di dekat 26 July Bridge yang melintas di atas pulau ini berdiri Cairo Marriott Hotel yang mewah. Beberapa kedutaan negara asing seperti Jerman, Belanda, Swedia, Albania, Argentina, Pakistan dan lain sebagainya ada di pulau ini. Di ujung utara, tak terlalu jauh dari aparteman kami berdiri President Hotel. Memang sangat nyaman menghabiskan malam di tempat yang nyaman dan romantis seperti ini.
Di balkon, ada kursi malas khas Mesir yang sangat nyaman untuk bermesraan berdua. Orang-orang menyebutnya kursi Cleopatra. Ada dua bantal di atasnya. Di sampingnya ada meja kayu kecil di mana Aisha meletakkan dua gelas susu. Mula-mula kami berdua duduk biasa. Kami masih canggung. Kami salah tingkah. Kami tak tahu dari mana kami mulai. Tak sepatah kata pun keluar menjadi perantara. Tak terasa keringat dingin malah mulai keluar. Ada rasa gelisah yang entah menyusup dari mana. Mungkin Aisha mengalami hal yang sama. Tak mungkin dia yang memulai.
Aku mencoba menghilangkan kegelisahan dan kecanggunganku dengan mengambil minuman yang dibuat Aisha. Kucicipi sedikit.
“Kenapa susunya rasanya asin seperti diberi garam ya?” Pelanku pada Aisha.
“Be..benarkah?” Aisha sedikit kaget.
“Iya. Coba kau rasakan!”
Aisha mengambil gelas dari tanganku dan merasakannya.
“Ah, manis. Tidak asin,” katanya.
Gelas itu kembali kuminta dan kurasakan.
“Sayang, asin begini kok dibilang manis. Mungkin bukan gula yang kau masukkan tapi garam. Coba kau rasakan lagi!” Aisha kembali mencicipi. Dia memandangku dengan sedikit heran.
“Ini manis Fahri, tidak asin!”
“Aishaku sayang ini asin! Cobalah julurkan lidahmu dan masukkan ke dalam minuman itu. Lalu rasakanlah dengan seksama. Pasti kau akan merasakan asinnya. Kau terlalu sedikit mencicipinya. Lidahmu mungkin kurang peka.”
Aisha menuruti kata-kataku. Ia menjulurkan lidahnya ke dalam gelas. Sesaat lidahnya seperti mengaduk-aduk air susu di dalam gelas itu.
“Tidak Fahri, tidak asin! Lidahmu yang mati rasa, bukan lidahku!” Suaranya terdengar lebih tegas.
“Benarkah? Coba!”
“Nih.”
Aku lalu meminumnya sampai tiga teguk.
“Hmm..setelah lidahmu menyentuhnya dan mengaduk-aduknya, minuman ini jadi manis sekali. Belum pernah aku meminum minuman semanis ini. Memang benar sabda nabi jika seorang bidadari di surga meludah ke samudera maka airnya akan jadi tawar rasanya. Dan lidahmu mampu merubah susu yang asin ini jadi manis, Bidadariku.”
“Sialan kau Fahri, kau mengerjaiku ya!” seru Aisha sambil mencubit pahaku manja.
Suasana jadi cair dan romantis. Rasa canggung pun hilang.
Aisha menyandarkan kepalanya ke dadaku. Aku beringsut merubah posisi duduk. Kupasang bantal di kepala dan kurebahkan tubuhku ke sandaran kursi yang dilapisi busa empuk . Kutarik tubuh Aisya rebahan di dadaku. Aku bebas membelai-belai rambutnya atau memeluknya. Di langit sana bintang-bintang kedap-kedip seperti mata para bidadari yang mengerling cemburu kepada kami. Hati terasa sejuk dan bahagia. Inilah yang membedakan yang halal dan yang haram. Bermesraan dengan perempuan yang halal, istri yang sah, adalah ibadah yang dipuji Tuhan. Sedangkan bermesraan dengan perempuan yang tidak halal adalah dosa yang dilaknat Tuhan.
Tuhan telah membukakan pintu-pintu kenikmatan yang mendatangkan pahala, maka alangkah bodohnya manusia yang menyia-nyiakannya. Lebih bodoh lagi yang memilih pintu dosa dan neraka.
Sambil memandang keindahan panorama sungai Nil malam hari, tanpa kuminta Aisha mulai bercerita tentang dirinya, ibunya dan ayahnya,
“Kurasa ibuku adalah wanita paling mulia di dunia. Ia muslimah sejati yang menempatkan ibadah dan dakwah di atas segalanya. Dan aku sangat beruntung terlahir dari rahimnya. Ketika berumur 22 tahun ibuku menjadi lulusan terbaik fakultas kedokteran Universitas Istanbul. Saat itu beliau dilamar anak pejabat yang menjanjikannya akan membuatkan rumah sakit terbesar di Turki. Tapi beliau tolak, sebab anak pejabat itu sangat sekuler dan sama sekali tidak menghargai ajaran agama. Dalam padangan beliau, seandainya menikah dengannya sangat sedikit sekali peluang untuk menariknya ke jalan yang lurus hanya akan membuang tenaga. Beliau memilih mengambil beasiswa ke Jerman. Dalam keyakinan ibu, menekuni bidang ilmu dengan serius adalah dakwah. Dalam waktu dua tahun beliau mampu meraih gelar master untuk spesialis jantung. Padahal master di Jerman rata-rata empat tahun. Saat itu juga beliau diterima bekerja di sebuah rumah sakit di Munchen sambil meneruskan program doktor. Di Turki, pinangan untuk ibu silih berganti berdatangan dari kolega dan kenalan bisnis kakek. Tapi ibu ingin pernikahannya ada nilai dakwahnya. Ibu ingin mendapatkan kehormatan yang lebih baik dari terbitnya matahari, yaitu menjadi sebab datangnya hidayah bagi seseorang.
Ibu pernah berkunjung ke Swiss dan berkenalan dengan Wafa Al Banna, puteri Hasan Al Banna yang saat itu tinggal di sana bersama suaminya Dr. Said Ramadhan. Sebuah perkenalan yang berarti bagi ibu untuk semakin mantap menapak di jalan dakwah. Berislam, menurut ibu tidak berarti harus memusuhi Barat. Tetapi justru memperjuangkan Islam lewat Barat. Ibu seringkali bertanya pada orang-orang muslim di Eropa, di Jerman khususnya, ‘Apa kontribusi yang telah diberikan seorang muslim di Barat untuk dunia?’
Akhirnya pada tahun 1979 ada seorang konglomerat pemilik swalayan di beberapa kota besar di Jerman mendatangi Islamic Centre dan menyatakan ketertarikannya kepada Islam. Ia tertarik kepada Islam karena hukum keluarga dalam syariat Islam yang indah. Yang mengatur sedemikian detil hak dan kewajiban suami isteri. Dalam syariat Islam peselingkuhan adalah dosa besar. Dan syariat telah memberikan pagar yang kuat yang jika pagar itu tidak dilanggar maka tidak akan ada perselingkuhan yang merusak tatanan keluarga dan masyarakat. Konglomerat itu sangat tertarik dengan itu semua. Dia secara materi memang cukup tapi batinnya kering. Dia telah menikah dengan tiga orang wanita Eropa tapi semuanya berselingkuh dan perkawinannya dengan mereka selalu gagal. Dia ingin seorang isteri yang setia. Dia ingin membuktikan apakah benar wanita muslimah adalah wanita yang setia. Dia siap masuk Islam jika ada seorang muslimah yang bersedia jadi isterinya yang setia. Mendengar hal itu ibu langsung menyatakan kesediaannya menikah dengan lelaki setengah baya itu. Umur ibu saat itu 25 tahun dan umur lelaki itu 45 tahun. Terpaut 20 tahun. Jadi konglomerat itu lebih pantas menjadi ayah ibu. Banyak orang menyayangkan keputusan ibu. Aku sendiri, seandainya jadi ibu tidak akan sekuat itu. Keluarga di Turki hampir semua tidak setuju kecuali nenek. Wanita asli Palestina itu satu-satunya yang justeru setuju. Demi dakwah, nyawa pun dipertaruhkan, kata nenek saat itu. Akhirnya kakek merestui juga. Jadilah ibu menikah dengan konlomerat itu. Fahri, apakah kau tahu siapa konglomerat itu?”
Aku membelai rambut Aisha. Sesekali mengecup kepalanya. Bau rambutnya yang hitam sangat khas dan wangi. Aku belum pernah mencium bau seperti rambut Aisha.
“Fahri, kenapa kau diam saja? Kau mendengarkan ceritaku apa tidak?” Aisha merajuk manja.
“Mendengarkan dengan seksama.Konglomerat ibu, kukira adalah ayahmu, Tuan Rudolf Greimas?”
“Benar.”
“Nama ayahmu mengingatkan aku pada seorang tokoh?”
“Siapa dia?”
“AJ. Greimas, filsuf strukturalis Perancis. Ada hubungan darah dengannya?”
“Tidak. Ayah bahkan aslinya berdarah Tunis. Kakek ayah lahir di Tunisia. Namanya Omar. Jadi nama ayah lengkapnya Rudolf Greimas Omar.”
“Jadi semestinya sebutan untuk ayahmu adalah Rudolf Omar. Omar dijadikan nama keluarga. Bukan Greimas.”
“Semestinya begitu, tapi entahlah ayah tidak mau. Ibu pernah menggugat masalah itu. Tapi ayah tak menanggapinya.”
“Terus bagaimana kisah ibumu dengan ayahmu setelah menikah. Apakah tujuan ibumu untuk berdakwah berhasil?”
“Dalam penilaianku ibu berhasil. Setelah menikah dengan ayah, beliau memberikan semua yang dimilikinya pada ayah. Dalam diri ibu, ayah mendapatkan segala yang diinginkan seorang suami pada isterinya, seorang kekasih pada pacarnya, seorang lelaki pada wanita, dan seorang yang haus pada penawar dahaganya. Ayah mengakui ibu adalah wanita terbaik, isteri terbaik dan teman terbaik yang beliau miliki. Akhirnya ayah tekun beribadah dan tidak malu menampakkan identitas kemuslimanannya. Banyak pekerja swalayannya yang tertarik kepada Islam dan masuk Islam. Dengan itu semua ibu mampu menyalurkan dana untuk lembaga dakwah di Jerman. Tahun 1981, dua tahun setelah menikah, ibu melahirkan aku. Ayah sangat gembira sekali. Tiga isterinya terdahulu tidak memberinya apa-apa selain pengkhianatan. Sebagai hadiah ayah membuatkan klinik kesehatan di sebuah kawasan elite kota Munchen untuk ibu. Ibu tentu saja senang. Dan beliau meminta agar kepemilikan klinik bersalin itu atas namaku. Ayah setuju. Tahun berikutnya ibu meraih gelar doktor untuk spesialis jantung dengan predikat tertinggi. Beliau langsung diminta mengajar di Universitas Munchen.
Sejak itu, menurut cerita ayah, sejak itu ibu sangat sibuk. Tapi ibu mampu mengatur waktu dengan baik. Mengasuh aku, mengurus suami, mengurus klinik, menjadi wakil direktur rumah sakit, dan mengajar di universitas. Tidak hanya itu ibu masih bisa menyempatkan waktu untuk mengadakan penelitian di laboratorium. Hasilnya adalah, beliau menemukan tiga jenis obat yang sangat berguna bagi dunia kedokteran. Tiga jenis obat itu telah dipatenkan atas nama ibu dan kini digunakan di seluruh dunia.
Dalam keadaan sesibuk itu, ibu masih sangat perhatian pada ayah. Bagi ibu ayah adalah segalanya. Ayah adalah cintanya yang pertama dan terakhir. Ini tentu membuat ayah merasa tersanjung bukan main. Jika suatu ketika ayah mengadakan pertemuan dengan koleganya, banyak koleganya yang iri pada ayah yang memiliki seorang isteri yang cantik, masih muda, berpendidikan tinggi, dan sangat setia. Ayah sendiri yang menuturkan hal ini padaku. Ibu tidak pernah menuntut atau meminta sesuatu pada ayah. Dan semua keinginan ayah jika ibu mampu, dan selama tidak melanggar syariat ibu pasti akan memenuhinya. Bagi ibu memuliakan suami adalah dakwah paling utama bagi seorang isteri.
Hasilnya, ayah seringkali menjadi pembela kepentingan kaum muslim di Jerman. Ayah juga memberikan beasiswa untuk mahasiswa muslim yang belajar di Jerman. Banyak mahasiswa muslim yang meraih doktornya di Jerman dengan tunjangan beasiswa dari ayah. Dan mereka saat ini memiliki peran-peran signifikan di negaranya. Kalau boleh aku mengatakan, secara tidak langsung itu semua adalah atas keikhlasan hati ibu mewakafkan dirinya di jalan dakwah. Kalau seandainya ibu mau menikah dengan ayah karena materi, maka ibu sendiri tidak kekurangan materi. Ketika ibu menikah dengan ayah, perusahaan kakek di Turki telah maju pesat. Perusahaan garmennya telah mengisi pasar di seluruh penjuru Timur Tengah dan Asia Selatan. Dan ibu mampu untuk mencari suami yang lebih muda dan lebih kaya dari ayah di Turki. Tapi pertimbangan ibu pada waktu itu adalah konstribusinya di jalan dakwah. Itu yang aku kagumi dari ibu dan aku tidak akan mampu menirunya. Aku tidak mungkin mau menikah dengan seorang lelaki yang telah tiga kali kawin cerai dan umurnya 20 tahun lebih tua dariku. Ayah sangat beruntung sekali memperistri ibu.”
“Bagaimana kau tahu begitu banyak tentang ibumu, tentang pikirannya dan lain sebagainya padahal kau masih belia saat ibumu meninggal?”
“Sebagian aku tahu dari apa yang kulihat dan kudengar dari ibu. Sebagian dari paman Akbar, dari nenek, dari bibi Sarah, dari ayah, dan dari beberapa muslimah di Jerman yang menjadi teman baik ibu serta dari belasan diary ibu. Ibu orang yang paling suka mencurahkan isi hatinya, dan hari-hari yang dialaminya ke dalam diarynya.”
“Aku jadi sangat kagum pada ibumu.”
“Seandainya dia masih hidup kau akan sangat bahagia bertemu dengannya. Dia tumbuh di Turki, memperoleh pendidikan tinggi dan berkiprah di Jerman, tapi dia tetap titisan perempuan Palestina. Jiwanya jiwa pejuang sejati.”
“Kalau ayahmu, masih ada?”
“Masih.”
“Kenapa dia tidak datang?”
“Inilah yang ingin aku ceritakan. Ayahku sekarang tidak seperti ayah waktu ibu masih hidup.”
“Maksudmu?”
“Aku sedih setiap kali mengingatnya. Ayah telah rusak kembali seperti sebelum menikah dengan ibu. Ia telah meninggalkan Islam dan suka bergonta-ganti pasangan hidup.”
“Bagaimana hal ini bisa terjadi?”
“Mulanya adalah kecelakaan yang menewaskan ibu pada tahun 1995. Saat itu hujan lebat, ibu pulang dari mengisi seminar keislaman di pinggir kota Munchen. Dia mengendarai mobil sendiri. Ada mobil melaju kencang di belakang ibu. Mobil itu selip dan menambrak mobil ibu. Mobil ibu terbalik dan terlempar lima meter dari ruas jalan. Ibu meninggal seketika. Saat itu umurku baru empat belas tahun. Mendengar kabar itu ayah sangat terpukul. Ayah merasa kehilangan cahaya hidupnya dan kehilangan segalanya. Berbulan-bulan lamanya ayah linglung. Untung paman Akbar Ali mengetahui kondisi yang tidak baik bagiku ini. Beliau akhirnya mengambilku dan menitipkan pada sahabat karib ibu waktu di Istanbul yang tinggal di Zurich, Swiss. Juga seorang dokter. Namanya Khaleda. Aku memanggilnya Madame Khaleda. Kebetulan beliau tidak memiliki anak. Beliau mencurahkan segala kasih sayangnya padaku. Munchen-Zurich tidak jauh. Ayah sering menengok aku. Dan Madame Khaleda juga sering mengajakku menengok ayah. Aku melanjutkan pendidikan di Zurich. Sementara ayah masih belum bisa menerima kenyataan yang dialaminya sampai dua tahun setelah itu.
Lalu ada sebuah peristiwa kecil yang menggoncang iman ayah. Pada tahun 1997 ayah mengunjungi keluarga di Turki. Saat itu bibi Sarah kebetulan sedang pulang berlibur dari Mesir. Bibi Sarah memang sangat mirip dengan ibu. Ayah melihat bibi Sarah seperti melihat ibu. Saat itu umur bibi Sarah tepat 24 tahun. Dan saat ibu menikah dengan ayah tahun 1979 umurnya 25 tahun. Jadi ayah seolah melihat ibu ketika baru menjadi isterinya dulu. Seketika itu juga ayah melamar bibi Sarah untuk dijadikan isteri menggantikan ibu. Sebelumnya ayah memang tidak pernah melihat bibi Sarah. Waktu ayah sering berkunjung berkunjung ke Turki awal-awal delapan puluhan bibi Sarah masih ingusan. Dan ketika berjumpa dengan bibi tahun 1997, bibi telah menjelma menjadi gadis dewasa yang matang dan telah menyelesaikan Licencenya di Al Azhar. Wajahnya, suaranya dan lemah lembutnya sangat mirip dengan ibu. Ayah benar-benar tergila-gila pada bibi Sarah. Ayah menganggap bibi Sarah adalah reinkarnasi ibu. Saat itu ayah sudah 63 tahun, sama dengan umur baginda Nabi saat meninggal dunia.
Dengan tegas bibi menjawab tidak bisa menerima lamaran ayah. Dan itu sangat masuk akal. Bagaimana mungkin bibi mau menikah dengan seorang kakek-kakek. Jawaban bibi ternyata tidak bisa dimaklumi ayah. Ayah merasa direndahkan dan tidak dihargai. Ayah merasa orang yang terhormat di Jerman. Belum pernah ditolak wanita. Menurut ayah seharusnya bibi Sarah yang telah belajar di Al Azhar seperti ibu. Bersedia menjadi isteri ayah dan mencari suami tidak memandang umur. Tapi memandang prospek dakwah dan pengabdian seperti ibu. Bibi membantah anggapan ayah itu, pintu dakwah terbuka lebar-lebar di mana saja. Prospek dakwah tidak hanya dengan menikah dengan ayah yang telah renta. Ayah sangat terpukul dengan jawaban bibi.
Sebagai pelariannya, tanpa pikir panjang, ayah menikah dengan siapa saja yang mau menikah dengannya. Keislaman ayah ternyata belum kuat meskipun telah hidup 16 tahun bersama ibu. Lama-lama karena hidup sering berganti pasangan hidup keislamanannya luntur. Dan tahun 1999 beliau menikah dengan seorang gadis di sebuah gereja di Yunani. Itu terjadi tepatnya dua bulan setelah aku kembali ke Jerman. Madame Khalida kembali ke Turki saat aku selesai sekolah menengahku. Beliau menyarankan agar aku melanjutkan kuliah di Jerman sambil menjaga ayah yang sudah tua. Aku sangat sedih mendapati ayah yang sangat lain dengan yang kukenal dulu. Beliau tidak lagi menyayangiku seperti dulu. Beliau lebih bersikap acuh tak acuh. Aku berusaha mengembalikan ayahku yang hilang. Tapi usaha kerasku kelihatannya tidak akan membuahkan hasil. Pernikahan itu tidak berumur panjang.
Akhirnya ayah menikahi seorang janda setengah baya berambut pirang bernama Jeany. Janda ini pandai sekali mengambil hati ayah. Sekuat tenaga dia mempertahankan perkawinannya dengan ayah. Ia menginginkan harta ayah. Di luar sepengetahuan ayah Jeany memiliki teman kumpul kebo di Stuttgart. Setiap kali aku mengingatkan baik-baik hal ini ayah marah besar. Ia menuduhku hendak merusak hubungannya dengan Jeany. Ayah sudah melupakan ibu sama sekali sejak ditolak oleh bibi Sarah. Semua permintaan Jeany dituruti oleh ayah. Ayah bahkan sudah membuat wasiat di notaris jika ia mati semua aset kekayaan yang tertulis atas namanya akan menjadi hak Jeany. Ayah memang tergila-gila pada Jeany. Untungnya klinik, empat swalayan di Munchen dan Hamburg, pabrik farmasi, dan rumah mewah yang saat ini ditempati ayah telah diatasnamakan diriku oleh mendiang ibu. Jeany terus berusaha agar semua harta yang telah teratasnamakan diriku bisa jadi miliknya. Dia menggunakan cara yang tidak sehat dan sangat memusuhiku. Dalam kondisi yang sedemikian tidak nyamannya aku tetap berusaha bertahan, demi bakti seorang anak pada ayahnya. Meskipun ayah tidak lagi satu iman denganku. Aku ingin menjadi anak ibu yang shalihah yang berbakti pada ayahnya.
Dari perkawinannya dengan suami pertama, Jeany memiliki seorang anak lelaki bernama Robin. Dia mengajak Robin tinggal di rumah mewah itu. Dan ayah menyetujuinya meskipun aku tidak setuju. Sejak Robin tinggal satu rumah denganku aku merasa seperti di neraka. Diam-diam Jeany merancang agar aku menikah dengan Robin, yang dituju adalah segala aset kekayaan yang kini atas nama diriku. Aku jelas tidak mau. Tapi Robin terus mengejarku. Terkadang dia agak keterlaluan. Misalnya tiba-tiba masuk kamarku saat aku sedang belajar. Tentu saja aku tidak sedang memakai jilbab. Aku sangat marah padanya. Kelakuannya kuadukan pada ayah. Tapi ayah sama sekali tidak membelaku. Ayah bukan ayah yang kukenal dulu. Aku tetap bertahan. Di hari tua ayah, aku ingin tetap berada di samping ayah.. Sejak itu aku selalu mengunci kamarku untuk berhati-hati.
Tapi Robin sungguh keterlaluan. Entah bagaimana caranya dia bisa memasang kamera di kamar mandiku. Suatu malam dia menghadiahkan kaset itu padaku. Langsung aku putar kaset itu. Betapa terperanjatnya aku melihat apa yang dilayar kaca. Yang kulihat adalah diriku sedang gosok gigi dan mandi. Aku sangat marah pada Robin, aku merasa harga diriku diinjak-injak.
Untungnya, Allah Swt masih menyelamatkan kehormatanku. Dalam rekaman itu, aurat paling aurat yang kumiliki sama sekali tidak terbuka. Tertutup rapat. Untuk itu aku sangat berterima kasih kepada ibu dan nenek. Sejak kecil ibu mengajariku agar memiliki rasa malu kepada Allah melebihi rasa malu pada manusia. Ibu menanamkan sejak kecil untuk tidak telanjang bulat di manapun juga. Meskipun sedang sendirian di kamar tidur atau kamar mandi. Jika mandi ibu mengajarkan untuk tetap memakai basahan. Orang-orang pilihan, kata ibu, jika mandi tetap memakai basahan, tidak telanjang bulat. Ibu berkata, ‘Jika kita malu aurat kita dilihat orang, maka pada Allah kita harus lebih merasa malu.’
Menurut cerita ibu, dan ibu dari dari nenek, di zaman nabi dulu, ketika nabi tahu ada orang mandi tidak memakai sarung, beliau langsung naik mimbar dan menyuruh umatnya untuk menutup aurat ketika mandi.
Alhamdulillah sejak sebelum akil baligh aku telah terbiasa untuk mandi dengan tetap memakai basahan yang menutup aurat atas dan aurat bawah. Dan memang inilah tradisi perempuan di keluarga kami, keluarga Palestina. Nenek mendapatkan ajaran seperti itu dari ibunya. Lalu nenek mengajarkan pada anaknya. Dan anaknya mengajarkan pada anaknya. Nenek, ibu, bibi Sarah dan aku, tidak akan bisa mandi tanpa basahan. Malu rasanya.
Yang terekam oleh kamera Robin adalah aku menggosok gigi dan mulai mandi. Durasinya hanya sepuluh menit setelah itu putus. Mungkin kaset perekamnya habis. Aku bersyukur kepada Allah atas perlindungannya. Sebab satu jam setelah mandi itu aku buang air kecil. Jika kegiatan sangat pribadi seperti itu terekam, aku akan merasa menjadi wanita paling malang di dunia. Kejahatan Robin aku laporkan ke polisi. Polisi langsung mengusut dan menahannya. Tindakannya termasuk kriminal serius. Dia dijebloskan ke dalam penjara. Namun satu minggu kemudian dia keluar. Ternyata justru ayah yang membebaskannya dengan tebusan dan jaminan atas permintaan Jeany.
Sejak itu aku sangat marah pada ayah. Jika ayah mencintai mendiang ibu, semestinya dia melindungi anak gadisnya. Bukan malah membebaskan seorang bajingan yang mencoba membuka aurat anak gadisnya. Aku merasa sudah tidak perlu lagi tinggal bersama mereka. Diriku bisa binasa. Aku hengkang dari rumah dan menyewa flat di dekat kampus dan sejak itu tidak pernah lagi menginjak rumah itu. Tapi rumah itu tidak mungkin kubiarkan jatuh ke tangan Jeany. Sebetulnya aku bisa saja mengusir mereka semua. Tapi itu sama saja aku mengusir ayah. Aku tidak mau itu. Nanti, jika tiba saatnya rumah itu akan kembali jadi rumah yang enak disinggahi. Aku menghabiskan masa kecil bersama ibu di sana. Sekarang aku hanya bisa berdoa semoga Allah kembali memberikan hidayah-Nya kepada ayah.”
Aku mengelus pipi Aisha yang basah.
“Maafkan aku Fahri, suasananya jadi sedih.”
“Sekarang aku ini adalah dirimu Aisha, bukan orang lain. Tapi aku merasa sangat cemburu sekali.”
“Kenapa?”
“Robin itu. Ingin sekali aku menghajarnya.”
“Terima kasih Fahri, love is never without jealousy. Cinta selalu disertai rasa cemburu. Tanpa rasa cemburu cinta itu tiada. Kau memang suami yang kuidamkan!”
* * *

Malam merambat begitu cepat.
“Jam berapa sekarang, Sayang?” tanyaku pada Aisha.
“Mungkin jam setengah sebelas,” jawabnya sambil menggeliat dan bangkit.
“Sudah malam sudah waktunya kita masuk ke dalam, yuk!” sambungnya sambil menarik tanganku. Aku bangkit menuruti ajakan Aisha. Sekilas kulayangkan pandangan keluar. Kornes Nil masih ramai. Mobil-mobil masih banyak yang lalu lalang dengan sorot lampu seperti cahaya meteor.
Aisha mengajakku masuk kamar pengantin yang semerbak wangi. Kami di tepi ranjang. Aku puas-puaskan menikmati keelokan wajahnya. Kedua matanya sangat indah. Kami berpandangan saling menyelami. Terngiang dalam diri sabda Nabi,
Sebaik-baik isteri adalah jika kamu memandangnya membuat hatimu senang, jika kamu perintah dia mentaatimu, dan jika kamu tinggal maka dia akan menjaga untukmu harta dan dirinya. [98] I
“Aisha, kau cantik sekali, memandang wajahmu sangat menyenangkan!” lirihku.
Aisha tersenyum sambil melingkarkan kedua tangannya di leherku.
“Fahri, kau pria terbaik yang pernah kutemui, kaulah cinta pertama dan terakhirku. Aku punya sebuah puisi untukmu. Maukah kau mendengarnya?”
Aku menganggukkan kepala. Kuperhatikan dengan seksama gerak bibirnya. Apa yang akan diucapkannya. Dia malah diam lama sekali lalu tersenyum. Aku gemes dibuatnya.
“Dengarlah baik-baik Kekasihku, jangan sampai ada satu huruf yang terlewatkan. Puisi ini lebih berharga dari dunia ini seisinya. Kehilangan satu huruf saja kau akan sangat menyesalinya:
agar dapat melukiskan hasratku, kekasih,
taruh bibirmu seperti bintang di langit kata-katamu,
ciuman dalam malam yang hidup,
dan deras lenganmu memeluk daku
seperti suatu nyala bertanda kemenangan
mimpikupun berada dalam
benderang dan abadi [99]
Aisha luar biasa romantisnya. Kupandangi lekat-lekat wajahnya sambil terus memuji keagungan Tuhan. Hasrat yang terlukis diwajahnya dapat kubaca dengan jelas. Dengan suara pelan kubalas puisinya:
alangkah manis bidadariku ini
bukan main elok pesonanya
matanya berbinar-binar
alangkah indahnya
bibirnya,
mawar merekah di taman surga
Kami lalu memainkan melodi cinta paling indah dalam sejarah percintaan umat manusia, dengan mengharap pahala jihad fi sabilillah, dan mengharap lahirnya generasi pilihan yang bertasbih dan mengagungkan asma Allah Azza wa Jalla di mana saja kelak mereka berada.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Seakan-akan bidadari itu seperti permata Yajut dan marjan.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula. [100]


19. Rencana-rencana

“Aisha, berapa hari kita akan tinggal di flat mewah ini, dan setelah itu kita akan tinggal di mana?” tanyaku pada Aisha setelah shalat Dhuha. Dia belum memberi tahu rumah yang disewa untuk hidup berdua.
“Menurutmu, flat di pinggir Nil seperti ini nyaman apa tidak?” Aisha malah balik bertanya.
“Nyaman.”
“Aman tidak?
“Aman.”
“Kondusif tidak untuk belajar, menulis atau menerjemah?”
“Sangat kondusif.”
“Kalau begitu aku ingin tinggal di flat ini selama ada di Cairo, Sayang.”
Mendengar jawaban Aisha itu aku bagaikan disambar geledek. Kaget bukan main. Dari mana aku akan mendapatkan biaya untuk menyewa flat yang sangat mewah ini. Meskipun aku baru melihat ruang tamu, kamar utama, balkon dapur dan kamar mandi dan belum melihat kamar-kamar yang lain tapi flat ini sangat mewah. Kamar utamanya saja yang kini jadi kamar pengantin tak kalah mewahnya dengan kamar Sheraton Hotel yang pernah kulihat saat menemui seorang anggota DPR yang sedang melakukan lawatan di Cairo. Ruang tamunya lebih mewah dari ruang tamu rumah Bapak Atdikbud. Berapa sewanya perbulan? Rumah Pak Atdikbud saja yang letaknya di Dokki harga sewanya katanta tak kurang dari enam ribu pound perbulan. Dan flat mewah ini yang terletak di pinggir sungai Nil bisa tiga kali lipat mahalnya. Delapan belas ribu pound atau sekitar lima ribu dollar perbulan. Bahkan bisa lebih. Itu adalah honor menerjemah mati-matian selama dua tahun full. Tiba-tiba aku merasa sangat malang. Aku tidak mungkin bisa memenuhi permintaan Aisha. Aku sangat sedih. Air mataku meleleh.
“Kenapa kau menangis Sayang?”
Aku menjelaskan semuanya pada Aisha yang bergolak dalam hatiku. Aku sangat mencintainya. Tapi aku tidak akan mampu menuruti keinginannya. Kujelaskan kembali siapa diriku dan sebatas mana kemampuanku. Aisha malah menangis.
“Suamiku, alangkah celakanya aku kalau sampai aku membuatmu sedih. Kalau sampai aku meminta sesuatu yang di luar kemampuanmu. Alangkah celakanya diriku. Suamiku, kita akan tinggal di sini tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun kecuali biaya listrik, gas, air, keamanan, dan kebersihan. Hanya itu yang akan kita keluarkan perbulan. Tidak lebih?”
“Maksudmu kita tinggal di sini gratis?”
Aisha menganggguk.
“Aku tak bisa kita tinggal atas belas kasih orang lain Aisha.”
“Apakah bagimu aku orang lain suamiku?”
“Jadi kau yang membayar sewanya Aisha. Tidak bisa Aisha, itu akan sangat menyiksa diriku?”
“Bukan aku yang membayarnya suamiku.”
“Lantas siapa?”
“Tak ada yang membayarnya.”
“Itu namanya gratis, dan aku tidak mau kita tinggal di rumah orang lain gratis.”
“Meskipun rumah itu rumah milik isterimu, dan isterimu adalah milikmu?”
“Apa maksudmu Aisha, aku jadi bingung.”
Aisha bangkit dari sajadah dan menarik lenganku. Dia membawaku memasuki kamar di samping kamar utama. Lihatlah isi kamar ini. Ini adalah perpustakaan dan ruang kerjamu. Aku melihat kamar dengan kitab-kitab dan buku-buku yang tersusun rapi. Kitab-kitab itu aku mengenalnya. Itu kitab-kitabku. Juga ada komputer di dekat jendela. Itu komputer bututku. Aku mendekati jendela, menyibak gordennya dan melongok. Panorama sungai Nil di waktu dhuha sangat indahnya.
“Di sinilah insya Allah kau akan menulis tesismu, menerjemah dan menghasilkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi umat. Dan aku akan menjadi pendampingmu siang malam. Suamiku, flat ini dibeli oleh ibuku dua tahun sebelum beliau meninggal. Ketika beliau diminta mengajar di Fakultas Kedokteran Cairo University selama tiga semester. Waktu itu aku baru berumur sebelas tahun. Selama enam bulan kami tinggal di rumah ini. Dan kamar yang kita jadikan perpustakaan ini adalah kamar tidurku waktu itu. Setelah kami kembali ke Jerman, rumah ini disewakan kepada home staff Kedutaan Jerman. Yang terakhir menyewa adalah Mr. Edward Minnich, Atase Perdagangan. Apartemen ini memang dihuni oleh orang-orang penting. Tepat di bawah kita adalah pejabat kedutaan Argentina. Di atas kita sutradara terkemuka Mesir. Di samping kita, flat nomor 20, pemilik Wadi Nile Travel.”
Aku baru mengerti. Dan aku tidak tahu apa yang kurasakan dalam hati. Bagaimana gegernya teman-teman mahasiswa nanti mengetahui di mana aku tinggal.
“Berapa harga sewa flat ini, Sayang?”
“Mr. Minnich menyewa dengan harga sembilan ribu dollar perbulan.”
“Ha? Sembilan ribu dollar perbulan?” Aku kaget mendengar angka nominal itu.
“Ya. Sembilan ribu dollar perbulan. Dan itu termasuk murah. Sebab pasaran harganya semestinya sepuluh ribu dollar ke atas. Ini karena kami sama-sama dari Jerman jadi sedikit di bawah standar.”
“Aisha, isteriku yang kucintai, harga sewa flat ini begitu tinggi. Apa tidak sebaiknya kita sewakan saja. Lalu kita menyewa flat di Nasr City yang lebih murah. Dengan seribu dollar saja, kita sudah bisa menyewa flat yang tak kalah mewahnya di kawasan Abbas El-Akkad. Hanya saja di sana kita tidak bisa melihat panorama sungai Nil. Tapi kenyamanan dan ketenangannya tak jauh berbeda. Sisanya bisa kita gunakan untuk bermacam amal di jalan Allah,” ucapku sambil memandang ke arah sungai Nil. Kurasakan Aisha memelukku dari belakang. Dagunya ia letakkan di pundakku. Tingginya memang hampir sama denganku. Aku hanya lebih tinggi tiga senti darinya.
“Sudah kuduga. Kau akan mengatakan demikian. Suamiku, seandainya bukan ibuku yang membeli flat ini dan seandainya tidak ada kenangan yang indah dalam flat ini, tentu sebelum kau sarankan aku sudah melakukannya. Aku sangat mencintai ibu dan setelah rumah di Jerman itu, flat ini adalah tempat kedua yang paling indah dalam kenanganku bersama ibu. Aku ingin kita berdua tinggal di sini selama di Cairo. Dan flat ini milik kita, kita lebih tenang daripada menyewa. Kau tahu sifat orang Mesir ‘kan? Tidak semuanya baik. Tidak semua tuan rumah baik. Aku tidak mau membuang energi dan ketenangan karena masalah sepele dengan tuan rumah yang tidak baik. Kau tahu teman paman Eqbal ada yang diusir tuan rumahnya tengah malam musim dingin, tanpa sebab yang jelas. Aku tak mau itu terjadi pada kita. Kalau kita menemukan tuan rumah yang baik alhamdulillah, kalau kebetulan menemukan tuan rumah yang suka rewel, tentu sangat tidak enak. Tapi kau adalah imamku, suamiku. Jika kau tetap memutuskan tidak tinggal di flat ini aku akan menurutimu. Kaulah yang harus memutuskan apa yang menurutmu terbaik untuk hidup kita berdua, dan untuk anak-anak kita seandainya kita punya anak. Sebagai isteri aku telah memberikan masukan. Aku yakin kau akan memutuskan yang terbaik.” Aisha lalu memelukku erat-erat.
“Nanti kita istikharah,” jawabku lirih.
Aisha lalu membawaku melihat-lihat seluruh sisi rumah. Sebuah rumah yang mewah dan sangat nyaman untuk tempat tinggal. Ruang tamu yang luas dengan shofa khusus didatangkan dari Perancis. Dua balkon. Ruang santai. Satu kamar utama dengan kamar mandi di dalamnya. Dua kamar mandi, di dekat ruang tamu dan dekat dapur. Dan tiga kamar ukuran sedang. Yang satu telah disulap Aisha menjadi ruang kerja dan perpustakaan. Kamar paling dekat dengan ruang tamu telah dipersiapkan oleh Aisha seandainya ada keluarga, atau teman yang ingin menginap. Aisha lalu kembali mengajakku ke perpustakaan dan mengajakku duduk di lantai yang dialasi karpet tebal. Ia duduk bersila di hadapanku.
“Suamiku, kita ini satu jiwa. Kau adalah aku. Dan aku adalah kau. Kita akan mengarungi kehidupan ini bersama. Dukamu dukaku. Dukaku dukamu. Sukamu sukaku. Sukaku sukamu. Cita-citamu cita-citaku. Cita-citaku cita-citamu. Senangmu senangku. Senangku senangmu. Bencimu benciku. Benciku bencimu. Kurangmu kurangku. Kurangku kurangmu. Kelebihanmu kelebihanku. Kelebihanku kelebihanmu. Milikmu milikku. Milikku milikmu. Hidupmu hidupku. Hidupku hidupmu.”
Hatiku sangat tersentuh dan terharu mendengar perkataannya itu.
“Suamiku, padaku ada dua ATM. Mohon Kau pilihlah satu!” Aisha meletakkan dua kartu ATM di depanku. Aku ragu.
“Suamiku, kalau kau mencintaiku, benar-benar mencintaiku dan memandang diriku adalah milikmu maka ambillah jangan ragu!”
Aku tak bisa tahan menatap sorot matanya yang teduh. Dengan mengucapkan basmalah dalam hati aku mengambil yang paling dekat.
“Terima kasih Suamiku, kau tidak menganggap diriku orang lain. Aku akan menjelas semua hal berkaitan dengan ATM itu dan apa yang aku miliki saat ini. Aku ingin kau yang mengaturnya sepenuhnya. Sebab kau adalah imamku dan aku sangat percaya padamu. Suamiku, ATM yang kau pilih sekarang berisi dana 3 juta empat ratus tiga puluh ribu dollar!”
Aku tersentak mendengarnya.
“Itu adalah rizki yang diberikan Allah kepada kita melalui perusahaan keluarga di Turki. Ceritanya begini. Kakekku, Ali Faroughi, atas kemurahan Allah adalah bisnisman berhasil yang memiliki tiga perusahaan. Yaitu perusahaan tekstil, travel, dan susu. Sebelum meninggal beliau memanggil tiga anaknya yaitu ibuku, paman Akbar, dan bibi Sarah. Beliau membagi dan menyuruh masing-masing memilih perusahaan mana yang disukai. Beliau menyuruh yang paling muda yaitu bibi Sarah untuk memilih lebih dulu. Bibi Sarah memilih perusahaan susu karena dia paling suka minum susu. Lalu paman Akbar memilih travel karena dia orang yang hobinya melancong. Dan ibu dengan sendirinya mendapat jatah perusahaan tekstil.
Kakek orang yang bijaksana dan berpandangan jauh ke depan. Beliau tidak memberikan masing-masing perusahaan itu secara individual penuh. Beliau ingin ketiga anaknya dan keturunannya masih erat rasa persaudaraan dan saling memilikinya. Maka beliau memberikan dengan sistem kepemilikan saham. Pabrik Susu beliau berikan kepada bibi Sarah dengan kepemilikan saham sebesar 60 persen. Selebihnya paman Akbar diberi jatah kepemilikan saham 20 persen, juga ibu. Begitu juga travel, 60 persen milik paman Akbar, yang 40 persen milik ibu dan bibi. Juga perusahaan tekstil 60 persen milik ibu yang 40 persen milik paman dan bibi. Tujuan kakek mengatur seperti itu adalah agar semuanya tetap masih merasa saling memiliki. Juga biar rasa solidaritasnya tetap ada. Kakek berharap semua anaknya akan tetap hidup layak. Seandainya ada salah satu perusahaan yang bangkrut atau gulung tikar maka pemiliknya masih memiliki masukan dari dua perusahaan lain.
Sekarang semua perusahaan dibawah kontrol paman Akbar. Beliau sosok yang berbakat dan profesional seperti kakek. Setiap bulan laba bersih perusahaan diaudit. Maksudnya bersih memang benar-benar bersih setelah dipotong zakat dan pajak. Sepuluh persennya diberikan kepada para pemilik saham. Dan sembilan puluh persennya dikembalikan ke perusahaan untuk diputar lagi. Sepuluh persen dari laba perusahaan itu dibagikan pada pemilik saham sesuai dengan besarnya saham yang dia miliki. Bulan lalu dari pabrik tekstil masuk nominal sebesar 60.000 dollar. Berarti laba bersih perusahaan bulan itu 1 juta dollar. Sepuluh persennya 100.000 dollar dibagi tiga. 60 persen untuk diriku sebagai pengganti ibu, 20 persen paman Akbar dan 20 persen bibi Sarah. Dari perusahaan travel bulan lalu masuk dana 57 ribu dollar, padahal jatah kita hanya dua puluh persen dari sepuluh persen laba perusahaan atau dua persen saja dari laba perusahaan. Dan dari perusahaan susu masuk 78 ribu dollar. Perusahaan travel dan susu memang sudah sangat maju. Perusahaan travel malah sudah merambah perhotelah dan perusahaan susu sudah merambah produksi bahan makanan. Rencananya tahun ini perusahaan tekstik akan mencoba melebarkan sayap dengan mendirikan anak perusahaan di Malaysia. Jadi bulan lalu masuk dana 195 ribu dollar dari Turki ke ATM itu. Dan kira-kira tiap bulan akan masuk dana sebesar itu. Bisa lebih bisa kurang. Bagi orang dunia ketiga, itu jumlah yang sangat besar. Tapi bagi pemilik perusahaan raksasa di negara-negara maju itu jumlah yang sangat kecil sekali.
Suamiku, terserah mau kau atur bagaimana ATM yang ada ditanganmu itu. ATM yang aku pegang ini berisi dana dari aset bisnis di Jerman. Sekarang telah terisi dana 7 juta dollar. Sistemnya aku buat seperti yang di Turki. Tiap bulan Cuma sepuluh persen dari laba bersih perusahaan yang masuk ke pemilik perusahaan. Dan yang ini tidak akan kita otak-atik dulu sampai nanti ketika kita tinggal di Indonesia. Kita akan menggunakannya sebaik mungkin bersama-sama. Jadi aku tidak akan mengutik-utik ATM yang ada di tanganku. Lapar kenyangku adalah atas kebijakanmu. Kaulah yang menjatah dana untuk diriku. Kaulah yang menentukan besarnya dana belanja tiap bulan. Kalau aku minta sesuatu maka aku akan minta padamu. Kaulah imamku.”
Mendengar apa yang dituturkan Aisha aku jadi sedih, pucat merinding dan bergetar. Aku memegang ATM senilai $ 3.430.000,- atau kira-kira sebesar 30 milyar rupiah. Aku merasa gunung Merapi hendak menimpaku.
“Kenapa mukamu jadi berubah warna suamiku? Apakah aku melakukan sesuatu yang menyinggungmu?” tanya Aisha.
“Tidak Aisha. Aku tiba-tiba memikul beban amanah sedemikian beratnya, yang tidak pernah aku bayangkan. Dirimu adalah amanah bagiku. Dan apa yang kau miliki yang kau letakkan di tanganku adalah amanah yang sangat berat bagiku. Aku tak tahu apakah bisa memikul amanah seberat ini?”
“Aku percaya padamu Suamiku.”
Bahwa aku suatu saat akan menjadi imam bagi isteriku dan kelak anak-anakku adalah hal yang sudah aku bayangkan. Aku akan jadi suami seorang muslimah Turki juga telah aku bayangkan setelah bertemu Aisha di rumah Syaikh Utsman dan aku sudah membayangkan bagaimana suasana rumah tangga nanti. Sederhana seperti teman-teman Indonesia. Namun aku akan menjadi imam dan penentu jalan hidup seorang jet set shalihah pemilik perusahaan di Turki dan Jerman yang mewakafkan diri dan hartanya di jalan Allah tidak pernah terbayangkan sama sekali.
Aku merasa ilmu, iman dan pengalamanku belum cukup untuk hidup mendampingi seorang Aisha yang kini aku tahu sebenarnya siapa dia. Aku harus meminta saran, nasihat dan pertimbangan pada orang-orang yang lebih kuat jiwanya dan lebih luas cakrawala pandang dan pengalamannya. Aku mengajak Aisha untuk shalat hajat agar Allah memberikan rahmat, taufik dan belas kasihnya sehingga semua amanat dapat ditunaikan dengan baik.
Hari itu juga aku menelpon Syaikh Ahmad Taqiyuddin. Aku minta waktu bertemu beliau aku ingin konsultasi pada beliau secepatnya. Beliau melarang diriku pergi ke Hadayek Helwan. Beliau dan isterinya yang justru akan mendatangi kami.
Sore itu selepas ashar beliau datang. Aisha dan Ummu Aiman, isteri beliau, berbincang di ruang tamu. Sementara beliau kuajak ke perpustakaan, aku ceritakan semua masalahku pada beliau terutama masalah amanat yang dibebankan Aisha.
“Syaikh, aku sangat takut dengan sindiran Allah dalam Al-Qur’an, Dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. [101] Aku takut kalau sampai melampaui batas Syaikh,” ucapku pada Syaikh Utsman.
“Akhi, yang melampaui batas adalah mereka yang tidak memiliki rasa takwa dan tidak merasa diawasi oleh Allah. Selama seseorang masih memiliki rasa takut dan diawasi Allah maka, insya Allah, dia tidak akan sampai melampaui batas. Masalah menginfakkan harta yang dalam tuntunan Al-Qur’an kau pasti sudah tahu,” jawab beliau.
Kemudian beliau banyak memberikan nasihat dan saran, terutama yang berkaitan dengan perjalanan hidup dengan seorang isteri. Bahwa dalam bersuami-isteri ada selalu ada dua kemauan, watak, sifat yang terkadang berbeda. Seni mengolah perbedaan menjadi sebuah keharmonisan ibadah itulah yang harus diperhatikan.
Menurut beliau aku tidak perlu pindah dari flat yang telah aku tempati. Karena tidak menyewa dan milik Aisha. Ini sekaligus untuk menyenangkan hati Aisha yang memiliki kenangan indah di flat ini bersama ibunya. Apalagi flat ini terletak di tempat yang sangat tenang dan kondusif untuk menulis tesis. Tak jauh dari flat ini ada perpustakaan IIIT. Hanya dengan berjalan kaki sepuluh menit sudah sampai ke sana. Juga dekat dengan salah satu kampus Universitas Helwan. Masjid juga dekat. Tinggal bersyukur kepada Allah. Beliau juga meminta kepadaku untuk terus menggali semua pengalaman hidup yang telah dijalani Aisha. Agar aku bisa bersikap arif pada Aisha. Beliau meminta kepadaku untuk mengetahui gaya hidupnya sejak kecil. Beliau meminta agar aku bijaksana tidak memaksakan Aisha mengikuti gaya dan standar hidupku yang memang sangat sejak kecil sederhana. Beliau meminta untuk hidup sewajarnya. Zuhud tidak berarti tidak mau menyentuh sama sekali nikmat yang telah diberikan oleh Allah Swt, tapi zuhud adalah mempergunakan nikmat itu untuk ibadah. Tidak selamanya orang yang makan dengan hanya roti kering dan seteguk air lebih baik dari orang yang makan roti cokelat dan segelas susu. Jika dengan makan roti cokelat badan menjadi sehat dan segar, ibadah khusyu dan tenang, bisa bekerja dengan lebih baik dan bersemangat serta merasakan keagungan Allah yang telah memberikan nikmat tentu lebih baik dengan yang makan roti kering tapi lemas dan berkeluh kesah saja kerjanya. Tidak selamanya yang berjalan kaki lebih baik dari yang naik mobil. Jika dengan naik mobil lebih bisa mengefisienkan waktu, ibadah lebih tenang karena tidak capek dan lebih bisa banyak melakukan kegiatan yang bermanfaat tentu sangat baik.
“Jangan terlalu pelit dan jangan terlalu boros. Dua kelakuan itu berakibat penyesalan dan sangat dicela Allah Swt, firman-Nya dalam Al-Qur’an, ‘Dan jangan kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.’ [102]
Beliau lalu memberi tahu hal-hal yang sangat disukai oleh seorang isteri. Beliau menyuruh agar tidak segan-segan mengungkapkan perasaan cinta. Seorang isteri paling suka dipuja dan dicinta. Juga tidak segan mengajak isteri ke toko pakaian dan toko perhiasan. Sering-sering minta pendapat, suatu kehormatan bagi seorang isteri merasa dirinya sangat penting bagi pengambilan keputusan sang suami. Dari kunjungan Syaikh Ahmad aku banyak mendapatkan banyak sekali pelajaran kehidupan yang berarti. Aku merasa lebih siap dengan hidup yang sedang aku jalani. Ada kata-kata beliau yang sangat menyentuh diriku,
“Aku pernah mengalami hal yang sama dengan dirimu. Ummu Aiman adalah puteri tunggal konglomerat di Maadi. Ia menyerahkan kekayaannya sepenuhnya di tanganku. Aku dulu juga bingung, aku pergi ke tempat seorang ulama dan beliau memberikan nasihat seperti apa yang aku nasihatkan padamu. Ada satu hal yang harus kau ingat baik-baik. Banyak lelaki yang menjadi kerdil setelah memiliki isteri yang cantik dan kaya raya. Semangat juang dan kerja kerasnya luntur. Tapi kita mempunyai teladan yang mulia yaitu Rasulullah Saw. Isteri beliau, Sayyeda Khadijah, adalah konglomerat Makkah pada zamannya, dan itu tidak membuat beliau kerdil tapi justeru sebaliknya dengan kekayaan isterinya itu beliau menegakkan agama Allah. Maka kau tidak boleh kerdil. Kau harus terus bekerja, menerjemah dan berkarya lebih keras!”
Malamnya aku ajak Aisha berbincang-bincang di perpustakaan sambil mendengarkan dendangan nasyid Rasailul Asywaq [103] yang indah dibawakan anak-anak Mesir. Kami duduk di lantai beralas karpet. Aku bentangkan dua kertas karton berisi rancangan peta hidup yang telah aku buat beberapa bulan yang lalu sebelum menikah. Peta hidup sepuluh tahun ke depan. Dan rancangan satu tahun. Tentunya peta hidup itu harus dirubah. Melihat apa yang aku gelar mata Aisha terbelalak.
“Subhanallah! Bagaimana mungkin kita memiliki kebiasaan yang sama. Ibuku sejak kecil telah mengajarkan hal seperti ini padaku. Dan aku juga memiliki peta dan rancangan seperti ini. Rancangan peta hidup sepuluh tahun ke depan. Rancangan kegiatan tahunan, bulanan, mingguan, dan harian. Tunggu sebentar ya Sayang!” Aisha beranjak menuju kamar utama. Lalu kembali dengan membawa agenda biru.
“Ini telah peta hidupku sepuluh tahun ke depan. Memang kita harus membuat peta hidup bersama,” kata Aisha gembira.
Kami pun lalu merancang bersama. Dalam rancangan Aisha, awal April kembali ke Munchen untuk menyelesaikan S1. Lalu S2 di Sorbonne University dan S3 di Bonn University. Sementara aku masih harus menulis tesis, kalau lancar baru dua tahun lagi selesai dan langsung S3 di Al Azhar. Harus ada kompromi-kompromi. Jika Aisha transfer S1 ke Mesir, bukan tidak mungkin tapi sangat susah. Proses administrasi universitas-universitas Mesir sangat melelahkan. Jika aku ikut ke Jerman juga bukan tidak mungkin, tapi susah, target selesai master dua tahun lagi bisa molor. Di Jerman tidak ada bahan yang cukup untuk menulis tesis disiplin ilmu tafsir. Harus ada jalan keluar.
Akhirnya kami sepakat melakukan kompromi. Jalan tengahnya adalah Turki. Di Turki semua target bisa dikejar. Rencananya bulan April tahun depan berangkat ke sana. Aisha bisa transfer S1 ke Istanbul University. Prosesnya mudah. Aisha bahkan tidak perlu repot mengurus sendiri. Ia bisa minta tolong seorang temannya di Munchen untuk mengurus berkasnya yang mengirimnya ke alamat pamannya di Istanbul. Jadi Aisha bisa tetap selesai S1 tahun depan dan selama di Turki aku bisa mendapatkan bahan tentang Syaikh Said An-Nursi. Selama di Turki juga akan menambah eratnya persaudaraan dengan keluarga besar di Turki. Setelah selesai S1 Aisha mengalah untuk kembali ke Mesir menemani aku sampai selesai S2. Sebenarnya aku mempersilakan kalau dia mau langsung ke Sorbonne, tapi dia tidak mau berpisah denganku sama sekali. Tapi setelah master aku yang harus mengalah. Aku harus mengikuti Aisha ke Sorbonne. Setelah kupikir tidak masalah S3 di Sorbonne sementara Aisha S2. Toh, Almarhum Syaikh Abdullah Darraz, Guru Besar Tafsir Universitas Al Azhar mengambil S3 nya juga di Sorbonne. Setelah selesai S3 barulah pulang dan merencanakan hidup di Indonesia, Aisha mengalah untuk tidak langsung S3. Bahkan seandainya terpaksa S3 di Indonesia tidak apa-apa. Tapi dia membuat cadangan S3 di Australia yang dekat dengan Indonesia.
Kami lalu merancang agenda setengah tahun ini. Awal bulan depan Aisha minta ke Alexandria, satu minggu saja, masih dalam rangkaian bulan madu. Dia juga minta umrah dan selama bulan puasa sampai hari raya ada di tengah keluarga di Indonesia. Akhirnya sepakat awal Ramadhan pergi umrah, sepuluh hari di tanah suci dan langsung terbang ke Indonesia.
Lalu kami membuat rencana satu bulan ke depan. Lebih banyak di rumah. Aisha membuat jadwal kami bermain cinta. Naik perahu berdua di sungai Nil. Menyaksikan pagelaran musik rakyat Palestina di Opera House. Melihat pertunjukan drama komedi di Ballon Teater. Pergi ke El-Mo’men Restaurant. Ke Masjid Musthofa Mahmud mendengarkan ceramah Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi yang rencananya lima hari lagi akan datang dari Syiria. Aku menambah jadwal talaqqi qiraah sab’ah pada Syaikh Utsman dan berkunjung ke rumah Syaikh Abdul Ghafur Ja’far. Aisha menekankan: Dan ke Alexandria!
Kami lalu membuat jadwal harian. Kapan baca Al-Qur’an dan tadabbur bersama. Shalat dhuha. Shalat malam. Waktu menerjemah dan waktu yang tepat untuk bercinta. Begitu selesai membuat rancangan peta hidup Aisha berkata,
“Sayang, aku punya puisi indah untukmu dengarkan:
agar dapat melukiskan hasratku, kekasih,
taruh bibirmu seperti bintang di langit kata-katamu
Aku langsung menyahut dengan suara lantang seperti Antonius merayu Cleopatra:
ciuman dalam malam yang hidup,
dan deras lenganmu memeluk daku
seperti suatu nyala bertanda kemenangan
mimpikupun berada dalam
benderang dan abadi
Di tepi sungai Nil, hari-hari yang indah kami lalui bersama. Semua serba indah. Dunia terasa milik kami berdua. Kenikmatan demi kenikmatan, kebahagiaan demi kebahagiaan kami reguk bersama. Seperti di surga. Muncul kebiasaan baru Aisha, ia tidak bisa tidur kecuali aku membelai-belai rambutnya dan mengelus-elus ubun kepalanya, seperti seorang ibu menidurkan bayinya. Aku juga semakin banyak tahu watak dan karakter Aisha, tingkahnya kalau merajuk, tidak suka, marah, caranya memuji, hal-hal yang ia sukai dan ia benci, juga pengalaman hidupnya sejak kecil. Suatu kali sebelum tidur Aisha bercerita, “Ibu sering mengajariku agar berdoa dalam sujud saat shalat malam: Ya Allah, letakkanlah dunia di tanganku, jangan di hatiku.”


20. Surat dari Nurul

Dua hari menjelang keberangkatan ke Alexandria kami belanja ke Attaba. Pasar rakyat paling besar di Mesir. Tak ada trasnportasi langsung dari ke sana. Kami naik bis mini dari mahattah Abul Fida yang tak begitu jauh dari apartemen kami menuju Tahrir. Sampai di Tahrir kami naik metro bawah tanah ke Attaba. Aisha iseng minta diajak melihat toko-toko buku loakan. Dua jam kami di sana. Aku menemukan beberapa buku yang bisa dijadikan referensi. Aisha hanya melihat-lihat dan membolak-balik buku. Akhirnya ia membeli empat bundel komik Donald Bebek.
“Kau aneh sekali, untuk apa Sayang?” heranku. Bagaimana tidak heran, orang secerdas dan sedewasa dia kok beli komik Donald Bebek.
“Untuk belajar bahasa Arab. Ini ‘kan komik bahasa Arab. Aku ingin tahu kalimat-kalimat yang lucu. Nanti kalau kita punya anak ini juga ada gunanya. Aku suka anakku nanti tertawa-tawa renyah. Karena tertawa adalah musiknya jiwa. Dan rumah kita nanti tidak sepi,” jawab Aisha santai. Cara berpikir Aisha yang mahasiswi psikologi terkadang menarik dan mengejutkan.
Sampai di rumah kulihat Aisha sangat kelelahan. Perjalanan dari Attaba sampai rumah memang sangat melelahkan. Padahal sebenarnya tidak terlalu jauh. Transportasinya yang memang melelahkan. Metro bawah tanah penuh sesak orang yang pulang kerja. Juga bis mininya. Kami berdua berdesakan. Aku sangat hati-hati menjaga Aisha. Aku tak ingin ada tangan jahil menyentuhnya. Setelah membuka cadar dan jilbabnya, Aisha langsung menyalakan AC dan membanting tubuhnya di sofa. Ia mengatur nafasnya. Mukanya yang putih memerah dan pucat. Kuambilkan air mineral dingin untuknya. Ia menerima dengan tersenyum.
“Danke, mein Mann,” [104] lirihnya.
“Bitte.” [105]
Selama ini kami memang berkomunikasi dengan tiga bahasa; Jerman, Arab, dan Inggris. Lebih banyak pakai bahasa Arab. Aisha yang memintanya untuk terus memperbaiki bahasa Arabnya. Jika dia kehabisan kosa kata ia akan mengatakannya dalam bahasa Inggris atau Jerman.
“Sayang, capek ya berdiri dan berdesakan,” tanyaku sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas.
“Ya.”
“Di Jerman kalau berangkat kuliah gimana? Sering berdesakan seperti tadi nggak?”
“Transportasi di Jerman sangat baik tidak seperti di Mesir. Dan kebetulan aku jarang naik angkutan umum.”
“Terus? Jalan kaki? Apa kontrakanmu dekat dengan kampus?”
“Tidak juga. Aku menyewa rumah lima kilo dari kampus. Dan alhamdulillah aku punya mobil sendiri.”
Aku langsung tahu apa yang harus aku lakukan. Sangatlah zhalim diriku kalau aku membiarkan isteriku sedemikian tersiksa dan berdesakan sementara di tanganku ada tiga juta dollar lebih. Aku jadi teringat nasihat Syaikh Ahmad, “Jangan kau paksakan isterimu mengikuti standar hidupmu yang sangat sederhana. Jangan pelit dan jangan boros!”
“Mobilmu apa, Sayang?”
“Land Cruiser. Aku suka model Jeep.”
Aku menawarkan, bagaimana kalau membeli mobil. Ternyata sebenarnya itu juga ingin dia bicarakan padaku sejak tiga hari yang lalu. Cuma dia maju mundur akhirnya tidak berani bicara. Takut kalau aku tidak setuju. Aku tekankan padanya untuk tidak menyembunyikan keinginan apa pun dariku.
“Meskipun kusembunyikan toh kelihatannya kau bisa membaca keinginanku. Kau memang suami yang baik,” pujinya.
Aku harus mencari orang yang tahu seluk beluk mobil di Mesir. Biar tidak kena tipu. Biar urusan dengan kepolisian mudah dan lain sebagainya. Aku teringat Yousef, adiknya Maria. Bagaimana kabar mereka? Sudah pulang dari Hurgada apa belum ya? Sudah tahu aku menikah apa belum? Aku perlu menghubungi Yousef. Ia kelihatannya tahu seluk beluk mobil. Selama jadi tetangganya kulihat sudah tiga kali ganti mobil.
“Hallo. Yousef?”
“Ya. Ini siapa?”
“Fahri. Kapan pulang?”
“Baru tadi pagi. Selamat ya atas pernikahannya. Aku sudah diberi tahu sama Rudi. Sayang sekali. Kami menyesal. Seharusnya kami menelpon kalian begitu tiba di sana dan memberikan nomor telpon hotel kami menginap.”
“O tidak apa-apa. Mama dan papa juga sudah pulang juga?”
“Belum. Mereka masih akan di sana satu minggu lagi. Tapi Maria sudah pulang. Mau bicara sama dia?”
“Tidak. Lain kali saja. Salam buat dia. Oh ya, aku mau minta tolong padamu. Bagaimana kita secepatnya bisa bertemu?”
“Kau sekarang ada di mana?”
“Di Zamalik. Muhammad Mazhar Street.”
“Kedutaan Swedia?”
“Lurus ke utara ada Apartemen tertinggi di ujung pulau. Flat nomor 21.”
“Malam ini juga aku ke sana. Aku sudah rindu ingin ketemu padamu sekalian aku bawakan kado istimewa.”
“Terima kasih, kutunggu.”

* * *
Pukul delapan malam Yousef datang bersama Maria. Yousef masih seperti biasa, cerah dan ceria melihatku. Maria agak lain, dia sama sekali tidak cerah. Dingin. Tersenyum pun tidak. Mungkin belum hilang lelahnya dari Hurgada.
“Ini kado sederhana dari aku dan Maria. Maaf tidak bisa memberi yang mewah-mewah maklum kami belum punya penghasilan,” kata Yousef menyerahkan kado kecil yang dibungkus manis.
Maria lebih banyak menunduk. Sepertinya ia lesu sekali. Kami berbincang sambil menikmati karikade hangat. Aku jelaskan pada Yousef rencanaku membeli mobil. Dia sangat senang mendengarnya. Dia bertanya kriterianya. Kujawab model jeep, tangan kedua, masih bagus dan normal semua. Dia berjanji paling lambat besok sore dia akan menghubungi.
Hanya setengah jam mereka berada di rumah kami. Aku minta tolong pada Yousef menjelaskan pada Rudi dan teman-temannya route rumah kami. Sebab sejak acara walimah itu aku belum berkomunikasi dengan mereka lagi. Dan itu atas permintaan mereka. “Sebelum satu minggu tidak boleh menghubungi Hadayek Helwan. Pengantin baru satu minggu penuh harus tenang,” kata mereka. Akhirnya malah kebablasan, dan mereka terlupakan.
Begitu Yousef dan Maria pulang aku langsung membuka kadonya.
“Kurang ajar, Yousef dan Maria itu!” umpatku.
“Apa sih isinya? Kenapa sampai mengumpat segala?” heran Aisha mendengar aku mengumpata. Ia melihat isi kado. Botol berisi serbuk.
“Serbuk apa ini, Fahri?” tanya Aisha. Aku ragu untuk menjelaskannya. Tapi Aisha terus mendesak.
“Serbuk Dhab Mashri,” jawabku.
“Apa itu Dhab Mashri?” kejarnya. Aduh bagaimana ini.
Terpaksa aku jelaskan juga. Dhab Masri adalah kadal Mesir, dan khasiatnya untuk obat kuat yang—kata orang-orang yang pernah mencobanya—lebih dahsyat dari Viagra, telah digunakan oleh para raja dan pangeran Mesir kuno. Mendengar penjelasanku Aisha salah tingkah, pipi merona merah, lalu tersenyum indah sekali.
* * *
Atas bantuan Yousef, kami berhasil membeli Nissan Terrano hitam metalik yang masih baru dengan harga sangat miring. Baru dipakai pemiliknya setengah tahun. Aisha senang sekali. Hari itu juga kami berdua berjalan-jalan mengelilingi kota Cairo. Tentu saja aku tidak bisa menyetir. Yang menyetir Aisha. Ia juga punya SIM Internasional. Aku jadi guidenya. Tujuh tahun di Kairo aku sudah hafal seluk beluk kota Cairo. Acara jalan-jalan pun lancar dan mengasyikkan.
Malam sebelum keberangkatan ke Alexandria, Mishbah datang bersama Mas Khalid. Mereka memberitahukan dua hari lagi Pelatihan Ekonomi Islam akan dilaksanakan selama satu minggu di Wisma Nusantara. Aku kira pelatihan itu sudah selesai ternyata diundur. Aku diminta menjadi salah satu moderator sekaligus pendamping dosen-dosen yang semuanya dari Mesir. Aku tidak bisa memutuskan sendiri. Aku harus bermusyawarah dengan Aisha. “Tidak apa-apa, penuhi saja permintaan mereka. Kita tunda berangkatnya setelah pelatihan saja. Aku juga ingin tahu konsep ekonomi Islam itu seperti apa.” Jawab Aisha.
Selama satu minggu setiap hari kami ikut pelatihan. Dan sudah tentu, seperti yang aku prediksi, mahasiswa Indonesia geger melihat aku datang dan pergi dengan membawa mobil, disopiri oleh seorang isteri bercadar. Mana ada mahasiswa Indonesia memakai mobil? Kecuali beberapa gelintir dan bisa dihitung dengan jari.
Terobosan, bulletin mahasiswa Indonesia di Cairo paling vokal, kembali usil. Tanpa sepengetahuanku mereka berusaha mewawancarai Aisha mengenai proses pernikahan kami. Mereka sungguh kreatif. Untung saja Aisha isteri yang baik, ia tidak mau berkomentar sama sekali, dan menyuruh kru Terobosan langsung mewawancaraiku. Kepada mereka aku kisahkan prosesnya yang sungguh sangat sederhana.
Dua hari setelah itu Terobosan terbit. Segala keterangan yang aku berikan tertulis jelas. Yang membuatku geli adalah tanggapan-tanggapan dari beberapa kalangan aktifis yang pro dan kontra. Yang memandang positif dan negatif penikahan kami. Yang paling menggelitik hatiku dan justru paling kusukai adalah komentar seorang mahasiswi aktifis gender:
“Aku yakin si Aisha, isteri Fahri dari Turki itu pasti jelek. Kalau cantik mana mungkin dia mau. Apalagi katanya dia itu kaya, punya flat mewah di pinggir Nil segala. Yakin deh pasti wajahnya jelek. Dan kenapa Fahri tetap mau dengan gadis jelak? Karena Fahri mengejar kekayaannya. Jadi meskipun isterinya jelek dia mau saja, yang penting kaya. Dan untuk menutupi jeleknya makanya Fahri menyuruhnya memakai cadar dengan dalil agama.”
Aku suka sekali membaca komentar itu. Kalau mereka tahu kecantikan Aisha semakin geger suasananya. Biarlah aku seorang yang tahu kecantikan Aisha. Tapi ada komentar singkat yang membuat hatiku merasa tidak enak. Komentar dari Nurul sebagai Ketua Wihdah:
“Pernikahan Fahri (Indonesia) dengan Aisha (Turki berdarah Palestina) menunjukkan universalitas Islam. Aku tahu siapa Aisha. Sebelum dia menikah dengan Fahri dia pernah banyak bertanya padaku tentang budaya Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Selamat buat Fahri yang berhasil menyunting muslimah Turki yang shalehah dan jelita.”
Nurul ternyata juga ikut pelatihan.
Dalam satu kesempatan, saat pulang, aku dan Aisha bertemu dengannya di gerbang Wisma. Aku tidak menyapanya dan dia juga tidak menyapaku. Namun Nurul bisa berbincang-bincang santai dengan Aisha seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Hatiku lega. Semoga dia telah menemukan jalan keluar atas masalahnya. Sebelum berpisah Nurul memberikan selembar surat pada Aisha. Di mobil Aisha menyerahkan sepucuk surat itu padaku sambil bergumam, “Katanya ini pesan dari seseorang untukmu dan minta di baca jika sudah sampai di rumah.”
Sampai di rumah langsung aku baca surat itu.

Untuk Kak Fahri
Yang sedang berbahagia
Bersama isterinya

Assalamu’alaikum wr. wb.
Kutulis surat ini dengan lelehan air mataku yang tiada berhenti dari detik ke detik. Kutulis surat ini kala hati tiada lagi menahan nestapa yang mendera-dera perihnya luar biasa. Kak Fahri, aku ini perempuan paling bodoh dan paling malang di dunia. Bahwa mengandalkan orang lain sungguh tindakan paling bodoh. Dan aku harus menelan kepahitan dan kegetiran tiada tara atas kebodohanku itu. Kini aku didera penyesalan tiada habisnya. Semestinya aku katakan sendiri perasaanku padamu. Dan apakah yang kini bisa kulakukan kecuali menangisi kebodohanku sendiri. Aku berusaha membuang rasa cintaku padamu jauh-jauh. Tapi sudah terlambat. Semestinya sejak semula aku bersikap tegas, mencintaimu dan berterus terang lalu menikah atau tidak sama sekali. Aku mencintaimu diam-diam selama berbulan-bulan, memeramnya dalam diri hingga cinta itu mendarahdaging tanpa aku berani berterus terang. Dan ketika kau tahu apa yang kurasa semuanya telah terlambat.
Kak Fahri,
Kini perempuan bodoh ini sedang berada dalam jurang penderitaannya paling dalam. Dan jika ia tidak berterus terang maka ia akan menderita lebih berat lagi. Perempuan bodoh ini ternyata tiada bisa membuang rasa cinta itu. Membuangnya sama saja menarik seluruh jaringan sel dalam tubuhnya. Ia akan binasa. Saat ini, Kak Fahri mungkin sedang dalam saat-saat paling bahagia, namun perempuan bodoh ini berada dalam saat-saat paling menderita.
Kak Fahri,
Apakah tidak ada jalan bagi perempuan bodoh ini untuk mendapatkan cintanya? Untuk keluar dari keperihan dan kepiluan hatinya. Bukankah ajaran agama kita adalah ajaran penuh rahmah dan kasih sayang. Kak Fahri adalah orang shalih dan isteri Kak Fahri yaitu Aisha adalah juga orang yang shalihah. Bagi orang shalih semua yang tidak melanggar syariah adalah mudah.
Kak Fahri,
Sungguh maaf aku sampai hati menulis surat ini. Namun jika tidak maka aku akan semakin menyesal dan menyesal. Bagi seorang perempuan jika ia telah mencintai seorang pria. Maka pria itu adalah segalanya. Susah melupakan cinta pertama apalagi yang telah menyumsum dalam tulangnya. Dan cintaku padamu seperti itu adanya telah mendarah daging dan menyumsum dalam diriku. Jika masih ada kesempatan mohon bukakanlah untukku untuk sedikit menghirup manisnya hidup bersamamu. Aku tidak ingin yang melanggar syariat aku ingin yang seiring dengan syariat. Kalian berdua orang shalih dan paham agama tentu memahami masalah poligami. Apakah keadaan yang menimpaku tidak bisa dimasukkan dalam keadaan darurat yang membolehkan poligami? Memang tidak semua wanita bisa menerima poligami. Dan tenyata jika Aisha termasuk yang tidak menerima poligami maka aku tidak akan menyalahkannya. Dan biarlah aku mengikuti jejak puteri Zein dalam novel yang ditulis Syaikh Muhammad Ramadhan Al Buthi yang membawa cintanya ke jalan sunyi, jalan orang-orang sufi, setia pada yang dicintai sampai mati.
Wassalam,
Nurul Azkiya

Air mataku mengalir deras membaca surat Nurul. Aku tak tahu harus berbuat apa. Hatiku ikut pilu.
“Sayang, apa isinya sampai kau menangis?” tanya Aisha sambil mengusap air mata dipipiku dengan ujung jilbabnya. Kutatap wajah isteriku. Haruskah aku berterus terang padanya? Aku tak ingin membuat dirinya kacau dan cemburu. Aku harus melindungi ketenangan jiwanya. Yang jelas aku sama sekali tidak mau mengkhianatinya. Bisa jadi jika aku berterus terang, dia bisa menerima usulan Nurul, tapi aku telah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan memadu isteriku. Aisha adalah perempuanku yang pertama dan terakhir.
“Kenapa diam Sayang? Apa isinya?” tanya Aisha kembali.
“Bacalah sendiri!”
Aisha melihat surat itu. Ia mengerutkan keningnya.
“Kau bercanda. Ini bahasa Indonesia ‘kan? Mana aku tahu maksudnya. Apa yang ditulisnya sampai kau menangis?”
“Ah tidak apa-apa. Isinya nasihat. Agar aku menjagamu dengan baik. Berusaha memahamimu dan memaklumi perbedaan-perbedaan di antara kita yang memang berbeda latar belakang budaya dan pendidikan. Dia juga menasihati agar aku aku mengajarimu bahasa dan adat istiadat masyarakat Indonesia agar kelak jika pulang ke Indonesia kau bisa beradaptasi dan diterima dengan baik. Terakhir dia menasihatiku agar menyempatkan waktu untuk menengok kedua orang tua di Indonesia, jangan terlalu asyik di Mesir. Aku teringat ibuku.” Terpaksa aku berbohong, aku tak ingin ketenangan hatinya terusik. Aku harus melindungi keluargaku dari segala gangguan.
Aisha mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasanku.
“Nasihat yang baik sekali. Dia memang muslimah yang baik. Sekali-kali kita harus undang dia dan teman-temannya kemari. Dia memuliakan diriku saat aku berkunjung ke rumahnya,” ujar Aisha.
* * *
Seketika itu juga aku menulis surat balasan untuk Nurul.

Kepada
Nurul Azkiya
Cahaya orang-orang yang bersih hatinya
Di bumi perjuangan mulia

Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh
Saat menulis surat ini hatiku gerimis. Tiada henti kuberdoa semoga Allah menyejukkan hatimu, menerangkan pikiranmu, membersihkan jiwamu, dan mengangkat dirimu dari segala jenis penderitaan dan kepiluan.
Nurul,
Terima kasih atas suratnya. Aku sudah membacanya dengan seksama dan aku memahami semua kata-kata yang kau tulis. Kalau kau merasa harus setia pada cintamu. Maka aku merasa harus setia pada isteriku, pada belahan jiwaku. Kalau kau memiliki anggapan poligami bisa menjadi jalan keluar dalam masalah ini, bisa jadi ada benarnya. Poligami memang diperbolehkan oleh syariat, tapi aku tidak mungkin menempuhnya. Aku perlu menjelaskan, di antara syarat yang telah kami sepakati sebelum akad nikah adalah aku tidak akan memadu Aisha. Aku sudah menyepakati syarat itu. Kau tentu tahu hukumnya, aku harus menepatinya. Hukumnya wajib.
Nurul,
Dalam hidup ini, cinta bukan segalanya. Masih ada yang lebih penting dari cinta. Sebenarnya jikalau kita bercinta maka seharusnya itu menjadi salah satu pintu menjalankan ibadah. Janganlah terlalu kau turutkan perasaanmu. Gunakanlah akal sehatmu, karena akal sehat adalah termasuk bagian dari wahyu. Kau masih memiliki masa depan yang luar biasa cerahnya. Kau ditunggu oleh ribuan generasi di tanah air. Jadilah kau seorang Nurul seperti sebelum mengenalku. Nurul yang bersih dan bercahaya, seperti namanya Nurul Azkiya , Cahaya bagi orang-orang yang bersih hatinya.
Nurul,
Apakah kau sadar dengan apa yang kau lakukan saat ini? Dengan tetap menuruti perasaanmu untuk menyesal dan membodoh-bodohkan diri kau telah merusak dirimu sendiri. Ajaran agama kita yang hanif melarang manusia membinasakan dirinya sendiri dengan cara dan alasan apa pun. Memasung diri sampai menderita dengan alasan setia pada cinta adalah perbuatan yang tidak seirama dengan sunnah nabi. Kau jangan salah tafsir pada novel yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi. Dengan novel itu beliau ingin menghibur dan menyejukkan orang-orang yang mereguk pahitnya cinta karena kelaliman orang-orang yang tidak mengerti cinta. Beliau membela orang yang semestinya dibela, dan mencela orang-orang lalim yang semestinya dicela. Adapun Puteri Zein yang membawa cintanya sampai ke liang lahat itu bukan atas kehendaknya. Berbeda dengan dirimu. Jika kau membawa cintamu sampai mati maka itu atas kehendakmu, dan itu sama saja dengan bunuh diri.
Nurul,
Cinta sejati dua insan berbeda jenis adalah cinta yang terjalin setelah akad nikah. Yaitu cinta kita pada pasangan hidup kita yang sah. Cinta sebelum menikah adalah cinta semu yang tidak perlu disakralkan dan diagung-agungkan. Nurul, dunia tidak selebar daun anggur. Masih ada jutaan orang shalih di dunia ini yang belum menikah. Pilihlah salah satu, menikahlah dengan dia dan kau akan mendapatkan cinta yang lebih indah dari yang pernah kau rasakan.
Terkadang, tanpa sengaja kita telah menyengsarakan orang lain. Itulah yang mungkin kulakukan padamu. Maafkanlah aku. Semoga Allah masih terus berkenan memberikan hidayah dan rahmatnya, juga maghfirahnya kepada kita semua.
Wassalam,
Fahri Abdullah.

Surat itu kumasukkan dalam amplop dan kuberikan kepada Aisha untuk diberikan kepada Nurul besok paginya saat pelatihan.
Aisha bertanya, “Isinya apa?”
Kujawab, “Ucapan terima kasih. Aku gantian menasihatinya untuk segera menikah.”
“Benar. Dia sudah saatnya menikah, sebentar lagi selesai kuliah. Semoga dia dapat suami yang baik dan shalih,” ujar Aisha polos sambil tersenyum.


21. Di San Stefano, Alexandria

Selesai pelatihan kami mempersiap segala sesuatu untuk pergi ke Alexandria. Dengan cermat Aisha mendata semua keperluan yang harus dibawa. Termasuk laktopnya. Selama satu minggu di sana ia berencana menulis biografi ibunya. Ia pernah ke Alexandria bersama ibunya. Jadwal di Alexandria telah tersusun baik. Di antaranya adalah pergi ke perpustakaan Universitas Alexandria untuk mencari tambahan referensi dan menemui Syaikh Zakaria Orabi, seorang imam masjid yang menurut keterangan Syaikh Utsman pernah berjumpa dengan Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi.
Dengan Nissan Terrano kami sampai di kota Alexandria. Kota kebanggaan rakyat Mesir. Aku tidak hafal betul route kota budaya ini. Setelah bertanya beberapa kali akhirnya kami sampai di San Stefano Hotel. Sebenarnya aku ingin naik bis saja. Tapi Aisha memaksa menggunakan mobil pribadi. Ketika aku sedikit ragu akan keputusannya. Ia meyakinkan diriku dengan berkata:
“Di Jerman aku sering keluar kota dengan mobil pribadi. Aku bahkan pernah menempuh jarak Munchen-Hamburg dengan mobil sendiri. Kau jangan kuatir, insya Allah selamat. Apalagi Cairo-Alexandria cuma 177 km, jalannya pun lebar dan lurus, dengan kecepatan santai tiga-empat jam sampai!”
Karena dia merasa yakin sekali semuanya akan baik-baik saja. Dia juga ingin sekali berkeliling Alexandria dengan mobil sendiri maka aku pun menyetujuinya. Untuk menginap sebenarnya sudah aku tawarkan padanya menginap di rumah khusus tamu milik mahasiswi Malaysia, tapi Aisha tidak mau. Aisha ingin menginap di hotel San Stefano dan di kamar yang ia dan ibunya dulu pernah menginap. Sudah jauh-jauh hari ia pesan kamar itu. Ia ingin bernostalgia sambil menulis biografi ibunya. Itulah untuk pertama kalinya aku menginap di hotel berbintang. Sudah empat kali aku ke Alexandria dan tidak pernah menginap di hotel. Dua kali ikut mukhayyam [106] musim panas yang diadakan oleh Universitas Al Azhar. Dan yang dua kali bersama teman-teman Malaysia dan menginap di rumah khusus tamu milik organisasi mahasiswi Malaysia di Alexandria.
Hotel San Stefano terletak tepat di garis pantai laut Mediterania. Balkon kami kami menghadap ke laut. Malam pertama di San Stefano Aisha berbisik,
“Sayang, Dhab Mashrinya dicoba yuk!”
Aku tersenyum. Aisha selalu berterus terang. Apakah karena dia bukan perempuan Jawa? Tapi keterusterangannya membuat aku senang. Aku teringat perkataan Sayyidina Muhammad Al Baqir, “Wanita yang terbaik di antara kamu adalah yang membuang perisai malu ketika ia membuka baju untuk suaminya, dan memasang perisai malu ketika ia berpakaian lagi!” Dan Aisha adalah wanita seperti itu.
“Dhab Mashrinya tidak kubawa?”
“Kenapa?”
“Aku takut menjelma jadi kadal.”
Aisha tertawa geli.
Di Alexandria kami melewati hari-hari indah. Tidak terlalu kalah indahnya dengan hari-hari di tepi sungai Nil. Tapi tepi sungai Nil tetaplah lebih terkesan, karena kami menghabiskan malam paling indah sepanjang hayat di sana. Satu minggu telah berlalu, tapi Aisha ingin menambah satu minggu lagi untuk menuntaskan biografi ibunya. Ternyata dengan memandang laut yang indah Aisha merasa pikirannya lebih jernih. Banyak kenangan yang bersama ibunya yang terus berkelabat di kepalanya. Ia sudah menulis tiga ratus halaman dan biografi itu belum juga selesai. Aku merasa tidak ada masalah menambah hari lagi. Sementara dia sibuk dengan biografi ibunya, aku sibuk talaqqi kitab hadits Shahih Bukhari di Masjid Imam Abdul Halim Mahmud yang diajar oleh Syaikh Zainuddin El-Maula.
Suatu malam ada sms masuk ke handphone-ku. Dari Yousef . Kubuka:
“Maria sakit, mama minta agar memberi tahu kamu.”
Aku tersenyum. Madame Nahed masih menganggap aku bagian dari keluarganya. Puterinya sakit langsung memberi kabar. Aku tidak membalas apa-apa. Aku hanya berdoa dalam hati semoga Maria segera sembuh. Dan nanti jika sudah kembali ke Cairo, aku akan mengajak Aisha mengunjungi mereka, sekalian mengunjungi teman-teman seperjuangan di Hadayek Helwan.
Setelah dua minggu di Alexandria, waktu pulang pun tiba. Dari mengaji pada Syaikh Zainuddin aku mendapatkan pengetahuan tentang fiqhul hadits yang sangat berharga. Dari Syaikh Zakaria Orabi aku mendapatkan kisah perjalanan hidup Said An-Nursi, juga beberapa lembar teks khutbah Jum’atnya yang ditulis tangan oleh Syaikh Zakaria. Dan Aisha berhasil menyelesaikan biografi ibunya. Tertulis dalam bahasa Jerman sebanyak 545 halaman satu spaso, Microsoft Word, Times New Roman, font 12. Sehari menjelang pulang ke Cairo kami jalan-jalan ke kawasan El-Manshiya yang merupakan pusat kota Alexandria dan disebut juga Alexandria lama. Di El-Manshiya itulah tepatnya kota Alexandria kuno berada. Puing-puing peninggalan Romawi masih ada di sana. Misalnya dapat di lihat bekasnya di Graeco-Roman Museum dan Achaeological and Roman Amphitheatre. Kami juga belanja di sana, tak lupa kami membeli dua jaket untuk Hosam dan Magdi, dua penjaga keamanan apartemen kami. Sekadar sebagai hadiah dan pengikat jiwa.
Terakhir kami berziarah ke makam Luqman Al Hakim yang namanya disebut dalam Al-Qur’an dan dijadikan nama surat ketiga puluh satu. Makam Luqman berdampingan dengan makam Nabi Daniyal. Berada di goa bawah tanah masjid Nabi Daniyal, tak jauh dari terminal utama Alexandria. Selama menatap makam Luqman air mataku meleleh teringat nasihat Luqman pada anaknya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
"Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). [107] I
Luqman seperti masih hidup dan menasihati diriku dengan suaranya yang penuh wibawa dan mengetarkan jiwa. Jika aku punya anak kelak, aku ingin mendidiknya seperti Luqman mendidik anaknya. Aku ingin menasihatinya seperti Luqman menasihati anaknya. Aku ingin bersikap bijaksana padanya seperti Luqman bersikap bijaksana pada anaknya. Ya Tuhan, kabulkan.

22. Penangkapan

Dalam perjalanan pulang entah kenapa aku merasakan kecemasan yang menyusup begitu saja dalam jiwa. Selama melewati jalan lurus yang membelah lautan padang pasir aku terus berdoa agar diberi keselamatan sampai tujuan. Kupandang lekat-lekat wajah Aisha yang sedang konsentrasi mengemudikan kendaraan. Dalam hati aku berkata:
Aku cemas bila kehilangan kau
Aku cemas pada kecemasanku [108]
Aisha terus mengebut dengan tenang. 90 km/jam. Semua kendaraan berjalan cepat. Tak ada yang lambat. Bus West Delta menyalib dengan kecepatan gila. Memasuki Giza, awal masuk kota Kairo dari arah Alexandria, kami mampir di sebuah restoran untuk makan malam dan sedikit membeli oleh-oleh buat Si Hosam dan Magdi. Dua penjaga apartemen yang dalam waktu singkat sudah sangat akrab dengan kami. Tepat pukul sembilan malam kami tiba di gerbang apartemen. Dua malam sebelum Ramadhan tiba. Rencana berangkat umrah awal Ramadhan terpaksa diundur satu minggu. Baru masuk rumah sms dari Yousef datang, mengabarkan kondisi Maria semakin memburuk dan terpaksa harus dirawat di rumah sakit Maadi. Kondisi kami sangat lelah. Tidak mungkin langsung meluncur ke Maadi. Aku membalas dengan mengabarkan baru tiba dari Alexandria dan insya Allah besok pagi akan datang menjenguk.
Selesai membersihkan badan dengan air hangat kami shalat berjamaah. Selesai shalat aku turun ke bawah membawa oleh-oleh untuk Hosam dan Magdi. Dua bungkus ayam panggang dan dua jaket baru. Mereka senang sekali menerimanya. Aku kembali naik dan mengajak Aisha istirahat. Ketika mata baru saja akan terlelap, Aisha terbangun dan berlari ke kamar mandi. Ia muntah-muntah. Kubuntuti dia. Kupijit-pijit tengkuknya. Mukanya pucat. Dalam pikiranku dia masuk angin dan kelelahan. Ia telah bekerja keras, memforsir tenaga dan pikirannya untuk menulis biografi ibunya selama di Alexandria. Ia juga harus konsentrasi selama tiga jam mengendarai mobil. Aku merasa sangat kasihan pada isteriku. Aku berniat aku harus bisa menyetir agar isteriku tidak kelelahan. Kugosok punggungnya dengan minyak kayu putih. Telapak tangan, kaki, perut dan lehernya kuolesi minyak kayu putih. Kubuatkan ramuan obat andalanku jika lelah dan meriang. Segelas madu hangat diberi habbah barakah. Rasulullah pernah memberi tahu bahwa habbah barakah bisa menjadi obat segala penyakit. Setelah meminum ramuan itu Aisya kuajak tidur.
Pagi hari ia tampak segar. Pukul sembilan saat aku bersiap mengajaknya ke rumah sakit Maadi. Tiba-tiba dia kembali muntah-muntah. Aku bingung. Aku takut ia terkena penyakit yang orang Jawa bilang masuk angin kasep, yaitu masuk angin yang bertumpuk-tumpuk dan parah. Aku urung ke Maadi, dengan taksi kubawa Aisha ke klinik terdekat. Seorang dokter berjilbab memeriksanya. Hampir setengah jam lamanya Aisha berada dalam kamar periksa dengan dokter berjilbab. Ketika keduanya keluar, dokter berjilbab itu tersenyum, “Selamat! Setelah kami periksa air seninya dan kami lanjutkan dengan USG, isteri anda positif hamil!”
Wajah Aisha cerah. Kepadaku ia mengerlingkan mata kanannya. Aku merasakan kebahagiaan luar biasa. Begitu sampai di flat Aisha berkata dengan wajah cerah,
“Melodi cinta yang kau mainkan sungguh ampuh suamiku. Dan memang saat malam pertama dan malam-malam indah setelah itu adalah saat aku sedang berada dalam masa subur. Allah telah mengatur sedemikian indahnya. Segala puji bagi-Nya yang telah memberikan anugerahNya yang agung ini pada kita berdua.”
Aku tersenyum dan langsung mencium pipinya yang bersih. Aisha menggeliat manja. Ia lalu mengangkat telpon memberi tahu bibinya, Sarah. Ia juga memberi tahu Akbar Ali, pamannya di Turki. Aku melihat kalender. Tak terasa kami telah hidup bersama sejak malam pertama itu selama satu bulan lebih. Hari-hari indah selalu berlalu begitu saja tanpa terasa. Rasanya aku baru sehari bersama Aisha.
Untuk menghayati keagungan nikmat yang telah Tuhan berikan, kuajak Aisha sujud syukur dan shalat dhuha. Kepadanya aku berpesan untuk tidak banyak beraktifitas keluar rumah. Menjelang zhuhur aku bersiap untuk menjenguk Maria yang sakit. Aisha kuminta di rumah. Dia pesan dibelikan buah pir dan korma. Tiba-tiba ada orang membunyikan bel dengan kasar sekali. Aku bergegas membuka pintu dibuntuti Aisha yang penasaran siapa yang membunyikan bel seperti orang gila itu. Begitu pintu kubuka. Tiga orang polisi berbadan kekar menerobos masuk tanpa permisi dan menghardik,
“Kau yang bernama Fahri Abdullah?!”
“Ya benar, ada apa?”
“Kami mendapatkan perintah untuk menangkapmu dan menyeretmu ke penjara, ya Mugrim!” [109] bentak polisi yang berkumis tebal.
“Kalian bawa surat penangkapan dan apa kesalahanku?”
“Ini suratnya, dan kesalahanmu lihat saja nanti di pengadilan!”
Aku membaca selembar kertas itu. Aku ditangkap atas tuduhan memperkosa. Bagaimana ini bisa terjadi.
“Ini tidak mungkin! Ini pasti ada kesalahan. Saya tidak mau ditangkap!” bantahku.
“Jangan macam-macam, atau kami gunakan kekerasan!” bentak polisi Mesir. Aku sangat geram pada sikapnya yang sangat jauh dari sopan dan kelihatan sangat angkut. Aisha cemas dan memegangi tanganku. Polisi Mesir itu berkata-kata dengan suara keras seperti anjing menyalak.
“Ayo ikut kami!” tegas polisi kurus hitam sambil memegang erat-erat tangan kananku. Aku menarik tanganku tapi polisi hitam mencengkeramnya kuat-kuat dan memasang borgol. Tangan kiriku dipegang Aisha, dia menangis.
“Ada apa ini Fahri, ada apa!?” tanya Aisha dengan muka pucat.
Polisi berkumis menarik tangan kiriku dari pegangan Aisha dan memaksa memborgolku.
“Sebentar Kapten biarkan aku sedikit bicara pada isteriku!?” ucapku dengan suara tegas.
“Boleh. Dua menit saja!” kata Si Kumis.
Aku lalu menjelaskan pada Aisha, hal seperti ini sering terjadi di Mesir. Polisi Mesir tidak memakai azas praduga tak bersalah. Tapi praduga bersalah. Jika dicurigai langsung ditangkap akan dibebaskan kalau terbukti tidak bersalah. Aku berpesan pada Aisha untuk bersabar dan langsung menghubungi Paman Eqbal, teman-teman PPMI, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia. Surat penangkapannya kuminta untuk aku berikan kepada Aisha. Tujuanku agar nanti mudah dilacak keberadaanku. Tapi polisi itu tidak memperbolehkannya. Aku pun pasrah digelandang tiga polisi itu. Kulihat Aisha terisak-isak. Aku dibawa turun melalui lift. Di halaman mobil kerangkeng besi menungguku. Sebelum masuk mobil kerangkeng aku sempat mendongakkan kepala ke arah jendela flat lantai 7. Di sana kulihat wajah Aisha yang basah air mata. Aku tidak tahu akan dibawa ke mana. Dalam beberapa jam saja kegembiraan yang aku rasakan berubah menjadi kesedihan dan kecemasan. Kota Cairo yang indah tiba-tiba terasa seperti sarang monster yang menakutkan.


23. Dalam Penjara Bawah Tanah

Aku dibawa ke markas polisi Abbasea. Diseret seperti anjing kurap. Lalu diinterogasi habis-habisan, dibentak-bentak, dimaki-maki dan disumpahserapahi dengan kata-kata kotor. Dianggap tak ubahnya makhluk najis yang menjijikkan. Tuduhan yang dialamatkan kepadaku sangat menyakitkan: memperkosa seorang gadis Mesir hingga hamil hampir tiga bulan.
“Orang Indonesia kau sungguh anak haram. Saat mengandung dirimu, ibumu makan apa heh? Makan bangkai anjing ya? Kau pura-pura menolong gadis malang itu ternyata kau menerkamnya. Kau berani menginjak-injak kehormatan perempuan kami. Kau ini mahasiswa Al Azhar, katanya belajar agama, ternyata manusia bejat berwatak serigala!” Seorang polisi hitam besar membentakku lalu menampar mukaku dengan seluruh kekuatan tangannya. Kurasakan darah mengalir dari hidungku.
“Akui saja, kau yang memperkosa gadis bernama Noura yang jadi tetanggamu di Hadayek Helwan pada jam setengah empat dini hari Kamis 8 Agustus yang lalu? Akui saja, atau kami paksa kau untuk mengaku! Jika kau mengakuinya maka urusannya akan cepat.”
Kata-kata polisi itu membuatku kaget bukan main. Noura hamil dan aku yang dituduh memperkosanya. Sungguh celaka!
Dengan tetap berusaha berkepala dingin aku mencoba menjelaskan kepada mereka itu adalah sebuah tuduhan keji. Lalu kujelaskan semua kronologis kejadian malam itu. Sejak mendengar jeritan Noura disiksa ayah dan kakaknya sampai paginya dititipkan ke rumah Nurul. Tapi penjelasanku dianggap seolah suara keledai. Mereka malah tertawa. Dan menjadikan aku bulan-bulanan oleh hinaan, makian dan tamparan yang membuat bibirku pecah.
“Kami memiliki bukti kuat kaulah pemerkosa gadis malang itu. Dia sangat menyesal mengikuti bujuk rayumu. Dia telah menceritakan semuanya. Dan dia juga punya saksi kau melakukan perbuatan terkutuk yang merusak masa depannya itu. Kau sudah tahu bahwa hukuman pemerkosa di negara ini adalah hukuman gantung. Sekarang kau hanya memiliki dua pilihan. Mengakui perbuatanmu itu, dan kau mungkin akan mendapat keringanan atas kerja samamu. Sehingga kau mungkin tidak akan dihukum gantung. Atau kau tetap bersikeras mengingkarinya dan terpaksa nanti pengadilan akan menggantungmu. Pilih mana?” Polisi hitam besar kembali menggertak. Hatiku sempat ciut. Aku teringat ulama-ulama yang mengalami nasib tragis di tangan para algojo negara ini. Apa pun jalannya, kematian itu satu yaitu mati. Allah sudah menentukan ajal seseorang. Tak akan dimajukan dan dimundurkan. Maka tak ada gunanya bersikap lemah dan takut menghadapi kematian. Dan aku tidak mau mati dalam keadaan mengakui perbuatan biadab yang memang tidak pernah aku lakukan.
“Kapten, aku memilih membuktikan di pengadilan bahwa aku tidak bersalah. Aku yakin negara ini punya undang-undang dan hukum. Aku minta disediakan pengacara!”
“Tindakan bodoh! Di pengadilan kau akan kalah! Kau akan dihukum gantung! Lebih dari itu kau akan masuk surat kabar! Kau akan diteriaki orang-orang sebagai pemerkosa! Kenapa kau tidak memilih mengakuinya dan kita tutup kasus ini diam-diam. Kita buat kesepakatan-kesepakatan dengan keluarga Noura sekarang. Kalau mereka memaafkan kau mungkin akan bernasib lebih baik.Kami masih sedikit berbelas kasihan padamu karena kau orang asing. Kalau kau orang Mesir sudah kami binasakan!” bentak polisi hitam dengan mata melotot.
“Aku bukan pelaku pemerkosaan itu Kapten! Aku akan buktikan bahwa aku tidak bersalah!” tegasku.
“Baiklah aku akan memberimu waktu berpikir dua hari. Jika kau tetap bersikeras tidak mau mengaku dan mengambil jalan kompromi maka terpaksa kau kami seret ke meja hijau dan jangan salahkan kami jika nasibmu berakhir di tiang gantungan dan namamu dilaknat semua orang!”
“Yang berhak melaknat hanya Allah. Dan hanya Allahlah yang tahu segalanya. Aku tidak akan takut dengan caci maki manusia selama aku merasa berada di jalan yang benar!”
“Hahaha…kau ini sok pintar! Jalan benar apa? Apa memperkosa itu jalan yang benar? Kau ini sudah selesai S.1. di Al Azhar. Gadis-gadis Indonesia saja banyak kenapa ketika itu kau tidak memilih menikah dengan salah satu dari mereka. Kenapa kau malah memilih memperkosa gadis malang itu dengan pura-pura mau menolong? Dan itu kau anggap jalan yang benar? Dasar anak anjing! Dasar anak pelacur!” Polisi hitam itu mengumpat-umpat kasar. Entah kenapa mendengar kalimat umpatan terakhir darahku mendidih.
“Kau yang anak anjing! Wajahmu hitam penuh dosa! Kau yang anak pelacur! Yakhrab baitak!” balasku mengumpat dengan sama kasarnya. Wajah polisi itu semakin gosong. Giginya gemerutuk seperti monster mau menelanku. Ia pun melayangkan tangan kanannya ke mukaku.
“Bawa dia ke penjara dan cambuk sepuluh kali atas penghinaannya padaku!” Perintahnya pada tiga anak buahnya yang tadi menangkapku. Tiga polisi itu lalu menggelandangku ke penjara. Inilah untuk pertama kalinya aku masuk penjara. Kami melewati sel-sel yang berisi tahanan yang semuanya orang Mesir. Mereka semua terheran-heran melihat kehadiranku. Tiga polisi itu terus menggelandangku hingga sampai disebuah ruangan kosong. Ada sebuah kursi kayu kusam dan didindingnya tergantung beberapa alat penyiksa. Cambuk. Pentungan dari karet. Ganco. Tali. Dan lain sebagainya.
Polisi gendut melepas pakaianku. Lalu menyuruhku berdiri menghadap tembok. Setelah itu aku merasakan sabetan cambuk yang perih di punggungku. Tidak sepuluh kali tapi lima belas kali. Aku merasakan sakit luar biasa. Mereka lalu melepas borgolku dan menyeretku ke sebuah ruangan, melucuti semua pakaianku kecuali pakaian dalam. Juga sepatuku. Dalam keadaan hanya memakai celana dalam mereka menggunduliku. Lalu melempar seragam tahanan ke arahku. Cepat-cepat aku menutup aurat. Si Kumis menyuruh aku berdiri tegap dengan tangan diletakkan dibelakang punggung. Si Hitam memegang kedua tanganku yang kulipat dibelakang punggung kuat-kuat. Sementara Si Gendut mengikat kedua kakiku. Lalu dengan sangat kurang ajar Si Kumis mempermainkan kemaluanku. Aku menjerit-jerit dan meronta-ronta. Meludahi Si Kumis. Tapi mereka terus saja terbahak-bahak seperti setan. “Ini yang digunakan untuk memperkosa itu oh..oh..oh! Burung kakak tua..hehehe..kecil sekali tak ada apa-apanya dengan milikku…hehehe..tapi berani kurang ajar ya hehehe..hahaha!”
Sungguh perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Aku merasakan penghinaan yang luar biasa. Aku belum pernah merasakan diriku dihina dan kehormatanku dinistakan senista itu. Aku lebih suka dirajam daripada dihina seperti itu. Jika aku sampai terlihat mengucurkan air mata, maka ketiga setan itu akan semakin gila tertawanya. Aku merintih dalam hati. Batinku menangis sejadi-jadinya memohon keadilan kepada Allah. Agar mereka diganjar atas kekurangajaran mereka. Aku terus menjadi bulan-bulanan mereka sampai aku tidak sadarkan diri.
* * *
Ketika sadar, aku berada di sebuah kamar gelap dan pengap.
“Alhamdulillah, kau sudah sadar.” Suara orang yang kurasa sangat tua. Di keremangan cahaya buram lampu di luar kamar yang masuk melalui jeruji pintu sel aku bisa menangkap wajah orang tua berjenggot putih duduk di dekatku.lalu empat orang lainnya. Dua setengah baya dan dua lainnya muda. Mereka semua memakai pakaian tahanan yang lusuh.
“Kelihatannya kau bukan orang Mesir?” tanya kakek tua ramah. Aku sedikit tenang mendengar suaranya yang lembut. Tapi aku kuatir dengan yang empat, kalau mereka orang-orang yang jahat aku bisa jadi bulan-bulanan di penjara ini. Aku pernah mendengar adanya hukum rimba di dalam penjara. Apalagi aku asing sendiri di sini.
“Dari Indonesia.”
“Siapa namamu?”
“Fahri Abdullah Shiddiq.”
“Nama yang bagus. Namaku Abdur Rauf.”
“Apa yang kau lakukan di Mesir?”
“Hanya belajar.”
“Di mana?”
“Di Al Azhar.”
“Masya Allah. Lantas bagaimana ceritanya kau bisa masuk penjara ini?”
“Musibah ini datang begitu saja. Aku dituduh memperkosa gadis Mesir, padahal aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu. Bagaimana mungkin aku akan melakukannya padahal aku memiliki seorang ibu, bibi, isteri dan nanti mungkin seorang anak perempuan. Aku terkadang tidak bisa memahami sistem yang berlaku di negara ini?”
“Di mana kau ditangkap?”
“Di rumah.”
“Nasibmu masih lebih bagus dariku Anak muda. Aku ditangkap disaat sedang menguji tesis magister di universitas. Di depan sekian banyak orang aku diperlakukan seperti tikus.”
“Jadi Anda seorang guru besar?”
Pemuda berwajah putih yang sejak tadi mematung di pojok ruangan menyahut sambil mendekat, “Beliau adalah Prof. Dr. Abdur Rauf Manshour, guru besar ekonomi pembangunan di Universitas El-Menya. Beliau kemungkinan ditangkap karena kritik-kritik tajamnya di koran! Oh ya perkenalkan namaku Ismail, mahasiswa kedokteran tahun ketiga Universitas Ains Syam, ditangkap karena memimpin demonstrasi di dalam kampus mengutuk tindakan Ariel Sharon menginjak-injak Masjidil Aqsha dan perlakuan kejam tentara Israel pada anak-anak Palestina terutama penembakan Muhammad Al Dorrah dua tahun lalu.”
“Jadi kau sudah dua tahun mendekam di sini?”
“Ya.”
“Dan hanya karena memimpin demonstrasi di dalam kampus?”
“Ya.”
“Aku lebih tragis lagi!” Pemuda yang satunya menyahut, “aku tidak melakukan apa-apa juga ditangkap. Kau tentu tahu demonstrasi di masjid Al Azhar usai shalat Jum’at satu tahun yang lalu yang menentang agresi Amerika ke Afganistan. Demonstrasi itu tidak besar. Bisa dikatakan bukan demonstrasi malah. Lebih tepat dikatakan protes. Ketika orang-orang bertakbir aku ikut bertakbir. Hanya itu. Keluar masjid aku ditangkap dan mendekam di sini sampai sekarang. Kenalkan namaku Ahmad biasa dipanggil Hamada. Aku tidak kuliah, lulus SLTA langsung bekerja di penerbit Muassasa Resala.”
“Muassasa Resala di dekat Abidin Attaba itu?” tanyaku.
“Benar.”
Kami lalu berbincang banyak dan saling mengenal satu sama lain. Dua lelaki setengah baya bernama Haj Rashed, dia kepala sekolah SD dan imam sebuah masjid kecil di Mathariyah. Ditangkap dua bulan lalu karena khutbah Jum’atnya yang pedas. Yang satunya bernama Marwan, mantan pegawai jawatan kereta api, dipenjara sejak setengah tahun lalu karena membunuh tetangganya yang menggoda isterinya.
“Aku ini orang paling besar cemburunya di dunia. Sebenarnya aku sudah bersabar dan beberapa memberi peringatan pada pria kurang ajar itu. Tapi dia sungguh keterlaluan. Rumah kami dua tingkat di atasnya. Suatu ketika isteriku belanja, ketika pulang satu lift dengannya. Di dalam lift itulah dia menggerayangi isteriku. Isteriku lapor padaku. Seketika itu juga kudatangi dia dan kupancung dia. Dia keliru kalau menganggap diriku tidak bisa berbuat sesuatu. Seandainya dengan perbuatanku ini aku akan dihukum mati aku akan menerimanya dengan senang hati. Aku merasa puas karena aku telah membela kehormatan isteriku.”
Cerita Marwan langsung mengingatkan diriku pada Aisha. Oh Aisha, dia tentu sangat sedih sekarang. Dia sendirian di flat memikirkan nasibku dengan penuh kecemasan. Aku menitikkan air mata dan berdoa kepada Allah agar memberikan ketabahan pada Aisha dan agar melindunginya dari segala mara bahaya.
“Orang Indonesia, siapkanlah mentalmu! Kau akan menghadapi hari-hari yang mencekam. Hari-hari yang tidak kau ketahui apakah kau masih hidup atau telah mati. Kamar kita ini hanya berukuran tiga kali tiga. Kau lihat aku berdiri di atas genangan Air. Padahal sekarang sudah mulai masuk musim dingin. Setengah ruangan ini tergenang air. Kau kini duduk dibagian yang kering. Selama ini kita tidur bergantian. Terkadang tidur sambil berdiri. Kita diberi kesempatan ke WC dan kamar mandi sehari sekali menjelang shubuh. Itupun dalam antrean yang panjang dan terkadang kita sama sekali tidak punya kesempatan ke WC karena waktu yang diberikan telah habis. Siapkanlah mentalmu!” kata Professor Abdul Rauf.
“Gelap dan pengap. Apakah kita berada di bawah tanah?” tanyaku.
“Benar! Oh ya, tadi kau pingsan cukup lama. Kelihatannya kau belum shalat ashar,” jawab Professor Abdul Rauf.
“Astaghfirullah. Pukul berapa sekarang?” tanyaku.
“Pastinya tidak tahu, tapi sebentar lagi maghrib datang.”
“Tayammum?”
“Ya.”
Aku lalu tayammum dan shalat. Selesai shalat Professor Abdul Rauf memimpin kami membaca doa dan dzikir sore hari. Ditutup doa rabithah yang dibaca oleh Haj Rashed. Tak lama setelah itu azan maghrib berkumandang. Adil bergumam lirih,
“Ya Allah, inilah saat malam-Mu datang menjelang, dan siang-Mu telah berlalu, dan inilah suara dari para penyeru-Mu maka ampunilah kami.”
Karena tempat yang sempit kami tidak bisa berjamaah sekaligus. Terpaksa dibagi dua jamaah bergantian. Aku diminta menjadi imam jamaah kedua, dengan alasan aku satu-satunya yang dari Al Azhar. Aku membaca surat Yusuf, ayat-ayat yang menceritakan nabi mulia itu dipenjara di Mesir karena tuduhan Zulaikha. Sungguh nasibku tak jauh berbeda dengan Yusuf. Noura mengaku aku telah memperkosanya. Aku menangis dalam shalat.
“Bacaan Al-Qur’anmu indah dan tartil, di mana kau talaqqi?” tanya Haj Rashed
“Di Shubra. Pada Syaikh Ustman Abdul Fattah.”
“Yang di masjid Abu Bakar itu?”
“Benar.”
“Pantas. Besok malam sudah mulai tarawih. Kau saja imamnya ya?”
Pertanyaannya kembali mengigatkan aku pada Aisha. Dia akan menjalani Ramadhan sendirian dengan hati sedih. Rencana umrah ke tanah suci dan berhari raya di Indonesia tidak jadi. Oh begitu cepat perubahan terjadi. Kemarin malam aku masih tidur nyaman di hotel berbintang di Alexandria bercinta dengan Aisha begitu mesranya. Malam ini aku meringkuk kedinginan di penjara bawah tanah. Aku nyaris tidak bisa memejamkan mata. Seluruh tulang terasa ngilu, kulit kedinginan, punggung perih bukan main, dan kemaluan sakit luar biasa. Bayang-bayang kematian mengintai di semua sudut ruangan, tapi aku bersikeras untuk bertahan.
Keesokan harinya terdengar langkah sepatu bot. Lalu suara orang membentak sambil menggedor pintu sel, “Tahanan nomor 879!”
Tak ada yang menjawab. Semua diam. Ismail dan Haj Rashed berpandangan.
“Hai tahanan 879! Anjing! Dungu ya?” Sipir penjara itu marah sekali.
Ismail menepuk pundakku. “Coba lihat nomormu!” Pelannya. Ia lalu mendekatkan matanya ke dadaku. Dalam keremangan gelap tertulis di sana nomor 879. Berarti aku yang dimaksud. Aku lalu beranjak menuju pintu yang telah dibuka. Sipir itu langsung menarikku dengan kasar dan menendangku, “Dungu kau!”
Aku kembali dibawa ke ruang interogasi. Polisi hitam besar yang kemarin mengintrogasiku telah menunggu dengan segelas teh kental di tangan kanannya. Begitu aku masuk ia tersenyum sinis. Dua orang polisi yang kemarin menangkapku juga ada di situ. Si Hitam dan Si Gendut. Aku tidak melihat Si Kumis yang kurang ajar itu.
“Bagaimana orang Indonesia? Kau mau mengakui perbuatanmu? Aku berjanji akan mengusahakan keringanan hukumannya?” tanyanya.
“Aku tidak berubah pikiran. Aku tidak melakukan perbuatan dosa itu. Bagaimana mungkin aku akan mengakuinya. Aku akan buktikan bahwa aku tidak bersalah!” jawabku tegas.
“Semua penjahat selalu berkata begitu. Kau sungguh bodoh! Jika kau sampai ke meja hijau kau akan kalah. Bukti kau bersalah sangat kuat! Kau akan digantung! Kau masih punya kesempatan satu hari untuk berpikir. Sipir beri dia sedikit sarapan pagi biar pikirannya cerah!”
Dua anak buahnya itu lalu membawaku ke ruangan penyiksaan. Aku disuruh berdiri tegak. Si hitam mengangkat kursi kayu, dua kaki belakang kursi itu diletakkan diatas telapak kakiku. Dan Si Polisi Gendut lalu menduduki kursi itu. Terang saja aku menjerit kesakitan. Telapak kakiku terasa remuk tulang-tulangnya. Dan ketika aku menjerit Si Hitam menjejalkan roti keras ke mulutku hingga menyodok tenggorokanku. Aku mau muntah tapi raoti kering itu tetap dijejalkan ke mulutku. Ketika aku sudah tidak tahan dan nyaris pingsan ia menarik roti itu dan si gendut bangkit dari kursi itu. Aku dibiarkan istirahat sebentar, lalu disuruh menghadap ke dinding dan dicambuk lima kali. Belum juga puas, mereka lalu menyodok perutku yang masih kosong dengan popor bedil tiga kali sampai aku muntah. Rupanya itu yang dimaksud dengan sedikit sarapan pagi. Dengan tubuh lemas aku diseret dan dilempar kembali di sel bawah tanah. Dan aku jatuh tertelungkup di dalam sel tak sadarkan diri.



24. Tangis Aisha

Yang kulihat pertama kali adalah wajah Ismail ketika aku bangun. Kepalaku ada di atas pahanya. Ia tersenyum padaku. Aku merasa haus sekali. Sejak kemarin tenggorokanku belum terkena setetes air sama sekali.
“Aku haus sekali,” lirihku sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhku.
“Hamada, ambilkan susu itu!” Kata Professor Abdul Rauf.
Hamada mengambil botol berisi susu dan meminumkan padaku. Aku menenggak tiga teguk. “Sudah,” kataku.
“Minumlah lagi, biar tubuhmu segar!” paksa Ismail.
Aku menenggak tiga teguk lagi. “Sudah!” kataku.
“Apa yang mereka perlakukan terhadapmu?”
Dengan suara terbata aku menceritakan semua bentuk penyiksaan yang aku terima sejak kemarin sampai tadi pagi. Juga perlakuan mereka yang keji atas kemaluanku.
“Mereka sungguh biadab!” geram Ismail mendengar ceritaku.
“Mereka memang sangat biadab. Lebih biadab dari Iblis! Dan apa kau terima masih belum seberapa dibandingkan para ulama yang disiksa habis-habisan tahun enam puluhan. Bahkan ada dua orang ulama yang ditelanjangi dan dipaksa melakukan perbuatan kaum nabi Luth. Tentu saja mereka tidak mau melakukan perbuatan terkutuk itu. Akhirnya mereka berdua mati syahid jadi santapan anjing ganas yang lapar.” Kisah Professor Abdul Rauf dengan suara bergetar.
Aku bergidik mendengarnya. Perlakuan mereka yang keji padaku terbayang kembali. Membuat hatiku perih dan sakit sekali. Aku tak bisa membayangkan sakitnya seorang perempuan diperkosa. Kehormatannya dinodai. Betapa sakitnya mereka. Gilanya aku dituduh melakukan perbuatan bejat yang menyakitkan perempuan itu. Perbuatan yang sangat kubenci dan kukutuk, tidak mungkin aku lakukan. Rasa gilu dan sakit bergumul dalam hati bercampur marah, bertumpuk-tumpuk, mendera-dera, menyesak-nyesak dalam dada.
“Sudahlah kita makan dulu. Alhamdulillah, ada sedikit rizki dari Allah Swt.!” kata Professor Abdul Rauf.
Haj Rashed mengambil bungkusan dari pojok ruangan. Tiga roti isy yang empuk dan lebar, satu ayam panggang digelar dan satu plastik apel. Aku bangkit duduk perlahan.
“Apakah semewah ini jatah dari penjara?” tanyaku.
“Tak lama lagi kau akan tahu seperti apa jatah penjara,” sahut Hamada.
“Lebih kayak untuk santapan binatang!” tukas Marwan.
Haj Rashed berkata:
“Yang kita makan ini adalah kiriman dari isteri Professor Abdul Rauf. Untuk bisa memasukkan makanan ini ke penjara dia harus membayar seratus pound kepada petugas. Kirimannya juga dirampas setengahnya. Aslinya adalah dua botol susu, enam lembar roti Isy, dua buah ayam bakar dan dua kilo apel. Tapi para sipir itu minta separo bagian. Tidak setiap saat keluarga kami boleh mengirim makanan. Satu bulan hanya diizinkan dua kali saja. Makanan ini sudah datang sejak tadi pagi. Beberapa menit setelah kamu dibawa keluar. Kami tidak mungkin makan tanpa menunggumu. Kami yakin kau pasti sudah lapar. Wajahmu sedemikian pucatnya. Rasulullah tidak mengizinkan perut kita kenyang sementara orang terdekat kita kelaparan.”
Penjelasan Haj Rashed membuat diriku terharu. Bahwa diriku berada di tengah-tengah orang baik. Mereka begitu perhatian padaku. Kami pun makan bersama penuh nikmat dengan diselimuti rasa persaudaraan yang kuat. Setelah makan dan minum beberapa teguk susu tubuhku terasa memiliki kekuatan kembali.
Tak lama setelah itu seorang sipir menggedor pintu dan dari jeruji atas ia melemparkan enam roti isy kering. Ia melempar roti itu seperti melempar makanan pada anjing. Isy itu melayang bertebaran. Ada yang mengenai muka Professor. Ada yang jatuh di kaki Ismail dan ada yang masuk air yang menggenang di sebagian lantai.
“Ini jubnahnya!” [110] teriak sipir itu melempar bungkusan hitam.
Ismail memunguti isy itu dan mengumpulkannya. Yang jatuh ke genangan air ia pisahkan. Ia mengambil selembar Isya yang sudah kering itu serta bungkusan hitam dan menyerahkannya padaku.
“Inilah jatahnya. Sehari sekali. Coba kau lihat!” ujarnya padaku.
Aku pegang isy itu. Kering dan kaku. Kubuka plastik hitam, baunya sudah tidak karuan.
“Tapi kita tetap harus menerimanya dengan sabar. Yang jatuh ke dalam genangan air kotor itu pun suatu ketika ada gunanya. Dahulu baginda nabi dan para sahabat pernah sampai makan rerumputan dan akar pepohonan,” lanjut Ismail.
Kembali aku teringat hari-hari indah bersama Aisha. Makan tidak pernah kurang. Selama di Alexandria selalu di restoran hotel. Semua enak dan penuh gizi. Dan tiba-tiba kini aku harus siap dengan makanan yang layaknya untuk tikus dan kecoa. Aku masih merasakan Allah Maha Pemurah, makan pertama di penjara adalah ayam panggang lengkap dengan sebutir apel merah yang segar.
Malam harinya kami tarawih. Kami mengatur sedemikian rupa agar kami tetap bisa shalat tarawih berjamaah bersama. Haj Rashed minta satu juz dalam delapan rakaat. Inilah untuk pertama kalinya aku jadi imam tarawih di Mesir. Dan di dalam penjara. Setengah tiga kami bangun, tahajjud sebentar lalu sahur. Apalagi yang kami makan kalau bukan jatah tadi siang. Aku hampir muntah tapi kutahan-tahan. Kulihat Professor dan teman-teman lainnya makan dengan santai. Di pojok ruangan ada ember plastik. Kami bergantian minum dari air yang ada di ember itu.
“Kita beruntung minum dari ember. Di kamar paling pojok sana tempat airnya adalah kaleng bekas yang sudah karatan,” kata Hamada.
Aku teringat Aisha, bagaimanakah dia sekarang. Apakah juga sedang sahur, ataukah sedang menangis sendirian. Aku sangat merindukannya.
* * *
Sampai hari ketiga ditahan, belum juga ada yang menjengukku. Meskipun diinterogasi dan dipaksa seperti apapun aku tetap bersikukuh tidak mau mengakui dakwaan itu. Aku tetap memilih membuktikan tidak bersalah di pengadilan. Pengadilan pertama akan digelar tiga hari lagi. Aku cemas. Aku perlu pengacara dan saksi yang membelaku bahwa aku tidak bersalah. Teman-teman satu rumah di Hadayek Helwan. Kelurga Tuan Boutros. Nurul dan teman-temannya. Dan Syaikh Ahmad. Mereka bisa menjadi saksi. Tapi bagaimana aku bisa menghubungi mereka. Isteriku, Aisha yang sangat kurindukan belum juga datang menjenguk. KBRI atau PPMI belum juga tampak batang hidungnya. Aku sangat gelisah dan sedih. Aku kuatir mereka tidak mau mengerti karena termakan oleh fitnah keji itu. Aku takut Aisha tidak percaya padaku dan membenciku. Aku tak kuat memendam semua kegekisahan dan kekuatiran ini. Akhirnya kuutarakan semuanya pada Profesor Abdul Rauf dan teman-teman.
“Fahri, kau jangan kuatir. Aku yakin mereka semua sudah tahu dan sudah bergerak. Cuma memang pihak kepolisian yang sengaja mengulur waktu agar kau tidak segera bisa bertemu dengan mereka. Dulu, waktu aku ditangkap, satu bulan keluargaku mencariku ingin bertemu tapi tidak bisa. Baru bulan kedua mereka menemukanku. Isterimu mungkin sekarang sedang pontang-panting dipermainkan para polisi tidak bertanggung jawab itu. Mungkin sudah sampai di kantor penjara ini. Tapi pihak keamanan akan bilang sudah dipindah ke Tahrir. Nanti yang Tahrir akan bilang dipindah ke Nasr City. Dan seterusnya. Begini saja nanti ibuku mau menjengukku. Berikanlah nomor handphone isterimu, biar ibuku memberitahu dia bahwa kau ada dipenjara ini,” kata Ismail memberi saran. Untung aku ingat nomor handphone Aisha. Aku beritahu nomor itu pada Ismail sampai dia hafal betul. Dan nanti ibunya akan menghafal nomor itu. Jika satu angka saja salah maka nasibku akan semakin buruk.
* * *
Hari keempat.
Setelah menerima sarapan pagi dari sipir penjara berupa cambukan, pukulan dan tamparan aku mendapat panggilan. Seorang sipir menggelandangku dengan tergesa-gesa ke balai pengobatan penjara. Seorang dokter militer dan dua perawat membersihkan muka dan beberapa bagian tubuhku yang luka. Penampilanku mereka perbaiki sedemikian rupa. Lalu aku diajak ke sebuah ruangan. Di sana ada tiga sosok menungguku, Paman Eqbal, Magdi penjaga apartemen kami dan seorang perempuan bercadar yang aku yakin dia adalah Aisha. Begitu melihat sosokku perempuan bercadar itu berhambur ke arahku. Ia memelukku erat-erat sambil menangis. Aku pun menangis. Ia menatapku dalam-dalam dan meraba wajahku dengan kedua tangannya yang halus.
“Bagaimana keadaanmu, Fahri, Suamiku?”
“Aku baik-baik saja. Kau bagaimana?”
Aisha menangis tersedu-sedu dalam pelukanku. “Apa dosa kita berdua Fahri sampai kita harus menanggung cobaan seberat ini. Aku nyaris kehilangan sesuatu yang paling berharga yang aku miliki kalau seandainya tidak diselamatkan oleh Magdi. Kau harus berterima kasih padanya. Dia telah menyelamatkan kesucian isterimu ini Fahri.” Aisha berkata sambil terisak-isak.
“Apa sebenarnya yang terjadi setelah hari itu?” tanyaku penasaran.
“Aku tak sanggup menceritakannya. Tanyakanlah pada Magdi?” jawab Aisha dengan tetap memeluk erat diriku.
Kami lalu duduk. Kutanyakan apa yang terjadi pada Aisha pada Magdi. Dengan tenang Magdi, polisi yang sering kujumpai shalat berjamaah di masjid dekat apartemen itu bercerita:
“Sebelumnya maafkan diriku, aku tidak bisa membantumu saat kau ditangkap. Karena mereka membawa surat penangkapan lengkap. Meskipun aku secara pribadi tidak yakin akan kebenaran tuduhan yang digunakan sebagai alasan penangkapanmu. Dan anggapanku ini agaknya benar. Satu hari setelah kau ditangkap, sekitar jam sepuluh pagi polisi berkumis yang ikut menangkapmu itu kembali datang. Ia minta izin mau bertanya sedikit pada Madame Aisha, isterimu. Aku menanyakan surat izinnya. Dia bilang tidak bawa tapi ini tugas penting yang harus dikerjakannya. Dia hanya akan bertanya beberapa hal pada Aisha, membutuhkan waktu tak lebih dari sepuluh menit saja. Akhirnya kuizinkan dia naik. Namun aku dan Hosam punya firasat tidak baik dan curiga dengan tindak-tanduknya. Diam-diam kami naik juga ke atas membuntutinya memakai lift satunya. Sampai di lantai 7 kami kaget oleh teriakan Madame Aisha. Kami berdua langsung mendobrak pintu sekuat tenaga. Dan kami melihat Si Kumis sedang mengejar Madame Aisha di ruang tamu hendak memperkosanya. Seketika itu juga dia kami bekuk!”
Darahku mendidih, aku nyaris tidak bisa menguasai amarahku mendengar cerita Magdi.
“Kurang ajar! Akan kucari dan kubunuh keparat itu!” teriakku dengan mengepalkan tangan kuat-kuat. Bagiku kehormatan isteriku adalah segala-galanya, jauh diatas kehormatan diriku sendiri. Kesucian isteriku sama dengan kesucian kitab suci, tidak boleh ada seorang pun yang menodainya apalagi menginjak-injaknya. Kesucian isteriku adalah nyawaku. Ketika ada orang yang berusaha menjamah kesuciannya maka nyawaku akan kupertaruhkan untuk membelanya. Seandainya aku punya seribu nyawa akan aku korbankan semuanya untuk menjaga kesucian isteriku tercinta. Mati seribu kali lebih ringan bagiku daripada ada orang yang menjamah kesuciannya. Malaikat maut pun akan aku hajar jika dia mencoba-coba menodainya. Aku rela dijuluki apa saja untuk membela kesucian isteriku tercinta.
“Insya Allah, kau tidak akan lagi bertemu dengannya!” kata Magdi sambil tersenyum.
“Maksudmu?” tanyaku.
“Dia sedang diproses ke tiang gantungan. Dia terlalu bodoh. Dia salah perhitungan. Dia mengira isterimu adalah orang Indonesia. Dan kau tentu tahu banyak perempuan Indonesia diperkosa di mana-mana, di Saudi, di Singapura, di Malaysia, di Hongkong, di Taiwan, juga beberapa kali di Mesir dan para pemerkosanya tidak tersentuh hukum sama sekali. Diplomasi Indonesia sangat lemah. Si Kumis itu beranggapan begitu. Dia merasa perbuatannya akan aman-aman saja sebab yang akan ia perkosa adalah perempuan Indonesia. Dia menganggap kami berdua seperti penjaga apartemen biasa yang tidak akan berani mengusiknya. Tapi dia keliru. Kami tidak akan membiarkan siapa pun berbuat jahat di apartemen yang kami jaga. Dia langsung kami bekuk begitu tertangkap basah hendak melakukan perbuatan jahat itu. Madame Aisha langsung mengontak Mr. Minnich, Atase Politik Kedutaan Jerman. Kedutaan Jerman langsung mengontak kementerian luar negeri meminta agar penjahat yang mencoba menyakiti warganya ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku di Mesir yaitu hukuman gantung. Si Kumis itu dalam tahanan kami masih bisa tertawa karena ia yakin akan ada yang membebaskannya. Benar, lima jam setelah itu ada perintah untuk membebaskannya. Namun belum sempat kami bebaskan sudah ada perintah lagi untuk memprosesnya secara hukum. Yang kami tahu Jerman mengancam akan mengopinikan di negaranya dan di Eropa bahwa Mesir tidak aman jika polisi brengsek itu tidak ditindak tegas. Jerman juga mengancam akan membatalkan beberapa kerjasama perdagangan dan perindustrian dengan Mesir. Menurut Mr. Minnich keselamatan seorang warganya sama dengan keselamatan presidennya. Tak ada pilihan bagi pemerintah Mesir kecuali menindak tegas seorang oknum tidak bertanggung jawab itu. Tapi setelah kami selidiki agaknya memang ada skenario jahat yang ingin menghancurkan dirimu dan keluargamu, Fahri!” jawab Magdi.
“Maksudmu?”
“Aku sudah bertemu Syaikh Ahmad. Beliau meyakinkan padaku bahwa kau tidak mungkin melakukan hal itu. Selama tiga hari kemarin di samping menangani kasus Si Kumis, aku dan Eqbal berusaha mencari di mana kau berada. Si Kumis bilang di serahkan ke penjara Tahrir. Pihak Tahrir bilang sudah dibawa ke Nasr City. Nasr City bilang sudah diambil Abbasea. Pihak Abbasea bilang sudah dibawa lagi ke Tahrir. Ada orang yang cukup punya kuasa yang mendalangi semua ini, kemungkinan dia seorang oknum dari Keamanan Negara, sampai aku nyaris tidak berdaya dan para polisi itu juga takut memberikan keterangan jelas mengenai keberadaanmu. Pihak Kedutaan Indonesia juga alot di Tahrir. Untung tadi pagi Aisha mendapat telpon dari seorang perempuan yang mengatakan anaknya satu sel denganmu. Dan kami langsung meluncur kemari. Kasus Aisha sudah beres, kau tinggal menunggu kabar penjahat itu digantung. Sekarang tinggal masalahmu. Masalah yang tidak mudah. Coba ceritakanlah padaku bagaimana sebenarnya yang terjadi sampai kau dituduh memperkosa gadis bernama Noura itu?”
Aku lalu menjelaskan semua yang terjadi malam itu, dimulai dari kabar kelulusanku, makan ayam panggang di Sutuh bersama teman-teman, jeritan Noura, minta tolong Maria, sampai menitipkan Noura pada Nurul di Masakin Utsman. Juga aku ceritakan sepucuk surat cinta dan ucapan terima kasih dari Noura.
“Di mana surat itu sekarang?”
“Aku berikan pada Syaikh Ahmad.”
Seorang polisi memberi tahu waktu berkunjung telah habis. Aisha memberikan bungkusan berisi makanan. Dia mengajakku ke pojok ruangan. Di sana dia membuka cadarnya sehingga aku bisa menatap wajahnya. Dia menangis dan tampak sedih. Aku mencium pipinya. “Jaga diri baik-baik, jaga kesehatanmu dan kandunganmu, teruslah berdoa dan mendekatkan diri pada Allah agar semua masalah ini dapat teratasi. Aku sangat mencintaimu, isteriku.”
Aisha terisak, “Aku juga sangat mencintaimu. Kau besarkanlah jiwamu suamiku, aku berada disampingmu. Aku tidak akan termakan tuduhan jahat itu. Aku yakin akan kesucianmu. Kalau seandainya kau mengizinkan aku ingin dipenjara bersamamu agar aku bisa menyediakan sahur dan buka untukmu.”
“Kau jangan berpikir seperti itu. Kau tenangkanlah pikiranmu. Yakinlah semuanya akan selesai dengan baik. Banyak orang baik yang akan membantu kita. Sekarang yang harus kau prioritaskan adalah perhatianmu pada kandunganmu. Sekarang kau tinggal di mana? Apa sendirian di Zamalek?”
“Tidak. Sejak kejadian itu aku tinggal bersama bibi Sarah dan paman Eqbal.”
“Bagus. Kau akan lebih tenang di sana.”
Aisha kembali memasang cadarnya. Paman Eqbal dan Magdi mendekati kami. Mereka pamitan. Aku merangkul paman Eqbal dan minta doanya. Juga merangkul Magdi dan mengucapkan banyak terima kasih padanya. Mereka lalu keluar. Aku beranjak mengambil bungkusan besar berisi makanan. Tiba-tiba Magdi kembali.
“Sst..Fahri ceritakan padaku kau diinterogasi bagaimana?”
Aku menceritakan semuanya. Paksaan untuk mengakui perbuatan itu dan aku bersikukuh tidak mau mengakuinya.
“Keputusan yang tepat sekali. Sebab jika kau mengaku dan menandatangani berkas pengakuan maka sangat sulit diselamatkan. Aku dan Eqbal akan mencari pengacara yang baik untukmu. Kapan sidangnya?”
“Tiga hari lagi.”
“Siksaan apa yang kau terima selama tiga hari ini?”
Aku menceritakan semuanya. Termasuk kekurangajaran Si Kumis mempermainkan kemaluanku. Juga siksaan setiap pagi.
“Tapi kumohon kau jangan ceritakan siksaan-siksaan ini pada Aisha atau paman Eqbal mereka akan sedih. Biarlah nanti kuceritakan sendiri setelah keluar dari penjara ini.”
“Yang kau terima itu masih termasuk ringan. Jangan kuatir. Sakit hatimu pada Si Kumis itu biar teman-temanku yang nanti membalasnya. Dia memang polisi kurang ajar. Aku akan mencoba berbicara pada kepala penjara ini. Dan makanan ini, jika dirampas sama sipir penjara nanti bilang. Terus ciri-ciri sipir itu bagaimana? Aku akan mengurusnya. Sudah ya satu hari sebelum sidang, insya Allah aku dan pengacara yang akan membelamu akan datang kemari. Aku pamit dulu. Selamat beribadah oh ya ada salam dari Syaikh Abdurrahim Hasuna, imam masjid kita. Beliau ikut berbela sungkawa atas musibah yang menimpamu dan beliau akan ikut serta mendoakanmu.”
“Terima kasih atas segalanya Magdi, salam balik untuk beliau.”
Magdi pergi. Aku kembali ke sel. Aku beritahu mereka apa yang terjadi. Mereka semua ikut senang dan berdoa semoga aku cepat bebas dari penjara ini. Bisa kembali belajar dan pulang ke Indonesia mengamalkan ilmu yang kudapat di bumi para nabi ini. Ismail membuka bungkusan besar yang kubawa. Ia heran bagaimana aku bisa membawa makanan sebanyak itu. Kujelaskan semuanya.
“Alhamdulillah, di dunia ini masih ada polisi baik seperti Magdi,” gumam Ismail.
“Dia SLTA di ma’had Al Azhar Damanhur,” sahutku.
“Pantas.”
“Tapi Si Noura, gadis itu juga ma’had Al Azhar, kenapa dia bisa berbuat sejahat itu?” heranku.
“Aku yakin itu bukan semata-mata kemauan Noura. Setidaknya ada sesuatu yang menekannya. Puteriku yang nomor tiga juga di Al Azhar, dan dia sangat jujur,” tukas Haj Rashed.
Belum puas kami berbincang terdengar langkah sepatu bot dan pintu kami digedor.
“Tahanan 879!” teriaknya seperti anjing menyalak.
“Ya!” jawabku dengan suara keras.
“Ayo ikut!”
Aku dibawa ke ruang penerimaan tamu. Di sana sudah ada Staf Konsuler KBRI dan Ketua PPMI. Keduanya memelukku erat-erat. Mereka berdua ingin tahu sebenarnya apa yang terjadi denganku. Aku ceritakan kronologis penangkapanku dan dakwaan yang dialamatkan kepadaku. Staf konsuler berjanji akan membantu sekuat tenaga membebaskan aku dengan upaya diplomatis, meskipun dengan nada yang agak pesimis,
“Tahun 1995 pernah ada mahasiswa kita yang mengalami nasib mirip denganmu. Dia naik lift. Di dalam lift ada anak kecil Mesir. Entah kenapa anak kecil itu menangis. Anak kecil itu melapor pada kedua orang tuanya takut pada mahasiswa kita itu. Orang tuanya melapor pada polisi menuduh mahasiswa kita mencoba mencabuli anaknya. Padahal mahasiswa kita tidak berbuat demikian, dia hanya menyapanya dan mengajaknya bicara seperti kalau bertemu dengan anak-anak di Indonesia. Polisi lebih percaya pada pengaduan orang tua anak itu. Orang Mesir jika sudah menyinggung kehormatan perempuan sangat sensitif. Menyiul perempuan berjalan saja bisa ditangkap polisi jika perempuan itu merasa terhina dan tidak terima. Akhirnya mahasiswa kita itu dipenjara beberapa bulan. Ia dikeluarkan dari Al Azhar dan dideportasi. Ia tidak dihukum gantung karena setelah divisum anak kecil itu memang tidak apa-apa. Bayangkan, hanya karena mengajak bicara anak kecil di dalam lift, mahasiswa kita dipenjara. Dan pihak KBRI tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya mahasiswa kita itu harus keluar dari Mesir. Sekarang ia belajar di Turki. Bahkan ikut membantu staf KBRI di sana. Juga menjadi pemandu travel bagi orang Indonesia yang melancong ke Turki yang biasanya satu paket dengan umrah. Di sana dia malah kaya dan makmur sekarang. Untuk kasusmu ini, kita akan berusaha sekuat tenaga. Tapi kita tidak bisa menjamin keberhasilannya.”
Kata-kata staf konsuler KBRI itu membuat hatiku ciut. Aku tiba-tiba ingin jadi warga negara Amerika saja. Jika aku warga negara Amerika pasti polisi Mesir tidak berani berbuat macam-macam. Menyentuh kulitku saja mereka tidak akan berani apalagi mengancam hukuman gantung. Jika aku jadi warga negara Amerika, mungkin seandainya benar-benar memperkosa pun, tetap selamat. Sebab presiden Amerika akan ikut bicara membela warganya seperti ketika Clinton membela warganya yang dicambuk di Singapura. Lain Amerika lain Indonesia. Apa yang dibela oleh presiden Indonesia kalau bukan jabatan dan perutnya sendiri? Mana mungkin dia mendengar rintihan dan rasa sakitku dicambuk tiap pagi dan membeku kedinginan di bawah tanah dalam musim dingin yang membuat tulang ngilu? Apalagi diriku yang jauh di Mesir. Sedangkan ribuan gadis Indonesia dijual, dirobek-robek kehormatannya dan diperlakukan seperti binatang di Singapura saja presiden diam saja? Kapan dalam sejarahnya ada Presiden Indonesia membela rakyatnya? Kecuali Soekarno di zaman mempertahankan kemerdekaan.
“Kalau kami, apa yang bisa kami bantu menurut Mas Fahri?” kata Ketua PPMI.
“Pertama, aku ingin dukungan seluruh teman-teman dari Indonesia. Demi Allah yang mengetahui apa yang tersembunyi di langit dan di bumi, aku tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadaku itu. Aku ingin dukungan moral dari teman-teman semua. Tolong disosialisasikan kisah yang sebenarnya. Orang satu rumah denganku dan Nurul tahu akan hal itu. Jika nanti ada wartawan Mesir mewawancarai tolong opinikan yang baik mengenai diriku, tolong! Juga teman-teman yang jadi koresponden media massa di tanah air tolong kisahkan yang sebenarnya jangan yang malah menimbulkan interpretasi yang macam-macam. Kedua, kepada PPMI dan KBRI mohon kerjasama dengan pengacaraku nanti. Sekarang isteriku dan seorang polisi Mesir yang baik sedang mencari pengacara untuk membelaku. Tolong bantu mereka. Ketiga, mohon doa teman-teman Indonesia semuanya, ketika sahur, ketika tarawih, ketika shalat malam. Doakan aku selamat dari ujian berat ini. Itu saja harapanku saat ini.” Jelasku dengan sedikit terisak, sebab masalah yang aku hadapi sangat serius. Nyawaku sedang terancam. Staf KBRI dan Ketua PPMI berjanji akan memenuhi keinginanku itu. Aku mengucapkan terima kasih atas kunjungan mereka. Mereka minta maaf terlambat tapi itu karena pihak kepolisian Mesir yang membuat urusan berbelit-belit.
Sesedih apapun, kunjungan KBRI dan PPMI menambah kekuatan dalam diri. Kedatangan mereka berdua seolah berisi dorongan moral dari seluruh saudara setanah air di Indonesia. Di negeri orang, orang satu tanah air yang berlainan pulaupun menjadi seperti saudara sendiri. Apalagi yang satu pulau. Satu propinsi. Satu kabupaten. Satu kecamatan. Aku merasa diperhatikan oleh dua ribu lima ratus lebih mahasiswa Indonesia yang ada di Mesir. Rasa cintaku pada mereka semakin membulat, juga pada segenap saudara di KBRI.
* * *
Satu hari menjelang sidang Aisha, paman Eqbal, dan Magdi datang membawa seorang pengacara bernama Amru. Dia menginginkan diriku menceritakan semua hal yang kira berkaitan dengan masalah yang sedang aku hadapi. Aku menceritakan semuanya dari kejadian ribut malam itu sampai berita terakhir dari Syaikh Ahmad bahwa Noura telah menemukan orang tuanya yang asli setelah melalui test DNA. Amru dan Magdi akan membantu sekuat tenaga untuk membebaskan aku dari segala tuduhan itu. Semua saksi dan bukti yang kira-kira bisa membela diriku akan dia gunakan. Amru juga mengingatkan diriku agar dalam sidang besok bersikap tenang dan tidak terpancing emosi. Sebab jaksa penuntut akan menggunakan teror kata-kata dan psikologis untuk melemahkan diriku dan menjebakku. Aku mungkin akan sangat dihina oleh kepandaiannya bersilat lidah dan berargumentasi tapi aku tidak boleh terbawa oleh irama permainannya. Kemungkinan besar besok adalah sidang untuk mendengarkan pengakuan Noura dan pengakuanku. Serta teror investigasi dengan perkataan dan pertanyaan di depan sidang. Aku mengucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Amru tersenyum.
“Meski berliku, aku yakin kebenaran akan menang. Apa pun yang terjadi pada akhirnya kebenaran akan menang. Jangan kuatir, Saudaraku. Nanti malam perbanyaklah shalat dan memohon pertolongan kepada Allah.” Kata Amru mengingatkan. Mereka pamitan. Seperti saat mengunjungi sebelumnya sebelum pergi, Aisha mengajakku ke pojok ruangan. Dia membuka cadarnya agar aku dapat melihat wajahnya. Kami berangkulan dalam tangis.
“Fahri, kuatkanlah dirimu. Aku sangat mencintaimu. Aku tidak mau kehilangan dirimu. Aku tak ingin bayiku ini lahir tanpa dirimu disisiku.” Isak Aisha yang membuat hatiku bagai diremas-remas. Aku merasa langit-langit ruangan itu basah, dan dinding-dindingnya melelehkan air mata. Kuusap air matanya dengan ujung jilbabnya, pelan kubisikkan padanya sebuah harapan:
Sayang, tancapkan dalam hati
walau tak kini
esok insya Allah terjadi
kita akan bulan madu lagi
berkali kali
lebih indah dari yang telah kita lalui
apalagi di sorga nanti
walau tak kini
esok insya Allah terjadi
selama cinta kita tak pernah mati
selama iman masih terpatri dalam diri


25. Persidangan

“Nona Noura, saya persilakan Anda mengisahkan apa yang menimpa pada diri Anda?” Hakim gemuk dengan rambut hitam bercampur uban mempersilakan Noura yang sudah berdiri dipodium untuk berbicara. Sementara aku berada di tempat terdakwa yang berbentuk seperti kerangkeng. Ratusan mata memandang Noura dengan seksama. Aku melihat orang-orang yang kukenal turut serta menghadiri sidang pertamaku ini. Teman-teman satu rumah di Hadayek Helwan ; Rudi, Saiful, Hamdi dan Mishbah duduk dibagian agak belakang. Beberapa puluh mahasiswa Indonesia, Ketua dan pengurus PPMI, Pengurus Wihdah—termasuk Nurul sang ketua—juga datang. Sekitas aku memandang ke arah Nurul, mata kami bertemu. Ia tak bisa menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Pengacaraku duduk bersama Maqdi. Di belakangnya ada Aisha, paman Eqbal, Syaikh Ahmad dan isterinya. Bibi Sarah tidak datang. Keluarga Tuan Boutros juga tidak satu pun yang kelihatan. Di barisan dekat jaksa penuntut banyak sekali orang Mesir. Mungkin mereka keluarga Noura. Beberapa wartawan sibuk merekam dan membidikkan kamera. Aku pasrah pada apa yang akan ditulis mereka. Jika ada ketidakadilan dalam tulisan mereka aku akan menuntutnya kelak di akherat sana.
“Saya akan menceritakan dengan sejujurnya tragedi yang menimpa diri saya. Tragedi yang menginjak-injak kehormatan saya dan menghancurkan masa depan saya.” Kata Noura dengan terisak. Air matanya meleleh. Aku tidak tahu apa yang akan dia katakan. Apakah dia akan mengatakan dengan sejujurnya siapa yang mengamili dirinya ataukah justru akan menghabisi diriku dengan sandiwaranya seperti Zulaikha pura-pura menangis dan menjebloskan Yusuf ke dalam penjara.
“Pada hari Rabu, 7 Agustus yang lalu saya masih hidup bersama keluarga Bahadur. Hari itu sore hari setelah aku shalat ashar, Bahadur yang saat itu masih saya anggap sebagai ayah memaksaku untuk ikut Mona selepas maghrib ke sebuah Nigh Club mengapung di sungai Nil, tempat di mana Badahur dan Mona bekerja. Bahadur sebagai pukang tukul dan Mona sebagai penari dan wanita penghibur. Saya tidak mau. Bahadur mengancam akan membunuh saya jika sampai jam sembilan malam tidak sampai di sana bersama Mona. Saat itu juga ia menjambak rambut saya kuat-kuat dan menyambuk punggung saya dengan ikat pinggang. Saya tidak tahan, akhirnya saya pura-pura mau. Bahadur lalu berangkat kerja dengan sebuah ancaman saya akan mati jika tidak datang. Saya bertanya pada Mona apa kerja saya di sana. Dia bilang, ‘Seperti pertama aku kerja di sana. Menyerahkan keperawanan pada turis bule dengan imbalan sepuluh ribu pound!’ Jawaban Mona membuat saya merinding. Saya tidak mungkin melakukan perbuatan terkutuk itu. Saya bertekad lebih baik mati daripada menjual diri. Akhirnya begitu shalat maghrib saya mengurung diri di kamar. Pintu kamar dan jendela saya kunci. Mona berteriak-teriak dan menggedor-gedor tidak saya pedulikan. Mona pun berangkat sendirian. Saya terus di kamar sampai tengah malam. Jam setengah satu ayah pulang bersama Noura dengan kemarahan meluap. Pintu kamarku didobrak dan saya disiksanya habis-habisan lalu diusir dan diseret ke jalan. Ternyata saya tidak dibunuhnya hanya diusir saja. Tapi malam itu saya merasa sangat merana. Saya meratapi nasib saya sambil memeluk tiang lampu di jalan, depan apartemen. Saya meratap sendirian agak lama. Lalu, kira-kira pukul setengah dua datanglah Maria menghibur saya. Ia juga mengajak saya naik dan tidur di kamarnya, saya pun ikut. Di kamar Maria aku mencurahkan semua kesedihanku padanya. Yang tidak kuduga Maria menceritakan sebenarnya yang membuatnya turun menghiburku adalah Fahri, mahasiswa dari Indonesia yang malam itu kebetulan tidak tidur. Sebenarnya Maria takut sekali pada Bahadur. Keluarga Maria juga tidak mau berurusan dengan Bahadur. Maria meminta bagaimana kalau malam itu menginap sementara di rumah Fahri. Saya merasa kediaman Fahri adalah tempat yang aman untuk sementara. Akhirnya tepat pukul tiga Maria mengantarkan aku turun ke tempat Fahri. Fahri sendiri yang masih bangun. Ia membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk ke kamarnya. Maria kembali ke rumahnya. Mulanya Fahri banyak menghibur. Dia lalu merayuku dan membujukku dengan kata-kata Manis. Entah dari mana ia tahu kalau aku mau dijual pada turis bule. Fahri menawari saya untuk kawin dengannya dan akan diajak hidup bahagia di Indonesia. Ia berjanji akan membuat hidupku bahagia. Akan mencurahkan segala kasih sayang dan cintanya padaku. Fahri juga mengungkapkan sebenarnya dia telah lama jatuh cinta pada saya. Fahri mampu memanfaatkan keadaan saya yang sedih, yang selama itu belum pernah merasakan kasih sayang dan cinta. Malam itu saya menangis dalam pelukan Fahri. Saya merasakan Fahri adalah dewa penyelamat. Entah bagaimana prosesnya malam itu saya telah menyerahkan kehormatan saya padanya. Saya terhipnotis oleh manisnya janji yang ia berikan. Ketika masjid melantunkan azan pertama saya tersadar. Saya menangis sejadi-jadinya atas apa yang menimpa diri saya. Saya melihat Fahri sedang tertidur. Saya pun keluar dan kembali ke tempat Maria. Saya menangis Maria bertanya pada saya ada apa. Saya tidak menjawabnya. Saya malu untuk menceritakannya. Pukul tujuh pagi Fahri datang ke tempat Maria. Keluarga Maria minta agar saya meninggalkan rumah mereka sebelum Bahadur bangun. Akhirnya Fahri menyuruh saya untuk menginap di tempat mahasiswi Indonesia bernama Noura. Sebelum berangkat Fahri memberi uang sebanyak dua puluh pound untuk ongkos jalan. Beberapa hari di rumah Nurul saya dijemput Syaikh Ahmad dan isterinya dan diamankan di Tafahna, Zaqaziq. Syaikh Ahmad membantu saya menemukan saya dengan orang tua saya asli yang ternyata bernama Adel dan Yasmin. Beliau berdua dosen di Ain Syams University. Sejak itu saya tinggal bersama mereka. Suatu hari setelah satu minggu tinggal bersama mereka saya muntah-muntah. Mama Yasmin membawa saya ke dokter dan saya ketahuan hamil satu bulan setengah. Mama mendesak untuk mengatakan siapa yang menghamili saya. Saya tidak mau mengatakannya. Ayah mengancam akan mengusir saya jika tidak mengatakan siapa yang menghamili saya. Terpaksa saya jelaskan siapa sebenarnya yang menghamili saya. Tak lain dan tak bukan adalah Fahri Abdullah. Dia manusia berhati serigala pura-pura menolong ternyata menerkam. Saya telah beberapa kali minta pertanggung jawabannya dan menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik. Saya menuntut janjinya mau mengawini saya ternyata ia berkelit. Ia bahkan menuduh saya pelacur. Uang dua puluh pound yang dia berikan itu ternyata dianggap sebagai harga diri saya. Betapa remuk dan hancur hati saya. Dia malah menikah dengan seorang gadis Turki. Dia benar-benar manusia yang sangat busuk hatinya. Saya minta kepada pengadilan untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatan terkutuknya!”
Noura lalu menangis terisak-isak di podium. Orang-orang Mesir yang tidak tahu masalah sesungguhnya terbakar emosinya. Mereka berteriak-teriak minta kepada hakim menggantung diriku. Aku sendiri sangat terpukul mendengar semua yang dikatakan Noura. Aku tidak percaya bahwa yang dipodium itu adalah Noura. Gadis innocent yang sangat pendiam yang dulu sangat aku kasihani. Kini Noura seperti puteri jahat yang siap mencincangku dengan belati beracun yang ia sembunyikan di balik bajunya.
Aku melihat ke arah orang-orang yang simpati padaku. Wajah Syaikh Ahmad tampak marah. Aisha jatuh pingsan. Tiba-tiba Nurul berteriak lantang dan memaki-maki Noura yang tidak tahu balas budi dan mengarang cerita bohong. Hakim mengetuk palunya berkali-kali meminta semuanya untuk tenang. Dia lalu meminta tanggapanku. Dengan emosi yang kutahan aku menolak tuduhan Noura. Aku jelaskan bahwa Noura sama sekali tidak pernah masuk kamarku. Aku bahkan belum pernah menyentuh kulit Noura. Malam itu Noura bersama Maria sampai pagi. Tiba-tiba Noura berteriak menganggap diriku yang bohong. Hakim menenangkan Noura. Pihak jaksa mengajukan saksi. Seorang lelaki ceking bernama Gamal. Hakim mempersilakan saksi itu bicara setelah disumpah. Seorang lelaki mengaku melihat aku membukakan pintu dan mengajak Noura masuk rumah jam tiga dini hari, Kamis 8 Agustus 2003.
Amru pengacaraku mengintrogasi saksi itu. Sang saksi bersikukuh melihat dengan jelas Noura masuk rumahku. Amru bertanya posisinya di mana dan sedang apa dia sampai begitu jelas melihat Noura masuk rumahku. Dia menjawab dia seorang pemburu burung hantu. Hobinya berburu pada waktu malam. Kebetulan ia melintas di apartemen dan di sutuh melihat ada burung hantu. Ia hendak menembaknya dari jarak dekat dengan cara naik ke sutuh melalui tangga. Ketika ia naik itulah dari jarak tiga meter ia melihat Noura masuk flat di lantai tiga.
Aku heran dengan lelaki ceking bernama Gamal. Bagaimana mungkin dia berani membuat kesaksian palsu seperti itu. Belum pernah aku mendengar ada seorang yang hobinya sedemikian aneh. Untuk apa burung hanru diburu? Tubuhku tiba-tiba terasa dingin dan gemetaran. Aku yakin keluarga Noura telah menggunakan segala cara untuk menggantung diriku. Yang aku tidak bisa mengerti adalah perubahan diri Noura. Beberapa waktu yang lalu ia menulis surat sangat mencintaiku. Kini tiba-tiba ia ingin membunuhku. Apa dosa dan salahku padanya? Apakah karena aku tidak menanggapi perasaannya dia lalu dendam yang ingin membunuhku? Kenapa dia begitu keji memfitnahku. Kapan sebenarnya dirinya kehilangan kegadisannya sehingga hamil? Dan siapa sebenarnya yang menghamili dirinya? Semua pertanyaan itu bagaikan palu yang menghantam-hantam batok kepalaku. Aku nyaris tak sanggup menegakkan kepalaku. Hakim memutuskan melanjutkan sidang minggu depan. Aku turun dari kerangkeng terdakwa dengan dikawal dua polisi. Orang-orang Mesir mencacimaki diriku dengan kata-kata kotor. Seorang ibu setengah baya bahkan melempar botol air mineral dan mengenai mukaku. Polisi yang mengawalku tidak begitu peduli. Aku dibawa kembali ke penjara. Di dalam penjara aku teringat Aisha yang tadi jatuh pingsan. Aku takut kondisi psikisnya berpengaruh pada janin yang dikandungnya.
* * *
Sampai di dalam penjara, Profesor Abdul Rauf menanyakan jalannya sidang. Aku ceritakan semuanya dari awal masuk ruang sidang sampai dilempar botol mineral oleh seorang wanita setengah baya saat berjalan meninggalkan ruang sidang. “Profesor, perlakuan wanita setengah baya itu aku maklumi dia tidak tahu masalah sebenarnya. Yang aku heran dan belum bisa kumengerti adalah Noura. Gadis itu pernah menulis surat ucapan terima kasih dan perasaan cinta padaku dengan sedemikian tulusnya. Tapi dipengadilan itu ia menjadi orang yang sama sekali tak kukenal. Ia tampak sangat membenci aku dan ingin sekali membinasakan diriku. Aku juga heran dengan lelaki ceking bernama Gamal. Bagaimana mungkin dia bisa setega itu memberikan kesaksian palsu untuk membinasakan orang? Apakah dia sudah tidak punya nurani?” Kataku.
“Noura itu sebenarnya sangat mencintaimu. Karena dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan darimu dia berubah membencimu. Cinta yang berubah jadi kebencian tiada tara itu seringkali terjadi dalam sejarah kehidupan manusia,” jawab Profesor Abdul Rauf.
“Dan orang seperti Gamal jangan kau herankan keberadaannya di zaman yang telah kehilangan nurani kemanusiaannya seperti sekarang. Uang menjelma menjadi tuhan. Uang adalah segalanya. Demi uang begundal seperti Gamal siap mengerjakan apapun saja,” sahut Haj Rashed.
“Berbicara tentang kemanusiaan, aku jadi teringat sebuah film sukses yang dibuat oleh Spielberg yaitu ET. Lewat film itu Spielberg ingin menunjukkan bahwa mungkin tempat terbaik untuk untuk menemukan nilai-nilai kemanusiaan adalah diangkasa, tidak di bumi.” Suara Ismail terdengar parau. Tadi malam ia menjadi bulan-bulanan para algojo penjara.
“Kau suka menonton film Amerika juga rupanya?” Haj Rashed agak kurang senang.
“Sebenarnya tidak juga. Aku menonton film itu karena penasaran pada analisa Profesor Akbar S. Ahmad dalam karyanya Postmodernism and Islam. Dan memang seperti itu ironi yang dibangun Spielberg dalam film ET. Nilai-nilai kemanusiaan di bumi semakin punah,”Jawab Ismail.
“Tapi, insya Allah, selama masih ada yang teguh kukuh mengamalkan Al-Qur’an dan As Sunnah, nilai-nilai kemanusiaan tidak akan hilang dari muka bumi ini!” tukas Professor Abdul Rauf Manshour mantap.
“Insya Allah,” sahut kami semua hampir kompak.
Tiba-tiba pintu digedor. “Tahanan nomor 543!” Kali ini sipir bersuara cempreng yang memanggil. Meskipun suaranya cempreng tapi kalau menyiksa para tahanan tak kenal belas kasihan. Menurut cerita Hamada ia pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Si Cempreng itu memasukkan mata ganco ke dalam lubang hidung seorang tahanan yang tangan dan kakinya diikat lalu menarik ganco itu kuat-kuat. Tak ayal hidung tahanan miskin itu sobek tak karuan bentuknya. Tahanan miskin itu sudah lama tiada kabarnya. Mungkin telah mati.
“Hai, keledai 543 apa kau dungu!? Apa aku perlu menyeretmu dengan ganco?” Si Cempreng kembali mendesis seperti ular.
“Ya saya!” jawab Marwan santai sambil melangkah ke pintu. Setelah pintu terbuka. Kami mendengar suara: buk! buk!
“Doakanlah Marwan, semoga dia tidak cedera berat!” Suara Profesor Abdul Rauf membuat hati kami gerimis. Setiap hari selalu ada yang jadi mainan para algojo penjara. Aku bersyukur bahwa setelah kedatangan Magdi, KBRI, dan PPMI siksaan yang kuterima sebagai sarapan pagi semakin ringan.
* * *
Satu hari menjelang persidangan kedua Syaikh Utsman datang menjenguk bersama Paman Eqbal. Syaikh Utsman banyak memberi siraman jiwa. “Kau harus ikhlas menerima cobaan ini. Kau tidak boleh sedikitpun merasa ragu akan kasih sayang Allah kepadamu. Kau tentu tahu, Allah sangat mencintai Nabi Yahya. Dan Nabi Yahya itu kepalanya dipenggal untuk dihadiahkan kepada seorang pelacur. Husein cucu baginda Nabi juga dipenggal kepalanya. Ditancapkan diujung tombak dan diarak di kota Kufah. Mereka tetaplah manusia-manusia mulia meskipun kelihatannya dinistakan dan dihina. Orang yang divonis salah oleh pengadilan dunia belum tentu salah di pengadilan akhirat dan sebaliknya. Dekatkanlah dirimu kepada Allah!” Kunjungan Syaikh Utsman sangat berarti bagiku. Nasihat beliau bagaikan embun menetes di pagi hari musim semi. Aku semakin mempersiapkan diri untuk menerima apapun yang terjadi.
Setelah Syaikh Utsman, tanpa kuduga Madame Nahed, dan Yousef menjenguk. Mereka berdua meneteskan air mata melihat keadaanku.
“Madame, maafkan aku yang tidak sempat menjenguk Maria.”
“Tak masalah. Sungguh sangat tragis nasibmu, Anakku. Kau menolong dia tapi dia malah membalasnya dengan fitnah yang keji sekali. Aku sudah membaca semuanya di koran. Seluruh koran yang memuat berita persidangan itu tak ada yang membelamu. Andaikan Maria sehat dia pasti akan menulis membelamu. Sayang dia...ah!” Madame Nahed terisak. Aku takut sesuatu telah terjadi pada Maria.
“Kenapa Maria, Madame?” tanyaku cemas.
“Sakitnya sangat parah. Empat hari ini dia koma. Hanya kadang-kadang dia seperti sadar, mulutnya berkomat-kamit mengatakan sesuatu. Dan apakah kau tahu apa yang dia katakan, Anakku?” Suara Madame Nadia terbata-bata.
“Apa Madame?”
“Dia menyebut-nyebut namamu. Hanya namamu, Anakku. Dia ternyata sangat mencintaimu!”
Kalimat yang diucapkan Madame Nadia bagaikan guntur yang menyambar kepalaku.”Tak mungkin itu terjadi, Madame!” bantahku.
Yousef langsung menyahut:
“Benar Fahri, Maria sangat mencintaimu. Aku telah membaca diary khususnya. Dia menulis semua perasaan cintanya padamu di sana. Dalam diarynya itu aku juga menemukan kwitansi pembayaran semua biaya pengobatanmu. Maria diam-diam mengambil tabungannya dan membayar pengobatanmu tanpa ada satupun dari kami yang tahu. Dia sangat mencintaimu. Sayang diarynya tidak aku bawa. Nanti akan aku bawa kemari agar kau bisa membacanya sendiri.”
Keterangan Yousef membuat hatiku mau runtuh. Air mataku tanpa terasa meleleh. Baru aku tahu bahwa malaikat itu adalah Maria.
“Kenapa dia tidak mengungkapkan isi hatinya padaku?” lirihku.
“Dia malu. Dia menunggu saat yang tepat untuk membangun keberaniannya tapi terlambat. Ketika tahu kau telah menikah dengan Aisha yang baru beberapa bulan kenal denganmu dia sangat terpukul. Dia sangat menyesal. Padahal dirinya telah mengenalmu jauh lebih lama dan lebih dalam dari Aisha. Itu ia tulis setelah pulang dari Hurgada dan tahu kabar pernikahanmu. Aku baru tahu kenapa dia selalu murung dan tidak bersemangat hidup. Maria menulis dibaris terakhir, when some one is in love he cannot think of anything else. Bila seseorang dimabuk asmara, dia tak bisa memikirkan hal yang lain. Dia tidak bisa lepas untuk memikirkan dirimu, memikirkan cintanya, sampai akhirnya jatuh sakit.” Yousef meneteskan air mata.
“Anakku, aku takut dia akan mati..hiks..hiks!” Madame Nahed terisak-isak.
Aku jadi melupakan nasibku sendiri. Mataku basah melihat kesedihan Madame Nahed. Dan Maria, oh, kenapa semua ini bisa terjadi!?
“Oh, andaikan aku bisa membantu. Aku merasa menjadi manusia paling tiada berguna karena tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sendiri sekarang dibayang-bayangi vonis hukuman gantung. Oh apa yang bisa aku lakukan?” Ucapku sedih.
Yousef mengeluarkan tape kecil dari jaketnya dan berkata, “Kata dokter, Maria harus dirangsang dengan suara atau sentuhan dari orang-orang yang dicintainya. Dia sepertinya telah kehilangan gairah untuk hidup. Suara orang yang dicintainya harus mendorongnya untuk hidup, harus memberikan harapan-harapan yang indah baginya. Fahri tolonglah, bicaralah pada Maria apa saja. Ini salah satu usaha menolong dia. Nanti akan kami perdengarkan suaramu di telinganya.”
“Iya anakku tolonglah! Maria sangat mencintaimu dan merindukan suaramu,” desak Madame Nahed.
Demi sebuah nyawa aku memenuhi permintaan Yousef dan Madame Nahed. Dengan suara kupaksakan kebiasa-biasanya, aku berbicara apa saja pada Maria. Terkadang aku berusaha tertawa. Atau mengingatkan sesuatu yang kira-kira berkesan baginya. Hanya satu yang tidak kuucapkan di sana yaitu kalimat aku mencintaimu. Tak mungkin, karena kalimat itu hanya berhak untuk Aisha seorang. Aku berharap suaraku berguna untuk membantu menyembuhkan Maria. Bahwa di dalam penjara sekali pun aku bisa melakukan sesuatu untuk orang lain. Namun begitu mengingat kata-kata Madame Nahed dan Yousef bahwa Maria sakit karena mencintaiku aku jadi sedih sekali. Aku jadi tidak mengerti apa itu cinta sebenarnya? Yang kutahu cinta adalah apa yang terjadi antara diriku dengan Aisha. Itu saja. Tapi apa yang dirasakan Nurul. Yang dirasakan Noura dan yang dirasakan Maria aku tidak tahu. Apakah itu cinta? Ah cinta. Semacam duka. Mengiris jiwa.
* * *
Persidangan kedua sangat menegangkan. Tuan Boutros hadir memberikan kesaksiannya. Beliau membantah keterangan Noura yang mengatakan malam itu masuk di kamarku. “Jam lima pagi ketika saya bangun, saya menemukan Noura bersama Maria di kamarnya. Dan Maria bercerita Noura sejak tengah malam ada dikamarnya.”
Penuntut bertanya pada Tuan Boutros, “Apakah antara jam 2 sampai jam 5 anda tidak tidur, jadi anda tahu persis Noura selalu bersama Maria, misalnya mendengar suara mereka dalam rentang waktu itu?”
Tuan Boutros dengan jujur menjawab, “Tidak saya sedang tidur. Bahkan jeritan Noura dipukuk Bahadur juga tidak saya dengar. Saya terlelap dan bangun setengah lima.”
Noura diminta bicara. “Maria berkata tidak benar kalau aku bersamanya terus. Yang benar pukul tiga Maria mengantarku ke tempat Fahri yang hanya berada di bawahnya. Di kamar Fahri pemerkosaan atas diriku terjadi. Dan ketika azan pertama berkumandang, aku kembali ke tempat Maria. Saat itu seluruh isi rumah Maria masih tidur, termasuk Tuan Boutros, kecuali Maria.” Kata Noura.
Teman-teman satu rumah yang pada malam kejadian itu ada di rumah ikut memberikan kesaksian. Mereka semua menolak tuduhan Noura. Tapi mereka juga jujur menjawab ketika ditanya sedang apa antara jam tiga sampai azan pertama? Jawabnya tidur. Hamdi masih berusaha membela, “Saya ini termasuk manusia yang sangat sensitif. Seringkali dalam keadaan tidur jika pintu dibuka saya terbangun. Jika Noura masuk rumah pasti saya terbangun. Saya tidak terbangun malam itu?”
Penuntut malah tersenyum dan berkata, “Menurut cerita Fahri kalian malam itu berpesta hingga kenyang, benarkah?”
“Benar!” jawab Hamdi.
“Itulah salah satu penyebab kenapa kau tidak terbangun ketika Noura masuk. Karena kau terlalu kenyang. Dan itu sudah sangat wajar terjadi!”
Nurul memberikan kesaksian dengan suara terbata-bata menahan emosi. Ia menceritakan cerita yang dikisahkan sendiri oleh Noura kepadanya ketika Noura menginap beberapa hari di rumahnya. Cerita yang sangat berbeda dengan yang dikatakan Noura di sidang pengadilan. “Saya yakin Noura saat ini sedang berbohong. Apa yang dia katakan di pengadilan ini dusta. Dia bercerita malam itu di kamar Maria dan baru bertemu Fahri pukul tujuh pagi. Dan uang dua puluh pound itu diberikan kepadanya bukan sebagai harga atas kegadisannya. Itu fitnah. Fahri tidak mungkin melakukan kejahatan seperti itu. Dia menyentuh tangan perempuan saja tidak mau.”
Noura menolak kesaksian Nurul dan berkata dengan tenang, “Memang seperti itu yang aku kisahkan pada Nurul. Saat itu aku tidak mungkin dengan jujur menceritakan apa yang terjadi pada diriku di kamar Fahri. Aku tidak mungkin menceritakan aib. Aib diriku dan aib orang yang akan jadi suamiku, karena dia memang berjanji akan menikahiku. Sebenarnya yang terjadi adalah seperti apa yang aku ceritakan. Saat itu aku juga mengira uang dua puluh pound itu ikhlas diberikan oleh Fahri sebagai ongkos pergi ke Masakin Utsman. Aku tidak mengira sama sekali saat itu kalau itu adalah sebagai harga akan kegadisanku yang direnggut Fahri. Aku tahu kebusukkannya setelah dia terang-terangan tidak mau menikahiku dan malah mengatakan diriku pelacur sebab telah ia bayar dengan dua puluh pound saja mau.”
Di akhir sidang terjadi sesuatu yang sangat mengejutkan. Bahadur memberikan kesaksian bahwa dia katanya pernah melihatku beberapa kali menyiuli Noura dari jendela kamarku. “Saat itu aku sebenarnya sangat marah pada penjahat itu. Tapi aku masih menghormatinya sebagai tamu di negeri ini dan aku mengira itu hanyalah iseng anak muda. Apalagi dia kulihat juga rajin ke masjid. Aku tidak menyangka kalau dia sebenarnya serigala. Dan aku yakin dialah yang menodai Noura. Dia harus dihukum yang seberat-beratnya!”
Hakim lalu bertanya pada pengacaraku apakah masih ada saksi atau bukti untuk membela diriku. Pengacaraku bilang masih. Yaitu kesaksian Syaikh Ahmad dan isterinya, surat yang ditulis Noura untukku, dan Maria. Hakim memutuskan sidang akan dilanjutkan satu minggu setelah hari raya Idul Fitri. Itu berarti aku akan menjalani hari raya terberat selama hidup.
Amru, Magdi dan paman Eqbal mengikutiku sampai ke penjara. Di ruang tamu penjara mereka mangajakku berbicara. Eqbal terus memintaku untuk tabah dan besar hati. Magdi dan Amru menganalisa jalannya sidang yang telah terjadi.
“Saksi yang kita ajukan adalah orang-orang yang sangat jujur. Mulai dari Tuan Boutros sampai teman-temanmu. Aku salut atas kejujuran itu, meskipun dalam kasus ini kejujuran teman-temanmu tidak membantu. Kalau mereka ada yang berani bohong sedikit saja, misalnya pukul tiga terbangun untuk shalat malam dan mendapati keadaan rumah dalam keadaan sepi seperti biasa tidak ada Noura di kamarmu. Karena kamarmu berdekataan dengan kamar mandi tempat wudhu, dakwaan Noura akan runtuh,” ucap Amru sambil memandang lurus kepadaku.
“Tapi insya Allah kejujuran itu tetap akan membantu. Setidaknya membantu kekuatan moral kita. Kebersihan nurani kita. Dan semoga dengan kejujuran itu Allah memberikan jalan keluar yang lebih baik,” sahut Eqbal.
“Dalam sejarah kejahatan selalu dilancarkan dengan segala cara. Dan kebenaran selalu dipertahankan dengan cara-cara yang jantan dan bersih,” imbuh Magdi.
“Bisa jadi sidang setelah hari raya adalah sidang penentuan. Dan dalam sidang itu kita harus membalik keadaan dan meruntuhkan semua tuduhan dan rekayasa mereka. Senjata kita yang tersisa adalah surat cinta Noura yang disana dia mengungkapkan semua pengakuannya secara jujur dan pengakuan Maria. Yang paling penting sebenarnya adalah kesaksian Maria. Sebab dialah yang paling tahu. Dialah—yang dalam penuturan Noura—mengantarkan dirinya ke tempatmu. Dan dia juga yang membukakan pintu ketika Noura kembali lagi naik. Adapun kesaksian Syaikh Ahmad dan isterinya kekuatannya tak akan berbeda dengan kesaksian Nurul yang memang malam itu tidak tahu apa-apa. Marialah sebenarnya saksi kunci, tapi sayang dia sekarang sedang koma.” jelas Amru.
“Bagaimana dengan surat Noura itu?” tanya Eqbal.
“Cukup kuat, jika benar-benar bisa dibuktikan itu tulisan tangannya. Tapi surat itu sekarang ada di mana masih jadi masalah. Oleh Fahri surat itu diberikan kepada Syaikh Ahmad. Syaikh Ahmad memberikan kepada isterinya. Isterinya memberikan kepada Noura waktu masih di Tafahna. Sekarang sedang dicari di Tafahna, siapa tahu ditinggal oleh Noura di sana. Jika surat itu ternyata dibawa Noura ya kita tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu mukjizat Maria bisa membaik dan pada sidang setelah hari raya nanti bisa memberikan kesaksian,” jelas Amru.
Mendengar semua pembicaraan itu aku merasa nasibku benar-benar berada di ujung tanduk. Jika nyawaku akhirnya harus melayang dengan sedemikian tragisnya, aku pasrah saja kepada Yang Mahakuasa. Aku teringat nasihat Syaikh Utsman agar selalu menjaga keikhlasan menerima takdir Ilahi setelah berusaha sekuat tenaga. Yang divonis salah dalam pengadilan dunia tidak selamanya salah di pengadilan akhirat. Kepala Nabi Yahya dipenggal dan dihadiahkan kepada seorang pelacur. Dalam hati aku berdoa, jika aku harus mati di tiang gantungan, maka “Allaahumma amitni alasy syahaadati fi sabilik.Amin.” [111]
“Apa tidak ada jalan lain untuk membuktikan bahwa yang menghamili Noura bukan Fahri? Bagaimana dengan test DNA? Bukankah Noura menemukan orang tua kandungnya karena test DNA?” ucap Eqbal dengan mata berbinar.
Amru dan Magdi mengangguk-anggukkan kepala. Aku merasa di dalam dadaku ada cahaya. “Benar test DNA!” lirihku.
“Ini ide yang sangat menggembirakan. Aku nanti akan mencoba bertanya pada dokter apakah janin yang dikandung Noura bisa diperiksa DNA-nya. Agar ketahuan siapa sebenarnya ayahnya? Jika bukan Fahri yang menghamili tentu DNA janin itu akan berbeda dengan DNA Fahri. Sebentar aku mau mengontak Dokter Fatema Zaki, apakah janin bisa diperiksa DNA-nya.” Kata Amru sambil memenjet handphone-nya dan meletakkan di telinganya. Amru lalu terlibat pembicaraan dengan orang yang ditujunya. Tiba-tiba mukanya agak pucat, ia berkata setengah berteriak, “Apa? Tidak bisa! Menunggu sampai lahir?! Oh, begitu. Ya, terima kasih atas informasinya.”
“Bagaimana Amru?” tanya Eqbal.
“Menurut keterangan Dokter Fatema Zaki, janin yang masih berada di dalam kandungan tidak bisa diperiksa DNA-nya. Karena harus pakai sampel jaringan/sel tubuh. Janin tidak bisa diambil jaringan tubuhnya. Yang bisa diambil cuma sampel air ketuban, tidak bisa untuk pemeriksaan DNA. Jadi harus menunggu janin itu dilahirkan baru bisa diperiksa DNA-nya,” jelas Amru yang membuat diriku lemas kembali. Menunggu Noura sampai melahirkan janinnya, bukan waktu yang singkat di dalam penjara buruk seperti ini. Tapi aku tetap merasa lebih berbesar hati bahwa jalan untuk membebaskan diri dari tuduhan dan fitnah itu masih ada.
“Aku akan membuat surat permohonan kepada pengadilan agar sidang selanjutnya diundur sampai Noura melahirkan bayinya untuk pemeriksaan DNA.” Ujar Amru dengan wajah optimis.
“Jika pengadilan tidak mengabulkan?” sahut Magdi.
“Kita lihat nanti. Oh ya Magdi, tolong bagaimana caranya keamanan Maria terjamin. Sebab walau bagaimana pun sebelum test DNA, Maria adalah saksi kunci. Kau tentu tahu maksudku?” kata Amru.
“Insya Allah,” jawab Magdi pelan.
Mereka bertiga lalu pamintan. Amru berjanji akan menengok ke penjara lagi jika ada perkembangan.
* * *
Sampai di dalam sel, sebelum Profesor Abdul Rauf dan teman-teman menanyakan yang terjadi di dalam sidang kedua, aku langsung mengisahkan semuanya. Termasuk pembicaraan berempat dengan Amru, Magdi dan Eqbal di ruang tamu penjara.
“Bolehkan aku membuat suatu analisa? Siapa tahu ada gunanya,” ujar Profesor Abdul Rauf begitu aku selesai bercerita.
“Tentu, Profesor,” jawabku senang.
“Pemohonanmu untuk mengundurkan sidang setelah Noura melahirkan bayinya agar bisa diperiksa DNAnya tidak akan dikabulkan pengadilan. Pengadilan akan tetap berjalan sesuai yang diinginkan hakim. Dan hakim berjalan sesuai yang diinginkan oleh keluarga Noura. Mereka sudah tahu saksi kunci sudah tidak berdaya. Seandainya pun Maria bisa memberikan kesaksian mereka sudah mempersiapkan jurus yang akan mengejutkan. Selama ini yang terjadi, tertuduh yang berada dalam posisi seperti dirimu jarang bisa menang. Apalagi kau orang asing. Mereka juga tahu akan adanya test DNA, maka mereka akan menggunakan cara agar di pengadilan ini kau kalah. Tindakan yang akan kau ambil adalah naik banding, menunggu bayi Noura bisa ditest DNAnya. Begitu kau kalah, maka setelah itu rekayasa yang akan mereka mainkan susah diprediksi. Bisa jadi diam-diam mereka akan menggugurkan kandungan Noura dengan alasan keguguran dan membuangnya entah di mana yang penting tidak bisa ditest DNAnya. Dan kau tidak akan bisa menuntut apa-apa. Atau tidak begitu, tetap membiarkan bayi itu lahir tapi permohonan bandingmu tidak dikabulkan dengan alasan yang seringkali tidak masuk. Atau dikabulkan tapi setelah menunggu sekian tahun, setelah dirimu mengalami penderitaan luar biasa dan sekarat di dalam penjara. Sebab begitu kau diputuskan pengadilan bersalah kau akan diperlakukan sebagai orang bersalah meskipun sedang mengajukan banding. Itu analisaku. Aku tidak ingin menakutimu tapi agar pengacaramu dan pihak kedutaanmu berusaha lebih maksimal untuk membebaskan dirimu dalam pengadilan terakhir nanti.”
Aku merasa apa yang disampaikan profesor benar. Dalam pengadilan Mesir seringkali terjadi hal-hal yang tidak masuk akal. Adanya saksi seorang lelaki yang hobinya berburu burung hantu adalah suatu yang ganjil. Dan sejak kapan di suthuh apartemen di Hadayek Helwan itu ada burung hantu?
“Menurut Profesor apa yang harus kami lakukan?” tanyaku dengan hati cemas.
“Minta pertolongan Tuhan. Dan terus berusaha untuk menang!” ucap Profesor mantap.
“Aku punya sesuatu yang ingin aku katakan, Akhi.” sahut Ismail.
“Boleh.” kataku pelan.
“Mendengar semua kisahmu sejak kau ditangkap sampai sekarang, aku melihat ada satu kekuatan yang mengaturnya. Mintalah kepada Magdi untuk menyelidiki kekuatan backing dibelakang keluarga Noura. Kau masih beruntung karena kasusmu bukan kasus yang oleh pihak keamanan dianggap mengancam kekuasaan seperti Profesor Abdul Rauf. Asal bisa menjinakkan kekuatan di belakang Noura maka jalan pembebasanmu menjadi lebih mudah. Firasatku mengatakan, yang menghamili Noura adalah seseorang yang sangat memalukan untuk disebut, jadi mereka mencari kambing hitam. Dan kambing hitamnya adalah dirimu.Yang aku kuatirkan jika backing Noura adalah orang penting di Keamanan Negara yang memang sangat berkuasa di negara ini.”
“Namun kau jangan kecil hati Fahri, di atas segalanya Allahlah yang menentukan. Daya dan kekuatan manusia tiada berarti apa-apa di hadapan kemahakuasaan Allah. Jika Dia berkehendak apa pun bisa terjadi.” Haj Rashed menghibur. Aku diam saja. Semuanya lalu diam. Ruangan sel bawah tanah yang pengap dan dingin itu dicekam suasana senyap sesaat. Keheningan menebarkan aroma ketakutan yang menguji keimanan. Kini dalam ruangan sempit itu tinggal kami berempat. Marwan sejak diambil sipir bersuara cempreng itu tak ketahuan nasibnya. Apakah dipindahkan ke penjara lain? Ataukah dibebaskan? Atau malah telah menemui kematian. Hamada juga tidak lagi terdengar beritanya sejak dua hari lalu. Yang paling cemas atas nasib Hamada adalah Ismail. Katanya ia bermimpi melihat Hamada berpakaian putih di sebuah tanah yang sangat lapang. Ia kuatir itu adalah pertanda keburukan. Tapi Profesor malah menafsirkan mimpi itu dengan hal yang menyenangkan, tanah lapang adalah kebebasan. Hamada berarti sudah dibebaskan.
* * *
Hari berikutnya, kira-kira pukul sepuluh pagi, aku dibawa sipir hitam ke kantor. Di sana kepala penjara menyerahkan sepucuk surat. “Ini surat dari Universitas Al Azhar. Selamat!” Kata kepala penjara dengan nada yang sangat sinis. Aku menerima surat itu dengan tangan bergetar. Aku teringat peristiwa tahun 1995 seperti yang diceritakan staf konsuler KBRI. Kubuka amplop surat cokelat buram itu dan kukeluarkan isinya. Lalu kubaca huruf demi huruf. Selesai membaca surat itu aku tak mampu menahan isak tangisku. Usahaku sekian tahun belajar mati-matian seakan sia-sia belaka. “Karena tidak asusila yang Anda lakukan, maka Anda dikeluarkan dari Universitas Al Azhar dan gelar licence yang telah Anda dapat dicabut sejak surat ini dibuat!” Demikian salah satu baris surat dari Universitas Al Azhar itu. Melihat aku sedih dan meneteskan air mata, kepala penjara malah tertawa mengejek. Ia tentu sudah tahu isi surat itu. Aku kembali ke penjara dengan memendam kesedihan tiada tara. Al Azhar yang kucintai itu tidak lagi menganggapku sebagai bagian dari anak muridnya. Alangkah malang nasibku.
Di dalam sel aku menangis sejadi-jadinya. Aku belum pernah menangis sesedu itu. Profesor Abdul Rauf menghiburku seperti seorang ayah menghibur anaknya. Ia bertanya ada apa? Aku tak kuasa menceritakannya. Aku terus menangis dengan sesak dada yang tiada terkira. Aku teringat semua pengorbanan orang tua. Sawah warisan kakek, harta satu-satunya, dijual demi agar aku bisa kuliah di Al Azhar Mesir. Dan kini semuanya seperti sia-sia. Aku merasa menjadi manusia yang paling tiada gunanya di dunia. Hampir satu jam aku menangis. Profesor Abdul Rauf masih terus menghibur dan membesarkan hatiku. Akhirnya aku ceritakan berita duka itu padanya, dengan isak tangis yang tersisa.
“Kau percayalah padaku, Al Azhar sebenarnya tidak semudah itu mengeluarkanmu. Di sana masih banyak ulama dan guru besar yang arif bijaksana. Tapi Al Azhar tidak bisa berbuat apa-apa jika mendapat tekanan dari penguasa. Apalagi jika datang dari Amn Daulah [112] . Aku sangat yakin Al Azhar mengeluarkanmu karena mendapat tekanan. Itu sama seperti Universitas El-Menya waktu mengeluarkan diriku dan mencopot gelar guru besarku. Jadi sebenarnya sekarang ini saya bukan seorang profesor lagi, karena gelar guru besarku telah dicabut. Rektor Universitas El-Menya adalah temanku waktu mengambil doktor di Universits Lyon, Perancis. Dia tidak mungkin berbuat buruk padaku, tapi dia mendapat tekanan dari penguasa agar memejatku dari dosen dan menandatangani surat pencabutan guru besarku. Untungnya aku mendapat gelar doktor dari Perancis, kalau aku mendapatkan gelar doktor dari salah satu universitas di sini maka seluruh gelar akademisku juga akan dipreteli. Ah sebenarnya gelar itu tidaklah segalanya yang paling penting adalah kemampuan kita. Meskipun kau dikeluarkan dan gelarmu dicopot tapi ilmu yang telah melekat dalam otakmu tidak bisa mereka copot. Seandainya nanti kau bebas dan kembali ke tanah airmu kau masih bisa mengamalkan ilmumu meskipun tanpa gelar. Di dunia ini sangat banyak orang yang sukses tanpa gelar akademis. Aku malah pernah membaca sejarah Indonesia, bahwa salah seorang Wakil Presiden Indonesia yang sangat disegani yaitu Adam Malik, tidak memiliki gelar akademis apapun. Tapi kemampuannya tidak diragukan. Jadi janganlah masalah sekecil itu kau tangisi. Kau harus menjadi seorang lelaki sejati yang berjiwa besar. Dan aku yakin kau mampu untuk itu.”
Kata-kata profesor Abdul Rauf mampu menyeka air mata sedihku. Aku semestinya malu pada diriku sendiri jika menangisi hilangnya sebuah gelar. Jika aku diharamkan belajar di Al Azhar, maka Allah mungkin akan membuka jalan untuk belajar di tempat yang lain, termasuk belajar di dalam penjara. Bahkan bisa jadi penjara adalah universitas paling dahsyat di dunia. Banyak terjadi orang-orang besar di dunia melahirkan karya-karya monumental di penjara. Ibnu Taimiyah, ulama terkemuka pada zamannya yang mendapat gelar “Syaikhul Islam” menulis Fatawanya yang berjilid-jilid di dalam penjara. Sayyid Qutb menulis tafsir Zhilalnya yang sangat indah bahasa dan isinya, juga di dalam penjara. Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi juga menulis karya-karyanya yang monumental di dalam penjara. Kenapa aku tidak berpikiran positif seperti mereka? Penjara bukanlah penghalang untuk berkarya dan berbuat. Seandainya aku tidak bisa menelorkan karya di dalam penjara, kenapa aku tidak menggunakan kesempatan yang ada untuk belajar pada Profesor Abdul Rauf. Beliau adalah guru besar bidang ilmu ekonomi. Beliau juga pernah belajar di Perancis. Dengan beliau aku semestinya bisa belajar satu rumus ilmu ekonomi, atau bahasa Perancis menskipun cuma satu kosa kata.. Rasanya mempersiapkan diri saja untuk menikmati hidup di dalam penjara, itu lebih realistis dan lebih baik daripada bersedih, berkeluh kesah dan meratapi nasib. Kuutarakan kemauanku pada beliau. Hari itu juga aku mulai menimba ilmu pada beliau. Lumayan selain ‘bonjour’ aku mendapatkan sebuah kalimat dari Victor Hugo saat merenungi suatu keadaan nyata bahwa tangan manusia banyak melakukan suatu kejahilan. Hugo mengatakan: Tempos edax, home edacior! Artinya: Waktu kejam tapi manusia lebih kejam lagi!
* * *
Tiga hari setelah itu, kira-kira satu jam menjelang buka puasa, sipir bersuara cempreng memanggilku. Aku yang biasanya tidak pernah takut kali ini menyahut panggilannya dengan bulu kuduk merinding. Aku bersyukur ketika Si Cempreng tidak berbuat macam-macam padaku, ia hanya membawaku ke ruang tamu penjara. Di sana ada Aisha, paman Eqbal, Maqdi, dan Amru yang telah menunggu.
“Sore ini kita akan sedikit berbincang dan buka puasa bersama.” kata Aisha.
“Untuk buka puasanya mungkin aku tidak bisa,” jawabku.
“Kenapa?”
“Aku tidak mungkin makan enak sementara teman-teman satu sel berbuka hanya dengan seteguk air dan roti isy kering dengan jubnah kadaluwarsa.”
Aisha langsung mengerti apa maksudku. Dia langsung membagi beberapa bungkus makanan yang dibawa menjadi dua bagian.
“Ini untuk mereka.”
“Biar kuantar dulu.”
Selesai mengantar buka untuk teman-teman satu sel, barulah aku mendengarkan semua perkembangan yang terjadi dari mereka.
“Ada kabar kurang menggembirakan untukmu. Surat permohonan agar jadwal sidang berikutnya diundur sampai janin Noura bisa diperiksa DNAnya ditolak oleh pengadilan.” Kata Amru dengan wajah mengguratkan kemuraman.
“Aku tidak kaget. Sudah aku kira.” Jawabku lirih. Kemudian aku menjelaskan prediksi-prediksi Profesor Abdul Rauf dan saran dari Ismail.
“Aku juga memiliki prediksi dan kalkulasi yang tidak jauh berbeda. Sekarang senjata kita tinggal kesaksian Maria. Dan dia masih koma di rumah sakit. Kondisinya sangat memprihatinkan, susah untuk kita harapkan.” Kata Amru lemas.
“Saran Ismail itu cukup bagus. Memang dibelakang Noura adalah seorang perwira menengah di badan intelijen khusus keamanan negara. Dia adik bungsu Madame Yasmin, ibu kandung Noura. Dialah yang mendalangi semua ini. Si Kumis yang mau berbuat tidak baik pada Madame Aisha itu akhirnya buka mulut juga. Tapi dia sulit disentuh. Kecuali oleh orang yang pangkatnya lebih tinggi darinya. Kebetulan aku tidak punya akses ke badan intelijen khusus. Aksesku hanya intel polisi biasa jadi tidak bisa berbuat banyak. Si Kumis itu kalau bukan desakan diplomatik dari Jerman dia juga tidak akan terproses secara hukum.” Ucap Magdi.
“Hmm..aku ingat sekarang. Syaikh Ahmad punya sepupu yang juga bertugas di dalam badan intelijen khusus keamanan negara, namanya Ridha Shahata. Siapa tahu bisa membantu.” Sahutku sedikit optimis.
“Saya sudah menghubungi Syaikh Ahmad, tapi sayang Ridha Shahata sedang ditugaskan ke Iran selama dua bulan. Dia baru akan kembali ke Mesir sekitar pertengahan Syawal, ketika sidang telah usai.” Tukas paman Eqbal Hakan Erbakan.
Azan maghrib berkumandang. Kami berbuka bersama. Pembicaraan sore itu belum menghasilkan sesuatu yang nyata untuk membuktikan bahwa diriku sama sekali tidak berdosa melakukan perbuatan yang hina yang dituduhkan kepadaku. Aisha pamit dengan air mata tak terbendung. “Aku akan cari jalan untuk menyelamatkan nyawamu, Suamiku. Aku tak mau jadi janda. Aku tak ingin anakku ini nanti lahir dalam keadaan yatim. Aku tak ingin kehilangan dirimu. Kau adalah karunia agung yang diberikan oleh Allah kepadaku.” Kalimat dari bibirnya yang bergetar itu membuat hatiku terasa pilu dan sedih. Tak lama lagi akan memiliki seorang anak. Dan aku tidak tahu apakah masih akan sempat melihat wajah anakku itu apa tidak? Hanya Tuhanlah yang tahu akan akhir nasibku. Apapun yang akan terjadi aku harus siap menerimanya.Untuk membesarkan hati, aku kembali mengingat kisah Nabi Yahya yang mati muda, kepalanya dipenggal dan dihadiahkan kepada seorang pelacur. Kalau kehidupan dunia adalah segalanya maka kesalehan seorang nabi tiada artinya.
* * *

26. Ayat Ayat Cinta

Musim dingin yang beku membuat tulang-tulangku terasa ngilu. Aku nyaris tidak kuat dengan keadaan sel yang sangat menyiksa. Tanpa disiksapun musim dingin dalam sel gelap, pengap, basah dan berbau pesing itu sangat menyiksa. Seluruh sumsum tulang terasa pedih bernanah. Aku memasuki hari-hari yang sangat berat.
Suatu sore, satu jam sebelum buka, tiga hari menjelang hari raya Idul Fitri Aisha menjenguk bersama paman Eqbal, dia tampak terpukul melihat keadaanku yang sangat mengenaskan. Menjalani musim dingin dengan tanpa pelindung tubuh yang cukup telah membuat seluruh persendianku kaku. Selama ini aku nyaris tidak pernah tidur kecuali dengan posisi jongkok, tangan memegang kedua kaki erat-erat. Beberapa kali aku merasa sangat tersiksa bagaikan orang yang sedang sekarat.
“Suamiku, izinkanlah aku melakukan sesuatu untukmu!” Kata Aisha dengan mata berkaca-kaca.
“Apa itu?”
“Beberapa waktu yang lalu Magdi mengatakan harapan kau bisa dibebaskan sangat tipis sekali. Maria masih juga koma. Mungkin hanya mukjizat yang akan menyadarkannya. Magdi berseloroh, jika punya uang untuk diberikan pada keluarga Noura dan pihak hakim mungkin kau bisa diselamatkan. Kalau kau mengizinkan aku akan bernegosiasi dengan keluarga Noura. Bagiku uang tidak ada artinya dibandingkan dengan nyawa dan keselamatanmu.”
“Maksudmu menyuap mereka?”
“Dengan sangat terpaksa. Bukan untuk membebaskan orang salah tapi untuk membebaskan orang tidak bersalah!”
“Lebih baik aku mati daripada kau melakukan itu!”
“Terus apalagi yang bisa aku lakukan? Aku tak ingin kau mati. Aku tak ingin kehilangan dirimu. Aku tak ingin bayi ini nanti tidak punya ayah. Aku tak ingin jadi janda. Aku tak ingin tersiksa. Apalagi yang bisa aku lakukan?”
“Dekatkan diri pada Allah! Dekatkan diri pada Allah! Dan dekatkan diri pada Allah! Kita ini orang yang sudah tahu hukum Allah dalam menguji hamba-hamba-Nya yang beriman. Kita ini orang yang mengerti ajaran agama. Jika kita melakukan hal itu dengan alasan terpaksa maka apa yang akan dilakukan oleh mereka, orang-orang awan yang tidak tahu apa-apa. Bisa jadi dalam keadaan kritis sekarang ini hal itu bisa jadi darurat yang diperbolehkan, tapi bukan untuk orang seperti kita, Isteriku. Orang seperti kita harus tetap teguh tidak melakukan hal itu. Kau ingat Imam Ahmad bin Hambal yang dipenjara, dicambuk dan disiksa habis-habisan ketika teguh memegang keyakinan bahwa Al-Qur’an bukan makhluk. Al-Qur’an adalah kalam Ilahi. Ratusan ulama pergi meninggalkan Bagdad dengan alasan keadaan darurat membolehkan mereka pergi untuk menghindari siksaan. Jika semua ulama saat itu berpikiran seperti itu, maka siapa yang akan memberi teladan kepada umat untuk teguh memegang keyakinan dan kebenaran. Maka Imam Ahmad merasa jika ikut pergi juga ia akan berdosa. Imam Ahmad tetap berada di Bagdad mempertahankan keyakinan dan kebenaran meskipun harus menghadapi siksaan yang tidak ringan bahkan bisa berujung pada kematian. Sama dengan kita saat ini. Jika aku yang telah belajar di Al Azhar sampai merelakan isteriku menyuap maka bagaimana dengan mereka yang tidak belajar agama sama sekali. Suap menyuap adalah perbuatan yang diharamkan dengan tegas oleh Baginda Nabi. Beliau bersabda, ‘Arraasyi wal murtasyi fin naar!’ Artinya, orang yang menyuap dan disuap masuk neraka! Isteriku, hidup di dunia ini bukan segalanya. Jika kita tidak bisa lama hidup bersama di dunia, maka insya Allah kehidupan akherat akan kekal abadi. Jadi, kumohon isteriku jangan kau lakukan itu! Aku tidak rela, demi Allah, aku tidak rela!”
Aisha tersedu-sedu mendengar penjelasanku. Dalam tangisnya ia berkata dengan penuh penyesalan, “Astaghfirullah…astaghfirullaahal adhiim!” Paman Eqbal ikut sedih dan meneteskan air mata.
“Aisha isteriku, apakah kau benar-benar mencintaiku?” tanyaku.
Aisha menganggukkan kepala.
“Aku juga sangat mencintaimu. Dan aku tak ingin kita yang sekarang ini saling mencintai kelak di akhirat menjadi orang yang saling membenci dan saling memusuhi.”
“Apa maksudmu? Apakah ada dua orang yang di dunia saling mencintai di akhirat justru saling memusuhi?” tanyanya.
“Jika cinta keduanya tidak berlandaskan ketakwaan kepada Allah maka keduanya bisa saling bermusuhan kelak di akhirat. Apalagi jika cinta keduanya justru menyebabkan terjadinya perbuatan maksiat baik kecil maupun besar. Tentu kelak mereka berdua akan bertengkar di akhirat. Seseorang yang sangat mencintai kekasihnya sering melakukan apa saja demi kekasihnya. Tak peduli pada apa pun juga. Terkadang juga tidak peduli pada pertimbangan dosa atau tidak dosa. Jika yang dilakukan adalah dosa tentu akan menyebabkan keduanya akan bermusuhan kelak di akhirat. Sebab mereka akan berseteru di hadapan pengadilan Allah Swt. Inilah yang telah diperingatkan oleh Allah Swt dalam surat Az Zuhruf ayat 67: ‘Orang-orang yang akrab saling kasih mengasihi, pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.’ Isteriku, aku tak ingin kita yang sekarang ini saling menyayangi dan saling mencintai kelak di akhirat justru menjadi musuh dan seteru. Aku ingin kelak di akhirat kita tetap menjadi sepasang kekasih yang dimuliakan oleh Allah Swt. Aku tak menginginkan yang lain kecuali itu isteriku. Hidup dan mati sudah ada ajalnya. Allahlah yang menentukan bukan keluarga Noura juga bukan hakim pengadilan itu. Jika memang kematianku ada di tiang gantungan itu bukan suatu hal yang harus ditakutkan. Beribu-ribu sebab tapi kematian adalah satu yaitu kematian. Yang membedakan rasanya seseorang mereguk kematian adalah besarnya ridha Tuhan kepadanya. Isteriku, aku sangat mencintaimu. Aku tak ingin kehilangan dirimu di dunia ini dan aku lebih tak ingin kehilangan dirimu di akhirat nanti. Satu-satunya jalan yang harus kita tempuh agar kita tetap bersama dan tidak kehilangan adalah bertakwa dengan sepenuh takwa kepada Allah Azza Wa Jalla.”
Tangis Aisha semakin menjadi-jadi.
“Ka...kau benar Suamiku, terima kasih kau telah mengingatkan diriku. Sungguh beruntung aku memiliki suami seperti dirimu. Aku mencintaimu suamiku. Aku mencintaimu karena kau adalah suamiku. Aku juga mencintaimu karena Allah Swt. Ayat yang kau baca dan kau jelaskan kandungannya adalah satu ayat cinta di antara sekian juta ayat-ayat cinta yang diwahyukan Allah kepada manusia. Keteguhan imanmu mencintai kebenaran, ketakwaan dan kesucian dalam hidup adalah juga ayat cinta yang dianugerahkan Tuhan kepadaku dan kepada anak dalam kandunganku. Aku berjanji akan setia menempatkan cinta yang kita bina ini di dalam cahaya kerelaan-Nya.”
Kalimat-kalimat yang terucap dari mulut Aisha menjadi penyejuk jiwa yang tiada pernah kurasa sebelumnya. Ia seorang perempuan yang lunak hatinya dan bersih nuraninya.
“Kisah percintaan kalian membuat hatiku sangat terharu. Aisha, memiliki rasa cinta dan kesetiaan pada suami yang luar biasa. Kau seperti ibumu. Kau mewarisi kelembutan hati seperti nenekmu yang asli Palestina. Jika beliau masih ada pasti akan sangat bangga memiliki cucu sepertimu. Dan kau Fahri, aku belum pernah melihat seorang lelaki yang seteguh dirimu dan sekuat dirimu dalam bertanggung jawab mempertahankan cinta suci di dunia dan di akhirat. Kau benar, hidup yang sebenarnya adalah hidup di akhirat. Hidup yang kekal abadi tiada penghabisannya. Sesungguhnya sore ini aku mendapatkan nasihat agung yang tiada ternilai harganya.”
Azan berkumandang dan kami bersiap untuk buka. Sambil menjawab azan, lirih kudengar Aisha berdoa, “Ya Allah kekalkan cinta kami di dunia dan di akhirat. Ya Allah masukkan kami ke dalam surga Firdaus-Mu agar kami dapat terus bercinta selama-lamanya. Amin.”
Setelah mereka pulang di dalam sel penjara aku menyatukan diri dalam rengkuhan tangan Tuhan. Meskipun berada di dalam penjara aku masih merasakan kenikmatan-kenikmatan yang kelihatannya biasa-biasa namun luar biasa agungnya. Tuhan masih memberikan sentuhan cinta dan kasih sayang-Nya. Aku tiada kuasa berbuat apa-apa kecuali meletakkan kening bersujud kepada-Nya.
Ilahi, setiap kali,
bila kurenungkan kemurahanMu
yang begitu sederhana mendalam
akupun tergugu
dan membulatkan sembahku padaMu [113]

* * *
Hari raya Idul Fitri tiba. Aku merayakannya di dalam penjara berteman duka dan air mata. Tidak seperti hari raya yang telah lalu. Aku tidak bisa berbicara langsung dengan kedua orang tua di Indonesia. Aku hanya berpesan kepada Aisha agar minta tolong kepada Rudi membelikan kartu lebaran di Attaba dan mengirimnya tanpa memberitahukan keadaanku sebenarnya. Aku tak ingin membuat mereka berdua berduka tiada terkira. Aku telah berpesan pada Ketua PPMI agar jika ada teman mahasiswa dari Jawa pulang berkenan mampir ke rumah orang tuaku dan menceritakan masalah yang menimpaku dengan baik dan bijaksana.
Yang sedikit mengurangi kesedihanku pada hari raya itu adalah kunjungan yang datang silih berganti dari pagi sampai sore. Pagi sekali, tak lama setelah shalat Ied selesai Aisha, paman Eqbal dan bibi Sarah menjenguk. Setelah itu teman-teman satu rumah alias Rudi dkk. Lalu Mas Khalid dan anak buahnya. Ketua Kelompok Studi Walisongo (KSW) dan bala kurawanya. Takmir masjid Indonesia. Beberapa staf KBRI yang rendah hati. Teman-teman S2 dan S3. Dan beberapa kenalan lainnya.
Yang cukup mengejutkan diriku adalah kunjungan Nurul bersama Ustadz Jalal dan isterinya. Nurul menyampaikan rasa terima kasihnya atas surat yang aku tulis untuknya. Dia minta doanya tiga hari lagi akan melangsungkan akad nikah dengan salah seorang mahasiswa Indonesia.
“Siapa dia calon suamimu yang beruntung itu, kalau aku boleh tahu?” Tanyaku pada Nurul. Dia menundukkan kepala dan dia diam saja. Malu.
“Dia juga sedang menulis tesis. Juga kawan dekatmu.” Kata Ustadz Jalal menanggapi pertanyaanku. Aku berpikir sesaat mencari seseorang yang diisyaratkan oleh Ustadz Jalal.
“Apakah dia itu Mas Khalid?” tebakku.
“Tebakkanmu tidak salah,” jawab Ustadz Jalal.
“Dia orang yang shaleh, baik dan memiliki karakter dan dedikasi tinggi.” kataku.
“Tapi cinta pertama sangat susah dilupakan.” Lirih Nurul.
“Sekali lagi cinta sejati adalah yang telah diikat dengan tali suci pernikahan. Jadikanlah Mas Khalid sebagai cinta pertama dan terakhirmu.” pelanku.
“Insya Allah, aku sedang berusaha untuk melakukan itu dengan segenap usaha. Doakanlah pernikahan kami barakah, dan kami bahagia dan menemukan mawaddah,” lirih Nurul.
“Sama-sama. Kita saling mendoakan,” jawabku.
Aku bahagia mendapat kunjungan yang membawa berita baik itu. Mas Khalid memang pasangan yang cocok untuk Nurul. Keduanya sama-sama berasal dari keluarga pesantren. Dan kepiawaian Mas Khalid dalam membaca kitab kuning ala pesantren salaf akan sangat berguna bagi pengembangan pesantren milik ayah Nurul. Mas Khalid bisa menjadi pengasuh pesantren yang baik. Dalam banyak acara diskusi di Cairo dia paling sering diminta untuk memimpin doa. Doanya panjang namun mampu membuat orang meneteskan air mata di hadapan Tuhannya.
Dan yang tak kalah bahagianya hatiku adalah kunjungan Syaikh Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far bersama puteranya yang bernama Umar. Beliau berpesan agar aku bersabar dan tidak pernah putus asa sedetikpun atas datangnya rahmat Allah Swt. Beliau meminta maaf atas ketidakberdayaan beliau mempertahankan diriku atas pengeluaranku dari Al Azhar. Beliau juga menjelaskan bahwa sebenarnya Al Azhar mendapatkan tekanan dari keamanan untuk melakukan hal itu padaku. Sebelum pulang beliau memelukku erat-erat lalu mengecup ubun-ubun kepalaku.
“Ingat baik-baik Anakku, wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhraja!” [114] Pesan beliau kepadaku. Kunjungan Guru Besar Tafsir Universitas Al Azhar itu membuat diriku memang benar-benar terasa ada. Orang sepenting dia masih berkenan menengokku di penjara. Sungguh pengalaman yang tak akan terlupa.
Menjelang Isya’, Syaikh Ahmad dan isterinya, Ummu Aiman datang. Syaikh Ahmad sedikit membawa berita baik untukku. Yaitu saudara sepupunya, Ridha Shahata, yang ditugaskan keluar Mesir pulang lebih awal dari jadwal yang ditetapkan karena dia telah menyelesaikan semua tugasnya dengan baik. Ridha Shahata berjanji akan membantu sebisanya. Yang paling penting menurut Ridha Shahata dari cerita Syaikh Ahmad adalah bagaimana caranya Maria bisa memberikan kesaksiannya di depan pengadilan. Aku lebih banyak diam, dalam hati kukatakan, ‘Maria sangat susah diharapkan, jika memang aku harus mati di tiang gantungan berarti memang Tuhan berkehendak demikian.’
Sejujurnya kukatakan, selama merayakan Iedul Fitri di Mesir aku belum pernah mendapatkan kunjungan sebanyak itu. Meskipun berada di penjara, namun hari raya yang kulewati cukup mengesan. Aku ikhlas seandainya hari raya yang aku lewati adalah hari raya terakhirku di dunia.


27. Diary Maria

Hari berikutnya, pagi-pagi sekali, Tuan Boutros dan Madame Nahed datang. Aku sama sekali tidak menyangka mereka akan datang menjenguk dan mengucapkan selamat hari raya. Ternyata maksud kedatangan mereka tidak semata-mata berkunjung. Tuan Boutros berkata, “Kedatangan kami berdua kemari mau minta pertolonganmu sekali lagi untuk kesembuhan Maria.”
“Aku tidak mengerti maksud Tuan. Apa yang bisa aku lakukan dalam keadaan seperti ini?” jawabku.
“Kaset rekaman suaramu itu bisa menyadarkan Maria beberapa menit. Begitu sadar ia menanyakan dirimu. Ia terus menanyakan dirimu sampai tak sadarkan diri kembali. Dokter ahli syaraf yang menanganinya meminta agar bisa mendatangkan dirimu beberapa saat untuk menyadarkan Maria. Dengan suara dan dengan sentuhan tanganmu ada kemungkinan Maria bisa sadar. Dan ketika mendapatkan dirimu berada di sisinya, dia akan memiliki semangat hidup kembali. Maria itu ternyata persis seperti ibunya yang tidak mudah jatuh cinta. Namun sekali jatuh cinta dia bisa melupakan sama sekali orang yang dicintainya. Madame Nahed ini dulu juga sakit seperti Maria sekarang, cuma tidak separah Maria,” kata Tuan Boutros.
“Tolonglah Anakku, aku tak mau kehilangan Maria. Aku sudah pernah mengalami apa yang dialami Maria. Hanya suaramu, sentuhanmu dan kehadiranmu di sisinya yang akan membuat dirinya kembali memiliki cahaya hidup yang telah redup,” desak Madame Nahed.
“Kalau hanya memperdengarkan suaraku padanya, insya Allah aku bisa. Tapi kalau sampai menyentuhnya aku tidak bisa. Anda tentu sudah tahu kenapa? Tapi bagaimana aku bisa melakukan itu sementara aku berada di dalam penjara. Apakah akan rekaman lagi?” jawabku.
“Kami akan minta izin kepada pihak kepolisian untuk membawamu ke rumah sakit beberapa saat lamanya dengan jaminan,” kata Tuan Boutros.
“Semoga bisa,” sahutku pelan.
Keduanya lalu keluar. Aku menunggu di ruang tamu penjara dengan penuh harap berdoa mereka diizinkan membawaku ke rumah sakit menemui Maria. Dan semoga aku bisa menyadarkan Maria sehingga nanti dia bisa menjadi saksi dalam persidangan penentuan yang tidak lama lagi akan dilangsungkan. Entah bagaimana diplomasi mereka pada pihak kepolisian dan jaminan apa yang mereka berikan akhirnya mereka diizinkan membawaku ke rumah sakit sampai maghrib tiba. Saat azan maghrib berkumandang aku harus sudah berada di dalam penjara lagi. Borgolku dilepas. Aku melihat jam dinding yang ada di ruangan itu. Baru pukul setengah delapan pagi. Maghrib sekitar pukul lima empat lima. Ada waktu sembilan jam setengah. Semoga waktu yang ada itu cukup untuk membantu Maria.
Tuan Boutros dan Madame Nahed membawaku ke mobil mereka. Aku heran, sama sekali kami tidak dikawal. Apa mereka tidak takut aku akan melarikan diri. Aku tanyakan hal itu pada Tuan Boutros. Beliau menjawab, “Jika kau lari maka kami sekeluarga akan mati. Kami sekeluarga yang menjadi jaminanmu.”
“Apa Tuan tidak kuatir aku akan melarikan diri?” tanyaku.
“Aku sudah mengenal siapa dirimu. Kau bukan seorang pengecut yang akan melakukan hal itu,” jawab Tuan Boutros mantap.
“Terima kasih atas kepercayaannya,” tukasku.
Rumah sakit tempat Maria dirawat adalah rumah sakit tempat aku dulu dirawat. Begitu sampai di sana Madame Nahed yang juga seorang dokter langsung meminta temannya untuk memeriksa kesehatanku. Aku sempat minta pada Madame Nahed menghubungi Aisha yang tinggal di rumah paman Eqbal yang tak jauh dari rumah sakit. Seorang dokter memeriksa tekanan darahku dan lain sebagainya dengan proses yang cepat. Dia minta aku mandi dengan air kemerahan yang telah disiapkan seorang perawat. Lalu salin pakaian rumah sakit. Aku mandi dengan cepat. Setelah itu aku disuntik. Barulah aku diajak ke kamar di mana Maria tergeletak seperti mayat. Aku tak kuasa menatapnya. Maria yang kulihat itu tidak seperti Maria yang dulu. Ia tampak begitu kurus. Mukanya pucat dan layu. Tak ada senyum di bibirnya. Matanya terpejam rapat. Air matanya terus meleleh. Entah kenapa tiba-tiba mataku basah. Seorang dokter setengah baya memintaku untuk berbicara dengan suara yang datang dari jiwa agar bisa masuk ke dalam jiwa Maria. “Ini penyakit cinta, hanya bisa disembuhkan dengan getaran-getaran cinta,” katanya padaku.
Aku duduk di kursi dekat Maria berbaring. Mulutku tak jauh dari telinga Maria. Aku memanggil-manggil namanya. Menyuruhnya untuk membukakan mata. Aku bercerita dan lain sebagainya. Satu jam sudah aku berbicara tapi Maria tetap tidak sadar juga. Dokter setengah baya mengajakku bicara. Dia minta agar aku mengucapkan kata-kata yang mesra, kata-kata pernyataan cinta pada Maria sambil memegang-megang tangannya atau menyentuh keningnya.
Kujawab, “Maafkan diriku atas ketidakmampuanku melakukan hal itu. Aku tidak mungkin menyatakan cinta dan menyentuh bagian tubuh seorang wanita, kecuali pada isteriku saja.”
“Tolonglah, lakukan itu untuk merangsang syarafnya dan membuatnya sadar. Kau harus mengatakan dan melakukan sesuatu yang memiliki efek pada syaraf dan memorinya. Dan lebih dari itu pada jiwanya. Utarakanlah rasa cintamu padanya, mungkin itu akan menolongnya.”
“Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak menyesal.”
“Ini tidak sungguhan.”
“Aku harus bersikap bagaimana? Aku tidak bisa melakukan hal itu, juga tidak bisa untuk melakukan suatu kebohongan. Bagaimana jika aku mengungkapkan rasa cinta lalu dia sadar. Kemudian dia tahu aku membohonginya apakah itu bukan suatu penyiksaan yang kejam padanya?”
Dokter setengah baya diam. Ia lalu keluar dan beranjak keluar untuk berbicara pada Tuan Boutros dan Madame Nahed. Aku duduk terpekur dalam ketermanguan. Lakon hidup ini kenapa begitu rumit? Aku melihat bibir Maria bergetar menyebut sebuah nama. Hatiku berdesir. Yang ia sebut adalah namaku. Aku menjawab dengan menyebut namanya tapi ia tidak juga membuka matanya. Ingin aku menggoyang-goyang tubuhnya agar ia sadar, agar ia tahu aku ada di dekatnya tapi itu tak mungkin aku lakukan. Tuan Boutros mengajakku berbicara enam mata dengan Madame Nahed di sebuah ruangan. Tuan Boutros menyerahkan sebuah agenda berwarna biru.
“Fahri, ini agenda pribadi Maria. Tempat ia mencurahkan segala perasaan dan pengalamannya yang sangat pribadi yang terkadang kami tidak mengetahuinya. Termasuk cintanya padamu yang luar biasa. Kami tidak pernah menyalahkanmu dalam masalah ini. Sebab kamu memang tidak bersalah. Kamu tidak pernah melakukan tindakan yang tidak baik pada Maria. Kami juga tidak bisa menyalahkan Maria. Bacalah beberapa halaman yang telah kami tandai itu agar kau mengetahui bagaimana perasaan Maria terhadapmu sebenarnya,” kata Tuan Boutros.
Aku menerima agenda pribadi Maria itu dan membaca pada halaman-halaman yang telah ditandai dengan sedikit dilipat ujung atas halamannya.
Kubuka lipatan 1:

Senin, 1 Oktober 2001, pukul 22.25

Sudah dua tahun dia dan teman-temannya tinggal di flat bawah. Kamarnya tepat dibawah kamarku. Aku tak pernah berkenalan langsung dengannya, tapi aku mengenalnya. Aku tahu namanya dan tanggal lahirnya. Yousef banyak bercerita tentang dirinya dan teman-temannya. Setiap Jum’at pagi dia dan teman-temannya bermain sepak bola di lapangan bersama Yousef dan anak-anak muda Hadayek Helwan. Mereka semua mahasiswa Al Azhar dari Indonesia yang ramah dan menghormati siapa saja. Kata Yousef yang paling ramah dan dewasa adalah dia. Bahasa ‘amiyah dan fushanya juga paling baik di antara keempat orang temannya.
Ayah pernah dibuat terharu oleh sikapnya yang tidak mau merepotkan dan menyakiti tetangga. Ceritanya suatu hari ayah menagih iuran air ke tempatnya. Ternyata ia sedang tidak enak badan dan istirahat di kamarnya. Teman-temannya mengajak ayah masuk ke kamarnya. Di dalam kamarnya ada sebuah ember untuk menadah air yang menetes dari langit-langit. Ayah langsung tahu bahwa tetesan air itu berasal dari kamar mandi kami. Karena kamilah yang tepat berada di atasnya. Dan letak kamar mandi memang berada di samping kamarku. Ayah bertanya padanya,
“Sudah berapa lama air ini merembes dan menetes di kamarmu?”
“Satu bulan?”
“Kenapa kau tidak bilang kepadaku kalau ada ketidakberesan di kamar mandi kami dan merembes ke tempatmu?”
“Nabi kami mengajarkan untuk memuliakan tetangga, beliau bersabda, ‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya!’ Kami tahu kerusakan itu perlu diperbaiki. Dan perbaikan itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Karena lantai rumah Anda adalah langi-langit rumah kami, maka biaya perbaikan itu tentunya kita berdua yang menanggungnya. Kebetulan kami tidak punya uang. Kami menunggu ada uang baru akan memberitahu Anda. Jika kami langsung memberitahu Anda kami takut akan akan merepotkan Anda. Dan itu tidak kami inginkan.”
Mendengar jawaban itu hati ayah sangat tersentuh dan terharu. Ayah terharu atas kesabaran dia selama satu bulan. Ada air menetes di langit-langit kamar tentu sangat mengganggu kenyamanan. Ayah juga terharu akan kedewasaannya dalam merasa bertanggung jawab. Ayah merasa mendapat teguran. Bagaimana tidak? Setengah tahun sebelumnya ada air menetes di langit-langit kamar mandi kami. Berarti kamar mandi penghuni rumah atas kami tidak beres. Ayah dengan tegas langsung meminta orang atas memperbaikinya tanpa memberi bantuan finansial sedikit pun. Sebab ayah merasa itu sepenuhnya tanggung jawab orang atas. Sejak itu kekaguman ayah padanya dan pada teman-temannya sering ayah ungkapkan. Dan sejak kejadian itu aku jadi penasaran ingin tahu lebih jauh tentang dirinya.
Sudah dua tahun dia tinggal di bawah dan aku tidak pernah bertegur sapa dengannya. Seringkali kami bertemu tak sengaja di jalan, di halaman apartemen, di gerbang, atau di tangga. Tapi kami tak pernah bertegur sapa. Dia lebih sering menunduk. Jika tanpa sengaja beradu pandangan saat bertemu denganku dia cepat-cepat menunduk atau mengalihkan padangan. Dia bersikap biasa. Tidak tersenyum juga tidak bermuka masam. Akhirnya tadi siang saat aku pulang dari kuliah aku bertemu dia di dalam metro. Dia juga dari kuliah. Aku memberanikan diri untuk menyapanya dan mengajaknya bicara. Sebab rasa-rasanya rasa penasaranku ingin tahu sendiri keindahan pribadinya seperti yang sering diceritakan Yousef dan ayah tidak dapat aku tahan lagi. Aku menyapanya dengan tersenyum dan dia pun menjawab dengan baik dan halus. Aku heran pada diriku sendiri bagaimana mungkin aku tersenyum padanya. Aku jarang bahkan bisa dikatakan anti memberikan senyum pada lelaki yang bukan keluargaku. Aku tidak tahu kenapa aku memberikan senyumku padanya dan aku tidak merasa menyesal bahkan sebaliknya. Yang membuatku senang adalah dia ternyata tahu namaku. Saat itu aku ingin bertanya padanya kenapa selama ini kalau bertemu di jalan atau ditangga tidak pernah menyapaku. Tapi kuurungkan.
Perbincangan dengannya tadi siang sangat berkesan di hatiku. Dia memiliki tutur bahasa yang halus dan kepribadian yang indah. Ia tidak mau aku ajak berjabat tangan. Bukan tidak menghormati diriku, kata dia, justru karena menghormati diriku. Dia juga bisa menjadi pendengar yang baik. Sifat yang tidak banyak dimiliki setiap orang. Ia sangat senang menyimak aku membaca surat Maryam. Kelihatannya ia kaget ada gadis koptik hafal surat Maryam. Aku bukan gadis yang mudah terkesan pada seorang pemuda. Tapi entah kenapa aku merasa sangat terkesan dengan sikap-sikapnya. Dan entah kenapa hatiku mulai condong padanya. Hatiku selalu bergetar mendengar namanya. Lalu ada perasaan halus yang menyusup ke sana tanpa aku tahu perasaan apa itu namanya. Fahri, nama itu seperti embun yang menetes dalam hati. Kurindu setiap pagi.

Lipatan 2:

Minggu, 16 Desember 2001, pukul 21.00
Kenapa aku menangis? Perasaan apa yang mendera hatiku sekarang?Begitu menyiksa. Aku tak pernah merindukan seseorang seperti rinduku padanya. Sudah satu bulan aku tidak melihatnya melintas di halaman apartemen. Sudah satu bulan dia menghilang membuat hatiku merasa tercekam kerinduan. Yousef bilang Fahri pergi umrah sejak pertengahan Ramadhan dan sampai sekarang belum juga pulang. Aku merasa memang telah jatuh cinta padanya. Cinta yang datang begitu saja tanpa aku sadari kehadirannya di dalam hati.

Lipatan 3:

Sabtu, 10 Agustus 2002 pukul 11.15
Pulang dari restoran Cleopatra kugoreskan pena ini. Sebab aku tidak bisa mengungkapkan gelegak perasaanku secara tuntas kecuali dengan menorehkannya dalam diary ini.
Akhirnya keraguanku padanya hilang, berganti dengan keyakinan. Selama ini aku ragu apakah dia bisa romantis. Sebab selama bertemu atau berbicara dengannya dia sama sekali tidak pernah berkata yang manis-manis. Selalu biasa, datar dan wajar. Dia selalu tampak serius meskipun setiap kali aku tersenyum padanya dia juga membalas dengan senyum sewajarnya.
Tapi malam ini, apa yang dia lakukan membuat hatiku benar-benar sesak oleh rasa cinta dan bangga padanya. Dia sangat perhatian dan suka membuat kejutan. Kali ini yang mendapat kejutan indah darinya adalah Mama dan Yousef. Mereka berdua mendapat hadiah ulang tahun darinya. Meskipun di atas namakan seluruh anggota rumahnya tapi aku yakin dialah yang merencanakan semuanya. Dia ternyata sangat romantis. Tak perlu banyak berkata-kata dan langsung dengan perbuatan nyata. Fahri, aku benar-benar tertawan olehmu. Tapi apakah kau tahu yang terjadi pada diriku? Apakah kau tahu aku mencintaimu? Aku malu untuk mengungkapkan semua ini padamu. Dan ketika kau kuajak dansa tidak mau itu tidak membuatku kecewa tapi malah sebaliknya membuat aku merasa sangat bangga mencintai lelaki yang kuat menjaga prinsip dan kesucian diri seperti dirimu.

Lipatan 4:

Minggu, 11 Agustus 2002 pukul 22.00
Aku sangat cemas memikirkan dia. Dia dia tergeletak keningnya panas. Kata Mama terkena heat stroke. Kata teman-temannya dia seharian melakukan kegiatan yang melelahkan di tengah musim panas yang sedang menggila.
Oh, kekasihku sakit
Aku menjenguknya
Wajahnya pucat
Aku jadi sakit dan pucat
Karena memikirkan dirinya
Aku semakin tahu siapa dia. Untuk pertama kalinya aku tadi masuk kamarnya ikut Mama dan Ayah menjenguknya. Dia seorang pemuda yang ulet, pekerja keras, dan memiliki rencana ke depan yang matang. Aku masih ingat dia menyitir perkataan bertenaga Thomas Carlyle: ‘Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus!’
Aku merasa tidak salah mencintai dia. Aku ingin hidup bersamanya. Merenda masa depan bersama dan membesarkan anak-anak bersama. Membangun peradaban bersama. Oh Fahri, apakah kau mendengar suara-suara cinta yang bergemuruh dalam hatiku?

Lipatan 5:

Sabtu, 17 Agustus 2002, pukul 23.15

Aku belum pernah merasakan ketakutan dan kecemasan sehebat ini? Aku tak ingin kehilangan dirinya. Dia memang keras kepala. Diingatkan untuk menjaga kesehatannya tidak juga mengindahkannya. Akhirnya terjadilah peristiwa yang membuat diriku didera kecemasan luar biasa.
Siang tadi pukul setengah empat Saiful datang dengan wajah cemas. Minta tolong Fahri dibawa ke rumah sakit. Fahri tak sadarkan diri. Aku telpon Mama di rumah sakit lalu bersama Yousef membawa Fahri ke rumah sakit. Aku menungguinya sampai jam delapan malam. Dan dia belum juga siuman. Ah, Fahri kau jangan mati! Aku tak mau kehilangan dirimu. Sembuhlah Fahri, aku akan katakan semua perasaanku padamu. Aku sangat mencintaimu.

Lipatan 6:

Minggu, 18 Agustus 2002, pukul 17.30

Seolah-olah akulah yang sakit, bukan dia. Tuhan, jangan kau panggil dia. Aku ingin dia mendengar dan tahu bahwa aku sangat mencintainya.
Dia tergeletak tanpa daya berselimut kain putih. Kata Saiful pukul setengah tiga malam dia sadar tapi tak lama. Lalu kembali tak sadarkan diri sampai aku datang menjenguknya jam setengah delapan pagi tadi. Kulihat Saiful pucat. Ia belum tidur dan belum makan. Kuminta dia keluar mencari makan. Aku mengantikan Saiful menjaganya. Aku tak kuasa menahan sedih dan air mataku. Dia terus mengigau dengan bibir bergetar membaca ayat-ayat suci. Wajahmu pucat. Air matanya meleleh . Mungkin dia merasakan sakit yang tiada terkira.
Aku tak kuasa menahan rasa sedih yang berselimut rasa cinta dan sayang padanya. Kupegang tangannya dan kuciumi. Kupegang keningnya yang hangat. Aku takut sekali kalau dia mati. Aku tidak mau dia mati. Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak menciumnya. Pagi itu untuk pertama kali aku mencium seorang lelaki. Yaitu Fahri. Aku takut dia mati. Kuciumi wajahnya. Kedua pipinya. Dan bibirnya yang wangi. Aku tak mungkin melupakan kejadian itu. Kalau dia sadar mungkin dia akan marah sekali padaku. Tapi aku takut dia mati. Saat menciumnya aku katakan padanya bahwa aku sangat mencintainya. Tapi dia tak juga sadar. Tak juga menjawab.
Pukul delapan dia bangun dan dia kelihatan kaget melihat aku berada di sisinya. Aku ingin mengatakan aku cinta padanya. Tapi entah kenapa melihat sorot matanya yang bening aku tidak berani mengatakannya. Tenggorokanku tercekat. Mulutku terkunci hanya hati yang berbicara tanpa suara. Tapi aku berjanji akan mencari waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya padanya. Aku ingin menikah dengannya. Dan aku akan mengikuti semua keinginannya. Aku sangat mencintainya seperti seorang penyembah mencintai yang disembahnya. Memang memendam rasa cinta sangat menyiksa tapi sangat mengasyikkan. Love is a sweet torment!


Lipatan terakhir:

Jum’at, 4 Oktober 2002, pukul 23.25

Aku masih sangat kelelahan baru pulang dari Hurgada. Baru setengah jam meletakkan badan di atas kasur aku mendapatkan berita yang meremukredamkan seluruh jiwa raga. Fahri telah menikah dengan Aisha, seorang gadis Turki satu minggu yang lalu. Aku merasa dunia telah gelap. Dan hidupku tiada lagi berguna. Harapan dan impianku semua lenyap. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku kecewa pada hari-hari yang telah kujalani. Andaikan waktu bisa diputar mundur aku akan mengungkapkan semua perasaan cintaku padanya dan mengajaknya menikah sebelum dia bertemu Aisha. Aku merasa ingin mati saja. Tak ada gunanya hidup tanpa didampingi seorang yang sangat kucintai dan kusayangi. Aku ingin mati saja. Aku ingin mati saja. Aku rasa aku tiada bisa hidup tanpa kekuatan cinta. Aku akan menunggunya di surga.

Air mataku tak bisa kubendung membaca apa yang ditulis Maria dalam diary pribadinya. Aku cepat-cepat menata hati dan jiwaku. Aku tak boleh larut dalam perasaan haru dan cinta yang tiada berhak kumerasakannya. Aku sudah menjadi milik Aisha. Dan aku harus setia lahir batin, dalam suka dan duka, juga dalam segala cuaca.
“Hanya kau yang bisa menolongnya Anakku. Nyawa Maria ada di tanganmu,” ucap Madame Nahed pelan dengan air mata meleleh di pipinya.
“Bukan aku. Tapi Tuhan,” jawabku.
“Ya. Tapi kau perantaranya. Kumohon lakukanlah sesuatu untuk Maria!”
“Aku sudah melakukannya semampuku.”
“Lakukanlah seperti yang diminta dokter. Tolong.”
“Andai aku bisa Madame, aku tak bisa melakukannya.”
“Kenapa?”
“Aku sudah katakan semuanya pada dokter.”
“Kalau begitu nikahilah Maria. Dia tidak akan bisa hidup tanpa dirimu. Sebagaimana aku tidak bisa hidup tanpa Boutros.”
“Itu juga tidak mampu aku lakukan. Aku sangat menyesal.”
“Kenapa Fahri? Kau tidak mencintainya? Kalau kau tidak bisa mencintainya maka kasihanilah dia. Sungguh malang nasibnya jika harus mati dalam keadaan sangat sengsara dan menderita. Kasihanilah dia, Fahri. Kumohon demi rasa cintamu pada nabimu.”
“Masalahnya bukan cinta atau kasihan Madame.”
“Lantas apa?”
“Aku sudah menikah. Dan saat menikah aku menyepakati syarat yang diberikan isteriku agar aku menjadikan dia isteri yang pertama dan terakhir. Dan aku harus menunaikan janji itu. Aku tidak boleh melanggarnya.”
“Aku akan minta pada Aisha untuk memberikan belas kasihnya pada Maria. Aku yakin Aisha seorang perempuan shalihah yang baik hati. Kebetulan itu dia, baru datang. Kau tunggulah di sini bersama Boutros. Aku mau bicara empat mata dengan Aisha.” Kata Madame Nahed sambil berjalan menyambut Aisha. Keduanya lalu berjalan memasuki sebuah ruangan. Entah apa yang akan dikatakan Madame Nahed pada Aisha. Semoga Aisha tidak terluka hatinya. Dan aku sama sekali tidak punya niat sedetikpun untuk menduakan Aisha dengan Maria. Aku tidak pernah berpikir kalau Maria mencintaiku sedemikian rupa.
* * *
Setelah berbincang dengan Madame Nahed, Aisha mengajakku berbicara empat mata. Matanya berkaca-kaca.
“Fahri, menikahlah dengan Maria. Aku ikhlas.”
“Tidak Aisha, tidak! Aku tidak bisa.”
“Menikahlah dengan dia, demi anak kita. Kumohon! Jika Maria tidak memberikan kesaksiannya maka aku tak tahu lagi harus berbuat apa untuk menyelamatkan ayah dari anak yang kukandung ini.” Setetes air bening keluar dari sudut matanya.
“Aisha, hidup dan mati ada di tangan Allah.”
“Tapi manusia harus berusaha sekuat tenaga. Tidak boleh pasrah begitu saja. Menikahlah dengan Maria lalu lakukanlah seluruh petunjuk dokter untuk menyelamatkannya.”
“Aku tak bisa Aisha. Aku sangat mencintaimu. Aku ingin kau yang pertama dan terakhir bagiku.”
“Kalau kau mencintaiku maka kau harus berusaha melakukan yang terbaik untuk anak kita. Aku ini sebentar lagi menjadi ibu. Dan seorang ibu akan melakukan apa saja untuk ayah dari anaknya. Menikahlah dengan Maria. Dan kau akan menyelamatkan banyak orang. Kau menyelamatkan Maria. Menyelamatkan anak kita. Menyelamatkan diriku dari status janda yang terus membayang di depan mata dan menyelamatkan nama baikmu sendiri.”
“Aku mencintai kalian semua. Tapi aku lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Budak hitam yang muslimah lebih baik dari yang bukan muslimah. Aku tak mungkin melakukannya isteriku.”
“Aku yakin Maria seorang muslimah.”
“Bagaimana kau bisa yakin begitu?”
“Dengan sekilas membaca diarynya. Jika dia bukan seorang muslimah dia tidak akan mencintaimu sedemikian kuatnya. Kalau pun belum menjadi muslimah secara lesan dan perbuatan, aku yakin fitrahnya dia itu muslimah.”
“Aku tidak bisa berspekulasi isteriku. Aku tidak bisa melakukannya. Dalam interaksi sosial kita bisa toleran pada siapa saja, berbuat baik kepada siapa saja. Tapi untuk masalah keyakinan aku tidak bisa main-main. Aku tidak bisa menikah kecuali dengan perempuan yang bersaksi dan meyakini tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Kalau untuk bertetangga, berteman, bermasyarakat aku bisa dengan siapa saja. Untuk berkeluarga tidak bisa Aisha. Tidak bisa!”
“Suamiku aku sependapat denganmu. Sekarang menikahlah dengannya. Anggaplah ini ijtihad dakwah dalam posisi yang sangat sulit ini. Nanti kita akan berusaha bersama untuk membawa Maria ke pintu hidayah. Jika tidak bisa, semoga Allah masih memberikan satu pahala atas usaha kita. Tapi aku sangat yakin dia telah menjadi seorang muslimah. Jika tidak bagaimana mungkin dia mau menerjemahkan buku yang membela Islam yang kau berikan pada Alicia itu. Itu firasatku. Kumohon menikahlah dan selamatkan Maria. Bukankah dalam Al-Qur’an disebutkan, Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.?”
Aku diam tidak bisa bicara apa-apa. Aku tidak pernah membayangkan akan menghadapi suasana psikologis yang cukup berat seperti ini. Aisha mengambil cincin mahar yang aku berikan di jari manis tangan kanannya.
“Ini jadikan mahar untuk Maria. Waktunya sangat mendesak. Sebelum maghrib kau harus sampai di penjara. Jadi kau harus segera menikah dan melakukan semua petunjuk dokter untuk menyadarkan Maria.” Kata-kata Maria begitu tegas tanpa ada keraguan, setegas perempuan-perempuan Palestina ketika menyuruh suaminya berangkat ke medan jihad. Dengan sedikit ragu aku mengambil cincin itu. Aku tak bisa menahan isak tangisku. Aisha memelukku, kami bertangisan.
“Suamiku kau jangan ragu! Kau sama sekali tidak melakukan dosa. Yakinlah bahwa kau akan melakukan amal shaleh,” bisik Aisha.
Setelah itu aku menemui Madame Nahed dan Tuan Boutros. Mereka berdua menyambut kesediaanku dengan bahagia. Proses akad nikah dilaksanakan dalam waktu yang sangat cepat, sederhana, sesuai dengan permintaanku. Seorang ma’dzun syar’i mewakili Tuan Boutros menikahkan diriku dengan Maria dengan mahar sebuah cincin emas. Saksinya adalah dua dokter muslim yang ada di rumah sakit itu.
Setelah itu dokter setengah baya memberikan petunjuk apa yang harus aku lakukan untuk membantu Maria sadar dari komanya. Aku minta hanya aku dan Maria yang ada di ruang itu. Aku wudhu dan shalat dua rakaat lalu berdoa di ubun-ubun kepala Maria seperti yang aku lakukan pada Aisha. Aku hampir tidak percaya bahwa gadis Mesir yang dulu lincah, ceria dan kini terbaring lemah tiada berdaya ini adalah isteriku. Segenap perasaan kucurahkan untuk mencintainya. Aku membisikkan ke telinganya ungkapan-ungkapan rasa cinta dan rasa sayang yang mendalam. Aku lalu menciuminya seperti dia menciumiku waktu aku sakit. Tapi dia tetap diam saja. Aku lalu menangis melihat usahaku sepertinya sia-sia. Aku ingin melakukan lebih dari itu tapi tidak mungkin. Aku hanya bisa terisak sambil memanggil-manggil nama Maria.
Tiba-tiba aku melihat sujud mata Maria melelehkan air mata. Aku yakin Maria mulai mendengar apa yang aku katakan. Aku kembali menciumi tangannya. Lalu mencium keningnya. “Maria, bangunlah Maria. Jika kau mati maka aku juga akan ikut mati. Bangunlah kekasihku! Aku sangat mencintaimu!” kuucapkan dengan pelan di telinganya dengan penuh perasaan.
Kepalanya menggeliat, dan perlahan-lahan ia mengerjapkan kedua matanya. Aku memegang kedua tanganya sambil kubasahi dengan air mataku.
“F..f..Fahri..?”
“Ya, aku di sisimu Maria.”
Entah mendapatkan kekuatan dari mana, Maria bisa bicara meskipun dengan suara yang lemah,
“Aku mendengar kau berkata bahwa kau mencintaiku, benarkah?”
“Benar. Aku sangat mencintaimu,Maria?”
“Kenapa kau pegang tanganku. Bukankah itu tidak boleh?”
“Boleh! Karena kau sudah jadi isteriku.”
“Apa?”
“Kau sudah jadi isteriku, jadi aku boleh memegang tanganmu?”
“Siapa yang menikahkan kita?”
“Ayahmu. Apa kau tidak mau jadi isteriku?”
Mata Maria berkaca-kaca, “Itu impianku. Aku merasa kita tidak akan bisa menikah setelah kau menikah dengan Aisha. Terus bagaimana dengan Aisha?”
“Dia yang mendorongku untuk menikahimu. Ini cincin yang ada di tanganmu adalah pemberian Aisha. Anggaplah dia sebagai kakakmu.”
“Aku tak menyangka Aisha akan semulia itu.”
“Fahri, aku mau minta maaf. Saat kau sakit dulu aku pernah men...”
“Aku sudah tahu semuanya. Tadi saat kau belum bangun aku sudah membalasnya.”
Maria tersenyum. “Aku ingin kau mengulanginya lagi. Aku ingin merasakannya dalam keadaan sadar.” Pinta Maria dengan sorot mata berbinar. Aku memenuhi permintaannya. Seketika wajahnya kelihatan lebih bercahaya dan segar.
“Maria.”
“Ya.”
“Berjanjilah kau akan mengembalikan semangat hidupmu.”
“Setelah aku menemukan kembali cintaku maka dengan sendirinya aku menemukan kembali semangat hidupku. Saat ini, aku merasakan kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku merasa menjadi wanita paling berbahagia di dunia setelah sebelumnya merasa menjadi wanita paling sengsara.”
Aku melihat jam dinding. Satu jam lagi aku harus sampai di penjara. Dengan mata berkaca aku berkata, “Maria, aku keluar sebentar memberitahukan keadaanmu pada dokter, ayah ibumu dan Aisha.”
Maria mengangguk. Madame Nahed dan Tuan Boutros sangat berbahagia mendengar sadarnya Maria. Serta merta mereka berdua melangkah masuk diiringi dokter setengah baya. Kulihat Aisha duduk sendirian di bangku. Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Aisha diam saja. Matanya basah.
“Kau menangis Aisha?”
Aisha diam seribu bahasa seolah tidak mendengar pertanyaanku.
“Kau menyesal dengan keputusanmu?”
Dia menggelengkan kepala.
“Kenapa kau menangis? Kau cemburu?”
Aisha mengangguk. Aku memeluknya, “Maafkan aku Aisha, semestinya kau tidak menikah denganku sehingga kau menderita seperti ini.”
“Kau jangan berkata begitu Fahri. Menikah denganmu adalah kebahagianku yang tiada duanya. Kau tidak bersalah apa-apa Fahri. Tak ada yang salah denganmu. Kau sudah berusaha melakukan hal yang menurutmu baik. Rasa cemburu itu wajar. Meskipun aku yang memaksamu menikahi Maria. Tapi rasa cemburuku ketika kau berada dalam kamar dengannya itu datang begitu saja. Inilah cinta. Tanpa rasa cemburu cinta tiada.”
“Aku takut sebenarnya aku tidak pantas dicintai siapa-siapa.”
“Tidak Fahri. Kalau seluruh dunia ini membencimu aku tetap akan setia mencintaimu.”
“Terima kasih atas segala ketulusanmu Aisha. Aku akan berusaha membalas cintamu dengan sebaik-baiknya. Aisha, sebentar lagi aku harus kembali ke penjara. Aku belum menjelaskan keadaanku pada Maria. Kaulah nanti yang pelan-pelan menjelaskan padanya semuanya. Kau jangan ragu, Maria sangat menghormatimu.”
Aku lalu masuk ke kamar menemui Tuan Boutros dan Madame Nadia. Aku mengingatkan keduanya waktuku telah habis. Mata Madame Nadia menatapku dengan berkaca-kaca. Aku pamitan padanya dan mencium tangannya. Dia kini jadi ibuku. Maria kelihatannya heran dengan yang ia lihat. Tuan Boutros menjelaskan pada Maria bahwa diriku ada urusan penting sekali. Aku menatap wajah Maria dalam-dalam. Dia menantapku penuh sayang. Air mataku hendak keluar tapi kutahan sekuat tenaga.
“Tersenyumlah dulu sebelum pergi, Sayang.” lirih Maria. Aku tersenyum sebisanya. Maria tersenyum manis sekali. Aku jadi teringat Aisha. Dua wanita itu memiliki senyum yang sama manisnya.
“Nanti Aisha akan menungguimu dan banyak bercerita denganmu. Kau jangan terkejut jika ada hal-hal yang akan membuatmu terkejut. Aku pergi dulu. Jangan pernah kau lupakan sedetik pun Maria, bahwa aku sangat mencintaimu. Cintaku kepadamu seperti cintanya seorang penyembah kepada sesembahannya.”
Aku mengambil kata-kata yang ditulis Maria dalam agendanya. Maria sangat senang mendengarnya. Seorang isteri sangat suka dihadiahi kata-kata indah tanda cinta dan kasih sayang.
“Terima kasih Fahri, kau sungguh romantis dan menyenangkan.”
Aku melangkah keluar bersama Tuan Boutros untuk kembali ke penjara. Di luar aku memeluk Aisha erat-erat. Sesaat lamanya aku terisak dalam pelukannya. “Aisha, temani Maria dan ceritakan semua yang sedang aku alami dengan bijaksana padanya. Aku yakin kau mampu melaksanakannya. Semoga saat sidang nanti dia bisa memberikan kesaksiannya.”
“Insya Allah, aku akan melakukan tugasku dengan baik Suamiku. Jangan lupa nanti malam shalat tahajjud. Berdoalah kepada Allah untuk dirimu, diriku, anak kita, dan Maria. Di sepertiga malam Allah turun untuk mendengarkan doa hamba-hamba-Nya,” pesan Aisha.




28. Sidang Penentuan

Sidang penentuan itu pun datang. Amru dan Magdi datang dengan wajah tenang. Syaikh Ahmad dan isterinya juga datang. Orang-orang Indonesia di Mesir banyak yang datang. Namun Maria, dan Aisha belum juga datang. Sudah dua puluh menit menunggu mereka belum juga kelihatan. Noura dan keluarganya beberapa kali memandangku dengan pandangan yang merendahkan. Apapun yang akan terjadi aku pasrah kepada Tuhan.
Akhirnya hakim memulai sidang. Sambil menunggu Maria datang, Amru mengajukan Syaikh Ahmad dan isterinya sebagai saksi. Mereka berdua tampil bergantian memberikan kesaksian. Ummu Aiman, isteri Syaikh Ahmad menangis saat memberikan kesaksiannya. Ia merasa sangat sakit hatinya atas apa yang dilakukan Noura. Sambil terisak dan sesekali menyeka matanya Ummu Aiman berkata, “Entah dengan siapa Noura melakukan perzinahan. Tapi jelas bukan dengan Fahri. Apa yang dikatakan Noura bahwa Fahri memperkosanya adalah fitnah yang sangat keji. Noura sungguh gadis yang tidak tahu diri. Ia telah ditolong tapi memfitnah orang yang dengan tulus hati menolongnya. Aku hanya bisa bersaksi bahwa selama Noura di Tafahna ia menceritakan kejadian malam itu dan tidak pernah menyebut bersama Fahri dari jam tiga sampai azan pertama. Ia bercerita malam itu ia bersama Maria sampai pagi. Jika pengadilan ini akhirnya memenangkan seorang pemfitnah maka kelak di hari kemudian seorang pemfitnah akan dibinasakan oleh keadilan Tuhan.”
Kulihat reaksi Noura. Dia hanya menundukkan kepala. Sementara ayah dan ibunya menatap Ummu Aiman tanpa kedip dengan tatapan garang dan kebencian. Jaksa penuntut mencerca Ummu Aiman dengan beberapa pertanyaan dan Ummu Aiman menjawabnya dengan tenang. Beberapa kali ia menjawab, ‘Tidak tahu!’
Ketika Ummu Aiman turun dari memberikan kesaksian, Maria datang. Ia duduk di atas kursi roda didorong oleh adiknya Yousef. Di iringi Aisha, Tuan Boutros, Madame Nahed, Paman Egbal, Bibi Sarah, dan seorang polisi berdasi yang gagah. Melihat Maria datang serta merta Syaikh Ahmad bertakbir diikuti oleh gemuruh takbir orang-orang Indonesia. Polisi berdasi langsung mendekati Syaikh Ahmad berbincang sebentar lalu mendekati Amru. Dia tampak menyerahkan beberapa berkas. Amru melihat berkas itu sebentar lalu tersenyum padaku. Amru meminta kepada hakim untuk mendengarkan kesaksian Maria. Saksi kunci dalam kasus ini. Sebab dialah yang mengerti dengan pasti apa yang dilakukan Noura malam itu. Benarkah Noura berada di kamarku antara jam tiga sampai azan pertama ataukah justru Noura bersama Maria. Hakim mempersilakan Maria berbicara setelah disumpah akan memberikan kesaksian yang sejujur-jujurnya. Maria pun berbicara dengan suara agak lemah. Wajahnya tampak memerah karena emosi. Ia berusaha menahan emosinya. Mikrofon yang dipegangnya cukup membantu memperjelas suaranya.
“Pak Hakim dan seluruh yang hadir dalam sidang ini, saya berani bersaksi atas nama Tuhan Yang Maha Mengetahui bahwa Noura malam itu, sejak pukul dua malam sampai pagi berada di kamarku. Ia sama sekali tidak keluar dari kamarku. Ia selalu bersamaku. Jika dia mengatakan pukul tiga aku mengantarnya turun ke rumah Fahri itu bohong belaka. Dalam rentang waktu itu dia sama sekali tidak keluar dari rumahku. Jika Noura mengatakan pemerkosaan atas dirinya terjadi dalam rentang waktu itu sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin ada pemerkosaan waktu itu padahal dia berada di kamarku. Dan Fahri berada di kamarnya. Untuk membuktikan omongan saya ini, saya punya bukti nyata. Begini, kira-kira pukul tiga lebih sepuluh menit Maria menelpon ke salah satu temannya dengan telpon rumahku. Dia menelpon teman satu kelasnya bernama Khadija yang tinggal di Wadi Hof. Dia berbicara kira-kira sepuluh menit. Dan kami bawa bukti tercatat dari kantor telkom adanya percakapan itu. Bahkan rekaman pembicaraan Noura dengan Khadija juga ada. Kebetulan Khadija juga datang bersama kami. Dia bisa menjadi saksi. Dengan bukti kuat ini, aku berharap Bapak Hakim bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Apa yang dikatakan Noura adalah fitnah belaka. Dia harus mendapatkan ganjaran atas tuduhan kejinya. Entah setan apa yang membuat Noura yang dulu jujur dan baik hati kini berubah menjadi tukang fitnah yang tidak memiliki nurani. Dia menyerahkan kegadisannya pada orang lain lalu menuduh Fahri yang melakukannya. Aku sangat menyesal menolong perempuan berhati busuk seperti dia. Demi Allah Yang Maha Mengetahui, aku tidak rela atas tuduhan yang dilontarkan Noura kepada Fahri. Aku tidak rela. Jika sampai Fahri divonis salah maka Noura akan menjadi musuhku di hadapan Allah di akherat kelak..ugh..ugh..ugh..!” Maria batuk lalu jatuh tak sadarkan diri di kursi rodanya. Madame Nahed yang tahu akan hal itu langsung mengambil Maria dan menggeledeknya keluar ruangan bersama Yousef. Mungkin langsung membawanya kembali ke rumah sakit.
Setelah Maria, Khadija memberikan kesaksian memang benar pada malam itu sekitar jam tiga lebih Noura menelponnya dan menceritakan kisah sedihnya. Namun Noura minta agar tidak memberitahukan Bahadur bahwa dia menelponnya. Amru lalu memberikan selembar kertas dari kantor telkom Mesir berisi perincian pemanggilan dan penerimaan panggilan nomor telpon rumah Maria. Yang membuat heran adalah Amru membunyikan rekaman pembicaraan Noura-Khadija via telpon malam itu. Setelah itu Amru mengajukan kesaksian paling mengejutkan yaitu kesaksian lelaki ceking bernama Gamal yang pada saat pengadilan pertama menjadi saksi pihak Noura. Kini Gamal bersaksi kembali:
“Pak Hakim dan hadirin semuanya. Saya ingin memberikan kesaksian yang sejujurnya. Di tempat ini saya hendak berkata apa sebenarnya yang saya alami. Sebenarnya apa yang saya katakan pada pengadilan pertama tidak benar. Saya minta maaf atas kesaksian palsu saya. Saya khilaf. Dan pada kesempatan kali ini saya mengaku dengan sejujurnya saya tidak tahu menahu mengenai masalah ini. Saya tidak melihat nona Noura turun dan masuk rumah Fahri. Sebab malam itu saya tidur di rumah bersama isteri dan anak saya. Saya bukan seorang pemburu burung hantu. Itu semua rekayasa belaka. Terima kasih.”
Setelah mendengar semua kesaksian itu Amru berpidato dengan bahasa yang luar biasa kuatnya. Ia meyakinkan kepada siapa saja yang mendengarnya bahwa Noura seorang pemfitnah. Berkali-kali dengan bahasa yang kuat dan tajam dia menghabisi Noura. Kulihat Noura pucat dan meneteskan air mata. Selesai Amru bicara Noura angkat tangan dan minta kepada hakim untuk bicara. Hakim memberinya waktu lima menit. Noura berdiri dan menuju podium. Di sana dia berbicara dengan kepala menunduk sambil menangis terisak-isak:
“Pak Hakim dan hadirin sekalian. Selamanya kebenaran akan menang. Jika tidak di pengadilan dunia maka kelak di pengadilan akhirat. Selamanya rekayasa manusia tiada artinya apa-apa dibanding kekuasaan Tuhan. Hadirin, jika ada gadis malang di dunia ini yang semalang-malangnya adalah diriku. Sejak kecil sampai beberapa bulan yang lalu aku diasuh oleh orang yang bukan orang tua kandungku. Waktu bayi aku tertukar di rumah sakit dengan bayi lain. Aku hidup dalam keluarga bermoral setan. Namun aku selalu tabah dan terus bertahan. Sampai akhirnya malam itu. Aku ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Malam itu sebelum aku diusir dan diseret si jahat Bahadur ke jalan terlebih dahulu aku diperkosanya…hiks..hiks..!” Noura tersedu sesaat lamanya. Ruang pengadilan diselimuti keheningan berbalut kepiluan dan rasa kasihan.
“Aku merasa bisa menyembunyikan aib yang menimpaku. Aku kira tidak akan terjadi apa-apa denganku. Waktu terus berjalan sampai akhirnya Allah mempertemukan diriku dengan kedua orang tua kandungku lewat bantuan banyak orang termasuk, Fahri, Maria, Nurul, Syaikh Ahmad dan Ummu Aiman. Kedua orang tua kandungku adalah orang terpandang dan dari keluarga besar terhormat. Mereka menerima kedatanganku dengan penuh rasa bahagia luar biasa. Petaka itu datang kembali ketika perutku semakin membesar. Mereka menanyakan padaku siapa yang telah menghamiliku. Aku tak mau berterus terang bahwa Bahadur yang menghamiliku dengan memperkosa. Aku sudah sangat benci dengan dirinya. Akhirnya aku berbohong pada mereka yang menghamiliku adalah Fahri. Sebab aku sangat mencintai Fahri dengan harapan Fahri nanti mau menikahiku. Namun yang kulakukan ternyata tak lain adalah dosa besar yang sangat keji aku telah menghancurkan kehidupan orang yang kucintai dan di sisi lain aku telah membiarkan penjahat yang menghamiliku tertawa terbahak-bahak. Semua rekayasa yang telah diatur rapi juga diporak-porandakan oleh kekuasaan Allah Swt. Di sini, sebelum di akhirat nanti, aku akui dengan sejujurnya Fahri tidak bersalah. Dia bersih. Dan kepadanya dan kepada keluarganya serta siapa saja yang terzhalimi atas kebodohanku aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Aku memang ditakdirkan untuk hidup malang di dunia. Namun aku bertekad memperbaiki diri agar tidak malang di akhirat kelak.”
Atas dasar semua bukti yang ada dan pengakuan Noura akhirnya mau tidak mau Dewan Hakim memutuskan diriku tidak bersalah dan bebas dari dakwaan apa pun. Takbir dan hamdalah bergemuruh di ruang pengadilan itu dilantunkan oleh semua orang yang membela dan bersimpati padaku. Seketika aku sujud syukur kepada Allah Swt. Aisya memelukku dengan tangis bahagia tiada terkira. Paman Eqbal dan bibi Noura tak mampu membendung air matanya. Syaikh Ahmad dan Ummu Aiman juga sama. Nurul dan suaminya yaitu Mas Khalid datang memberi selamat dengan mata berkaca. Satu persatu orang-orang Indonesia yang di dalam ruangan itu memberi selamat dengan wajah haru. Amru memberi tahu bahwa Kolonel Ridha Shahata, sepupu Syaikh Ahmad yang memiliki posisi cukup penting di Badan Kemanan Negara juga punya andil dalam membantu mendapatkan bukti dari kantor telkom dan memaksa Gamal berkata jujur. Suatu bukti bahwa dunia belum kehilangan orang-orang yang baik dan cinta keadilan.

29. Nyanyian dari Surga

Begitu divonis bebas, aku dibawa oleh Aisha ke rumah sakit Maadi untuk diperiksa. Penyiksaan dipenjara seringkali menyisakan cidera atau luka. Dokter mengatakan aku harus dirawat di rumah sakit beberapa hari untuk memulihkan kesehatan. Beberapa jari kakiku yang hancur harus ditangani serius. Ada gejala paru-paru basah yang kuderita. Aisha memesankan kamar kelas satu bersebelahan dengan kamar Maria. Teman-teman dari Indonesia banyak yang menjenguk, meskipun mereka sedang menghadapi ujian semester ganjil Al Azhar. Sementara musim dingin semakin menggigit.
Sudah tiga hari, sejak jatuh tak sadarkan diri saat memberikan kesaksian di pengadilan Maria belum juga siuman. Dokter mengatakan ada kelenjar syaraf di kepalanya yang tak kuat menahan emosi yang kuat mendera. Ada pembengkakan serius pada pembuluh darah otaknya karena tekanan darah yang naik drastis. Akibatnya dia koma. Untung pembuluh darah otaknya itu tidak pecah. Kalau pecah maka nyawanya bisa melayang.
Sekarang tidak hanya Madame Nadia dan keluarganya saja yang merasa bertanggung jawab menunggui Maria. Aisha merasa punya panggilan jiwa tak kalah kuatnya. Ia sangat setia menunggui diriku dan menunggui Maria. Ia bahkan sering tidur sambil duduk di samping Maria. Aisha menganggap Maria seperti adiknya sendiri. Beberapa kali aku memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur dan menemani Aisha menunggui Maria.
Pada hari keempat sejak Maria tak sadarkan diri, tepatnya pada pukul sembilan pagi handphone Aisha berdering. Aisha mengangkatnya. Ia terkejut mendengar suara orang yang menelponnya. “Alicia? Di mana? Oh masya Allah, Subhanallah! Ya..ya...baik. Kalau begitu kau naik metro saja turun di Maadi. Aku jemput di dekat loket tiket sebelah barat. Okey? Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah.”
Aisha lalu tersenyum padaku dan berkata,
“Selamat untukmu Fahri, kau telah mendapatkan kenikmatan yang lebih agung dari terbitnya matahari. Alicia sudah menjadi muslimah sekarang. Apa yang kau lakukan sampai kau akhirnya jatuh sakit itu tidak sia-sia. Jawabanmu itu mampu menjadi jembatan baginya menemukan cahaya Tuhan. Dia ingin menemuimu. Kira-kira pukul setengah sepuluh dia akan sampai di Mahattah Maadi.”
Aku merasakan keagungan Tuhan di seluruh jiwa. Aku merasa Dia tiada pernah meninggalkan diriku dalam segala cuaca dan keadaan.
PadaMu
Kutitipkan secuil asa
Kau berikan selaksa bahagia
PadaMu
Kuharapkan setetes embun cinta
Kau limpahkan samudera cinta
Aisha menengok kamar Maria, tak lama ia kembali lagi dan berkata, “Dia belum juga sadar. Hanya detak jantungnya yang masih terus bekerja dan hembusan nafasnya yang masih mengalir menunjukkan dia masih hidup. Sungguh aku tak tega melihat dia terbaring begitu lemah tiada berdaya. Seringkali ada lelehan air mata di sudut matanya. Entah apa yang dialaminya di alam tak sadarnya.”
Aisha melihat jam. “Sayang, aku keluar sebentar ya menjemput Alicia.”
“Ya, tapi jangan cerita tentang penjara.” Lirihku. Aisha menganggukkan kepalanya lalu beranjak keluar.
Seperempat jam kemudian Aisha datang bersama Alicia. Aku nyaris tidak percaya bahwa sosok yang datang bersamannya adalah Alicia. Sangat kontras dengan penampilannya waktu pertama kali bertemu di dalam metro dulu. Dulu pakaiannya ketat mempertontonkan aurat. Sekarang dia memakai jilbab, pakaiannya sangat anggun dan rapat menutup aurat. Tak jauh berbeda dengan Aisha.
“Aku datang kemari sengaja untuk menemuimu, Fahri. Untuk mengucapkan terima kasih tiada terkira padamu. Karena berjumpa denganmulah aku menemukan kebenaran dan kesejukan yang aku cari-cari selama ini.” Kata Alicia, mata birunya berbinar bahagia. Alicia lalu mengisahkan pergolakan batinnya sampai akhirnya masuk Islam dua bulan yang lalu.
“Selain itu aku membawa ini.” Alicia membuka tas hitamnya yang agak besar. Ia mengeluarkan dua buah buku dan menyerahkan padaku. Aku terkejut membaca tulisan yang ada di sampulnya. Namaku tertulis di sana.
“Jawabanmu tentang masalah perempuan dalam Islam jadi buku itu. Dan terjemahan Maria jadi yang ini. Semuanya diterbitkan oleh Islamic Centre di New York. Tiap buku baru dicetak 25 ribu exemplar. Dr. Salman Abdul Adhim direktur penerbitannya meminta nomor rekeningmu, Maria dan Syaikh Ahmad untuk tranfer honorariumnya. Kau boleh bangga sekarang dua buku itu sedang dicetak lagi karena satu bulan diluncurkan langsung habis.” Cerita yang dibawa Alicia benar-benar menghapus semua duka yang pernah kurasa. Sangat mudah bagi Tuhan untuk menghapus duka dan kesedihan hamba-Nya.
“Kau tidak ingin menemui Maria?” tanyaku.
“Ingin.”
“Aisha, antarkan Alicia melihat Maria.”
Aisha menggamit tangan Alicia ke kamar sebelah di mana Maria terbaring lemah. Aku tidak tahu seperti apa reaksi Alicia bertemu Maria dalam keadaan seperti itu. Sambil berbaring aku memperhatikan dengan seksama dua buku yang diberikan Alicia itu. Buku pertama, Women in Islam. Sebuah buku kecil. Tebalnya cuma 65 halaman. Namaku terpampang sebagai pengarangnya. Aku jadi malu pada diri sendiri, aku hanya menulis ulang dan merapikan pelbagai macam bahan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar perempuan dalam Islam. Bukan menulis suatu yang baru. Di dalamnya kulihat editornya dua orang: Alicia Brown dan Syaikh Ahmad Taqiyuddin. Di halaman terakhir buku itu ada biodataku secara singkat. Lalu buku kedua berjudul, Why Does the West Fear Islam? ditulis Prof Dr. Abdul Wadud Shalabi. Aku dan Maria tercantum sebagai penerjemah. Editornya sama.
Setengah jam kemudian Alicia kembali bersama Aisha.
“Semoga isteri keduamu itu cepat sembuh. Selamat atas pernikahan kalian. Semoga dirahmati Tuhan. Oh ya aku ada pesan dari Dr. Salman Abdul Adhim, kau akan diundang untuk memberikan cemarah di beberapa Islamic Centre di Amerika sekalian mendiskusikan apa yang telah kau tulis. Tiket, surat undangan dan jadwal kegiatannya ada di hotel, tidak terbawa,” kata Alicia.
“Waktunya kapan?” Aisha menanggapi.
“Bulan depan. Selama sepuluh hari.”
“Semoga dia benar-benar sudah sembuh.”
“Semoga.”
Setelah itu Alicia minta diri dan berjanji akan datang lagi keesokan hari untuk menyerahkan tiket dan semua berkas yang akan digunakan untuk mempermudah mengurusi visa masuk ke Amerika.
“Begitu banyak perubahan silih berganti yang kita alami,” kata Aisha setelah Alicia pergi.
* * *
Tengah malam, Aisha membangunkan diriku. Kusibak selimut tebal. Kaca jendela tampak basah. Musim dingin mulai merambat menuju puncaknya. Aisha melindungi tubuhnya dengan sweater. Untung penghangat ruangan kamar kelas satu berfungsi baik. Tapi kaca jendela tetap tampak basah. Berarti di luar sana udara benar-benar dingin. Mungkin telah mencapai 8 derajat. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa dinginnya kutub utara yang puluhan derajat di bawah nol. Suasana malam senyap dan beku.
“Fahri, ayo lihatlah Maria, dia mengigau aneh sekali..aku belum pernah melihat orang mengigau seperti itu.” Kata Aisha pelan.
Aku mengikuti ajakan Aisha untuk melihat keadaan Maria. Tak ada siapa-siapa di kamar Maria saat kami masuk. Kecuali Madame Nadia, yang pulas di sofa tak jauh dari ranjang Maria. Ibu kandung Maria itu kelihatannya kelelahan. Kami melangkah pelan mendekati Maria. Dan aku mengenal apa yang diigaukan oleh Maria. Aku pasang telinga lekat-lekat dan memperhatikan dengan seksama. Subhanallah, Maha Suci Allah! Yang terucap lirih dari mulut Maria, tak lain dan tak bukan adalah ayat-ayat suci dalam surat Maryam. Ia memang hafal surat itu. Aku tak kuat menahan haru.
“Sepertinya yang keluar dari bibirnya itu ayat-ayat suci Al-Qur’an? Bagaimana bisa terjadi, Fahri?” Heran Aisha.
“Kita dengarkan saja baik-baik. Nanti aku jelaskan padamu. Banyak hal yang belum kau ketahui tentang Maria.” Jawabku pelan.
Kami pun menyimak igauan Maria baik-baik. Mendengarkan apa yang diucapkan oleh Maria dalam alam tidak sadarnya. Pelan. Urut. Indah dan lancar. Tak ada yang salah. Meskipun tajwidnya masih belum lurus benar. Maria melantunkan ayat-ayat yang mengisahkan penderitaan Maryam setelah melahirkan nabi Isa. Maryam dituduh melakukan perbuatan mungkar. Allah menurunkan mukjizat-Nya, Isa yang masih bayi bisa berbicara.

Fa atat bihi qaumaha tahmiluh,
qaalu yaa Maryamu laqad ji’ta syaian fariyya.
Ya ukhta Haaruna maa kaana abuuki imra ata sauin
wa maa kaanat ummuki baghiyya.
Fa asyaarat ilaih, qaalu kaifa nukallimu man kaanat fil mahdi shabiyya.
Qaala inni abdullah aataniyal kitaaba wa ja’alani nabiyya.
Wa ja’alani mubaarakan ainama kuntu
wa aushaani bish shalati waz zakaati maa dumtu hayya.

(Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar.
Hai saudara perempuan Harun ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.
Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, ‘Bagaimana kami akan berbicara pada anak kecil yang masih dalam ayunan?’
Isa berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab dan dia menjadikan aku seorang nabi.
Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat menunaikah zakat selama aku hidup) [115]

Seorang malaikat pun jika mendengar apa yang dilantunkan Maria dalam alam bawah sadarnya itu akan luluh jiwanya, bergetar hatinya, dan meneteskan air mata. Maria sedang mengeluarkan apa yang bercokol kuat dalam memorinya. Dan itu adalah ayat-ayat suci yang menyejukkan. Maria terus melantunkan apa yang dihafalnya ayat demi ayat. Air mataku menetes setetes demi setetes. Cahaya keagungan Tuhan berkilat-kilat dalam diri semakin lama semakin benderang. Bibir Maria terus bergetar. Aku bertanya dalam diri, siapa sebenarnya yang menggerakkan bibirnya? Dia sedang tak sadar apa-apa. Ia sampai pada akhir surat Maryam. Namun bibirnya tidak juga berhenti bergetar, terus melanjutkan surat setelahnya. Surat Thaaha. Subhanallah!
Thaaha.
Maa anzalna ‘alaikal Qur’aana li tasyqa
Illa tadzkiratan liman yakhsya

( Thaaha.
Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu
agar kamu jadi susah
Tetapi sebagai tadzkirah
bagi orang yang takut kepada Allah
) [116]
Aku jadi tidak mengerti sebenarnya berapa surat. Berapa juz yang telah dihafal Maria. Dulu saat pertama kali dia menyapa di dalam metro dia mengatakan hanya hafal surat Al Maidah dan Maryam saja. Sekarang dia membaca surat Thaaha. Aku benar-benar terkesima dibuatnya. Masih banyak rahasia dalam dirinya yang tidak aku ketahui. Aku jadi tidak tahu pasti keyakinan dalam hatinya. Dengan air mata terus mengalir di sudut matanya yang terpejam ia melantunkan ayat-ayat suci itu seperti sedang asyik bernyanyi dalam mimpi. Malam yang dingin terasa hangat oleh aura getar bibir Maria. Ia mengajak pendengarnya berada di Mesir pada masa nabi Musa melawan Fir’aun. Ia terus bernyanyi, seperti bidadari menyanyikan lagu surga.
Innama ilaahukumullah al ladzi laa ilaha illa huwa
wasia kulla syai in ilma
Kadzalika naqushu ‘alaika anbai ma sabaq
wa qad aatainaaka min ladunna dzikra
(Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah,
yang tiada tuhan selain Dia, pengetahuannya
meliputi segala sesuatu.
Demikianlah kami kisahkan kepadamu
sebagian kisah umat yang telah lalu,
dan sesungguhnya telah kami berikan kepadamu
dari sisi Kami suatu peringatan
) [117]
Sampai ayat ini bibir Maria berhenti bergetar. Lelehan air matanya semakin deras. Namun ia tidak juga membuka mata. Entah apa yang ia rasa. Aku hanya bisa ikut melelehkan air mata. Berdoa. Dan memegang erat tangannya. Sesaat lamanya keheningan tercipta. Tiba-tiba bibirnya bergerak dan mendendangkan zikir dengan nada aneh:
Allah. Allah. Allah.
Aku ingin Allah.
Allah. Allah. Allah.
Aku rindu Allah.
Allah. Allah. Allah.
Aku cinta Allah.
Allah. Allah. Allah
Allah.
Allah.
Allah.
Allah.
Allah.
Allah. Allah. Allah.
CahayaMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
SenyumMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
BelaianMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
CiumanMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
CintaMu Allah.
Allah.
Surgamu Allah.
Allah.
Surgamu Allah.
Allah.
Surgamu Allah.
Surgamu Allah.
Surgamu Allah.
Surgamu Allah.
Allah. Allah.Allah.
Allah.
Allah.
Allah.
Semakin lama volume suaranya semakin mengecil. Lalu hilang. Hatiku berdesir ketika melihat bulu matanya yang lentik bergerak-gerak. Perlahan ia mengerjap. Allah. Allah. Allah. Sembari bibirnya berzikir matanya tampak mulai terbuka perlahan. Dan akhirnya benar-benar terbuka. Subhanallah!
“Maria!” sapaku pelan.
“Fa..Fahri?” suaranya sangat lirih nyaris tiada terdengar.
“Ya. Apa yang kau rasakan sekarang, Sayang? Apanya yang sakit?”
“Tolonglah aku? Aku sedih sekali.”
“Kenapa sedih?”
“Aku sedih tak diizinkan masuk surga!”
Jawaban Maria membuat aku dan Aisha kaget bukan main. Dari mana dia tiba-tiba dapat kekuatan untuk berkata sejelas itu? Apakah dia akan mati? Tanyaku dalam hati. Dan cepat-cepat aku membuang pertanyaan tidak baik itu. Tapi kenapa dia berulang-ulang menyebut-nyebut surga.
“Aku telah sampai di depan pintu surga, tetapi aku tidak boleh masuk!” ulangnya.
“Kenapa?”
“Katanya aku tidak termasuk golongan mereka. Pintu-pintu itu tertutup bagiku. Aku terlunta-lunta. Aku menangis sejadi-jadinya.”
“Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang kau alami, Maria. Tapi bagaimana mulanya kau bisa sampai di sana?”
“Aku tidak tahu awal mulanya bagaimana. Tiba-tiba saja aku berada dalam alam yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Dari kejauhan aku melihat istana megah hijau bersinar-sinar. Aku datang ke sana. Aku belum pernah melihat bangunan istana yang luasnya tiada terkira, dan indahnya tiada pernah terpikir dalam benak manusia. Luar biasa indahnya. Ia memiliki banyak pintu. Dari jarak sangat jauh aku telah mencium wanginya. Aku melihat banyak sekali manusia berpakaian indah satu persatu masuk ke dalamnya lewat sebuah pintu yang tiada terbayangkan indahnya. Kepada mereka aku bertanya, “Istana yang luar biasa indahnya ini apa?” Mereka menjawab, “Ini surga!” Hatiku bergetar. Dari pintu yang terbuka itu aku bisa sedikit melihat apa yang ada di dalamnya. Sangat menakjubkan. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan. Tak ada pikiran yang mampu melukiskan. Aku sangat tertarik maka aku ikut barisan orang-orang yang satu persatu masuk ke dalamnya. Ketika kaki mau melangkah masuk seorang penjaga dengan senyum yang menawan berkata padaku, “Maaf, Anda tidak boleh lewat pintu ini. Ini namanya Babur Rayyan. Pintu khusus untuk orang-orang yang berpuasa. [118] Anda tidak termasuk golongan mereka!” Aku sangat kecewa. Aku lalu berjalan ke sisi lain. Di sana ada pintu yang juga sedang penuh dimasuki anak manusia berpakaian indah. Aku mau ikut masuk. Seorang penjaga yang ramah berkata, “Maaf, Anda tidak boleh lewat pintu ini. Ini Babush Shalat. Pintu khusus untuk orang-orang shalat. Dan Anda tidak termasuk golongan mereka!” Aku sangat sedih. Hatiku kecewa luar biasa. Aku melihat di kejauhan masih ada pintu. Aku berjalan ke sana dengan harapan bisa masuk lewat pintu itu. Namun ketika hendak masuk seorang penjaga yang wajahnya bercahaya berkata, “Maaf, Anda tidak boleh masuk lewat sini. Ini Babuz Zakat. Pintu khusus untuk orang-orang yang menunaikan zakat. Ada banyak pintu. Dan setiap kali aku hendak masuk selalu dicegah penjaganya. Sampai di pintu terakhir namanya Babut Taubah. Aku juga tidak boleh masuk. Karena itu khusus untuk orang-orang yang taubatnya diterima Allah. Dan aku tidak termasuk mereka. Aku kembali ke pintu-pintu sebelumnya. Semuanya tertutup rapat. Orang-orang sudah masuk semua. Hanya aku sendirian di luar. Aku menggedor-gedor pintu bernama Babur Rahmah. Tak ada yang membuka. Aku hanya mendengar suara, “Jika kau memang penghuni surga kau tidak perlu mengetuknya karena kau pasti punya kuncinya. Bukalah pintu-pintu itu dengan kunci surga yang kau miliki!” Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak memiliki kuncinya. Aku berjalan dari pintu satu ke pintu yang lain dengan air mata menetes di sepanjang jalan. Aku putus asa. Aku tergugu di depan Babur Rahmah. Aku mengharu biru pada Tuhan. Aku ingin menarik belas kasihNya dengan membaca ayat-ayat sucinya. Yang kuhafal adalah surat Maryam yang tertera di dalam Al-Qur’an. Dengan mengharu biru aku membacanya penuh penghayatan. Selesai membaca surat Maryam aku lanjutkan surat Thaha. Sampai ayat sembilan puluh sembilan aku berhenti karena Babur Rahmah terbuka perlahan. Seorang perempuan yang luar biasa anggun dan sucinya keluar mendekatiku dan berkata,
“Aku Maryam. Yang baru saja kau sebut dalam ayat-ayat suci yang kau baca. Aku diutus oleh Allah untuk menemuimu. Dia mendengar haru biru tangismu. Apa maumu?”
“Aku ingin masuk surga. Bolehkah?”
“Boleh. Surga memang diperuntukkan bagi semua hamba-Nya. Tapi kau harus tahu kuncinya?”
“Apa itu kuncinya?”
“Nabi pilihan Muhammad telah mengajarkannya berulang-ulang. Apakah kau tidak mengetahuinya?”
“Aku tidak mengikuti ajarannya.”
“Itulah salahmu.”
“Kau tidak akan mendapatkan kunci itu selama kau tidak mau tunduk penuh ikhlas mengikuti ajaran Nabi yang paling dikasihi Allah ini. Aku sebenarnya datang untuk memberitahukan kepadamu kunci masuk surga. Tapi karena kau sudah menjaga jarak dengan Muhammad maka aku tidak diperkenankan untuk memberitahukan padamu.”
Bunda Maryam lalu membalikkan badan dan hendak pergi. Aku langsung menubruknya dan bersimpuh dikakinya. Aku menangis tersedu-sedu. Memohon agar diberitahu kunci surga itu. “Aku hidup untuk mencari kerelaan Tuhan. Aku ingin masuk surga hidup bersama orang-orang yang beruntung. Aku akan melakukan apa saja, asal masuk surga. Bunda Maryam tolonglah berilah aku kunci itu. Aku tidak mau merugi selama-lamanya.” Aku terus menangis sambil menyebut-nyebut nama Allah. Akhirnya hati Bunda Maryam luluh. Dia duduk dan mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang,
“Maria dengarkan baik-baik! Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan kunci masuk surga. Dia bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu dengan baik, kemudian mengucapkan: Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya) maka akan dibukakan delapan pintu surga untuknya dan dia boleh masuk yang mana ia suka!’ [119] Jika kau ingin masuk surga lakukanlah apa yang diajarkan olah Nabi pilihan Allah itu. Dia nabi yang tidak pernah bohong, dia nabi yang semua ucapannya benar. Itulah kunci surga! Dan ingat Maria, kau harus melakukannya dengan penuh keimanan dalam hati, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Tanpa keimanan itu, yang kau lakukan sia-sia. Sekarang pergilah untuk berwudhu. Dan cepat kembali kemari, aku akan menunggumu di sini. Kita nanti masuk bersama. Aku akan membawamu ke surga Firdaus!”
Setelah mendengar nasihat dari Bunda Maryam, aku lalu pergi mencari air untuk wudhu. Aku berjalan ke sana kemari namun tidak juga menemukan air. Aku terus menyebut nama Allah. Akhirnya aku terbangun dengan hati sedih. Aku ingin masuk surga. Aku ingin masuk surga. Aku ingin ke sana, Bunda Maryam menungguku di Babur Rahmah. Itulah kejadian atau mimpi yang aku alami. Oh Fahri suamiku, maukah kau menolongku?”
“Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Maria?”
“Bantulah aku berwudhu. Aku masih mencium bau surga. Wanginya merasuk ke dalam sukma. Aku ingin masuk ke dalamnya. Di sana aku berjanji akan mempersiapkan segalanya dan menunggumu untuk bercinta. Memadu kasih dalam cahaya kesucian dan kerelaan Tuhan selama-lamanya. Suamiku, bantu aku berwudhu sekarang juga!”
Aku menuruti keinginan Maria. Dengan sekuat tenaga aku membopong Maria yang kurus kering ke kamar mandi. Aisha membantu membawakan tiang infus. Dengan tetap kubopong, Maria diwudhui oleh Aisha. Setelah selesai, Maria kembali kubaringkan di atas kasur seperti semula. Dia menatapku dengan sorot mata bercahaya. Bibirnya tersenyum lebih indah dari biasahnya. Lalu dengan suara lirih yang keluar dari relung jiwa ia berkata:
Asyhadu an laa ilaaha illallah
wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh!
Ia tetap tersenyum. Menatapku tiada berkedip. Perlahan pandangan matanya meredup. Tak lama kemudian kedua matanya yang bening itu tertutup rapat. Kuperiksa nafasnya telah tiada. Nadinya tiada lagi denyutnya. Dan jantungnya telah berhenti berdetak. Aku tak kuasa menahan derasnya lelehan air mata. Aisha juga. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun!
Maria menghadap Tuhan dengan menyungging senyum di bibir. Wajahnya bersih seakan diselimuti cahaya. Kata-kata yang tadi diucapkannya dengan bibir bergetar itu kembali terngiang-ngiang ditelinga:
“Aku masih mencium bau surga. Wanginya merasuk ke dalam sukma. Aku ingin masuk ke dalamnya. Di sana aku berjanji akan mempersiapkan segalanya dan menunggumu untuk bercinta. Memadu kasih dalam cahaya kesucian dan kerelaan Tuhan selama-lamanya.”
Sambil terisak Aisha melantunkan ayat:
Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah
irji’ii ilaa Rabbiki
raadhiyatan mardhiyyah
Fadkhulii fii ‘ibaadii
wadkhulii jannatii

(Hai jiwa yang tenang
Kembalilah kamu kepada Tuhanmu
dengan hati puas lagi diridhai
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu
Maka masuklah ke dalam surga-Ku. [120]
)
Saat itu Madame Nahed, terbangun dari tidurnya dan bertanya sambil mengucek kedua matanya, “Kenapa kalian menangis?”
Kaca jendela mengembun. Musim dingin sedang menuju puncaknya. O, apakah di surga sana ada musim dingin? Ataukah malah musim semi selamanya? Ataukah musim-musim di sana tidak seperti musim yang ada di dunia?